0
dict | 1
dict |
---|---|
{
"from": "human",
"value": "Apakah SNI wajib untuk semua produk? Barang apa saja yang wajib SNI?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Penerapan SNI Sukarela\n\nSeperti yang telah dijelaskan sebelumnya, SNI dapat dilakukan secara sukarela berdasarkan kebutuhan, di mana pelaku usaha yang telah mampu menerapkan SNI dapat mengajukan sertifikasi kepada Lembaga Penilaian Kesesuaian (“LPK”) yang telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (“KAN”).[4]\n\nSertifikasi tersebut adalah rangkaian kegiatan penilaian kesesuaian yang berkaitan dengan pemberian jaminan tertulis bahwa barang, jasa, sistem, proses, atau personal telah memenuhi standar dan/atau regulasi yang ditetapkan oleh BSN dan berlaku di wilayah Indonesia.[5]\n\nSelanjutnya, sertifikasi produk Standar Nasional Indonesia akan diberikan oleh LPK dengan memberikan sertifikat kepada pemohon yang telah memenuhi persyaratan SNI.[6]\n\nApabila pelaku usaha telah mendapatkan sertifikat, maka yang bersangkutan wajib membubuhkan:[7]"
} |
{
"from": "human",
"value": "Tenaga kerja kami (wanita) meninggal dunia dan meninggalkan suami tanpa anak. Kepada siapa kami memberikan pesangon? Sebab kami ditekan oleh pihak adik almarhum agar pesangonnya tidak diberikan kepada suaminya, dengan alasan suaminya sepeninggal almarhum sudah menikah lagi. Mohon penjelasan. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul “Pesangon III ” yang dibuat oleh Bung Pokrol dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 25 March 2008. Intisari : Jika pekerja meninggal dunia, perusahaan wajib memberikan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak kepada ahli warisnya berdasarkan Pasal 166 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan . Tetapi, pasal tersebut tidak menjelaskan lebih rinci mengenai siapa ahli waris yang dimaksud dan bagaimana mekanisme pemberian uang-uang itu kepada si ahli waris. Dalam kasus yang Anda sebutkan, silakan coba diliahat lagi di dalam perjanjian kerja atau perjanjian kerja bersama. Barangkali disebutkan mengenai siapa ahli waris yang berhak atas pesangon maupun uang lainnya. Jika disebutkan, maka Anda tinggal membayarkannya kepada yang bersangkutan. Apakah suami dari pekerja Anda berhak atas uang pesangon istrinya dan termasuk ahli waris di sini? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Yang Berhak Atas Pesangon Jika Pekerja Meninggal Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan merujuk pada Pasal 166 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) yang menjelaskan bahwa: Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli warisnya diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan 2 (dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), 1 (satu) kali uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4). Dari ketentuan di atas terlihat bahwa perusahaan wajib memberikan pesangon dan hak pekerja lainnya kepada ahli waris . Tetapi, pasal tersebut tidak menjelaskan lebih rinci mengenai siapa ahli waris yang dimaksud dan bagaimana mekanisme pemberian pesangon itu kepada si ahli waris. Ahli Waris yang Berhak Pada praktiknya, di tiap dokumen perjanjian asuransi atau pembukaan rekening tabungan di bank, ada sebuah klausul yang menyebutkan siapa ahli waris yang berhak menerima manfaat atas asuransi atau tabungan itu jika si empunya meninggal dunia, yaitu suami atau istri si empunya. Hal yang sama dialami oleh istri yang suaminya seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ketika sang suami meninggal, istri berhak atas tunjangan bulanan almarhum suaminya dan sebaliknya. [1] Dalam kasus yang Anda sebutkan, silakan coba dilihat lagi di dalam perjanjian kerja atau perjanjian kerja bersama. Barangkali disebutkan mengenai siapa ahli waris yang berhak atas pesangon maupun uang lainnya. Jika disebutkan, maka Anda tinggal membayarkannya kepada yang bersangkutan. Benar bahwa masalah yang menimpa perusahaan Anda cukup pelik karena adanya 'perselisihan' antar ahli waris (suami dengan adik si istri) yang masing-masing mengaku sebagai ahli waris yang sah dari pekerja Anda. Mari kita lihat dari segi hukum waris. Menurut Waris Islam Dalam hukum waris islam menurut Yahya Harahap dalam bukunya Kedudukan Janda, Duda dan Anak Angkat dalam Hukum Adat (hal. 92), janda/duda termasuk ahli waris utama kelompok ketiga . Kelompok-kelompok ahli waris menurut KHI terdiri dari: [2] Menurut hubungan darah: golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek Menurut hubungan perkawinan, terdiri dari: duda atau janda . Kelompok ahli waris utama tingkat pertama terdiri dari anak laki-laki dan anak perempuan. Kelompok ahli waris utama tingkat kedua adalah saudara laki-laki dan saudara perempuan. Sedang kelompok ahli waris utama tingkat ketiga terdiri dari janda dan duda . Janda dan duda ditempatkan pada derajat keutamaan sebagai ahli waris, baik terhadap sesama diri mereka maupun terhadap anak-anak mereka. [3] Hak dan kedudukan janda/duda sebagai ahli waris di antara sesama mereka disebabkan faktor hubungan perkawinan. Akibat hukum yang ditimbulkan hubungan perkawinan tadi, menimbulkan kedudukan yang timbal balik di antara suami istri dalam kewarisan yakni suami istri saling mewaris apabila salah satu pihak meninggal dunia. Dengan demikian duda/janda menurut Hukum Islam “saling mewaris” . [4] Itu artinya, duda berhak atas harta yang diwariskan oleh istrinya. Besaran yang diterima duda menurut Pasal 179 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) adalah separoh bagian jika tidak meninggalkan anak, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan apabila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagaian dari harta warisan. Selengkapnya mengenai kedudukan suami mewarisi dari istri dapat Anda simak dalam artikel Kedudukan Hak Mewaris Duda Menurut Hukum Waris Islam . Menurut Waris Perdata Barat Sedangkan dari sisi hukum waris Barat berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) yang pada prinsipnya anak dan keturunan lainnya diutamakan kedudukannya sebagai ahli waris. Meski begitu, Pasal 852a KUH Perdata menyamakan posisi suami (yang ditinggal mati istrinya) dengan anak untuk menjadi ahli waris. Menurut Waris Adat Sementara ditinjau dari hukum waris adat yang menganut sistem parental, pada prinsipnya antara duda dan janda tidak saling mewarisi. Namun demikian, sang duda bisa menguasai harta warisan istri untuk kebutuhan biaya hidup dan memelihara anak-anaknya. Dari tiga ketentuan sistem hukum waris di atas terlihat bahwa suami bisa dikategorikan sebagai ahli waris seperti yang disebut dalam ketentuan Pasal 166 UU Ketenagakerjaan. Artinya, Anda wajib menyerahkan pesangon dan uang lainnya kepada suami si pekerja. Ada baiknya Anda meminta para pihak mendapatkan terlebih dahulu penetapan ahli waris dari pengadilan. Jika penetapan itu ada, maka Anda bisa lebih kuat secara hukum membayarkan pesangon tersebut kepada ahli waris yang sah. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Kompilasi Hukum Islam Referensi : Yahya Harahap. 1993. Kedudukan Janda, Duda dan Anak Angkat dalam Hukum Adat. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. [1] Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai [2] Pasal 174 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) dan Yahya Harahap, hal. 92-93 [3] Yahya Harahap, hal. 93 [4] Yahya Harahap, hal. 93-94 hukumonline google ketenagakerjaan pesangon ahli waris hukum klinik perusahaan klinik hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah surat bermaterai yang mengatakan “pihak keluarga tidak akan menuntut apabila ada kerugian fisik atau jiwa” bisa menghilangkan tuntutan pidana?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Apakah Orang Gila Bisa Dipidana? 09 Mei 2023 Membunuh karena Membela Diri, Tetap Ditahan Polisi? 17 Jan 2023 Apakah Pelaku Pedofilia Tidak Dapat Dimintai Pertanggungjawaban Pidana? 14 Mei 2014 Bisakah Seorang Psikopat Dipidana? 27 Nov 2013 Intisari: Apakah surat pernyataan bermaterai dapat menghilangkan tuntutan pidana? Seseorang bisa dimintai pertanggungjawaban pidananya kecuali ada alasan-alasan penghapus pidana. Surat pernyataan bermaterai tidak termasuk sebagai salah satu alasan penghapus pidana. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Yang menjadi pertanyaan Anda adalah apakah surat pernyataan bermaterai dapat menghilangkan tuntutan pidana? Untuk itu kita hurus merujuk pada apa saja dasar yang dapat meniadakan pidana. Pertanggungjawaban Pidana Menurut Chairul Huda dalam bukunya Dari Tiada Pidana, Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan (hal. 6) menjelaskan bahwa dalam suatu tindak pidana, pertanggungjawaban pidana hanya dapat dituntut jika tindak pidana dilakukan dengan kesalahan. Chairul Huda (hal. 62) menjelaskan bahwa pertanggungjawaban pidana dipandang ada, kecuali ada alasan-alasan penghapus pidana. Dalam lapangan acara pidana, hal ini berarti seseorang terdakwa dipandang bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukannya, jika tidak dapat membuktikan bahwa dirinya mempunyai defence ketika melakukan tindak pidana. Lebih lanjut dijelaskan bahwa penuntut umum berhak untuk mendakwa dan menuntut seseorang karena melakukan tindak pidana. Untuk itu, penuntut umum berkewajiban membuktikan apa yang didakwa dan dituntut itu, yaitu membuktikan hal-hal yang termuat dalam rumusan tindak pidana. Sementara itu, terdakwa dapat mengajukan pembelaan atas dasar adanya alasan-alasan penghapus pidana. Untuk menghindar dari pengenaan pidana, terdakwa harus dapat membuktikan bahwa dirinya mempunyai alasan penghapus pidana ketika melakukan tindak pidana. Alasan-alasan Penghapus Pidana Dalam ilmu hukum pidana dikenal alasan penghapus pidana yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”): a. Alasan pembenar berarti alasan yang menghapus sifat melawan hukum suatu tindak pidana. Jadi, dalam alasan pembenar dilihat dari sisi perbuatannya (objektif). Misalnya, tindakan 'pencabutan nyawa' yang dilakukan eksekutor penembak mati terhadap terpidana mati ( Pasal 50 KUHP ); b. Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum. Jadi, dalam alasan pemaaf dilihat dari sisi orang/pelakunya (subjektif). Misalnya, lantaran pelakunya tak waras atau gila sehingga tak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu ( Pasal 44 KUHP ). Menurut Lamintang dalam bukunya yang berjudul Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (hal. 388), sebagaimana kami sarikan, dasar-dasar yang meniadakan hukuman atau strafuitsluitingsgronden antara lain dapat kita jumpai di dalam Buku ke-1 KUHP, yaitu: a. Pasal 44 KUHP Mengatur tentang tidak dapat dihukumnya orang yang ontoerekeningsvatbaar atau orang yang “tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya”. b. Pasal 48 KUHP Menentukan tentang tidak dapat dihukumnya orang yang berada dalam suatu overmacht (keadaan memaksa). c. Pasal 49 ayat (1) KUHP Mengatur tentang tidak dapat dihukumnya orang yang melakukan suatu noodweer (pembelaan diri karena terpaksa). d. Pasal 49 ayat (2) KUHP Mengatur tentang tidak dapat dihukumnya orang yang telah melakukan sesuatu tindakan yang pada hakikatnya merupakan suatu noodweerexces (pembelaan darurat yang melampaui batas pertahanan yang sangat perlu, yang dilakukan karena perasaan tergoncang). e. Pasal 50 KUHP Mengatur tentang tidak dapat dihukum seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan untuk melaksanakan perintah perundang-undangan. f. Pasal 51 ayat (1) KUHP Mengatur tentang tidak dapat dihukum orang yang telah melakukan sesuatu tindakan untuk melaksanakan suatu perintah jabatan yang telah diberikan oleh kekuasaan yang berwenang untuk memberikan perintah semacam itu. g. Pasal 51 ayat (2) KUHP Mengatur tentang tidak dapat dihukum orang yang telah melakukan suatu tindakan untuk melaksanakan suatu perintah jabatan yang telah diberikan oleh kekuasaan yang tidak berwenang untuk memberikan perintah semacam itu, asalkan perintah tersebut oleh orang yang mendapat perintah dengan itikad baik telah dianggap sebagai suatu perintah yang diberikan oleh kekuasaan yang memang berwenang untuk memberikan perintah dan pelaksanaan dari perintah tersebut memang terletak di dalam lingkungan pekerjaannya. h. Pasal 59 KUHP Mengatur tentang tidak dapat dihukum pengurus atau komisaris-komisaris karena pelanggaran apabila pelanggaran tersebut terjadi di luar pengetahuan mereka. Hal di atas merumuskan hal-hal yang dapat mengecualikan pelaku tindak pidana dari pertanggungjawaban pidana. Selain dari keadaan tersebut maka pidana terhadap seseorang tidak dapat ditiadakan. Ini berarti surat pernyataan “pihak keluarga tidak akan menuntut apabila ada kerugian fisik atau jiwa” tidak bisa menghilangkan pertanggunjawaban pidana. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . REFERENSI:\n1. 1. Chairul Huda. Dari Tiada Pidana, Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Jakarta: Kencana. 2006. 2. P.A.F. Lamintang . Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia . Bandun g: PT. Citra Aditya Bakti, 2013 . hukumonline hukum tindak pidana klinik klinik hukumonline pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Bagaimana perbedaan dampak hukum antara surat keputusan dan surat perjanjian? Apakah penyimpangan atas klausul di dalam surat keputusan tersebut dapat disebut sebagai wanprestasi?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Dokumen apapun yang didalamnya memuat klausula yang mengandung suatu kewajiban untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu, maka dokumen tersebut telah melahirkan sebuah perikatan, yang dapat dituntut pemenuhannya di muka pengadilan (secara perdata), apabila tidak dilaksanakan sesuai dengan apa yang tercantum di dalamnya. Penjelasan lebih lengkap silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan Terima kasih atas pertanyaan anda. Berbicara mengenai perbedaan antara dampak hukum dari Surat Keputusan dan Surat Perjanjian, maka sebelumnya kita perlu untuk mengenal Buku Ketiga dari Kitab Undang Undang Hukum Perdata ( “KUH Perdata” ) tentang Perikatan. Dalam bahasa Inggris, terjemahan dari Perikatan lebih mendekati makna aslinya, yaitu obligation atau “kewajiban”. KLINIK TERKAIT Seluk Beluk Gugatan Sederhana 05 Mar 2021 Jika Perusahaan Tidak Mengeluarkan Surat Pengangkatan Pegawai 22 Jan 2016 Pembatalan Sepihak Surat Pernyataan Diterima Sebagai Karyawan 23 Des 2014 S uatu Perikatan dimaksudkan untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Dalam hal ini, Perikatan dapat timbul karena adanya suatu perjanjian atau karena u ndang- u ndang [1] . Di bawah ini kita akan membahas lebih dalam mengenai Perikatan yang lahir karena Perjanjian. Namun demikian, para pembaca juga perlu mengetahui Perikatan yang lahir karena u ndang- u ndang ada 3, yaitu Kekuasaan Orang Tua [2] , Perbuatan Sukarela Untuk Mewakili Urusan Orang Lain ( zaakwarne m ing ) [3] dan Perbuatan Melawan Hukum [4] . Mengenai Perikatan yang timbul karena Perjanjian adalah manakala satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih (Pasal 1313 KUH Perdata) untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu . Jadi dalam hal ini, terdapat suatu kewajiban (dalam bahasa hukum disebut sebagai “prestasi”) yang melekat pada diri seseorang atau lebih yang terikat dalam perjanjian tersebut. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Sebelum menjawab pokok pertanyaan anda, saya mencoba untuk medefinisi kan secara umum mengenai Surat Keputusan sebagai sebuah surat yang dikeluarkan orang atau lembaga/badan yang yang berwenang untuk menerbitkan keputusan tersebut yang bersifat mengatur atau memutuskan sesuatu yang membawa suatu akibat tertentu bagi anda atau orang lain. Jika kita mencermati ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata di atas, sepanjang suatu surat atau “dokumen”, baik itu berupa Surat Perjanjian maupun Surat Keputusan, yang didalamnya memuat klausula yang mengandung suatu kewajiban (prestasi) untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu, maka apapun namanya, “dokumen” tersebut telah melahirkan sebuah perikatan . Sehingga dapat dituntut pemenuhannya di muka pengadilan secara perdata, apabila tidak dilaksanakan sesuai dengan apa yang tercantum di dalamnya. Tentang wanprestasi Mengenai wanprestasi, Subekti berpendapat bahwa wanprestasi atau perbuatan cidera/ingkar janji ( breach of contract ) berasal dari bahasa Belanda yang artinya “prestasi” yang buruk dari seorang debitur (atau orang yang berhutang) dalam melaksanakan suatu perjanjian. Lebih lanjut, menurut pendapat Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian , penerbit PT Intermasa, halaman 45, w anprestasi seorang debitur dapat berupa: a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya. b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan. c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat. d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Masih menurut pendapat Subekti, hukuman bagi debitur yang lalai (wanprestasi) adalah: Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi; Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian. Peralihan resiko. Jadi, manakala suatu Surat Keputusan yang didalamnya mengandung suatu kewajiban (prestasi) untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu tidak dilaksanakan sesuai dengan apa tersebut di dalamnya, maka keadaan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai wanprestasi atau breach of contract yang dapat dituntut pemenuhannya secara hukum. Demikian jawaban saya. Semoga bermanfaat dan memberikan pencerahan bagi anda. Dasar hukum: Kitab Undang Undang Hukum Perdata [1] Pasal 1234 KUHPerdata [2] Pasal 1367 ayat 2 KUH Perdata [3] Pasal 1354 KUH Perdata [4] Pasal 1365 KUH Perdata wanprestasi perjanjian hukumonline perdata hukum kuhperdata klinik hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah Keputusan Direktur PDAM termasuk Keputusan Tata Usaha Negara? Hal ini saya tanyakan berkaitan dengan adanya pemecatan seorang pegawai PDAM tanpa melalui teguran sama sekali. Dan berkaitan dengan pertanyaan tersebut di atas, ke mana mantan pegawai PDAM ini dapat mengajukan gugatannya, apakah ke Pengadilan TUN atau Pengadilan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial? Mohon jawabannya, terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Keputusan Tata Usaha Negara (“KTUN”) adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (lihat Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara –“ UU PTUN ”). KLINIK TERKAIT 3 Mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial 20 Okt 2022 Hukumnya Jika di-PHK Karena Datang Terlambat 26 Apr 2021 Bolehkah Mem-PHK Pekerja yang Sakit? 29 Jun 2011 Mekanisme dan Dasar Hukum Menuntut PNS yang Tidak Profesional 07 Jul 2010 Dalam Pasal 1 angka 10 UU PTUN disebutkan bahwa; “ Sengketa Tata Usaha Negara (“TUN”) yang masuk dalam ruang lingkup Pengadilan Tata Usaha Negara (“PTUN”) adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. ” Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Namun, sejak diberlakukannya UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”) dan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”) , semua sengketa terkait pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara , maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain (lihat Pasal 150 UUK ) tunduk pada UUK dan perselisihannya diselesaikan di Pengadilan Hubungan Industrial (“PHI”). Hal ini ditegaskan pula oleh Juanda Pangaribuan , penulis buku “ Kedudukan Dosen Dalam Hukum Ketenagakerjaan ” yang juga hakim di Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta. Menurut Juanda, surat Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) yang dikeluarkan Direktur Perusahaan Daerah Air Minum (“PDAM”) bukanlah KTUN dan dalam hal akan diajukan gugatan terhadap PHK tersebut, harus diajukan ke PHI. Selain itu dalam Pasal 1 angka 7 UU PPHI juga disebutkan bahwa perusahaan yang termasuk dalam lingkup UU PPHI adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dalam hal ini, PDAM adalah Badan Usaha Milik Daerah yang bergerak di bidang pelayanan air minum (lihat Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 2007 tentang Organ dan Kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum ). Jadi, berdasarkan yang kami paparkan di atas, sengketa pemutusan hubungan kerja dalam PDAM tetap harus diselesaikan melalui PHI. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Catatan editor: Klinik Hukum meminta pendapat Juanda Pangaribuan melalui sambungan telepon pada 21 Agustus 2011. Dasar hukum : 1. Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No . 8 Tahun 1974 t entang Pokok-Pokok Kepegawaian 2. Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara 3. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 2007 tentang Organ dan Kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ."
} |
{
"from": "human",
"value": "Siapa saja yang bisa menjadi advokat? Saya fresh graduate pada Februari 2023 dari salah satu universitas di Jakarta dengan jurusan Hukum Keluarga dan berminat untuk mengikuti PKPA nantinya. Saat ingin menjadi advokat, apakah bisa magang di kantor advokat tanpa mengikuti PKPA terlebih dahulu? Adakah syarat menjadi advokat magang?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU Advokat, syarat menjadi advokat, antara lain:\nWarga negara Republik Indonesia.Bertempat tinggal di Indonesia.Tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara.Berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun.Berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum.Lulus ujian yang diadakan oleh organisasi advokat.Magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor advokat.Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.Berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.\nPelaksanaan Magang Calon Advokat\n\nSebagaimana disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa baik magang di kantor advokat dan lulus PKPA adalah syarat menjadi advokat yang wajib dipenuhi. Lebih lanjut, tujuan dari magang advokat adalah agar calon advokat dapat memiliki pengalaman praktis yang mendukung kemampuan, keterampilan, dan etika dalam menjalankan profesinya.[4]\n\nMagang advokat dilakukan di kantor advokat sebelum calon advokat diangkat sebagai advokat. Magang tidak harus dilakukan pada satu kantor advokat, namun yang penting bahwa magang tersebut dilakukan secara terus menerus dan sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun.\n\nAturan mengenai kantor advokat diatur dalam Pasal 1 Peraturan PERADI 1/2015 yang menerangkan ketentuan berikut:\n\nKantor Advokat yang dapat menerima magang adalah Kantor Advokat yang memenuhi syarat-syarat di bawah ini:\n\nDidirikan oleh seorang atau lebih advokat yang terdaftar dalam buku daftar anggota PERADI.Tersedianya advokat yang dapat menjadi Advokat Pendamping untuk para Calon Advokat yang melaksanakan magang.Bersedia menerbitkan surat keterangan magang yang isinya menjelaskan bahwa Calon Advokat telah melaksanakan magang di Kantor Advokat dan menerangkan jangka waktu magang Calon Advokat.Apabila diminta, bersedia memberikan bukti-bukti bahwa Calon Advokat telah melaksanakan magang di Kantor Advokat.\n\nCalon advokat yang hendak menjalani magang advokat wajib mengajukan permohonan magang kepada kantor advokat yang memenuhi persyaratan tersebut dalam Pasal 1 di atas dengan tembusan surat disampaikan kepada Dewan Pimpinan Nasional PERADI.[5]\n\nAdapun calon advokat yang hendak menjalani magang harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:[6]\n\nWarga Negara Indonesia.Bertempat tinggal di Indonesia.Tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara.Lulusan pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU Advokat. Adapun lulusan yang dimaksud adalah lulusan fakultas hukum, fakultas syariah, perguruan tinggi hukum militer, dan perguruan tinggi ilmu kepolisian.[7]\n\nSepanjang penelusuran kami, lulus PKPA memanglah syarat menjadi advokat. Namun, sebagaimana diterangkan dalam persyaratan di atas, tidak disebutkan bahwa calon advokat harus mengikuti PKPA terlebih dahulu untuk menjalani magang.\n\nDengan kata lain, magang bisa dilakukan tanpa mengikuti PKPA terlebih dahulu. Tapi sebaiknya jika Anda memang berminat menjadi advokat nantinya, sebaiknya Anda mengikuti PKPA selama proses magang tersebut.\nDemikian jawaban dari kami perihal syarat daftar menjadi advokat magang sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/13147/undangundang-nomor-18-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_18_2003)\n2. [Peraturan PERADI Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Magang untuk Calon Advokat](http://www.peradi.or.id/index.php/profil/detail/23)\nPUTUSAN\n\nPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 95/PUU-XIV/2016.\n\n[1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU 18/2003”)[2] Pasal 2 ayat (1) UU Advokat jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 95/PUU-XIV/2016[3] Pasal 2 ayat (2) dan (3) UU Advokat[4] Penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf g UU Advokat[5] Pasal 5 ayat (1) Peraturan PERADI Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Magang untuk Calon Advokat (“Peraturan PERADI 1/2015”)[6] Pasal 5 ayat (2) Peraturan PERADI 1/2015[7] Penjelasan Pasal 2 UU Advokat"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah tabungan yang didapatkan dari hasil gaji dari suami istri merupakan harta gono gini? Misalkan gaji A = Rp10 juta dan B = Rp30 juta, jadi Rp40 juta merupakan tabungan mereka dan merupakan harta gono gini? Atau tetap terpisah menjadi harta masing-masing?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami perlu berasumsi bahwa pasangan suami istri dalam cerita Anda tidak membuat perjanjian perkawinan sebelumnya dan pasangan suami istri tersebut beragama Islam sehingga ketentuan mengenai pembagian harta gono gini mengacu pada ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam Indonesia (“KHI”) . Sebelumnya Anda perlu mengetahui bahwa berdasarkan Pasal 128 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) dan Pasal 971 KHI, jika pada saat perkawinan tidak ada perjanjian pernikahan untuk pemisahan harta, maka harta bawaan masing-masing suami atau istri akan dibagi dua sama rata di antara keduanya. KLINIK TERKAIT Apakah Utang Istri Menjadi Tanggung Jawab Suami? 09 Feb 2023 Kedudukan Mahar dalam Pernikahan sebagai Harta Bersama, Tepatkah? 02 Jun 2022 Perjanjian Pisah Harta Dibuat Setelah Perkawinan, Bolehkah? 09 Nov 2016 Risiko Hukum Perceraian Pada Perkawinan di Usia Sekolah 17 Okt 2013 Kemudian Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Dengan demikian, tabungan yang diperoleh sepasang suami istri selama pernikahan merupakan harta bersama. Oleh karena itu, terkait dengan pertanyaan Anda dan berpedoman kepada pasal-pasal di atas, maka tabungan suami istri tersebut menjadi milik berdua yang dibagi sama rata. Apabila terjadi suatu perceraian, maka pembagian harta bersama (harta gono gini) diatur menurut hukum masing masing ( Pasal 37 UU Perkawinan ). Yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Apabila para pihak beragama Islam, maka ketentuannya tunduk pada hukum Islam yakni yang tertuang dalam Pasal 97 KHI yang berbunyi: “Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.” Jadi, dari bunyi pasal tersebut dapat diketahui bahwa pembagian tabungan yang termasuk dalam harta bersama itu adalah setengah dimiliki oleh istri dan setengah lagi dimiliki oleh suami. Dengan demikian, terkait dengan cerita Anda, pembagian tabungan yang termasuk harta bersama itu adalah Rp. 40 juta dibagi dua sehingga suami dan istri masing-masing mendapatkan Rp. 20 juta. Sebagai referensi, Anda dapat juga membaca artikel yang berjudul Pembagian Harta Gono Gini . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek ) Staatsblad Nomor 23 Tahun 1847 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 3. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam Referensi 1. Warisan dan Harta Gono Gini - http://huku.mn/3839b8 2. Pembagian Harta Gono Gini - http://huku.mn/3839bc 3. Gugatan Gono Gini ke Pengadilan Negeri Para Pihak Islam - http://huku.mn/3839be harta bersama"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah benar jika saya punya hak milik atas tanah, atau izin usaha untuk memakai tanah, tapi tanah tersebut tidak dimanfaatkan, maka tanah tersebut akan diambil oleh negara? Apakah tanah itu termasuk tanah terlantar? Jika iya, berapa lama jangka waktu suatu tanah dikatakan terlantar?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Kondisi tanah yang Anda maksud dapat dikategorikan sebagai kawasan telantar dan tanah telantar yang diatur di dalam PP 20/2021.\nKawasan telantar adalah kawasan nonkawasan hutan yang belum dilekati hak atas tanah yang telah memiliki izin/konsesi/perizinan berusaha, yang sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, dan/atau tidak dimanfaatkan.[1]\n\nAdapun tanah telantar adalah tanah hak, tanah hak pengelolaan, dan tanah yang diperoleh berdasarkan dasar penguasaan atas tanah, yang sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara.[2]\n\nSementara, pengertian tanah terlantar dalam UU PA diatur di dalam Pasal 27 yang berbunyi:\n\nTanah diterlantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaanya atau sifat dan tujuan daripada haknya.\n\nDengan demikian, dapat kami sampaikan bahwa setiap pemegang izin/konsesi/perizinan berusaha wajib mengusahakan, mempergunakan, dan/atau memanfaatkan izin/konsesi/perizinan berusaha dan/atau kawasan yang dikuasai.[3] Kewajiban serupa juga berlaku bagi setiap pemegang hak, pemegang hak pengelolaan, dan pemegang dasar penguasaan atas tanah.[4]\nKriteria Tanah Terlantar\n\nApabila kawasan nonkawasan hutan yang belum dilekati hak atas tanah yang telah memiliki izin/konsesi/perizinan berusaha sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, dan/atau tidak dimanfaatkan, maka kawasan tersebut menjadi objek penertiban kawasan telantar.[5]\n\nObjek penertiban kawasan telantar meliputi:[6]\n\nkawasan pertambangan;kawasan perkebunan;kawasan industri;kawasan pariwisata;kawasan perumahan/permukiman skala besar/terpadu; ataukawasan lain yang pengusahaan, penggunaan, dan/atau pemanfaatannya didasarkan pada izin/konsesi/perizinan berusaha yang terkait dengan pemanfaatan tanah dan ruang.\n\nSedangkan bagi tanah yang telah terdaftar atau belum terdaftar yang sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara, maka menjadi objek penertiban tanah telantar.[7]\n\nObjek penertiban tanah telantar meliputi tanah:[8]\n\nhak milik, jika dengan sengaja tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara sehingga:[9]dikuasai oleh masyarakat serta menjadi wilayah perkampungan;dikuasai oleh pihak lain secara terus-menerus selama 20 tahun tanpa adanya hubungan hukum dengan pemegang hak; ataufungsi sosial hak atas tanah tidak terpenuhi, baik pemegang hak masih ada maupun sudah tidak ada;hak guna bangunan (“HGB”), hak pakai, dan hak pengelolaan, jika dengan sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara terhitung mulai 2 tahun sejak diterbitkannya hak;[10]hak guna usaha (“HGU”), jika dengan sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, dan/atau tidak dimanfaatkan terhitung mulai 2 tahun sejak diterbitkannya hak;[11] dantanah yang diperoleh berdasarkan dasar penguasaan atas tanah jika dengan sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara terhitung mulai 2 tahun sejak diterbitkannya dasar penguasaan atas tanah.[12]\n\nDengan demikian, jangka waktu tanah terlantar untuk hak milik adalah apabila tidak digunakan, dimanfaatkan, dan/atau dipelihara dalam kurun waktu 20 tahun; HGB, hak pakai, hak pengelolaan, dan HGU adalah 2 tahun sejak diterbitkan/dikeluarkannya hak; dan tanah yang diperoleh berdasarkan dasar penguasaan atas tanah adalah 2 tahun sejak diterbitkannya dasar penguasaan tanah.\n\nNamun, ada pengecualian objek penertiban tanah terlantar atas tanah hak pengelolaan yang mencakup tanah masyarakat hukum adat dan yang jadi aset bank tanah.[13]\nProses Penetapan Kawasan dan Tanah Telantar\n\nSebelum menetapkan status ‘telantar’, terlebih dahulu dilakukan inventarisasi kawasan dan tanah terindikasi telantar.\n\nInventarisasi kawasan terindikasi telantar dilaksanakan oleh pimpinan instansi, yaitu pimpinan lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota yang menerbitkan izin/konsesi/perizinan berusaha sesuai dengan kewenangannya,[14] dari laporan atau informasi pemegang izin/konsesi/perizinan berusaha, instansi itu sendiri, dan/atau masyarakat.[15]\n\nSementara itu, inventarisasi tanah terindikasi telantar dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan, dari laporan atau informasi:[16]\n\npemegang hak, hak pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah;hasil pemantauan dan evaluasi hak atas tanah dan dasar penguasaan atas tanah yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan, Kantor Wilayah, dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN;kementerian/lembaga;pemerintah daerah; dan/ataumasyarakat.\n\nSelanjutnya, dilakukan penertiban kawasan dan tanah telantar dengan tahapan:[17]\n\nevaluasi kawasan dan tanah telantar;peringatan kawasan dan tanah telantar; danpenetapan kawasan dan tanah telantar.\n\nDalam hal hasil evaluasi diketahui sengaja tidak mengusahakan, tidak mempergunakan, dan/atau tidak memanfaatkan izin/konsesi/perizinan berusaha dan/atau kawasannya, pimpinan instansi menyampaikan pemberitahuan ke pemegang terkait dalam jangka waktu paling lama 180 kalender sejak tanggal diterbitkannya pemberitahuan.[18]\n\nJika pemberitahuan tetap tidak diusahakan hingga jangka waktu di atas berakhir, yang bersangkutan akan diberi peringatan tertulis hingga 3 kali.[19] Jika sampai peringatan tertulis ketiga juga tak dilaksanakan, barulah pimpinan instansi menetapkan sebagai kawasan telantar.[20]\n\nPada dasarnya, proses pemberitahuan dan pemberian peringatan tertulis hingga 3 kali itu juga berlaku bagi tanah terindikasi terlantar, jika dari hasil evaluasi diketahui pemegang hak, hak pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah sengaja tidak mengusahakan, tidak mempergunakan, tidak memanfaatkan, dan/atau tidak memelihara tanahnya.[21]\n\nPemegang hak, hak pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak melaksanakan peringatan tertulis ketiga, maka kepala Kantor Wilayah dalam jangka waktu maksimal 30 hari kerja mengusulkan penetapan tanah telantar ke Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN.[22]\nApakah Tanah Telantar Menjadi Milik Negara?\n\nSetelah suatu tanah ditetapkan sebagai kawasan telantar, maka penetapan memuat juga:[23]\n\npencabutan izin/konsesi/perizinan berusaha; dan/ataupenegasan sebagai kawasan yang dikuasai langsung oleh negara.\n\nSedangkan untuk tanah telantar, dalam penetapannya dimuat juga:[24]\n\napabila tanah telantar berupa tanah hak atau tanah hak pengelolaan dan merupakan keseluruhan hamparan:\n\nhapusnya hak atas tanah atau hak pengelolaan;putusnya hubungan hukum; danpenegasan sebagai tanah negara bekas tanah telantar yang dikuasai langsung oleh negara.\n\napabila tanah telantar berupa tanah hak atau tanah hak pengelolaan dan merupakan sebagian hamparan:\n\nhapusnya hak atas tanah atau hak pengelolaan pada bagian yang ditelantarkan;putusnya hubungan hukum antara pemegang hak atau hak pengelolaan dengan bagian tanah yang ditelantarkan;penegasan sebagai tanah negara bekas tanah telantar yang dikuasai langsung oleh negara terhadap bagian tanah yang ditelantarkan; danperintah untuk melakukan revisi luas hak atas tanah atau hak pengelolaan.\n\napabila tanah telantar merupakan tanah dengan dasar penguasaan atas tanah:\n\npemutusan hubungan hukum dengan pemegang dasar penguasaan atas tanah; danpenegasan sebagai tanah negara bekas tanah telantar yang dikuasai langsung oleh negara.\n\nSehingga, benar jika Anda memiliki hak atau izin usaha atas tanah/kawasan namun tidak digunakan, diusahakan, dimanfaatkan, dan/atau dirawat sebagaimana mestinya, maka tanah itu dapat ditetapkan sebagai tanah/kawasan telantar yang kemudian dikuasai langsung oleh negara. Selain itu, izin usaha Anda akan dicabut dan hak atas tanah yang ditelantarkan tersebut dihapus, sehingga akan diputus hubungan hukum antara tanah dengan Anda.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria](Data Kepolisian /pusatdata/detail/249/undangundang-nomor-5-tahun-1960?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_pokok_agraria)\n2. [Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt603231861269d?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_20_2021)\n[1] Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar (“PP 20/2021”)[2] Pasal 1 angka 2 PP 20/2021[3] Pasal 2 ayat (1) PP 20/2021[4] Pasal 4 ayat (1) PP 20/2021[5] Pasal 3 ayat (1) PP 20/2021[6] Pasal 6 PP 20/2021[7] Pasal 5 ayat (1) PP 20/2021[8] Pasal 7 ayat (1) PP 20/2021[9] Pasal 7 ayat (2) PP 20/2021[10] Pasal 7 ayat (3) PP 20/2021[11] Pasal 7 ayat (4) PP 20/2021[12] Pasal 7 ayat (5) PP 20/2021[13] Pasal 8 PP 20/2021[14] Pasal 1 angka 14 jo. Pasal 9 ayat (1) PP 20/2021[15] Pasal 9 ayat (3) PP 20/2021[16] Pasal 11 ayat (1) dan (3) PP 20/2021[17] Pasal 14 dan Pasal 22 ayat (2) PP 20/2021[18] Pasal 15 ayat (5) PP 20/2021[19] Pasal 15 ayat (6) dan Pasal 17 PP 20/2021[20] Pasal 20 ayat (1) PP 20/2021[21] Pasal 23 ayat (3) dan (5), dan Pasal 25 PP 20/2021[22] Pasal 27 jo. Pasal 29 PP 20/2021[23] Pasal 20 ayat (2) PP 20/2021[24] Pasal 30 ayat (1), (2), dan (3) PP 20/2021"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah eksistensi TAP MPR dapat dipersamakan dengan UUD atau dengan UU ketika adanya kejelasan kedudukan TAP MPR dalam hirarki peraturan perundang-undangan?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Kewenangan Lembaga Membentuk Peraturan Perundang-undangan 06 Sep 2023 Bolehkah PERPPU Memuat Sanksi Pidana Seperti Halnya UU? 19 Jan 2015 Apakah Keberlakuan UU Harus Menunggu Peraturan Pelaksananya Terbit? 15 Des 2014 Undang-Undang Dicabut, Apakah Peraturan Pelaksanaannya Masih Berlaku? 26 Mei 2014 Terima kasih atas pertanyaan Anda. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Intisari: Adanya kejelasan kedudukan TAP MPR yang kini tertuang dalam UU 12/2011 tidak serta merta menjadikan kedudukan TAP MPR dapat dipersamakan dengan UUD 1945 atau UU. Hal ini karena Kedudukan TAP MPR ditetapkan secara hierarkis berada di bawah UUD 1945 dan di atas UU. Memang UU 12/2011 pernah dimohonkan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi agar kedudukan TAP MPR itu setara dengan Undang-undang, namun MK menolak permohonan uji materiil ini. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Kedudukan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (“TAP MPR”) Guna menjawab pertanyaan Anda, terlebih dahulu kita perlu memahami kedudukan TAP MPR. TAP MPR merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang dapat kita ketahui kedudukannya pada hierarki peraturan perundang-undangan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 12/2011”) : Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dalam Penjelasan Umum UU 12/2011 antara lain disebutkan bahwa sebagai penyempurnaan terhadap undang-undang sebelumnya, terdapat materi muatan baru yang ditambahkan dalam UU 12/2011 yaitu penambahan TAP MPR sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan setelah Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”). Di samping itu, UUD 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. [1] Oleh karena itu menurut hemat kami, TAP MPR tidak dapat dipersamakan dengan UUD 1945. Dari hierarki ini juga dapat kita ketahui bahwa TAP MPR berada di bawah UUD 1945 dan di atas undang-undang (“UU”). Menjawab pertanyaan Anda, adanya kejelasan kedudukan TAP MPR yang kini tertuang dalam UU 12/2011 berarti TAP MPR tidak dapat dipersamakan dengan UUD 1945 atau UU. Hal ini karena Kedudukan TAP MPR ditetapkan secara hierarkis berada di bawah UUD 1945 dan di atas UU. Sebagai tambahan referensi Anda dapat membaca artikel Lembaga Mana yang Berwenang Menguji TAP MPR? Memang UU 12/2011 ini pernah diuji materiil agar TAP MPR disamakan kedudukannya dengan undang-undang, namun Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor 86/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa permohonan para Pemohon tidak dapat diterima. Mahkamah Konstitusi tidak menerima karena menilai posita dan petitum permohonan Pemohon tidak jelas dan tidak konsisten. Kedudukan Tap MPR Pernah Diperdebatkan Saat i tu , TAP MPR memang telah disepakati untuk dimasukkan ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan, tetapi Pemerintah dan DPR belum sepakat mengenai posisi TAP MPR dalam hierarki tersebut. Dalam artikel TAP MPR Akan Dihidupkan Kembali Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar (yang menjabat saat itu) berpandangan bahwa TAP MPR diletakkan di atas UUD 1945. Ia berargumentasi bahwa pengesahan perubahan UUD 1945 melalui Ketetapan MPR sehingga menurutnya wajar saja bila TAP MPR diletakan di atas UUD 1945. Namun ada juga yang berpandangan bahwa UUD 1945 merupakan norma hukum tertinggi di Indonesia jadi tidak mungkin TAP MPR bisa melewati UUD 1945. Dalam artikel Jika UU Bertentangan dengan TAP MPR, Ke Mana Mengujinya? , juga terdapat beberapa pendapat terkait kedudukan TAP MPR dalam UU 12/2011. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Jimly Asshiddiqie menyatakan sebenarnya penempatan TAP MPR di atas UU adalah keliru. Menurutnya, TAP MPR seharusnya sederajat dengan UU sehingga bisa dibatalkan jika bertentangan dengan konstitusi melalui pengujian ke MK. Dalam artikel yang sama, pendapat senada juga dikemukakan Pengajar Ilmu Peraturan Perundang-undangan Universitas Indonesia Sonny Maulana Sikumbang , yang menilai masuknya TAP MPR ke dalam hierarki merupakan langkah mundur. Karena, menurut Sonny, dahulu TAP MPR sudah dikeluarkan dari hierarki peraturan perundang-undangan. Sonny menilai kembalinya TAP MPR ke dalam hierarki lebih kental muatan politisnya daripada ilmiahnya (baca Tarik Menarik dalam Menyusun Hierarki Peraturan Perundang-undangan ). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Dasar 1945 ; 2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan . PUTUSAN Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-XI/2013 . [1] Pasal 3 ayat (1) UU 12/2011 majelis permusyawaratan rakyat hukumonline undang-undang uud 1945 hukum klinik tap mpr klinik hukumonline hierarki"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah tas mewah seharga miliaran rupiah juga dapat dikenakan pajak barang mewah?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Seluk Beluk Penghasilan yang Tidak Kena PPh 07 Nov 2023 Apakah Undian Gratis Berhadiah via Online Dipotong Pajak? 05 Jun 2023 Ini Syarat Barang Pribadi yang Tidak Kena Bea Cukai 27 Mar 2023 Hukum Menjual Barang KW 08 Mar 2017 Intisari: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan terhadap: a. penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya; dan b. impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah. Kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah itu berupa kendaraan bermotor serta barang lain selain kendaraan bermotor, antara lain seperti: hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house , dan sejenisnya (senilai tertentu); kelompok kapal pesiar mewah, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan umum; kelompok senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara. Tas mewah bernilai miliaran rupiah tidak termasuk ke dalam kelompok barang yang kena pajak penjualan atas barang mewah. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (“UU 8/1983”) yang telah diubah beberapa kali, terakhir diubah oleh Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (“UU 42/2009”) . Di samping pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah juga dikenakan terhadap: [1] a. penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya; dan b. impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah itu dilakukan dengan pertimbangan bahwa: [2] a. perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi; b. perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak yang tergolong mewah; c. perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional; dan d. perlu untuk mengamankan penerimaan negara. Yang dimaksud dengan ” Barang Kena Pajak yang tergolong mewah ” adalah: [3] 1. barang yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok; 2. barang yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; 3. barang yang pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; dan/atau 4. barang yang dikonsumsi untuk menunjukkan status. Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah. [4] Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah ditetapkan paling rendah 10% dan paling tinggi 200%. [5] Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Ketentuan mengenai kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (“PP 41/2013”) sebagaimana diubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (“PP 22/2014”) . [6] Lalu bagaimana dengan tas? Ketentuan mengenai jenis barang selain kendaraan bermotor yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.010/2017 Tahun 2017 tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PMK 35/2017”) . [7] Berikut barang-barang kena pajak yang tergolong mewah selain kendaraan bermotor: 1. Daftar jenis barang kena pajak yang tergolong mewah selain kendaraan bermotor yang dikenai pajak penjualan atas barang mewah dengan tarif sebesar 20%, yaitu: [8] Kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house , dan sejenisnya: a. Rumah dan town house dari jenis nonstrata title dengan harga jual sebesar Rp20 miliar atau lebih. b. Apartemen, kondominium, town house dari jenis strata title, dan sejenisnya dengan harga jual sebesar Rp10 miliar atau lebih. 2. Daftar jenis barang kena pajak yang tergolong mewah selain kendaraan bermotor yang dikenai pajak penjualan atas barang mewah dengan tarif sebesar 40%, yaitu: [9] a. Kelompok balon udara dan balon udara yang dapat dikemudikan, pesawat udara lainnya tanpa tenaga penggerak. b. Kelompok peluru senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara: Peluru dan bagiannya, tidak termasuk peluru senapan angin. 3. Daftar jenis barang kena pajak yang tergolong mewah selain kendaraan bermotor yang dikenai pajak penjualan atas barang mewah dengan tarif sebesar 50%, yaitu: [10] a. Kelompok pesawat udara selain yang tercantum di atas, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan udara niaga: - Helikopter; - Pesawat udara dan kendaraan udara lainnya selain helikopter. b. Kelompok senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara: - Senjata artileri; - Revolver dan pistol; - Senjata api selain (senjata artileri, revolver dan pistol) dan peralatan semacam itu yang dioperasikan dengan penembakan bahan peledak. 4. Daftar jenis barang kena pajak yang tergolong mewah selain kendaraan bermotor yang dikenai pajak penjualan atas barang mewah dengan tarif sebesar 75%, yaitu: [11] Kelompok kapal pesiar mewah, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan umum: a. Kapal pesiar, kapal ekskursi, dan kendaraan air semacam itu terutama dirancang untuk pengangkutan orang, kapal feri dari semua jenis, kecuali untuk kepentingan negara atau angkutan umum; b. Yacht , kecuali untuk kepentingan negara atau angkutan umum. Jadi berdasarkan uraian di atas, tas mahal yang Anda maksud tidak termasuk ke dalam kelompok barang kena pajak yang tergolong mewah selain kendaraan bermotor yang dikenai pajak penjualan atas barang mewah. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang telah diubah beberapa kali, terakhir diubah oleh Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana diubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ; 3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.010/2017 Tahun 2017 tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah . [1] Pasal 5 ayat (1) UU 42/2009 [2] Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU 42/2009 [3] Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU 42/2009 [4] Pasal 5 ayat (2) UU 42/2009 [5] Pasal 8 ayat (1) UU 42/2009 [6] Pasal 8 ayat (3) UU 42/2009 [7] Lampiran PMK 35/2017 [8] Lampiran I PMK 35/2017 [9] Lampiran II PMK 35/2017 [10] Lampiran III PMK 35/2017 [11] Lampiran IV PMK 35/2017 pajak mobil mewah hak asasi manusia hibah klinik hukumonline hadiah barang mewah rumah suap gratifikasi hukumonline apartemen ditjen pajak korupsi google ppnbm hukum klinik hunian"
} |
{
"from": "human",
"value": "Kalau mendirikan pabrik pengolahan daun tembakau menjadi produk setengah jadi yang akan dijual langsung ke pabrik rokok sebagai bahan baku pembuatan rokok, apakah pabrik pengolahan daun tembakau tersebut juga dibebankan bea cukai hasil tembakau? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Barang Kena Cukai atas Tembakau Iris Sebelumnya, pengolahan daun tembakau untuk dijadikan sebagai produk setengah jadi tersebut dapat dianggap sebagai tembakau iris (“TIS”) yang merupakan barang kena cukai. Hal ini ditegaskan oleh Hery Rusdaman , Kepala Seksi Informasi Kepabeanan dan Cukai Kanwil Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Khusus Kepulauan Riau. TIS adalah tembakau yang dibuat dari daun tembakau yang dirajang, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya. [1] TIS termasuk barang kena cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai , yang berbunyi: Hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris , dan hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan digunakan atau tidak bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatan . Tarif Cukai TIS Adapun batasan harga jual eceran per batang atau gram dan tarif cukai per batang atau gram hasil TIS buatan dalam negeri, dengan ketentuan sebagai berikut: [2] TIS yang Tidak Dipungut Cukai Akan tetapi, patut dicatat bahwa cukai tidak dipungut atas barang kena cukai terhadap TIS yang dibuat dari tembakau hasil tanaman di Indonesia yang : [3] tidak dikemas untuk penjualan eceran; atau dikemas untuk penjualan eceran dengan bahan pengemas tradisional yang lazim dipergunakan. TIS tidak dipungut cukai , sepanjang memenuhi persyaratan : [4] dalam pembuatannya tidak dicampur atau ditambah dengan tembakau yang berasal dari luar negeri atau bahan lain yang lazim dipergunakan dalam pembuatan hasil tembakau; dan/atau pada kemasannya ataupun tembakau irisnya tidak dibubuhi merek dagang, etiket, atau yang sejenis itu. Hery Rusdaman juga menegaskan, jika langsung dijual ke konsumen sebagai produk jadi, maka TIS wajib dibayar cukainya. Namun jika TIS dikirim ke pabrik rokok sebagai bahan baku atau bahan penolong di mana produk akhirnya itu barang kena cukai dalam hal ini rokok, maka TIS tersebut tidak dipungut cukai . [5] Barang kena cukai yang digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong tidak dipungut cukai, karena cukainya akan dikenai terhadap barang hasil akhir , seperti etil alkohol yang digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan minuman yang mengandung etil alkohol atau sebagai bahan penolong dalam pembuatan hasil tembakau. [6] Tidak dipungutnya cukai atas barang kena cukai tersebut bertujuan untuk memberikan keringanan kepada masyarakat di beberapa daerah yang membuat barang tersebut secara sederhana dan merupakan sumber mata pencaharian. [7] Sedangkan yang dimaksud dengan \"dikemas untuk penjualan eceran\" adalah dikemas dalam kemasan dengan isi tertentu dengan menggunakan benda yang dapat melindungi dari kerusakan dan meningkatkan pemasarannya. [8] Jadi menjawab pertanyaan Anda, barang kena cukai yang berasal dari pabrik apabila dimasukkan ke dalam pabrik lainnya untuk digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir yang merupakan barang kena cukai, tidak dipungut cukai . [9] Selain itu, Hery Rusdaman menambahkan, dalam cukai ada istilah Tidak Dipungut Cukai dan Pembebasan Cukai , yang sekilas mirip tapi sangat berbeda artinya . Tidak Dipungut Cukai berarti fasilitas yang diberikan bea cukai untuk barang kena cukai yang digunakan sebagai bahan baku/penolong yang hasil akhirnya barang kena cukai. Contoh, etil alkohol sebagai bahan baku minuman mengandung etil alkohol (MMEA). Sedangkan Pembebasan Cukai artinya fasilitas yang diberikan bea cukai untuk barang kena cukai yang digunakan sebagai bahan baku/penolong yang hasil akhirnya bukan barang kena cukai. Contoh, etil alkohol sebagai bahan baku produk kosmetik. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK.010/2018 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/PMK.010/2019 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59/PMK.04/2017 Tahun 2017 tentang Tidak Dipungut Cukai Catatan : Kami telah melakukan wawancara via WhatsApp dengan Kepala Seksi Informasi Kepabeanan dan Cukai Kanwil Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Khusus Kepulauan Riau Hery Rusdaman pada 24 Juli 2020, pukul 11.26 WIB. [1] Pasal 1 angka 13 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK.010/2018 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau [2] Lampiran III No. 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/PMK.010/2019 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau [3] Pasal 8 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (“UU 39/2007”) jo. Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59/PMK.04/2017 Tahun 2017 tentang Tidak Dipungut Cukai (“PMK 59/2017”) [4] Pasal 8 ayat (1) huruf a UU 39/2007 jo . Pasal 2 ayat (2) PMK 59/2017 [5] Pasal 8 ayat (2) huruf d UU 39/2007 [6] Penjelasan Pasal 8 ayat (2) huruf d UU 39/2007 [7] Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU 39/2007 [8] Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU 39/2007 [9] Pasal 12 ayat (1) huruf a PMK 59/2017 hukumonline tembakau pajak klinik hukumonline cukai hukum perpajakan klinik bea cukai Industri dan manufakturing rokok"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah termasuk parkir ilegal apabila seseorang mempunyai usaha yang berbentuk rumah makan dengan lahan miliknya sendiri dan memungut tarif parkir di wilayah usaha tersebut dengan mempekerjakan orang yang dipercaya pengusaha tersebut sebagai juru parkir tanpa memberitahukan kepada instansi pemerintah yang terkait?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Parkir di rumah makan dalam lahan sendiri dapat digolongkan fasilitas parkir sebagai fasilitas penunjang, yaitu pelataran atau taman parkir pendukung. Setiap penyelenggara parkir, wajib mempunyai izin penyelenggaraan parkir. Sebagai contoh, di Jakarta, setiap penyelenggara perparkiran yang memiliki lebih dari 5 (lima) Satuan Ruang Parkir (“SRP”) atau luas area parkir lebih dari 125 m 2 (seratus dua puluh lima meter persegi) wajib memiliki izin dari Gubernur melalui Kepala UP Perparkiran. Jika tidak memiliki izin, dapat dikenakan sanksi administrasi dan denda administrasi. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: Mengenai parkir dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”) beserta peraturan pelaksananya. Parkir adalah keadaan Kendaraan berhenti atau tidak bergerak untuk beberapa saat dan ditinggalkan pengemudinya. [1] Mengenai parkir yang Anda maksudkan, ini dapat dikategorikan sebagai parkir untuk umum. Yang dimaksud dengan \"parkir untuk umum\" adalah tempat untuk memarkir kendaraan dengan dipungut biaya. [2] KLINIK TERKAIT Apakah Mungkin Pemilik Kendaraan Mendapat Ganti Kerugian dari Penabrak dan Perusahaan Asuransi? 22 Sep 2015 Meminta Ganti Rugi Karena Seng Tetangga Terbang dan Merusak Rumah 18 Agt 2015 Bermasalah dengan Pemasangan Tembok Tetangga 06 Agt 2015 Adakah Pidana Jika Menyerempet Pak Ogah di Putaran Jalan? 05 Agt 2015 Pada dasarnya, penyediaan fasilitas parkir untuk umum hanya dapat diselenggarakan di luar Ruang Milik Jalan sesuai dengan izin yang diberikan. [3] Penyelenggaraan fasilitas Parkir di luar Ruang Milik Jalan dapat dilakukan oleh perseorangan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia berupa: [4] a. usaha khusus perparkiran; atau b. penunjang usaha pokok . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengguna Jasa fasilitas Parkir, perizinan, persyaratan, dan tata cara penyelenggaraan fasilitas dan Parkir untuk umum diatur dengan peraturan pemerintah [5] , yaitu Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2013 tentang Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“PP 79/2013”) Dalam PP 79/2013 diatur bahwa fasilitas parkir untuk umum di luar ruang milik jalan dapat berupa taman parkir dan/atau gedung parkir. [6] Penyediaan fasilitas parkir untuk umum di luar ruang milik jalan wajib memiliki izin . [7] Penyelenggaraan fasilitas parkir di luar ruang milik Jalan dapat dilakukan oleh perseorangan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia berupa: [8] a. usaha khusus perparkiran; atau b. penunjang usaha pokok . Pasal 111 PP 79/2013 mengatur bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis fasilitas parkir di dalam dan di luar ruang milik jalan diatur dengan Peraturan Menteri. Peraturan yang dimaksud adalah Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM 66 Tahun 1993 tentang Fasilitas Parkir Untuk Umum (“ Kepmenhub 66/1993 ”). Dalam Kepmenhub 66/1993, yang dimaksud fasilitas parkir untuk umum adalah fasilitas parkir di luar badan jalan berupa gedung parkir atau taman parkir yang diusahakan sebagai kegiatan usaha yang berdiri sendiri dengan menyediakan jasa pelayanan parkir untuk umum. [9] Akan tetapi, pengertian ini diperluas dalam peraturan pelaksananya, yaitu Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Nomor: 272/HK.105/DRJD/96 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Fasilitas Parkir (“ Keputusan Dirjenhub 272/1996 ”) Dalam Lampiran Keputusan Dirjenhub 272/1996, yang dimaksud dengan fasilitas parkir di luar badan jalan ( off street parking ) adalah fasilitas parkir kendaraan di luar tepi jalan umum yang dibuat khusus atau penunjang kegiatan yang dapat berupa tempat parkir dan/atau gedung parkir. [10] Fasilitas parkir sebagai fasilitas penunjang adalah tempat yang berupa gedung parkir atau taman parkir yang disediakan untuk menunjang kegiatan pada bangunan utama . [11] Merujuk pada pertanyaan Anda, maka parkir di rumah makan dalam lahan sendiri dapat digolongkan ke dalam fasilitas parkir sebagai fasilitas penunjang. Izin Penyelenggaraan Parkir Penyelenggaraan fasilitas parkir untuk umum pada dasarnya dapat dilakukan oleh pemerintah, badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia. [12] Untuk menyelenggarakan fasilitas parkir untuk umum, badan hukum Indonesia dan warga negara Indonesia harus memiliki izin penyelenggaraan fasilitas parkir untuk umum. [13] Izin penyelenggaraan diberikan oleh: [14] a. Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II, untuk fasilitas parkir untuk umum yang terletak di wilayah Kabupaten/ Kotamadya Daerah Tingkat II; b. Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Riau untuk fasilitas parkir untuk umum di wilayah Kotamadya Administratif Batam; c. Gubernur/Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk fasilitas parkir untuk umum yang terletak di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Untuk memperoleh izin penyelenggaraan fasilitas parkir untuk umum harus memenuhi persyaratan: [15] a. memiliki nomor pokok wajib pajak; b. memiliki akte pendirian perusahaan untuk pemohon yang berbentuk badan hukum Indonesia atau tanda jati diri untuk pemohon warga negara Indonesia; c. memiliki surat izin tempat usaha (SITU); d. memiliki atau menguasai areal tanah yang luasnya sesuai dengan rencana kapasitas parkir kendaraan yang akan disediakan. Penyelenggara fasilitas parkir untuk umum yang telah memperoleh izin, dapat memungut biaya terhadap penggunaan fasilitas parkir yang diusahakannya. [16] Satuan biaya dapat dihitung berdasarkan penggunaan fasilitas parkir per jam, per hari atau perjanjian penggunaan dalam jangka waktu tertentu. [17] Besarnya biaya ditetapkan dengan Peraturan Daerah yang bersangkutan. [18] Jadi pada dasarnya, penyelenggaraan parkir harus mempunyai izin penyelenggaraan. Mengenai izin penyelenggaraan parkir, harus dilihat juga dalam peraturan daerah. Sebagai contoh, di Jakarta mengenai perparkiran diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 5 Tahun 2012 tentang Perparkiran (“ Perda DKI Jakarta 5/2012 ”). Dalam ketentuan Perda DKI Jakarta, penyediaan fasilitas parkir di luar ruang milik jalan, dapat berupa: [19] a. gedung parkir murni; b. gedung parkir pendukung; c. pelataran/taman parkir murni; dan/atau d. pelataran/taman parkir pendukung . Yang dimaksud pelataran/taman parkir pendukung gedung adalah areal tanah yang terletak di luar ruang milik jalan yang digunakan untuk fasilitas parkir sebagai kelengkapan bangunan gedung dan/atau bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan dan/atau usaha pokok. [20] Serupa dengan peraturan-peraturan di atasnya, Perda DKI Jakarta 5/2012 juga mengatur bahwa setiap badan usaha yang akan menyelenggarakan parkir wajib mendapatkan izin terlebih dahulu dari Gubernur . [21] Izin penyelenggaraan parkir tersebut, terdiri dari: [22] a. izin penyelenggaraan parkir dengan memungut biaya parkir; dan b. izin penyelenggaraan parkir dengan tidak memungut biaya parkir. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mendapatkan izin penyelenggaraan parkir diatur dengan Peraturan Gubernur [23] , yaitu Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 102 Tahun 2013 tentang Penyediaan dan Penyelenggaraan Fasilitas Parkir Di Luar Ruang Milik Jalan (“ Pergub DKI Jakarta 102/2013 ”). Terkait gedung parkir pendukung dan/atau taman parkir/pelataran parkir pendukung , terbagi dari 3 (tiga) golongan, yaitu: [24] a. golongan fasilitas parkir mall, toko modern dan/atau hotel; b. golongan fasilitas parkir perkantoran dan/atau apartemen; dan c. golongan fasilitas parkir rumah sakit, pasar, sarana rekreasi dan/atau sarana umum lainnya. Di Jakarta, setiap Penyelenggara yang memiliki lebih dari 5 (lima) Satuan Ruang Parkir [25] (“SRP”) atau luas area parkir lebih dari 125 m 2 (seratus dua puluh lima meter persegi) wajib memiliki izin dari Gubernur melalui Kepala UP Perparkiran. [26] Izin tersebut terdiri dari: [27] a. izin dengan memungut Biaya Parkir; dan b. izin dengan tidak memungut Biaya Parkir. Izin penyelenggaraan parkir ini ditetapkan dengan Keputusan Kepala UP Perparkiran. [28] Penyelenggara yang memiliki izin wajib memasang/melekatkan sticker tanda memiliki izin pada pintu masuk dan pintu keluar fasilitas parkir di luar ruang milik jalan. [29] Merujuk pada ketentuan-ketentuan di atas, jelas bahwa jika lahan parkir pada rumah makan tersebut lebih dari 5 SRP atau luas area parkir lebih dari 125 m 2 , maka pemilik rumah makan yang ingin menyelenggarakan parkir harus memiliki izin penyelenggaraan parkir. Sanksi bagi yang tidak berizin Jika tidak memiliki izin penyelenggaraan parkir, penyelenggara parkir akan dikenai sanksi administratif. [30] Ketentuan lebih rinci mengenai sanksi, dapat dilihat dalam peraturan di masing-masing daerah. Seperti dalam Perda DKI Jakarta 5/2012, penyelenggara perparkiran yang tidak memiliki izin dapat dikenakan sanksi administrasi berupa: [31] a. peringatan tertulis paling banyak 3 (tiga) kali; b. penghentian sementara kegiatan; c. pembatalan izin; dan d. pencabutan izin. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sanksi administratif ini diatur dengan Peraturan Gubernur (Pergub DKI Jakarta 102/2013). [32] Bahkan pihak yang melanggar ketentuan terkait izin ini dapat dikenakan denda administrasi. Setiap orang dan/atau badan hukum atau badan usaha yang menyelenggarakan parkir tidak memiliki izin dari Gubernur, dikenakan sanksi administrasi dan dikenakan denda administrasi paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). [33] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: 1. Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ; 2. Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2013 tentang Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ; 3. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM 66 Tahun 1993 tentang Fasilitas Parkir Untuk Umum; 4. Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Nomor: 272/HK.105/DRJD/96 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Fasilitas Parkir; 5. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 5 Tahun 2012 tentang Perparkiran; 6. Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 102 Tahun 2013 tentang Penyediaan dan Penyelenggaraan Fasilitas Parkir Di Luar Ruang Milik Jalan. [1] Pasal 1 angka 15 UU LLAJ [2] Penjelasan Pasal 43 ayat (1) UU LLAJ [3] Pasal 43 ayat (1) UU LLAJ [4] Pasal 43 ayat (2) UU LLAJ [5] Pasal 43 ayat (4) UU LLAJ [6] Pasal 100 ayat (1) PP 79/2013 [7] Pasal 101 ayat (1) PP 79/2013 [8] Pasal 101 ayat (2) PP 79/2013 [9] Pasal 1 angka 3 Kepmenhub 66/1993 [10] Poin A angka 5 Lampiran Keputusan Dirjenhub 272/1996 [11] Poin D angka 2 huruf b Lampiran Keputusan Dirjenhub 272/1996 [12] Pasal 5 Kepmenhub 66/1993 [13] Pasal 7 huruf a Kepmenhub 66/1993 [14] Pasal 7 huruf b Kepmenhub 66/1993 [15] Pasal 8 Kepmenhub 66/1993 [16] Pasal 11 ayat (1) Kepmenhub 66/1993 [17] Pasal 11 ayat (2) Kepmenhub 66/1993 [18] Pasal 11 ayat (3) Kepmenhub 66/1993 [19] Pasal 6 ayat (1) Perda DKI Jakarta 5/2012 [20] Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf d Perda DKI Jakarta 5/2012 [21] Pasal 21 ayat (1) Perda DKI Jakarta 5/2012 [22] Pasal 21 ayat (2) Perda DKI Jakarta 5/2012 [23] Pasal 24 Perda DKI Jakarta 5/2012 [24] Pasal 9 Pergub DKI Jakarta 102/2013 [25] Satuan Ruang Parkir yang selanjutnya disingkat SRP adalah ukuran luas efektif untuk meletakkan suatu kendaraan termasuk ruang bebas dan lebar bukaan pintu. [26] Pasal 12 ayat (1) Pergub DKI Jakarta 102/2013 [27] Pasal 12 ayat (2) Pergub DKI Jakarta 102/2013 [28] Pasal 12 ayat (5) Pergub DKI Jakarta 102/2013 [29] Pasal 13 Pergub DKI Jakarta 102/2013 [30] Pasal 110 PP 79/2013 [31] Pasal 63 ayat (1) Perda DKI Jakarta 5/2012 [32] Pasal 63 ayat (2) Perda DKI Jakarta 5/2012 [33] Pasal 68 ayat (1) Perda DKI Jakarta 5/2012 klinik hukumonline hukum hukumonline parkir"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah BPJS Ketenagakerjaan wajib bagi TKA? Sedangkan TKA tersebut sudah memiliki asuransi yang sejenis."
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Langkah Jika Surat Keterangan Kerja Tak Kunjung Diberikan 11 Mar 2022 Kewajiban Perusahaan atas Biaya Pemeriksaan Kehamilan dan Persalinan Pekerja 10 Nov 2014 Jaminan Kecelakaan Kerja Pasca Diterbitkannya UU BPJS 09 Mei 2014 Apakah Perusahaan Wajib Menanggung Biaya Pengobatan Anak Karyawan? 30 Apr 2014 Terima kasih untuk pertanyaan Anda. Intisari: Peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (“BPJS”) adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran. Ini artinya, tenaga kerja asing (TKA) yang telah bekerja paling singkat enam bulan di Indonesia wajib ikut serta dalam BPJS. Penjelasan selengkapnya dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (“BJS”) adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. Demikian yang disebut dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (“UU BPJS”) . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Dengan UU BPJS ini dibentuk 2 (dua) BPJS, yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan menyelenggarakan program jaminan kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Siapa saja peserta BPJS itu? Pasal 1 angka 4 UU BPJS berbunyi: “Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran.” Menjawab pertanyaan Anda, ketentuan ini dipertegas kembali dalam Pasal 14 UU BPJS yang menyatakan bahwa setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, wajib menjadi Peserta program Jaminan Sosial. Ini artinya, BPJS Ketenagakerjaan wajib bagi tenaga kerja asing (“TKA”). Dengan demikian, segala ketentuan tentang tata cara pendaftaran dan aturan lainnya soal BPJS Ketenagakerjaan berlaku pula bagi TKA yang bekerja di Indonesia. Selengkapnya mengenai wajibnya keikutsertaan pekerja dalam BPJS terdapat dalam Pasal 15 UU BPJS : (1) Pemberi Kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya sebagai Peserta kepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti. (2) Pemberi Kerja, dalam melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memberikan data dirinya dan Pekerjanya berikut anggota keluarganya secara lengkap dan benar kepada BPJS. (3) Penahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden. Karena sifatnya wajib, meski TKA yang bersangkutan telah memiliki asuransi sama yang sejenis, maka TKA tetap harus terdaftar sebagai peserta BPJS. Yang wajib mendaftarkan pekerjanya adalah pemberi kerja. Jika tidak, ada sejumlah sanksi yang dapat diberlakukan terhadap pemberi kerja tersebut, yakni sanksi administratif sebagaimana disebut dalam Pasal 17 ayat (1) UU BPJS . Sanksi administratif itu dapat berupa [ Pasal 17 ayat (2) UU BPJS ]: a. teguran tertulis; b. denda; dan/atau c. tidak mendapat pelayanan publik tertentu. Yang dimaksud dengan “pelayanan publik tertentu” antara lain pemrosesan izin usaha, izin mendirikan bangunan, bukti kepemilikan hak tanah dan bangunan Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial . tenaga kerja"
} |
{
"from": "human",
"value": "Bagaimana hukum dan peraturannya bila kita bekerja sebagai tenaga catering/outsourcing di luar negeri? Juga apa hak-hak yang akan kita dapat atau harus kita dapatkan? Apakah pekerja tersebut mendapatkan jamsostek (bekerja di negara luar tidak mendapatkan jamsostek) seperti pekerja di negara RI? Karena selama bekerja di perusahaan tersebut (10 tahun) belum pernah mendapatkan jamsostek. Bila perusahaan tersebut seperti itu, apakah bisa dilaporkan? Ke mana dan bagaimana melaporkannya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Berkenaan dengan pertanyaan Saudara, dapat saya jelaskan berurutan, sebagai berikut: KLINIK TERKAIT TKI Meninggal di Luar Negeri, Siapa yang Menanggung Biaya Pemulangannya? 12 Jun 2012 Jika TKW di Luar Negeri Ingin Gugat Pacar di Indonesia 29 Sep 2011 Aturan Memperkerjakan TKA dalam Perusahaan Joint Venture 26 Jul 2011 Aturan Pembayaran Gaji Pekerja Asing yang Direkrut di Luar Negeri 18 Jul 2011 1. Ketentuan h ukum dan peraturan (yang mengatur) mengenai tenaga kerja Indonesia (\"TKI\") yang bekerja di luar negeri secara umum diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (“UU No. 39 Tahun 2004”). Kemudian , secara khusus diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang merupakan ketentuan pelaksanaan undang-undang dimaksud, -antara lain- adalah sebagai berikut: a. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2013 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (“PP No. 3 Tahun 2013”) ; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas b. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri oleh Pemerintah (“PP No. 4 Tahun 2013”) ; c. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per-14/Men/X/2010 Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indone s ia di Luar Negeri (“ Permenakertrans No. Per-14/Men/X/2010 ”) ; d. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per-07/Men/V/2010 tentang Asuransi Tenaga Kerja Indone s ia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Meneteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 01 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per-07/Men/V/2010 tentang Asuransi Tenaga Kerja Indone s ia (“ Permenakertrans No . 07/Men/V/2010 ”) . e. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-262/Men/XI/2010 tentang Penunjukan Pejabat Penerbitan Izin Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri Untuk Kepentingan Perusahaan Sendiri. Dalam peraturan perundang-undangan tersebut, ada beberapa macam cara dan mekanisme penempatan TKI (bekerja) di l uar n egeri, antara lain: a) ada TKI yang bekerja di luar negeri (pada umumnya di sektor informal ) yang dikirimkan melalui PPTKI-S (Pelaksana Penempatan TKI Swasta) yang dulu disebut “PJTKI” ( vide Pasal 12 jo Pasal 10 huruf b UU No. 39 Tahun 2004 ); b) ada juga TKI yang bekerja (pada sektor formal ) yang dikirim (ditempatkan) oleh Lembaga-lembaga Pemerintah, seperti Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI Luar Negeri atau “BNP2TKI” ( vide Pasal 11 jo Pasal 10 huruf a dan Pa s al 94 UU No. 39 Tahun 2004 dan PP No . 4 Tahun 2013 ); c) TKI dapat juga bekerja di LN sebagai TKI mandiri atas dasar calling visa , berdasarkan lamaran sendiri (pada perusahaan-perusahan di luar negeri) melalui jaringan internet ( vide Pasal 52 Permenakertrans No. Per-14/Men/X/2010 ); d) Ada juga TKI bekerja di LN untuk perusahaan sendiri melalui rotasi / reposisi dalam rangka kebutuhan atau pengembangan karir dengan sistem “ intra-corporate transfer “ pada suatu cabang / perwakilan luar negeri atau perusahaan yang tergabung dalam holding company ( Parent Company and Subsidiary ), perusahaan trans-nasional atau perusahaan multi-nasional ( vide Pasal 26 UU No . 3 9 Tahun 200 4 dan Pasal 49 Permenakertrans No. Per-14/Men/X/2010 ). e) Demikian juga TKI bekerja di luar negeri karena adanya hubungan kemitraan dengan perusahaan di luar negeri (atas dasar kemitraan, partnership and business relation yang bersifat temporary dalam waktu singkat), misalnya TKI bekerja sebagai installer atau after sales services (ini dilakukan sesuai asas kebebasan berkontrak). f) Termasuk dalam katagori bekerja di luar negeri, adalah bekerja di kantor-kantor perwakilan -kedutaan atau konsuler- suatu negara sahabat di Indonesia (sebagai host country ), khususnya di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Mengenai hal ini tidak ada pengaturan khusus dalam peraturan perundang-undangan RI. g) Demikian juga, dikualifikasikan sebagai TKI bekerja di luar negeri apabila seseorang (TKI) bekerja di suatu kapal berbendera asing, walau keberadaannya (kapal dimaksud) berada di wilayah perairan (yurisdiksi) Indonesia, NKRI (vide Penjelasan Pasal 28 UU No. 39 Tahun 2004 ). Berbagai macam cara TKI bekerja di luar negeri seperti tersebut di atas, adalah mekanisme yang dilakukan secara formal ( documented ). Ada juga cara lain yang banyak diprakt i kkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung-jawab mengirim TKI ke l uar n egeri secara illegal ( undocumented ). Justru prakt i k yang disebutkan terakhir inilah yang paling rentan dan sangat berpotensi menjadi masalah dan paling sering di ekspos oleh “ m edia”, termasuk TKI yang dipulangkan paksa oleh Pemerintah (Pelita, 11 Desember 2009, hal. 12) . Pertanyaannya, pada kategori mana Saudara bekerja/ditempatkan di l uar n egeri? Setiap kat e gori tersebut, berbeda karakteristik dan persyaratan serta konsek u ensinya. Sayangnya , Saudara tidak menjelaskan (detail) bagaimana Saudara sehingga bekerja (ditempatkan) di luar negeri pada outsou r cing company yang melakukan layanan catering . Apakah melalui pelaksana penempatan ten a ga kerja Indonesia swasta (PPTKI-S) / pelaksana penempatan ten a ga kerja Indonesia pemerintah (PPTKI-P) atau melalui lembaga intra-corporate transfer , atau berangkat sendiri ( calling visa ) ataukah yang jenis lainnya? Selain itu, pertanyaan berikutnya, apakah Saudara yang documented atau undocumented ? Asumsi saya, (mungkin) Saudara dikirim dan ditempatkan oleh perusahaan PPTKI-S yang ada legalitas formalnya ( documented ). 2. Apabila legalitas Saudara adalah TKI formal dan documented , maka dapat saya sampaikan, bahwa secara garis besar hak-hak tenaga kerja Indonesia yang bekerja luar negeri (TKI-LN), yakni ada yang secara umum diatur dalam (diberikan oleh) peraturan perundang-undangan, baik oleh peraturan perundang-undangan Republik Indonesia, maupun (kemungkinan) oleh peraturan perundang-undangan negara tujuan (penempatan), dan ada yang secara khusus diperjanjikan oleh para pihak, khususnya dalam perjanjian kerja antara TKI dengan pengguna TKI . Hak-hak dimaksud, ada hak-hak pra penempatan , hak selama penempatan dan ada juga hak purna penempatan . Demikian juga, hak-hak tersebut sangat erat kaitannya dengan kategori dan mekanisme penempatan TKI di luar negeri (sebagaimana disebutkan di atas). Artinya , berbeda kategori, tentu saja berbeda pula hak-haknya. Terkait dengan pertanyaan Saudara, hak-hak (selama penempatan/bekerja di luar negeri) yang secara umum diatur dalam peraturan perundang-undangan RI yang berlaku bagi TKI yang dikirim melalui PPTKI-S, antara lain: a. Asuransi TKI (selama penempatan/bekerja di luar negeri), meliputi: - Pertanggungan gagal ditempatkan (dikirim ke luar negeri) - Asuransi kematian (meninggal dunia); - Asuransi sakit; - Kecelakaan yang mengakibatkan cacat; - Pemutusan hubungan kerja (PHK) - Asuransi menghadapi masalah hukum; - Jaminan upah tidak dibayar (sesuai perjanjian kerja) - Asuransi pemulangan TKI bermasalah; - Asuransi tindak kekerasan fisik dan/atau seksual; - Asuransi hilangnya akal-budi - Asuransi pindah tempat kerja yang tidak sesuai ketentuan (sebagaimana dimanatkan dalam Pasal 68 ayat [ 1 ] UU No . 39 Tahun 2004 jo Pasal 2 jo Pasal 25 ayat [ 1 ] huruf b dan Pasal 26 ayat [ 4 ] huruf c Permenakertrans No . 07/Men/V/2010 ); Dengan demikian, tidak ada kewajiban bagi perusahaan PPTKI-S untuk mengikut-sertakan TKI-LN yang akan ditempatkan dalam program jamsostek (sesuai UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja seperti layaknya TKI (pekerja/buruh) yang bekerja pada perusahaan-perusahaan Indonesia di dalam negeri. Akan tetapi , hanya diwajibkan untuk mempertanggungkan setiap TKI pada Asuransi TKI sebagaimana tersebut di atas. Walaupun untuk TKI-LN te r tentu, seperti TKI-LN yang dikirim melalui sistem intra-corporate transfer untuk kepentingan perusahaan sendiri harus diikutkan dalam program jamsostek dan/atau asuransi lainnya yang sejenis ( vide Pasal 26 ayat [ 2 ] huruf e UU No . 3 9 Tahun 2004 ). Apabila TKI tidak diikutsertakan dalam program pertanggungan Asuransi TKI, maka PPTKI-S akan bertanggung-jawab dan wajib dikenakan penalty untuk menanggung r i siko terhadap tenaga kerja yang di tempatkan di luar negeri (TKI-LN). Apabila PPTKI-S yang bersangkutan wanprestasi dan/atau mengabaikan tanggung-jawabnya, maka dana deposit yang disetorkan a.n. Menteri Tenaga Kerja akan dicairkan untuk membiayai dan menanggulangi permasalahan yang diderita oleh seseorang TKI bermasalah ( Pasal 13 ayat [ 1 ] huruf c UU No. 39 Tahun 2004 dan Pasal 17 huruf b PP No. 3 Tahun 2013 ). b. Di samping itu, ada bantuan dan perlundungan kekonsuleran (pelaporan kedatangan dan kepulangan) sebagaimana dimaksud Pasal 71 UU No . 39 Tahun 2004 jo Pasal 17 huruf b PP No. 3 Tahun 2013 ; 3. Apabila terdapat PPTKI-S yang tidak mengikut-sertakan TKI-LN yang akan ditempatkan di luar negeri, seharusnya TKI yang bersangkutan tidak diizinkan untuk ditempatkan, karena salah satu syarat uatama penempatan TKI-LN adalah wajib dipertanggungkan pada Asuransi TKI sebagaimana tersebut di atas. Jika (benar-benar) terdapat TKI-LN yang tidak diikutsertakan pada program Asuransi TKI, maka kemungkinan hal itu dilakukan secara illegal ( undocumented ). Hal seperti itu tentu saja dapat dilaporkan kepada instansi yang bertanggung-jawab di bidang ketenagakerjaan, termasuk kepada BNP2TKI, baik di masing-masing “ Dinas “ daerah (Propinsi, Kabupaten/Kota), atau dapat juga dilaporkan langsung kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja 2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri 3. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2013 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri oleh Pemerintah 4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per-14/Men/X/2010 Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indone s ia di Luar Negeri (“ Permenakertrans No. Per-14/Men/X/2010 ”) ; 5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per-07/Men/V/2010 tentang Asuransi Tenaga Kerja Indone s ia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Meneteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 01 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per-07/Men/V/2010 tentang Asuransi Tenaga Kerja Indone s ia (“ Permenakertrans No . 07/Men/V/2010 ”) . 6. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-262/Men/XI/2010 tentang Penunjukan Pejabat Penerbitan Izin Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri Untuk Kepentingan Perusahaan Sendiri. asuransi tki"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa saja hak terkait dalam sebuah novel? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia , yang kami akses melalui laman Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, novel didefinisikan sebagai berikut: K arangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku . Perlu dipahami bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UUHC”) , Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata. Ditinjau dari perlindungan hak cipta terhadap suatu karya, maka n ovel termasuk dalam Ciptaan yang dilindungi , berupa hasil karya tulis. Pasal 40 ayat (1) UUHC menyebutkan bahwa Ciptaan yang dilindungi meliputi Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, terdiri atas: buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya; ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan sejenis lainnya; alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks; drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim; karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase; karya seni terapan; karya arsitektur; peta; karya seni batik atau seni motif lain; karya fotografi; potret; karya sinematografi; terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi; terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modifikasi ekspresi budaya tradisional; kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan Program Komputer maupun media lainnya; kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli; permainan video; dan program komputer. Seorang penulis novel disebut sebagai Pencipta. Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi. [1] Pencipta memiliki dua hak eksklusif sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UUHC yaitu hak moral dan hak ekonomi. Hak moral diatur dalam Pasal 5 UUHC sebagai berikut. Hak moral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 merupakan hak yang melekat secara abadi pada diri Pencipta untuk: tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian Ciptaannya untuk umum; menggunakan nama aliasnya atau samarannya; mengubah Ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat; mengubah judul dan anak judul Ciptaan; dan mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi Ciptaan, mutilasi Ciptaan, modifikasi Ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya. Hak moral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dialihkan selama Pencipta masih hidup, tetapi pelaksanaan hak tersebut dapat dialihkan dengan wasiat atau sebab lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan setelah Pencipta meninggal dunia. Dalam hal terjadi pengalihan pelaksanaan hak moral sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penerima dapat melepaskan atau menolak pelaksanaan haknya dengan syarat pelepasan atau penolakan pelaksanaan hak tersebut dinyatakan secara tertulis. Sementara itu, perihal hak ekonomi diatur dalam Pasal 8 UUHC sebagai berikut: Hak ekonomi merupakan hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan. Kemudian, Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud di atas memiliki hak ekonomi untuk melakukan: [2] Penerbitan Ciptaan; Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya; Penerjemahan Ciptaan; Pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan; Pendistribusian Ciptaan atau salinannya; Pertunjukan Ciptaan; Pengumuman Ciptaan; Komunikasi Ciptaan; dan Penyewaan Ciptaan. Perlu diketahui bahwa setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana disebutkan di atas wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Jika tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta, maka setiap Orang dilarang melakukan Penggandaan dan/atau penggunaan secara komersial ciptaan. [3] Jika pertanyaan Anda di atas adalah terkait dengan “hak terkait” yang ada pada suatu novel, maka dapat saya sampaikan bahwa tidak ada hak terkait pada suatu novel . Hak terkait menurut Pasal 20 UUHC adalah sebagai berikut. Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b merupakan hak eksklusif yang meliputi: hak moral Pelaku Pertunjukan; hak ekonomi Pelaku Pertunjukan; hak ekonomi Produser Fonogram; dan hak ekonomi Lembaga Penyiaran. Tidak ada elemen Pelaku Pertunjukan, Produser Fonogram, maupun Lembaga Penyiaran dalam suatu novel sehingga tidak ada hak terkait pada novel. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta . Referensi : Kamus Besar Bahasa Indonesia , Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, diakses pada tanggal 12 Juli 2019, pukul 10.28 WIB. [1] Pasal 1 angka 2 UUHC [2] Pasal 9 ayat (1) UUHC [3] Pasal 9 ayat (2) dan (3) UUHC hak ekonomi hukumonline hak google hak cipta online buku novel hukum pencipta kekayaan intelektual"
} |
{
"from": "human",
"value": "Adik sepupu saya menikah dengan laki-laki yang selalu membuat adik saya itu stress. Bahkan sampai berenti kerja dan pernah hampir mau minum obat serangga. Sekarang dia minum obat-obatan dari dokter agar tidak stress. Bisakah suaminya dikenakan sanksi karna membuat adik sepupu saya stres? Apa harus adik saya dulu yang lapor? Memang benar kalau suaminya tidak pernah mukul, tapi secara tidak langsungkan itu udah buat pusing adik saya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Kekerasan Dalam Rumah Tangga secara Psikis Sayangnya Anda tidak menjelaskan secara rinci perbuatan seperti apa yang dilakukan oleh suami sehingga membuat istrinya menjadi stres. Untuk itu kami asumsikan si suami melakukan perbuatan yang berdampak pada kondisi psikologis seperti kekerasan verbal atau perbuatan lain yang secara langsung atau tidak langsung memengaruhi kondisi psikologis. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang kami akses melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia stres adalah: gangguan atau kekacauan mental dan emosional yang disebabkan oleh faktor luar; ketegangan. Terganggunya kondisi psikologis pada istri akibat perbuatan suami dapat dikatakan sebagai bentuk kekerasan dalam ruamah tangga (“KDRT”) Kekerasan dalam rumah tangga menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (“UU 23/2004”) ,diartikan sebagai berikut: Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Lingkup rumah tangga dalam UU 23/2004 meliputi: [1] suami, isteri , dan anak; orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Perbuatan suami dari adik sepupu Anda yang mengakibatkan adik Anda stres sehingga berhenti kerja dan hampir memiliki keinginan untuk bunuh diri dapat dikatakan sebagai bentuk kekerasan psikis yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. [2] Perlu diketahui bahwa setiap orang pada dasarnya dilarang untuk melakukan KDRT terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya dengan cara yang salah satunya adalah kekerasan psikis. [3] Jika seseorang melakukan kekerasan psikis maka bisa dikenakan sanksi berdasarkan Pasal 45 UU 23/2004 , yang bunyinya: Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp 9 juta. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah). Apakah KDRT Psikis Delik Aduan atau Delik Biasa? Kemudian menjawab pertanyaan Anda apakah adik Anda (istri) yang harus melaporkan perbuatan suami yang membuatnya menjadi stres sehingga sampai berhenti bekerja? Perlu diketahui bahwa delik KDRT pada Pasal 45 UU 23/2004 dibagi menjadi 2, yaitu: [4] Pasal 45 ayat (2) UU 23/2004 merupakan delik aduan, karena tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari. Pasal 45 ayat (1) UU 23/2004 adalah delik biasa, karena perbuatannya menyebabkan atau menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari. Berdasarkan penjelasan tersebut, perbuatan suami saudara sepupu Anda yang berakibat saudara Anda stress, hingga berhenti kerja, dan hampir memiliki keinginan bunuh diri tersebut memenuhi unsur di Pasal 45 ayat (1) UU 23/2004 yang merupakan delik biasa . Anda sebagai saudara sepupu yang mengetahui KDRT tersebut, dapat langsung melaporkan kejadian ini kepada kepolisian di tempat sauadara Anda (korban) berada maupun di tempat kejadian perkara. [5] Nantinya kepolisian wajib segera melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan tentang terjadinya KDRT psikis tersebut. [6] Dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban. Perlindungan tersebut diberikan kepolisian yang dapat bekerjasama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban. [7] Perlindungan sementara tersebut diberikan paling lama 7 hari sejak korban diterima atau ditangani. [8] Dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak pemberian perlindungan sementara, kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. [9] Contoh Kasus Sebagai contoh kasus dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Tinggi Banten Nomor 30/ PID/ 2016/ PT.BTN (“Putusan PT”) Pada kasus ini terdakwa memaksa korban (istri) untuk menandatangani surat izin poligami, namun ditolak oleh korban. Terdakwa mengancam akan menceraikan korban dengan tidak memberikan harta gono-gini, mengambil hak asuh anak, serta semua usaha atas nama korban apabila menolak menandatangani izin poligami terdakwa. Akibat perbuatan terdakwa tersebut, korban mengalami depresi dengan kondisi perasaan sedih, cemas, gelisah, murung dan melakukan percobaan bunuh diri dengan cara meminum obat secara sekaligus melebihi dosis yang disarankan dokter, sehingga korban dirawat di rumah sakit, di mana dari hasil resume medisnya korban didiagnosis mengalami intoksikasi obat, tentamen suicide (percobaan bunuh diri) et causa (disebabkan) gangguan penyesuain depresi. Selain itu berdasarkan anamnesis dan wawancara psikiatrik, kesimpulannya korban menderita gangguan mental sedang sampai dengan berat. Majelis Hakim pada tingkat pertama melalui Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 1019/ Pid.Sus/2015/ PN.Tng telah menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga berdasarkan Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 5 huruf b UU 23/2004. Atas perbuatannya, terdakwa dipidana dengan pidana penjara selama 5 bulan. Putusan PN tersebut telah dikuatkan oleh Putusan PT yang mempertahankan sanksi yang sama pada Putusan PN karena dirasa telah mencerminkan rasa keadilan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga . Putusan : Putusan Pengadilan Tinggi Banten Nomor 30/ PID/ 2016/ PT.BTN . Referensi: Kamus Besar Bahasa Indonesia , diakses pada Senin 22 Juli 2019, pukul 16.11 WIB. [1] Pasal 2 ayat (1) UU 23/2004 [2] Palal 7 UU 23/2004 [3] Pasal 5 huruf b UU 23/2004 [4] Pasal 52 jo. Pasal 45 ayat (2) UU 23/2004 [5] Pasal 26 UU 23/2004 [6] Pasal 19 UU 23/2004 [7] Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 17 UU 23/2004 [8] Pasal 16 ayat (2) UU 23/2004 [9] Pasal 16 ayat (3) UU 23/2004 hukumonline istri suami kdrt klinik hukumonline kekerasan dalam rumah tangga keluarga dan perkawinan pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Aku memang tidak mengerti tentang hukum, pasal-pasal. Yang menjadi pertanyaan saya: 1. Apakah ini dikategorikan sebagai penggelapan jika seseorang Atasan (seorang lawyer) memberi dengan sukarela uang kepada bawahannya (tanpa ada hitam di atas putih) untuk membantu uang muka pembelian mobil bawahan tersebut? 2. Apakah berhak atasan itu menyangkal, dan menuduh bawahannya menggelapkan dan merugikan diri (atasannya)? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "1. Dari penjelasan Anda, menurut kami, tidak ada pelanggaran maupun kejahatan yang dilakukan oleh karyawan (bawahan) tersebut jika memang uang itu diberikan secara sukarela (cuma-cuma). Karena perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana penggelapan haruslah memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi: KLINIK TERKAIT Mengembalikan Uang yang Digelapkan, Apakah Tetap Dipidana? 03 Jun 2024 Uang Hasil Salah Transfer, Haruskah Dikembalikan? 22 Mar 2024 Apakah Laporan Penggelapan Dapat Dicabut Kembali? 28 Feb 2024 Penggelapan dalam Jabatan, Ranah Pidana atau Perdata? 11 Jan 2024 “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.” Sehingga, yang termasuk penggelapan adalah perbuatan mengambil barang milik orang lain sebagian atau seluruhnya) di mana penguasaan atas barang itu sudah ada pada pelaku, tapi penguasaan itu terjadi secara sah . Misalnya, penguasaan suatu barang oleh pelaku terjadi karena pemiliknya menitipkan barang tersebut . Atau penguasaan barang oleh pelaku terjadi karena tugas atau jabatannya, misalnya petugas penitipan barang. Tujuan dari penggelapan adalah memiliki barang atau uang yang ada dalam penguasannya yang mana barang/uang tersebut pada dasarnya adalah milik orang lain. Lebih jauh simak artikel Penggelapan dan Penipuan . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Perbuatan penggelapan ini dicontohkan oleh R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 258), misalnya A meminjam sepeda B, kemudian dengan tidak seizin B dijualnya atau A (bendaharawan) menyimpan uang negara lalu uang itu dipakai untuk keperluan sendiri. Dalam hal ini, perlu dilihat apakah karyawan yang Anda maksudkan memang dalam pekerjaannya menguasai uang itu (misal: pemegang petty cash ). Jika dalam pekerjaannya dia menguasai sejumlah dana, memang dimungkinkan dapat dilaporkan karena penggelapan ketika uang tersebut kemudian digunakan. Namun, untuk karyawan tersebut dapat dikatakan sebagai pelaku penggelapan, harus ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan demikian. Sebaliknya, jika uang tersebut bukan dititipkan atau dimiliki oleh karyawan karena diberikan secara sukarela tanpa adanya kewajiban untuk mengembalikan, maka unsur-unsur penggelapan tidak terpenuhi. Pemberian uang tersebut lebih memenuhi unsur Pasal 1687 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yakni sebagai pemberian hadiah. Simak juga beberapa artikel berikut: - Tindak Pidana Penggelapan dengan Pemberatan - Perbedaan Antara Penggelapan dan Korupsi 2. Atasan tersebut tidak seharusnya menyangkal (telah memberikan secara sukarela sejumlah uang kepada bawahannya), dan menuduh bawahannya melakukan penggelapan dan merugikan dirinya tanpa adanya bukti-bukti yang cukup membuktikan bahwa uang tersebut digelapkan dan bukan diberikan secara cuma-cuma. Jika benar uang tersebut diberikan cuma-cuma namun kemudian karyawan tersebut dituduh menggelapkan, atasannya dimungkinkan untuk dilaporkan karena pencemaran nama baik yang dapat Anda simak lebih jauh penjelasannya dalam artikel Pencemaran Nama Baik oleh Atasan . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23) 2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( Wetboek Van Strafrecht , Staatsblad 1915 No. 732)."
} |
{
"from": "human",
"value": "Saat memulai sebuah aplikasi, biasanya pengguna diminta membaca Terms and Conditions atau Syarat dan Ketentuan yang panjang dan diminta membubuhkan tanda centang sebagai bentuk persetujuan memahami dan menaati ketentuan. Apakah ini disebut sebagai perjanjian elektronik dan dapat jadi bukti dalam kasus perdata? Bagaimana ciri dari perjanjian elektronik? Mohon pencerahannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAIT4 Hal yang Harus Diperhatikan ketika Review Perjanjian09 Agt 2023Bolehkah Mengubah Perjanjian Perdamaian Setelah Homologasi?10 Jul 2023Kapan Adendum Perjanjian Mulai Berlaku?06 Jul 2023Gugatan Wanprestasi Atas Perjanjian yang Telah Berakhir, Bisakah?06 Jul 2023\n\nDalam pertanyaan, Anda menyebutkan tentang perjanjian elektronik yang pengertiannya telah diatur dalam UU ITE dan perubahannya sebagai kontrak elektronik yaitu perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik.[1]\n\nSuatu perjanjian dapat dikatakan sah dan mengikat apabila telah memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatur syarat sahnya sebuah perjanjian yang juga berlaku untuk kontrak elektronik, yaitu:\n\nkesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;kecakapan untuk membuat suatu perikatan;suatu pokok persoalan tertentu;suatu sebab yang tidak terlarang.\nSyarat sahnya perjanjian tersebut diatur serupa dalam Pasal 46 ayat (2) PP 71/2019 dengan bunyi sebagai berikut:\n\nterdapat kesepakatan para pihak;dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;terdapat hal tertentu; danobjek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.\n\nBaca juga: Bisakah Syarat dan Ketentuan Aplikasi Disebut Perjanjian?\nApakah Terms and Conditions = Perjanjian Elektronik?\n\nPatut diketahui sebelumnya, PP 71/2019 mengatur kontrak elektronik dan bentuk kontraktual lainnya yang ditujukan kepada penduduk Indonesia harus dibuat dalam bahasa Indonesia.[2]\n\nSelain itu, kontrak elektronik yang dibuat dengan klausula baku harus sesuai dengan ketentuan mengenai klausula baku sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.[3]\n\nAdapun kontrak elektronik paling sedikit memuat:[4]\n\ndata identitas para pihak;objek dan spesifikasi;persyaratan transaksi elektronik;harga dan biaya;prosedur dalam hal terdapat pembatalan oleh para pihak;ketentuan yang memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk dapat mengembalikan barang dan/ atau meminta penggantian produk jika terdapat cacat tersembunyi; danpilihan hukum penyelesaian transaksi elektronik.\n\nDengan demikian, kami berpendapat apabila terms and conditions tersebut telah memenuhi ketentuan dalam PP 71/2019, maka terms and conditions tersebut merupakan perjanjian elektronik.\n\nLebih lanjut mengenai pernyataan kesepakatan, para pihak dalam perjanjian elektronik dapat memberikan penandatanganan secara elektronik. Berdasarkan Pasal 1 angka 22 PP 71/2019 menyebutkan tanda tangan elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan informasi elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.\n\nSelanjutnya, penanda tangan yang dalam hal ini pengguna aplikasi yang menyediakan informasi untuk mengautentikasi identitasnya adalah subjek hukum yang terasosiasikan atau terkait dengan tanda tangan elektronik.[5] Tanda tangan elektronik ini berfungsi sebagai alat autentikasi dan verifikasi atas identitas penada tangan dan keutuhan dan keautentikan informasi elektronik.[6]\n\nLalu, apakah terms and conditions mengikat secara hukum? Perjanjian yang sah dapat mengikat para pihak secara hukum selama memenuhi syarat sah perjanjian. Dalam hal ini, selama terms and conditions yang telah disetujui tersebut memenuhi syarat sah perjanjian dan memenuhi persyaratan perjanjian elektronik, terms and conditions dapat mengikat secara hukum terhadap pihak yang menyetujui dan dianggap sebagai sebuah perjanjian otentik yang dapat dijadikan alat bukti di pengadilan.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/17229/burgerlijk-wetboek?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n2. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/27912/undangundang-nomor-11-tahun-2008?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_11_2008)\n3. [Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt584a7363785c8?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_19_2016)\n4. [Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5dad2315ee51a/nprt/lt50f64aea0fb9f/peraturan-pemerintah-nomor-71-tahun-2019?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=PP_71_2019)\n[1] Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”)[2] Pasal 47 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (“PP 71/2019”)[3] Pasal 47 ayat (2) PP 71/2019[4] Pasal 47 ayat (3) PP 71/2019[5] Pasal 1 angka 23 PP 71/2019[6] Pasal 60 ayat (1) PP 71/2019"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah teror melalui private number ke nomor HP tertentu dapat dikatakan tindak kriminal? Dan apakah saya dapat melaporkan hal tersebut ke kantor polisi? Serta, apakah aksi bom sms juga merupakan suatu tindak kriminal yang dapat dilaporkan? Adakah aturan perundangan yang melindungi terhadap korban teror-teror tak bertanggungjawab tersebut? Untuk diketahui, setiap hari saya diteror oleh ratusan sms, serta teror bom sms dari nomor tidak dikenal."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Diana Kusumasari, S.H., M.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 03 April 2012. Intisari: Terkait dengan teror bom SMS yang kerap kali Anda terima setiap harinya, pertama-tama kita harus memahami definisi dari teror tersebut. Teror menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagaimana kami akses melalui laman Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, yaitu: U saha menciptakan ketakutan , kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan . Mengenai teror melalui SMS ini Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik . (“UU 19/2016”) mengatur mengenai jenis-jenis perbuatan yang dilarang dan dapat dipidana. Perbuatan pengiriman bom SMS dapat dikategorikan sebagai tindak pidana jika muatannya mengandung hal-hal yang dilarang dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku , khususnya UU ITE. Jadi, yang menjadi persoalan adalah apakah muatan SMS tersebut termasuk muatan yang dilarang atau bukan . Namun, jika memang bom SMS tersebut terus menerus berlanjut dan meresahkan Anda, Anda dapat menghubungi perusahaan penyedia jasa telekomunikasi yang bersangkutan untuk dapat dilacak siapa pengirim bom SMS tersebut. Atau, jika memang bom SMS tersebut sampai pada tahap tertentu hingga meresahkan Anda dan sangat mengganggu dan merugikan Anda, Anda dapat saja melaporkannya kepada pihak kepolisian untuk kemudian dapat dilakukan penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut mengenai siapa pelakunya dan diproses menurut hukum acara yang berlaku. Perlu diketahu bahwa jika SMS yang dikirimkan membuat Anda sampai ketakuan maka pelakunya bisa saja dijerat sesuai dengan Pasal 29 UU ITE dengan ancaman pidana pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750 juta. Jika sudah ditemukan pelaku teror SMS tersebut, selain dapat dijerat dengan UU ITE (dalam hal muatannya melanggar larangan dalam UU ITE), pelakunya juga dapat digugat secara perdata atas dasar Perbuatan Melawan Hukum (“PMH”) karena kerugian moril atau idiil yang timbul karena bom SMS yang dikirimkannya kepada Anda. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Bom SMS Berdasarkan penelusuran kami dari berbagai sumber, bom Short Message Service (“SMS”) adalah semacam teknologi yang memungkinkan seseorang mengirimkan SMS massal dalam waktu bersamaan ke nomor/pengguna handphone (telepon seluler) tertentu. Pada umumnya, tujuan pengirim bom SMS adalah untuk mengganggu orang lain. Sekali pengiriman bom SMS ini, si penerima SMS bisa menerima ratusan, ribuan bahkan puluhan ribu SMS pada saat yang bersamaan. Hal ini tentu dapat mengakibatkan si penerima merasa terganggu, atau bahkan frustasi dan mungkin berakibat perangkat handphone -nya menjadi rusak. Mengenai jasa pengiriman bom sms ini di dunia maya (internet) juga banyak ditawarkan, yang umumnya disebut sebagai jasa SMS bomber . Penggunaan jasa SMS bomber ini mungkin dilatarbelakangi karena adanya dendam, ingin meneror saingan dalam hal asmara, persaingan bisnis, dan berbagai alasan lain. Pada dasarnya, memang belum ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai bom SMS atau pelakunya ini. Adapun yang diatur secara khusus adalah mengenai SMS broadcast atau pengiriman jasa pesan singkat/konten ke banyak tujuan. Hal ini diatur dengan Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Jasa Penyediaan Konten Pada Jaringan Bergerak Seluler (“Permenkominfo 9/2017”) . Pada Pasal 21 ayat (2) Permenkominfo 9/2017 diatur sebagai berikut: Penawaran Konten ke banyak tujuan, selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan melalui beragam media yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan dan etika beriklan yang berlaku . Konten adalah semua bentuk informasi yang dapat berupa tulisan, gambar, suara, animasi, atau kombinasi dari semuanya dalam bentuk digital, termasuk software aplikasi untuk diunduh ( download ). [1] Namun, antara bom SMS dan SMS broadcast (pengiriman konten kebanyak tujuan) ini sangat berbeda. Seperti disebutkan dalam Pasal 21 ayat (4) Permenkominfo 9/2017 bahwa Penyelenggara jaringan dilarang mengirimkan penawaran kepada pengguna jaringan yang telah menyatakan keberatan atau menolak untuk menerimanya . Itu artinya pengguna jaringan bisa melakukan keberatan atau menolak untuk menerima pesan/konten. Sedangkan SMS bomber tidak menyediakan fasilitas kepada penerima pesan untuk menolak pengiriman pesan berikutnya. Sehingga memang, SMS bomber akan mengirimkan banyak SMS tanpa dapat ditolak oleh penerima SMS. Ancaman Pidana Bagi Penyebar Teror Bom SMS Dari segi hukum, pada dasarnya, teror, penghinaan, atau perbuatan lain yang dapat menimbulkan keresahan di dalam masyarakat adalah tindak pidana dan sepatutnya diberikan sanksi bagi si pelaku. Dalam perbuatan teror melalui SMS, SMS hanyalah digunakan sebagai media. Sebagai referensi, Anda dapat menyimak artikel Teror Melalui SMS, Modus Baru Tindak Pidana di Indonesia . Terkait dengan teror bom SMS yang kerap kali Anda terima setiap harinya, pertama-tama kita harus memahami definisi dari teror tersebut. Teror menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagaimana kami akses melalui laman Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, yaitu: U saha menciptakan ketakutan , kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan . Mengenai teror melalui SMS ini Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”) dalam Bab VII, Pasal 27 UU ITE ditentukan beberapa perbuatan yang dilarang, antara lain: Pasal 27 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan . Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian . Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik . Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman . Dalam Penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU 19/2016 , dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “mentransmisikan” adalah mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Eletronik yang ditujukan kepada satu pihak lain melalui Sistem Elektronik. Terhadap perbuatan tersebut, pelakunya dapat dikenakan pidana berdasarkan Pasal 45 UU 19/2016, yang berbunyi : Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan delik aduan. Selain itu Pasal 29 UU ITE juga mengatur mengenai pengancaman yang dilakukan terhadap seseorang, yaitu: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi . Ancaman pidananya terdapat pada P a sal 45B UU 19/2016 : Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Melihat dari ketentuan di atas, perbuatan pengiriman bom SMS dapat dikategorikan sebagai tindak pidana jika muatannya mengandung hal-hal yang dilarang dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku , khususnya UU ITE. Jadi, yang menjadi persoalan adalah apakah muatan SMS tersebut termasuk muatan yang dilarang atau bukan . Namun, jika memang bom SMS tersebut terus menerus berlanjut dan meresahkan Anda, Anda dapat menghubungi perusahaan penyedia jasa telekomunikasi yang bersangkutan untuk dapat dilacak siapa pengirim bom SMS tersebut. Atau, jika memang bom SMS tersebut sampai pada tahap tertentu hingga meresahkan Anda dan sangat mengganggu dan merugikan Anda, Anda dapat saja melaporkannya kepada pihak kepolisian untuk kemudian dapat dilakukan penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut mengenai siapa pelakunya dan diproses menurut hukum acara yang berlaku. Perlu diketahu bahwa jika SMS yang dikirimkan membuat Anda sampai ketakuan maka pelakunya bisa saja dijerat sesuai dengan Pasal 29 UU ITE dengan ancaman pidana pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750 juta. Jika sudah ditemukan pelaku teror SMS tersebut, selain dapat dijerat dengan UU ITE (dalam hal muatannya melanggar larangan dalam UU ITE), pelakunya juga dapat digugat secara perdata atas dasar Perbuatan Melawan Hukum (“PMH”). Rosa Agustina dalam bukunya Perbuatan Melawan Hukum (hal. 55) menjelaskan bahwa tiap perbuatan melawan hukum tidak hanya mengakibatkan kerugian uang saja, tapi juga dapat menyebabkan kerugian moril atau idiil, yakni ketakutan, terkejut, sakit dan kehilangan kesenangan hidup . Lebih jauh, simak artikel Dapatkah Menuntut Pengirim SMS Tidak Senonoh? Mengenai perlindungan korban tindak pidana, sudah ada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang menjamin perlindungan bagi saksi maupun korban. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Jasa Penyediaan Konten Pada Jaringan Bergerak Seluler Referensi: Rosa Agustina. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia , diakses pada Rabu, 25 Juli 2018, pukul 17.08 WIB. [1] Pasal 1 angka 3 Permenkominfo 9/2017 bom hukumonline telekomunikasi teknologi informasi dan transaksi elektronik hukum handphone ite sms teror polisi pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Klasifikasi pelanggaran HAM yang berat bila dibandingkan dengan UU Anti Terotis hampir memiliki definisi yang sama. Di mana letak perbedaannya? Kasus bom di Bali digolongkan ke dalam pelanggaran HAM yang berat atau teroris? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITKejahatan Genosida dalam Konteks Hukum Internasional26 Okt 2023Dapatkah ICC Melakukan Peninjauan Kembali Kasus Timor Timur?29 Mar 2022Bentuk Pelanggaran HAM 'Ringan' di Indonesia, Adakah?09 Mar 2022Apa Itu Extraordinary Crime dan Contohnya07 Jan 2022\n\nIstilah terorisme pada awalnya digunakan untuk menunjuk suatu musuh dari sengketa teritorial atau cultural melawan ideology atau agama yang melakukan aksi kekerasan terhadap publik. Sedangkan teroris adalah individu yang secara personal terlibat dalam aksi terorisme.\n\nSetidaknya dari definisi terorisme terdapat empat macam kriteria, antara lain target, tujuan, motivasi, dan legitimasi. Pada bulan November 2004, Panel PBB mendefinisikan terorisme adalah sebagai berikut:\nAny action intended to cause death or serious bodily harm to civilians, non combatans when the purpose of such act by is nature or context, is to intimidate a population or compel a government or international organization to do or to abstain from doing any act.\n\nKetentuan internasional yang mendefinisikan terorisme adalah Artikel 1 ayat (2) The League of Nations by adoption of a Convention for The Prevention and Punishment of Terrorism yang menyatakan bahwa:[1]\n… acts of terrorism [as] criminal acts directed against a State and intended or calculated to create a state of terror in the minds of particular persons, or groups of persons or the general public.\n\nBanyak pendapat yang mencoba mendefinisikan terorisme, satu di antaranya adalah pengertian yang tercantum dalam Pasal 14 ayat (1) The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) act, 1984 sebagai berikut:[2]\n\nTerrorism means the use of violence for political ends and includes any use of violence for the purpose putting the public or any section of the public in fear.\n\nKegiatan terorisme bertujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan sehingga dapat menarik perhatian orang, kelompok atau suatu bangsa. Biasanya terorisme digunakan apabila tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya. Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu serta menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk menaati kehendak pelaku teror.[3]\n\nDalam Pasal 1 ayat (2) UU 5/2018 menyebutkan bahwa:\n\nTerorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.\nDari definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa karakteristik terorisme adalah sebagai berikut:[4]\nmerupakan intimidasi yang memaksa;memakai pembunuhan dan penghancuran secara sistematis sebagai sarana untuk suatu tujuan tertentu;korban bukan tujuan, melainkan sarana untuk menciptakan perang urat syaraf, yakni bunuh satu orang untuk menakuti seribu orang;target aksi teror dipilih, bekerja secara rahasia, namun tujuannya adalah publisitas;pesan aksi itu cukup jelas, meski pelaku tidak selalu menyatakan diri secara personal;para pelaku kebanyakan dimotivasi oleh idealisme yang cukup keras.\n\nTerorisme memiliki karakteristik yang spesifik yang tidak ada pada kejahatan-kejahatan konvensional yaitu dilaksanakan secara sistematik dan meluas serta terorganisasi secara tertib. Terorisme menggunakan senjata perusak dan pemusnah massal (weapons of massive destruction) menjadikan terorisme sebagai masalah transnasional yang berimplikasi pada terancamnya keamanan manusia secara luas.\n\nSelain itu yang paling penting dari kejahatan ini adalah adanya ideologi yang kuat yang mendasari dari teroris maupun kelompok teroris melakukan aksinya dengan tujuan membuat takut kelompok masyarakat maupun pemerintahan dan agar pemerintahan tersebut dapat mengikuti ideologi yang kelompok percaya dan yakini.\nTerorisme = Kejahatan Terhadap Kemanusiaan?\n\nBerdasarkan karakteristik terorisme tersebut, menyambung pertanyaan Anda, benar terdapat kesamaan kerakteristik dengan pelanggaran HAM yang berat khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan yang diatur melalui aturan internasional dan UU Pengadilan HAM.\n\nDalam pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Statuta Roma 1998 terdapat beberapa karakteristik yang penting yaitu adanya serangan (attack), adanya serangan yang bersifat luas (widespread) atau sistematis, adanya tindakan- yang merupakan bagian (as a part of) dari serangan yang bersifat luas dan sistematik, dan apa yang dimaksud dengan with knowledge of the attack.\n\nKata-kata serangan tidak selalu dikaitkan dengan konflik bersenjata. Dalam Artikel 7 ayat (2) huruf a Statuta Roma 1998 menyatakan:\n\n… the multiple commission of acts referred to in paragraph 1 … pursuant to or in furtherance of a State or organizational policy to commit such attack.\nGuna mempermudah pemahaman Anda, kami jelaskan satu per satu karakteristik kejahatan terhadap kemanusiaan:\n\nSerangan dilakukan secara berkali-kali, berkaitan dengan tindak lanjut dari kebijakan organisasi atau kebijakan negara.Meluas dan sistematik, yang berarti meluas merujuk pada banyaknya jumlah korban, sedangkan sistematik berarti pada rencana untuk melakukan serangan.Hubungan antara tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dengan serangan yang bersifat luas atau sistematik. Syarat ini akan terpenuhi begitu seseorang atau sekelompok orang melakukan salah satu atau lebih dari tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan arahan kebijakan organisasi atau negara.With knowledge of the attack mensyaratkan supaya dikatakan kejahatan terhadap kemanusiaan, pelaku harus mengetahui bahwa lingkungannya sedang terjadi serangan luas dan sistematik.\n\nSementara itu, pengertian tentang kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:[5]\n\npembunuhan;pemusnahan;perbudakan;pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;perampasan kemerdakaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;penyiksaan;perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;penghilangan orang secara paksa; ataukejahatan apartheid.\n\nApabila dibandingkan dengan karakteristik kejahatan terorisme, ada beberapa karakteristik yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai salah satu bentuk dari pelanggaran HAM yang berat yaitu adanya penyerangan terhadap manusia yang mengakibatkan manusia terluka bahkan terbunuh.\n\nAkan tetapi, ada perbedaan mendasar tentang karakteristik kejahatan terorisme yaitu dilakukan bertujuan untuk membuat ketakutan di suatu wilayah atau negara dengan menggunakan ancaman kekerasan maupun kekerasan terhadap penduduk yang mengakibatkan jatuhnya korban luka dan meninggal dunia.\n\nSelain itu, korban terorisme bukan sebagai tujuan dari kejahatan terorisme melainkan sebagai cara agar membuat takut negara ataupun pemerintahan. Hal yang penting pula, kejahatan terorisme ini didasari oleh ideologi atau pandangan yang berbeda dari pemerintah yang nantinya bertujuan dapat mengubah ideologi pemerintahan atau negara menjadi pandangan yang sama dengan kelompok teroris.\n\nMenyambung pertanyaan terkait kasus bom Bali pada tahun 2002 dan 2005, kasus ini jelas termasuk dalam kategori kejahatan terorisme karena telah memenuhi unsur tindak pidana terorisme yaitu berupa intimidasi yang diwujudkan dengan adanya kekerasan dan pembunuhan yang dijadikan sarana untuk tujuan tertentu serta dalam tindakan tersebut didasari oleh idealisme yang cukup keras.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Rome Statute of The International Criminal Court](https://legal.un.org/icc/statute/99_corr/cstatute.htm)\n2. [Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17499/nprt/541/uu-no-26-tahun-2000-pengadilan-hak-asasi-manusia?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_26_2000)\n3. [Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13284?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_15_2003)\n4. [Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5b31feb350abd?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_5_2018)\nREFERENSI:\n1. Ilias Bantekas dan Susan Nash. International Criminal Law. Australia: Cavendish Publishing, 2003\n2. Koalisi untuk Keselamatan Masyarakat Sipil. Terorisme, Definisi, dan Regulasi. Jakarta: Imparsial, 2003\n3. Loebby Loqman. Analisis Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan terhadap Keamanan Negara di Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia, 1990.\n\n[1] Ilias Bantekas dan Susan Nash. International Criminal Law. Australia: Cavendish Publishing, 2003, hal. 17[2] Loebby Loqman. Analisis Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan terhadap Keamanan Negara di Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia, 1990, hal. 98[3] Loebby Loqman. Analisis Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan terhadap Keamanan Negara di Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia, 1990, hal. 19[4] Koalisi untuk Keselamatan Masyarakat Sipil. Terorisme, Definisi, dan Regulasi. Jakarta: Imparsial, 2003, hal. 5[5] Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia"
} |
{
"from": "human",
"value": "Yang ingin saya tanyakan, dapatkah terpidana mati ditempatkan di lembaga pemasyarakatan? Sedangkan lembaga pemasyarakatan merupakan lembaga yang membina para narapidana untuk menjadi lebih baik sebelum dikembalikan ke masyarakat, seorang terpidana mati tidak butuh pembinaan, karena vonis mereka adalah dihukum mati. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Pada prinsipnya, semua terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan setelah diputuskan melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan (“Lapas”) sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 jo. angka 7 UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (“UU 12/1995”). KLINIK TERKAIT Dasar Hukum dan Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia 04 Jul 2024 Mengenal Ragam Hukuman Pidana untuk Anak 30 Apr 2024 Ragam Ketentuan Usia Dewasa di Indonesia 11 Mar 2024 Perbedaan Pidana Kurungan dan Penjara dalam KUHP 20 Feb 2024 Pada sisi lain, kami tidak menemukan ketentuan yang secara tegas mengatur soal penempatan terpidana mati. Oleh karena itu, kami menyimpulkan bahwa terpidana mati juga ditempatkan di Lapas hingga menunggu eksekusi. Hal ini karena terpidana mati juga termasuk menjalani pidana hilang kemerdekaan. Kesimpulan tersebut juga diperkuat dengan beberapa ketentuan yang ada di dalam Perkapolri No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati (“Perkapolri 12/2010”). Di dalam Perkapolri 12/2010 antara lain dijelaskan bahwa pengorganisasian pelaksanaan hukuman mati dilaksanakan oleh regu penembak dan regu pendukung, regu pendukung ini terbagi menjadi 5 regu. Salah satu regu pendukung, yaitu Regu 2 yang berjumlah 10 orang, bertugas melaksanakan pengamanan dan pengawalan terhadap terpidana mati di Lembaga Pemasyarakatan/LP, serta melakukan pengawalan terpidana mati dari tempat isolasi menuju lokasi pelaksanaan pidana mati dan dari lokasi pelaksanaan pidana mati menuju rumah sakit (lihat Pasal 7 ayat [1] jo. Pasal 9 jo. Pasal 11 Perkapolri 12/2010 ). Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Jadi, terpidana mati ditempatkan di Lapas sebagai tempat isolasi terpidana mati yang menunggu eksekusi. Memang benar bahwa fungsi sistem pemsyarakatan di Lapas sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 UU 12/1995 adalah untuk melaksanakan pembinaan terhadap narapidana agar dapat memperbaiki diri dan dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat. Pembinaan ini juga diberikan kepada terpidana mati, karena terpidana masih memiliki upaya hukum lain sehingga masih ada peluang tidak dihukum mati. Upaya-upaya hukum tersebut di antaranya 1) Peninjauan Kembali Peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar antara lain ( Pasal 263 ayat [2] UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana - “KUHAP”): a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan; b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain; c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Di dalam Pasal 268 ayat (1) KUHAP memang dinyatakan, permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan putusan (dalam hal ini putusan hukuman mati). Namun, Wakil Jaksa Agung, Darmono, di dalam artikel Puluhan Terpidana Mati Tak Mengajukan Upaya Hukum , mengatakan bahwa selama terpidana mati masih memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum sesuai dengan ketentuan undang-undang, Kejaksaan belum akan mengeksekusi. 2) Grasi Pengaturan grasi diatur dalam UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi (“UU Grasi”). Putusan pidana termasuk putusan pidana mati yang telah berkekuatan hukum tetap, dapat dimohonkan grasi satu kali kepada Presiden ( Pasal 2 UU Grasi ). Permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati ( Pasal 3 UU Grasi ). Permohonan grasi diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap ( Pasal 7 UU Grasi ). Jadi, jika putusan pidana mati diajukan grasi, maka eksekusinya ditangguhkan, karena pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana (lihat Pasal 13 UU Grasi ) Jadi, menjawab pertanyaan Saudara, terpidana mati ditempatkan di Lapas untuk menunggu eksekusi. Selama di Lapas, terpidana mati juga mendapatkan pembinaan karena masih memiliki upaya hukum sehingga masih ada peluang tidak dihukum mati . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan 3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi 4. Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati"
} |
{
"from": "human",
"value": "Dear admin yth, saya mempunyai seorang teman yang dilaporkan ke Polres dengan kasus adanya dugaan tindak pidana perbuatan cabul terhadap anak di bawah umur padahal teman saya tidak melakukan perbuatan tersebut. Memang sudah diadakan visum et repertum berdasarkan rujukan dari pihak Kepolisian. Lalu teman saya langsung diperiksa atau BAP selama 3,5 jam dan ditahan pada ruang JUDISILA Polres tersebut selama 1 malam. Setelah itu akhirnya dia dilepas tetapi sang istri yang dijadikan penjamin dengan membayar sejumlah uang terhadap oknum kepolisian tersebut. Yang menjadi pertanyaan adalah: 1. Proses seperti apakah dan apakah dasar hukum seorang dapat dijadikan tersangka? 2. Apakah keluarga tersangka ataupun kuasa hukumnya dapat mengetahui hasil dari visum et repertum tersebut? 3. Jika seorang tidak terbukti melakukan tindak pidana seperti yang dilaporkan, tindakan hukum apakah yang dapat kita tempuh untuk memulihkan nama baik orang tersebut atau bisakah kita laporkan kembali untuk dugaan tindak pidana pencemaran nama baik (fitnah)? Saat ini pihak terlapor/tersangka sangat trauma dan minder, dikarenakan kolega ataupun yang mendengar berita tersebut seperti menjauh dari beliau. Atas perhatiannya dan informasinya saya ucapkan banyak terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari : Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Bukti permulaan yang cukup merupakan alat bukti untuk menduga adanya suatu tindak pidana dengan mensyaratkan minimal satu laporan polisi ditambah dengan satu alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Penahanan atau penahanan lanjutan dapat dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Tersangka mempunyai hak untuk mendapatkan informasi terkait permasalahan hukum yang menimpa dirinya, termasuk berhak mendapatkan hasil visum et repertum . Penjelasan lengkapnya silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: Sahabat Hukumonline, terima kasih atas pertanyaannya. KLINIK TERKAIT Jerat Pidana Pasal Pelecehan Seksual dan Pembuktiannya 22 Feb 2024 Bisakah Dipidana karena Berduaan dengan Pacar di Kamar Hotel? 10 Jul 2023 Syarat dan Prosedur Melakukan Visum sebagai Alat Bukti 12 Jan 2023 Bolehkah Dokter Membuka Rahasia Pasien Bila Menemukan Dugaan Pelecehan Seksual? 21 Des 2018 Tindak pidana perbuatan cabul, biasa juga dipakai istilah kejahatan terhadap kesopanan, diatur dalam Bab XIV Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) mulai dari Pasal 281 sampai Pasal 303 bis. Kami tidak tahu pasal tepatnya, tetapi kita dapat mengetahui pasal kasus yang dialami teman Saudara jika kita sudah melihat surat perintah penyidikan (sprindik) yang dikeluarkan oleh kepolisian. Menurut Pasal 1 angka 14 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) , tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Sebagaimana pernah dijelaskan oleh Marry Margaretha Saragi, S.H., LL.M. dalam artikel Bukti Permulaan yang Cukup Sebagai Dasar Penangkapan , dalam Keputusan Bersama Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Kejaksaan Agung, dan Kapolri No. 08/KMA/1984, No. M.02-KP.10.06 Tahun 1984, No. KEP-076/J.A/3/1984, No. Pol KEP/04/III/1984 tentang Peningkatan Koordinasi dalam Penanganan Perkara Pidana (Mahkejapol) dan pada Peraturan Kapolri No. Pol. Skep/1205/IX/2000 tentang Pedoman Administrasi Penyidikan Tindak Pidana di mana diatur bahwa bukti permulaan yang cukup merupakan alat bukti untuk menduga adanya suatu tindak pidana dengan mensyaratkan minimal satu laporan polisi ditambah dengan satu alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP . Alat bukti tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu: a. keterangan saksi b. keterangan ahli c. surat d. petunjuk e. keterangan terdakwa Kemudian mengenai penahanan teman Saudara, berdasarkan Pasal 21 ayat (1) KUHAP, perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup , dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana . Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa untuk dapat dilakukan penahanan, harus ada keadaan yang menimbulkan kekhawatiran sebagaimana diuraikan di atas. Melihat mengenai uraian tersangka dan penahanan di atas, jika diterangkan bahwa Penyidik/Polisi berani menahan teman Saudara selama 1 malam, berarti kemungkinannya polisi telah memiliki 2 (dua) alat bukti, misalnya laporan dari saksi korban dan keterangan saksi ahli dalam bentuk visum et repertum (Pasal 133 KUHAP), serta polisi mempunyai kekhawatiran bahwa teman Anda akan melakukan hal-hal sebagaimana disebutkan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP. Seseorang yang ditahan, bisa ditangguhkan penahanannya dengan jaminan perorangan maupun jaminan dalam bentuk uang. Penjamin, biasanya keluarga dekat, membuat surat pernyataan di atas materai yang diketahui oleh Lurah/kepala desa dan camat. Sedangkan jika ada jaminan dalam bentuk uang, uang tersebut oleh penyidik dibuat tanda terima dan selanjutnya dititipkan di pengadilan. Namun jika pembayaran itu diberikan kepada oknum polisi, perbuatan tersebut sudah masuk dalam tindak pidana korupsi dalam bentuk gratifikasi sehingga baik yang memberi maupun yang menerima diancam hukuman penjara. Dari penjelasan tersebut kami menjawab pertanyaan Saudara, yaitu: 1. Sesuai dengan Pasal 1 angka 14 KUHAP, seseorang bisa menjadi tersangka jika orang tersebut diduga melakukan tindak pidana dan sudah diperoleh bukti permulaan yang cukup, yaitu minimal satu laporan polisi ditambah dengan satu alat bukti yang sah. 2. Sesuai dengan Pasal 133 KUHAP, visum et repertum masuk dalam kategori keterangan ahli. Tersangka berhak mengetahui apa isi visum et repertum tersebut karena tersangka berhak atas segala informasi terhadap permasalahan hukum yang menimpa dirinya. Tersangka berhak meminta isi visum et repertum te r sebut kepada Penyidik/Polisi. 3. Jika tindak pidana yang disangka nyata tidak terbukti, Penyidik/Kepolisian berhak untuk menghentikan penyidikan dan dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). 4. Sesuai dengan Pasal 95 KUHAP , tersangka yang ditahan berhak untuk menuntut ganti kerugian kepada pengadilan. Tetapi yang dituntut di sini adalah penyidik, bukan Pelapor. Tuntutan tersebut dilakukan atas dasar tersangka ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. 5. Jika fokus tuntutan kepada pelapor, teman Saudara dapat melaporkan balik saksi korban dengan mengacu kepada Pasal 311 KUHP , atas dasar pencemaran nama baik. 6. Selain itu, teman Saudara dapat mengajukan gugatan perdata ganti kerugian kepada saksi korban ke pengadilan di mana saksi korban berdomisili ( Pasal 1372 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ). 7. Terhadap perbuatan oknum polisi yang meminta uang, teman Saudara dapat melaporkannya kepada aparat pengawasan internal polisi (Propam dan Inspektorat Pengawasan Daerah/IRWASDA) atau dapat langsung melaporkannya ke Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) karena itu adalah perbuatan korupsi dalam bentuk gratifikasi. Demikian jawaban dan pendapat kami. Semoga membantu. Terima kasih. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ; 2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; 3. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ; 4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 ; 5. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ; 6. Peraturan Kapolri No. Pol. Skep/1205/IX/2000 tentang Pedoman Administrasi Penyidikan Tindak Pidana; 7. Keputusan Bersama Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Kejaksaan Agung, dan Kapolri No. 08/KMA/1984, No. M.02-KP.10.06 Tahun 1984, No. KEP-076/J.A/3/1984, No. Pol KEP/04/III/1984 tentang Peningkatan Koordinasi dalam Penanganan Perkara Pidana. Referensi: M. Yahya Harahap. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua . Jakarta: Sinar Grafika. hukum pemerkosaan hukumonline terdakwa penahanan ditahan perkosaan kesusilaan penjamin klinik hukumonline anak polisi tersangka klinik fitnah"
} |
{
"from": "human",
"value": "1. Apakah tersangka berhak tahu siapa yang mengadukannya? 2. Apakah tersangka berhak tahu bukti pengaduan terhadap dirinya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "1. Tersangka yang diproses pidana karena suatu aduan, berarti ia dituduh melakukan suatu tindak pidana delik aduan, dan karena itu ia menjadi berurusan dengan pihak kepolisian. R.Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar Lengkapnya Pasal Demi Pasal (“KUHP”) (hal. 88) memberikan contoh dari tindak pidana delik aduan yaitu tindak pidana yang diatur dalam Pasal 284, 287, 293, 310, 322, 332, 367, 369, 370, 376, 394, 404, dan 411 KUHP . Untuk mengetahui perbedaan antara aduan dengan laporan simak artikel Perbedaan Pengaduan dengan Pelaporan . KLINIK TERKAIT Apa Perbedaan Benda Sitaan dengan Barang Bukti? 27 Mar 2024 Perbedaan Rutan dan Lapas dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia 26 Mei 2023 Hak-hak Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana 15 Nov 2022 Konsekuensi Penjamin Jika Tersangka/Terdakwa Melarikan Diri 15 Jun 2012 Dalam Pasal 18 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), disebutkan: “Pelaksanaan tugas penangkapan. dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.” Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (1) KUHAP tersebut, dalam hal penangkapan, tersangka hanya akan dijelaskan mengenai alasan penangkapan, kejahatan yang dipersangkakan kepadanya, serta tempat ia diperiksa. Dalam pasal tersebut maupun pasal-pasal lainnya dalam KUHAP tidak diatur soal hak tersangka untuk diberi tahu pihak yang mengadukan atau melaporkan kejahatannya ke polisi. Orang yang mengadukan suatu tindak pidana dapat sebagai saksi atau korban dari tindak pidana tersebut. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban , bahwa seorang saksi dan korban berhak memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Jadi, saksi dan korban beserta keluarga, dan harta bendanya berhak atas per lindung an . Kemudian , di d alam Pasal 3 ayat (1) hur u f b dan huruf c Perkapolri No. 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana, disebutkan bahwa p rinsip penyelenggaraan pelayanan saksi dan/atau korban antara lain memberikan jaminan keselamatan terhadap saksi dan/atau korban yang memberikan keterangan dan menjaga kerahasiaan saksi dan/atau korban. Jadi, dalam proses hukum suatu tindak pidana, tersangka tidak berhak untuk mengetahui pihak yang mengadukannya karena petugas kepolisian wajib merahasiakan identitas dari saksi atau korban yang menyampaikan pengaduan ataupun laporan kejahatan. 2. Dalam hukum acara pidana dikenal istilah alat bukti dan barang bukti, untuk mengetahui perbedaa n kedua nya , simak artikel Apa Perbedaan Alat Bukti dengan Barang Bukti? Di dalam artikel tersebut dijelaskan antara lain bahwa barang bukti merupakan penunjang dari alat bukti yang sah. Kehadiran suatu barang bukti tidak mutlak dalam suatu perkara pidana, karena ada beberapa tindak pidana yang dalam proses pembuktiannya tidak memerlukan barang bukti, seperti tindak pidana penghinaan secara lisan ( Pasal 310 ayat [1] KUHP ) ( Ratna Nurul Afiah , Barang Bukti , hal. 19). Jika yang Anda maksud dengan bukti adalah barang bukti, maka KUHAP tidak mengatur hak tersangka untuk diperlihatkan barang bukti selama proses penyidikan. Karena penyidikan sendiri merupakan proses yang dilakukan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi, juga guna menemukan tersangka (lihat Pasal 1 angka 2 KUHAP ). Segala b arang bukti tindak pidana baru akan diperlihatkan kepada tersangka/terdakwa pada tahap pembuktian di persidangan. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 181 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: “ Hakim ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepada terdakwa apakah ia mengenal benda itu dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 undang-undang ini.” Jadi, menurut KUHAP, segala barang bukti tindak pidana baru akan diperlihatkan kepada terdakwa pada tahap pembuktian di persidangan , dan bukan pada tahap penyidikan (saat masih berstatus tersangka) . Demikian yang kami ketahui, semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( Wetboek van Strafrecht Staatsblad Nomor 732 Tahun 1915) 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban 4. Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah tersangka/terpidana boleh menjabat sebagai anggota Pembina/Pengurus/Pengawas suatu Yayasan?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Pada dasarnya, tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas itu dimuat dalam Anggaran Dasar Yayasan. Syarat yang secara jelas diatur adalah untuk menjadi pembina, dibutuhkan dedikasi yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan. Sementara syarat untuk menjadi pengurus atau pengawas adalah mampu melakukan perbuatan hukum . Oleh karena itu, kami menyarankan agar Anda memeriksa kembali Anggaran Dasar Yayasan yang bersangkutan soal syarat maupun kemungkinan apabila calon organ yayasan terlibat tindak pidana bisa diangkat sebagai organ yayasan atau tidak. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Bolehkah Yayasan Menyewakan Asetnya kepada Pihak Lain? 13 Feb 2023 Menjadi Pengurus di Dua Yayasan Berbeda 28 Apr 2015 Apakah Lembaga Pendidikan Boleh Membentuk PT? 19 Mar 2014 Apakah Lembaga Pendidikan Boleh Membentuk PT? 19 Mar 2014 Jual Beli Tanah Yayasan 18 Jun 2013 Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. [1] Yayasan mempunyai organ yang terdiri atas Pembina, Pengurus, dan Pengawas. [2] Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 1. P embina adalah organ Yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada Pengurus atau Pengawas oleh Undang-undang ini atau Anggaran Dasar. [3] 2. Pengurus adalah organ Yayasan yang melaksanakan kepengurusan Yayasan. [4] 3. Pengawas adalah organ Yayasan yang bertugas melakukan pengawasan serta memberi nasihat kepada Pengurus dalam menjalankan kegiatan Yayasan. [5] Pembina, Pengurus, dan Pengawas Yayasan Pada dasarnya, tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas itu dimuat dalam Anggaran Dasar Yayasan. [6] Secara umum, UU Yayasan mengatur pengangkatan Organ Yayasan sebagai berikut: 1. Yang dapat diangkat menjadi anggota Pembina yayasan adalah orang perseorangan sebagai pendiri Yayasan dan/atau mereka yang berdasarkan keputusan rapat anggota Pembina dinilai mempunyai dedikasi yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan. [7] 2. Yang dapat diangkat menjadi Pengurus yayasan adalah orang perseorangan yang mampu melakukan perbuatan hukum dan tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau Pengawas. [8] 3. Yang dapat diangkat sebagai Pengawas yayasan adalah orang perseorangan yang mampu melakukan perbuatan hukum dan tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau Pengurus. [9] Menjawab pertanyaan Anda, dari sejumlah aturan tentang syarat menjadi pembina, pengurus, atau pengawas yayasan di atas tidak ada yang mengatur khusus bagaimana jika calon organ yayasan itu melakukan atau diduga melakukan tindak pidana sehingga ditetapkan sebagai tersangka atau terpidana. Selama memenuhi syarat-syarat di atas, maka yang bersangkutan dapat diangkat menjadi organ yayasan. Oleh karena itu, kami menyarankan agar Anda memeriksa kembali Anggaran Dasar Yayasan yang bersangkutan mengenai syarat terkait apakah calon organ yayasan yang terlibat tindak pidana bisa diangkat sebagai organ yayasan atau tidak. Akibat Hukum Organ Yayasan yang Melakukan Kesalahan Lain halnya jika yang bersangkutan telah menjadi organ yayasan. Akibat hukum jika dalam menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan anggaran dasar yayasan atau merugikan yayasan adalah sebagai berikut: Seperti yang kami jelaskan di atas, Pembina yayasan adalah orang perseorangan sebagai pendiri Yayasan dan/atau mereka yang berdasarkan keputusan rapat anggota dinilai mempunyai dedikasi yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan. Jika pembina yang melakukan atau diduga melakukan tindak pidana itu dinilai akan mempengaruhi kinerja dan tidak lagi memiliki dedikasi tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan yayasan, bisa saja ia diberhentikan sesuai anggaran dasar yayasan. [10] Sementara, jika pengurus yang melakukan atau diduga melakukan tindak pidana itu dinilai merugikan Yayasan, maka berdasarkan keputusan rapat Pembina, Pengurus tersebut dapat diberhentikan sebelum masa kepengurusannya berakhir. [11] An ggota Pengurus yang dinyatakan bersalah dalam melakukan pengurusan Yayasan yang menyebabkan kerugian bagi Yayasan, masyarakat, atau Negara berdasarkan putusan pengadilan, maka dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum yang tetap, tidak dapat diangkat menjadi Pengurus Yayasan manapun. [12] Mengenai pengawas yang melakukan atau diduga melakukan tindak pidana yang berdampak merugikan yayasan tidak diatur, namun yang penting untuk diketahui adalah pengawas Yayasan itu diangkat oleh Pembina berdasarkan keputusan rapat Pembina. [13] Oleh karena itu, menurut hemat kami, jika Pembina menilai pengawas yang melakukan atau diduga melakukan tindak pidana itu mempengaruhi kedudukannya sebagai pengawas atau tidak lagi mampu melakukan perbuatan hukum sebagai pengawas, maka ia dapat diberhentikan sewaktu-waktu berdasarkan keputusan rapat Pembina . [14] Setiap anggota Pengawas yang dinyatakan bersalah dalam melakukan pengawasan Yayasan yang menyebabkan kerugian bagi Yayasan, masyarakat, dan/atau Negara berdasarkan putusan Pengadilan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, tidak dapat diangkat menjadi Pengawas Yayasan manapun. [15] Contoh Anggaran Dasar Yayasan Sebagai contoh, kami akan berikan anggaran dasar yang di dalamnya memuat akibat hukum jika pengurus atau pengawas terlibat tindak pidana. Dalam Anggaran Dasar YAKIN (Yayasan Antisipasi Kesehatan Indonesia) , yakni sebuah yayasan yang aktif dalam k egiatan penyuluhan dan santuna n kepada penderita kanker, jantung, stroke, diabetes, gagal ginjal dan HIV/AIDS ; diatur bahwa jika b ersalah melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang diancam dengan hukuman penjara paling sedikit 5 (lima) tahun ; maka bagi pengawas, jabatannya berakhir dan bagi pengurus, keanggotaannya berakhir. [16] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan . Referensi: http://www.inahealth.org/anggaran-dasar/ , diakses pada 10 September 2015 pukul 11.21 WIB. [1] Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (“UU Yayasan”) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (“UU 28/2004”) [2] Pasal 2 UU Yayasan [3] Pasal 28 ayat (1) UU Yayasan [4] Pasal 31 ayat (1) UU Yayasan [5] Pasal 40 ayat (1) UU Yayasan [6] Pasal 14 ayat (2) huruf f UU Yayasan [7] Pasal 28 ayat (3) UU Yayasan [8] Pasal 31 ayat (2) dan (3) UU Yayasan [9] Pasal 40 ayat (3) dan (4) UU Yayasan [10] Lihat Pasal 28 ayat (3) UU Yayasan [11] Pasal 32 ayat (4) UU 28/2004 [12] Pasal 39 ayat (3) UU Yayasan [13] Lihat Pasal 44 ayat (1) UU 28/2004 [14] Pasal 44 ayat (1) UU 28/2004 jo. Pasal 41 ayat (1) UU Yayasan [15] Pasal 47 ayat (3) UU Yayasan [16] Pasal 11 angka 3 dan Pasal 14 angka 3 Anggaran Dasar YAKIN tersangka"
} |
{
"from": "human",
"value": "Perusahaan saya telah berdiri sejak tahun 1987. Saat saya diminta melakukan perubahan SIUP dan TDP sebagai salah satu persyaratannya adalah harus melampirkan fotocopy Akta Pendirian dan SK Menterinya serta seluruh Akta Perubahan beserta dengan SK Menterinya. Masalahnya, ternyata di perusahaan tempat saya bekerja tidak semua akta perubahannya memiliki SK. Apakah memang seharusnya setiap akta perubahan suatu perusahaan memang selalu ada SK Menteri?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Tidak semua perubahan anggaran dasar mempunyai surat keputusan m enteri. Hanya perubahan anggaran dasar yang harus mendapat persetujuan m enteri yang akan diterbitkan Keputusan Menteri mengenai persetujuan anggaran dasar. Sedangkan untuk perubahan anggaran yang hanya perlu diberitahukan kepada Menteri, yang diterbitkan adalah surat penerimaan pemberitahuan. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: Perlu diketahui bahwa akta pendirian memuat anggaran dasar dan keterangan lain berkaitan dengan pendirian Perseroan. [1] Keterangan lain tersebut memuat sekurang-kurangnya: [2] a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal, dan kewarganegaraan pendiri perseorangan, atau nama, tempat kedudukan dan alamat lengkap serta nomor dan tanggal Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum dari pendiri Perseroan; KLINIK TERKAIT Haruskah Perubahan Susunan Direksi dan Komisaris Mengubah Anggaran Dasar? 31 Okt 2022 Tambahan Berita Negara untuk Akta Pendirian PT dan Yayasan 12 Jun 2015 Status Perikatan yang Dibuat Direksi yang Namanya Belum Diberitahukan ke Menteri 28 Agt 2014 Kapan Perubahan Direksi Efektif Berlaku? 07 Okt 2013 b. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal, kewarganegaraan anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang pertama kali diangkat; c. nama pemegang saham yang telah mengambil bagian saham, rincian jumlah saham, dan nilai nominal saham yang telah ditempatkan dan disetor. Sedangkan, anggaran dasar memuat sekurang-kurangnya: [3] Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas a. nama dan tempat kedudukan Perseroan; b. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan; c. jangka waktu berdirinya Perseroan; d. besarnya jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor; e. jumlah saham, klasifikasi saham apabila ada berikut jumlah saham untuk tiap klasifikasi, hak-hak yang melekat pada setiap saham, dan nilai nominal setiap saham; f. nama jabatan dan jumlah anggota Direksi dan Dewan Komisaris; g. penetapan tempat dan tata cara penyelenggaraan RUPS; h. tata cara pengangkatan, penggantian, pemberhentian anggota Direksi dan Dewan Komisaris; i. tata cara penggunaan laba dan pembagian dividen. Kemudian mengenai akta perubahan yang Anda sebutkan, kami asumsikan yang dimaksudkan adalah akta perubahan anggaran dasar perseroan terbatas. Perlu Anda ketahui, dalam UUPT, mengenai perubahan anggaran dasar, disebutkan bahwa ada perubahan anggaran dasar yang harus mendapatkan persetujuan Menteri [4] , dan ada yang hanya perlu diberitahukan kepada Menteri [5] . Perubahan anggaran dasar yang harus mendapat persetujuan Menteri meliputi: [6] a. nama Perseroan dan/atau tempat kedudukan Perseroan; b. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan; c. jangka waktu berdirinya Perseroan; d. besarnya modal dasar; e. pengurangan modal ditempatkan dan disetor; dan/atau f. status Perseroan yang tertutup menjadi Perseroan Terbuka atau sebaliknya. Lain daripada yang disebutkan di atas, perubahan anggaran dasar hanya perlu diberitahukan kepada Menteri. Untuk perubahan anggaran dasar yang harus mendapat persetujuan Menteri, perubahan anggaran dasar tersebut berlaku sejak tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai persetujuan anggaran dasar. [7] Sedangkan dalam hal perubahan anggaran dasar hanya perlu diberitahukan kepada Menteri, perubahan anggaran dasar tersebut berlaku sejak tanggal diterbitkannya surat penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar oleh Menteri. [8] Melihat pada ketentuan tersebut, maka dapat dilihat bahwa tidak semua perubahan anggaran dasar mempunyai surat keputusan Menteri. Untuk perubahan anggaran yang hanya perlu diberitahukan kepada Menteri, yang diterbitkan adalah surat penerimaan pemberitahuan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas . [1] Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) [2] Pasal 8 ayat (2) UUPT [3] Pasal 15 ayat (1) UUPT [4] Pasal 21 ayat (1) UUPT [5] Pasal 21 ayat (3) UUPT [6] Pasal 21 ayat (2) UUPT [7] Pasal 23 ayat (1) UUPT [8] Pasal 23 ayat (2) UUPT hukumonline perseroan terbatas uu pt hukum perubahan anggaran dasar klinik hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Menurut saya, muatan perjudian pada Pasal 27 UU ITE 2024 ambigu. Dapatkah saya meminta bantuan untuk memperjelas maksud dari muatan perjudian tersebut? Apa yang dimaksud dengan perjudian? Jika perjudian didefinisikan sebagai suatu kegiatan yang melibatkan uang, barang berharga atau yang lainnya atas dasar pertaruhan yang dimenangkan secara untung-untungan, lantas apakah trading itu termasuk judi? Lalu, apakah investasi online termasuk judi yang sudah terlihat pasti persentase bunganya tidak didasari dengan untung-untungan (gambling)? Kemudian, apabila investor mendapat kerugian, apakah orang yang mengajak atau sebagai upline-nya terkena pidana?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Menurut Pasal 303 ayat (3) KUHP lama yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya.\nMenurut perundang-undangan di Indonesia, perjudian dalam bentuk apapun adalah ilegal, baik dalam ruang fisik maupun siber, sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan sebagai berikut.\n\nPasal Perjudian dalam KUHP dan UU 1/2023\nPerbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana perjudian haruslah memenuhi unsur dalam KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku terhitung 3 tahun sejak tanggal diundangkan, yaitu tahun 2026.[1]\nKUHPUU 1/2023Pasal 303(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau pidana denda paling banyak Rp25 juta, barang siapa tanpa mendapat izin:1. dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan untuk permainan judi dan menjadikannya sebagai pencarian, atau dengan sengaja turut serta dalam suatu perusahaan untuk itu;2. dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan kepada khalayak umum untuk bermain judi atau dengan sengaja turut serta dalam perusahaan untuk itu, dengan tidak peduli apakah untuk menggunakan kesempatan adanya sesuatu syarat atau dipenuhinya sesuatu tata-cara;3. menjadikan turut serta pada permainan judi sebagai pencarian.(2) Kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencariannya, maka dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian itu.(3)Yang disebut permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya.Pasal 426(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun atau pidana denda paling banyak kategori VI, yaitu Rp2 miliar,[2] Setiap Orang yang tanpa izin:a. menawarkan atau memberi kesempatan untuk main judi dan menjadikan sebagai mata pencaharian atau turut serta dalam perusahaan perjudian;b. menawarkan atau memberi kesempatan kepada umum untuk main judi atau turut serta dalam perusahaan perjudian, terlepas dari ada tidaknya suatu syarat atau tata cara yang harus dipenuhi untuk menggunakan kesempatan tersebut; atauc. menjadikan turut serta pada permainan judi sebagai mata pencaharian.(2) Jika Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam menjalankan profesi, dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf f.Pasal 303 bis(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak Rp10 juta rupiah:1. barang siapa menggunakan kesempatan main judi, yang diadakan dengan melanggar ketentuan pasal 303;2. barang siapa ikut serta main judi di jalan umum atau di pinggir jalan umum atau di tempat yang dapat dikunjungi umum, kecuali kalau ada izin dari penguasa yang berwenang yang telah memberi izin untuk mengadakan perjudian itu(2) Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat 2 tahun sejak ada pemidanaan yang menjadi tetap karena salah satu dari pelanggaran ini, dapat dikenakan pidana penjara paling lama 6 tahun atau pidana denda paling banyak Rp15 juta.Pasal 427Setiap Orang yang menggunakan kesempatan main judi yang diadakan tanpa izin, dipidana dengan pidana\npenjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III, yaitu Rp50 juta.[3]\n\nMenurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 222), orang yang mengadakan main judi dihukum menurut Pasal 303 KUHP, sementara orang yang ikut pada permainan judi dikenakan hukuman menurut Pasal 303 bis KUHP.\n\nAdapun yang dimaksud dengan “izin” dalam Pasal 426 ayat (1) UU 1/2023 adalah izin yang ditetapkan oleh pemerintah dengan memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat.[4]\n\nLarangan Pemberian Izin Penyelenggaraan Perjudian\n\nBerdasarkan Pasal 1 ayat (1) PP 9/1981, pemberian izin penyelenggaraan segala bentuk dan jenis perjudian dilarang, baik perjudian yang diselenggarakan di kasino, di tempat-tempat keramaian, maupun yang dikaitkan dengan alasan-alasan lain.\n\nLarangan Perjudian dalam UU 1/2024\n\nPasal 27 ayat (2) UU 1/2024 tentang perubahan kedua UU ITE mengatur bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian. Jika dilanggar, yang bersangkutan dapat dipidana pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp10 miliar.[5]\n\nKemudian, ketentuan Pasal 27 ayat (2) UU 1/2024 ini mengacu pada ketentuan perjudian dalam hal menawarkan atau memberikan kesempatan untuk permainan judi, menjadikannya sebagai mata pencaharian, menawarkan atau memberikan kesempatan kepada umum untuk bermain judi, dan turut serta dalam perusahaan untuk itu.[6]\nMengenal Forex Trading dan Saham\n\nSelanjutnya, menjawab pertanyaan Anda mengenai apakah trading itu termasuk judi, sebelumnya perlu dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan trading. Dalam konteks transaksi valuta asing atau foreign exchange (“forex”), forex trading adalah kegiatan beli (buy) atau jual (sell) mata uang secara terus menerus dan konsisten untuk mendapat keuntungan. Forex trading juga dapat diartikan sebagai kegiatan menukarkan mata yang satu dengan yang lainnya secara terus menerus untuk mendapatkan keuntungan.[7]\n\nDalam praktik, objek yang dapat diperjualbelikan dalam bentuk trading tak terbatas hanya pada valuta asing, tetapi juga saham, yang mana secara garis besar, konsepsi trading forex dan saham tidak jauh berbeda.\n\nDi Indonesia sendiri, saham adalah salah satu bentuk surat berharga yang diperdagangkan di pasar modal, sebagai tanda penyertaan atau kepemilikan seseorang atau badan usaha dalam suatu perseroan terbatas (“PT”).[8] Dengan memiliki saham, pemegang saham memiliki piutang (hak tagih) terhadap perusahaan, dan ia dapat memperdagangkan (menjual) saham tersebut kepada orang lain.\n\nJumlah, nilai, dan jenis saham yang dimiliki seseorang dalam suatu PT dapat mempengaruhi kontrol orang tersebut terhadap perusahaan yang dimaksud. Jadi, secara garis besar, perdagangan saham di Indonesia adalah sah menurut peraturan perundang-undangan.\n\nBaca juga: Trading Ilegal Mungkinkah Terjerat Pencucian Uang?\nApakah Trading Sama dengan Judi?\n\nBerdasarkan penjelasan di atas, yang paling nyata membedakan perjudian dan perdagangan saham adalah bahwa menurut peraturan perundang-undangan, perjudian dilarang, sedangkan perdagangan saham secara umum diperbolehkan. Beberapa tulisan menjelaskan perbedaan antara saham dan judi ialah bahwa jual beli saham merupakan transaksi yang dilakukan berdasarkan perhitungan dan analisis, sedangkan perjudian hanya berdasarkan peruntungan belaka.\n\nNamun, hal tersebut tidak sepenuhnya tepat. Mungkin terhadap judi konvensional seperti togel atau sabung ayam dapat masuk ke dalam kategori peruntungan belaka. Tapi bagaimana dengan judi taruhan untuk pertandingan bola atau basket? Dalam banyak kasus pertaruhan dalam pertandingan lebih banyak didasarkan pada analisa dan perhitungan kekuatan tim.\n\nSebagai contoh, pertandingan sepak bola antara Inggris dan Italia pada perempat final Euro 2012 di Stadion Olimpijski. Taruhan dapat dilakukan berdasarkan analisa sejarah antara kedua tim.\n\nFakta-fakta yang ada menunjukkan, misalnya:\n\nItalia hanya 2 kali dari 9 kesempatan berlaga di perempat final turnamen besar, dan keduanya melalui adu tendangan penalti;dalam 10 kali pertandingan perempat final Piala Eropa atau Piala Dunia, Italia hanya kebobolan 4 gol;Inggris kalah 7 dari 10 kali pertandingan perempat final di turnamen besar;Inggris dan Italia pernah bertemu di Piala Eropa satu kali, dan saat itu Italia memenangkan pertandingan dengan skor 1-0;Inggris baru sekali menang dari 9 pertemuan dengan Italia, imbang 2 kali, dan kalah 6 kali.\n\nDari statistik tersebut, seseorang pengamat lebih memilih Italia menang dibandingkan Inggris. Seorang penjudi lebih berharap Italia akan menang. Bandar pun akan memperhitungkan kemungkinan menangnya Italia untuk membuat klasifikasi taruhan. Hasil akhir, Italia menang 4-2. Hasil ini merupakan data yang dapat diolah bagi para penjudi dan bandar ketika kedua tim bertemu lagi di kemudian hari. Apakah dengan statistik tersebut Italia akan menang di kemudian hari? Menurut hemat kami, belum tentu.\n\nDari ilustrasi di atas, judi dan saham keduanya bisa sama-sama didasarkan atas perhitungan dan analisa atau didasarkan atas peruntungan belaka. Namun secara normatif, jual beli saham atau forex merupakan perbuatan hukum yang diperbolehkan (legal) di Indonesia, sedangkan perjudian merupakan perbuatan yang dilarang.\n\nMengenai apakah trading itu termasuk judi, Surasa Wijana dalam buku From Minus to Hero: Trading Forex for Living (hal. 8) menegaskan, jika aktivitas trading dilakukan dengan benar, maka akan menjadi sebuah bisnis, bukan permainan dan bukan pula perjudian.\n\nBaca juga: Apakah Binomo Legal di Indonesia?\n\nDemikian jawaban dari kami mengenai apakah trading sama dengan judi, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/wetboek-van-strafrecht-%28wvs%29-kitab-undang-undang-hukum-pidana-%28kuhp%29?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/27912/nprt/1011/uu-no-11-tahun-2008-informasi-dan-transaksi-elektronik?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_ite)\n3. [Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt584a7363785c8?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_19_2016)\n4. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt65961ed500cf3/undang-undang-nomor-1-tahun-2024/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_1_2024)\n5. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023)\n6. [Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Penertiban Perjudian](Data Kepolisian /pusatdata/detail/21126/peraturan-pemerintah-nomor-9-tahun-1981?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_1_1981)\nREFERENSI:\n1. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991\n2. Surasa Wijana. From Minus to Hero: Trading Forex for Living. Yogyakarta: CV Absolute Media, 2016\n3. Tjiptono Darmadji dan Hendy M. Fakhruddin. Pasar Modal Di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat, 2001.\n\n[1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)[2] Pasal 79 ayat (1) huruf f UU 1/2023[3] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023[4] Penjelasan Pasal 426 ayat (1) UU 1/2023[5] Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 1/2024”)[6] Penjelasan Pasal 27 ayat (2) UU 1/2024[7] Surasa Wijana. From Minus to Hero: Trading Forex for Living. Yogyakarta: CV Absolute Media, 2016, hal. 5[8] Tjiptono Darmadji dan Hendy M. Fakhruddin. Pasar Modal Di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat, 2001, hal. 5"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya merupakan transmigran dari Pulau Jawa ke Palangkaraya. Saya ingin bertanya mengenai tanah. Bagaimana status tanah yang diberikan pemerintah kepada transmigran, apakah itu masih punya negara? Apakah tanah yang ditempati tersebut bisa menjadi hak milik transmigran? Jika tanah itu sudah jadi hak milik saya sebagai transmigran bisakah saya jual?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Cara Memperoleh Pengganti Sertifikat Tanah yang Hilang 25 Mei 2021 Risiko Menjaminkan Tanah yang Dilakukan dengan Akta Jual Beli 23 Jun 2014 Satu Sertifikat Hak atas Tanah untuk Beberapa Pemilik 17 Mar 2014 Bolehkah Menjual Tanah yang Dibebani Hak Tanggungan? 07 Okt 2013 Intisari: Transmigran diberikan lahan dengan status hak milik. Lantas, bolehkah transmigran menjual lahan yang diperoleh dari pemerintah? Tanah yang diberikan kepada transmigran tidak dapat dipindahtangankan, artinya tidak dapat dijual, kecuali telah dimiliki selama 15 tahun sejak penempatan. Jika melanggar ketentuan tersebut maka hak milik atas tanah akan menjadi hapus. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Untuk menjawab pertanyaan Anda kami akan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian (“UU 15/1997”) sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian (“UU 29/2009”) Jenis Transmigrasi Jenis transmigrasi terdiri atas : [1] a. Transmigrasi Umum ; b. Transmigrasi Swakarsa Berbantuan ; dan c. Transmigrasi Swakarsa Mandiri. Transmigrasi Umum dilaksanakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Dalam melaksanakan Transmigrasi Umum, Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberikan bantuan kepada transmigran . [2] Transmigrasi Swakarsa Berbantuan dilaksanakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan mengikutsertakan badan usaha sebagai mitra usaha transmigran. Dalam mengikutsertakan badan usaha, Pemerintah dan/atau pemerintah daerah bertindak selaku penanggung jawab pelaksanaan transmigrasi. [3] Sedangkan Transmigrasi Swakarsa Mandiri dilaksanakan oleh transmigran yang bersangkutan secara perseorangan atau kelompok, baik bekerja sama maupun tidak bekerja sama dengan badan usaha atas arahan, layanan, dan bantuan Pemerintah dan/atau pemerintah daerah. [4] Bantuan yang Diperoleh Transmigran dari Pemerintah Bantuan dari pemerintah berbeda-beda bergantung pada jenis transmigrasinya, sebagai berikut: 1. Transmigran pada Transmigrasi Umum berhak memperoleh bantuan dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah berupa: [5] a. perbekalan, pengangkutan, dan penempatan di Permukiman Transmigrasi; b. lahan usaha dan lahan tempat tinggal beserta rumah dengan status hak milik; c. sarana produksi; dan d. catu pangan untuk jangka waktu tertentu. 2. Transmigran pada Transmigrasi Swakarsa Berbantuan berhak memperoleh bantuan dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah berupa: [6] a. pelayanan perpindahan dan penempatan di Permukiman Transmigrasi; b. sarana usaha atau lahan usaha dengan status hak milik atau dengan status lain sesuai dengan pola usahanya; c. lahan tempat tinggal beserta rumah dengan status hak milik; d. sebagian kebutuhan sarana produksi; dan e. bimbingan, pengembangan, dan perlindungan hubungan kemitraan usaha. 3. Transmigran pada Transmigrasi Swakarsa Mandiri berhak memperoleh bantuan dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah berupa: [7] a. pengurusan perpindahan dan penempatan di Permukiman Transmigrasi; b. bimbingan untuk mendapatkan lapangan kerja atau lapangan usaha atau fasilitasi mendapatkan lahan usaha; c. lahan tempat tinggal dengan status hak milik; dan d. bimbingan, pengembangan, dan perlindungan hubungan kemitraan usaha. Jadi seorang transmigran diberikan lahan dengan status hak milik. Ketentuan Pemberian Lahan dengan Status Hak Milik Lebih rinci mengenai status tanah program transmigrasi diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian (“PP 3/2014”) Terkait tanah yang diberikan kepada para transmigran, bidang tanah yang diberikan berasal dari tanah Hak Pengelolaan. [8] Bidang tanah berupa tanah untuk: [9] a. lahan tempat tinggal dan lahan usaha; atau b. lahan tempat tinggal. Bidang tanah diberikan dengan status hak milik atas tanah sesuai dengan jenis Transmigrasi dan pola usaha pokok. [10] Luas bidang tanah diberikan sesuai dengan hasil perencanaan Kawasan Transmigrasi. [11] Pengurusan sertifikat hak milik atas tanah menjadi tanggung jawab Menteri. [12] Sertifikat hak milik atas tanah harus diberikan paling lambat 5 (lima) tahun sejak penempatan pada Satuan Pemukiman yang bersangkutan. [13] Sebelum sertifikat hak milik atas tanah diterbitkan,Menteri memberikan surat keterangan pembagian tanah sebagai legalitas hak untuk penggunaan tanah. [14] Bolehkah Transmigran Menjual Lahan yang Diperoleh dari Pemerintah? Tanah yang diberikan kepada Transmigran tidak dapat dipindahtangankan , kecuali telah dimiliki paling singkat selama 15 tahun sejak penempatan. [15] Dalam hal terjadi pemindahtanganan di luar ketentuan di atas maka hak atas tanah bagi Transmigran menjadi hapus. [16] Hapusnya hak atas tanah ditindaklanjuti dengan pencabutan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [17] Dengan hapusnya hak atas tanah, tanah kembali menjadi tanah yang dikuasai negara. [18] Tanah yang kembali dikuasai negara digunakan untuk kepentingan pembangunan dan pengembangan Kawasan Transmigrasi. [19] Jadi tanah yang diberikan kepada transmigran tidak dapat dipindahtangankan, artinya tidak dapat dijual, kecuali telah dimiliki selama 15 tahun sejak penempatan. Jika melanggar ketentuan tersebut maka hak milik atas tanah akan menjadi hapus. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 Tentang Ketransmigrasian ; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian . [1] Pasal 6 ayat (1) UU 15/1997 [2] Pasal 7 UU 29/2009 [3] Pasal 8 ayat (1) dan (2) UU 29/2009 [4] Pasal 9 ayat (1) UU 29/2009 [5] Pasal 13 ayat (1) UU 29/2009 [6] Pasal 14 ayat (1) UU 29/2009 [7] Pasal 15 ayat (1) UU 29/2009 [8] Pasal 29 ayat (2) PP 3/2014 [9] Pasal 29 ayat (3) PP 3/2014 [10] Pasal 29 ayat (4) PP 3/2014 [11] Pasal 29 ayat (5) PP 3/2014 [12] Pasal 29 ayat (7) PP 3/2014 [13] Pasal 29 ayat (8) PP 3/2014 [14] Pasal 30 ayat (1) PP 3/2014 [15] Pasal 31 ayat (1) PP 3/2014 [16] Pasal 31 ayat (2) PP 3/2014 [17] Pasal 31 ayat (3) PP 3/2014 [18] Pasal 31 ayat (4) PP 3/2014 [19] Pasal 31 ayat (5) PP 3/2014 pertanahan hukumonline hukum klinik hak milik klinik hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya adalah pengurus Serikat Pekerja di perusahaan swasta. Saat ini kami (Pengurus SP) sedang berselisih mengenai pembayaran Tunjangan Hari Raya. Tahun ini perusahaan memberikan THR hanya 1 bulan gaji pokok, padahal tahun-tahun sebelumnya besaran THR meliputi gaji pokok dan tunjangan tetap. Nilai tunjangan tetap adalah harga seragam kerja selama 1 tahun dibagi 12 bulan. Pada tahun ini manajemen berpendapat bahwa seragam kerja bukanlah catu dan bukan tunjangan tetap berdasarkan SE MEN No. 07 Tahun 1990. Sedangkan pendapat kami: THR harus diberikan sesuai PERMEN 04 Tahun 1994. Dan yang kami sesalkan perubahan pemberian THR ini tanpa terlebih dahulu dirundingkan dengan SP. Kalau perselisihan ini dibawa ke Mediasi, bagaimanakah peluang kami? Mohon jawabannya dan terima kasih banyak."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Perselisihan THR yang dibuat oleh Amrie Hakim, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Senin, 30 Agustus 2010. KLINIK TERKAIT Aturan Gaji Ke-14 untuk Karyawan Swasta 20 Jun 2024 Hukumnya Potong Gaji Karyawan karena Libur Lebaran 04 Apr 2024 Cara Menghitung THR untuk Karyawan Kontrak yang Diangkat Jadi Tetap 02 Apr 2024 Apakah Tunjangan Tetap Masuk Perhitungan THR? 15 Mar 2024 Intisari: Tunjangan yang diperhitungkan dari harga seragam kerja selama 1 tahun dibagi 12 bulan termasuk tunjangan tetap karena pembayarannya dilakukan secara teratur dan tidak dikaitkan dengan kehadiran pekerja atau pencapaian prestasi kerja tertentu. Upah 1 (satu) bulan sebagai dasar pemberian THR yang dimaksud dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan (“Permenaker 6/2016”) yaitu terdiri atas komponen upah: a. upah tanpa tunjangan yang merupakan upah bersih (clean wages); atau b. upah pokok termasuk tunjangan tetap. Jadi, Anda perlu melihat kembali bagaimana komponen upah untuk THR yang berlaku di perusahaan tempat Anda bekerja, yakni yang tertuang dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; apakah upah bersih atau upah pokok termasuk tunjangan tetap. Komponen upah ini penting diketahui sebagai dasar perhitungan THR. Akan tetapi, jika perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama tidak mengatur tegas namun faktanya telah terjadi kebiasaan, maka THR dibayarkan sesuai kebiasaan yang telah dilakukan. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelumnya, perlu kami luruskan bahwa sejak berlakunya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan (“Permenaker 6/2016”) , maka Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER.04/MEN/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku . Kewajiban Pengusaha Memberikan THR kepada Karyawan Pasal 2 ayat (1) Permenaker 6/2016 mewajibkan pengusaha memberi Tunjangan Hari Raya (“THR”) kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 1 (satu) bulan secara terus menerus atau lebih. Jika masa kerja si pekerja adalah 12 bulan secara terus menerus atau lebih, maka besarnya THR yang diterima adalah sebesar satu bulan upah. [1] Sementara itu, pekerja yang mempunyai masa kerja 1 (satu) bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 bulan, diberikan secara proporsional sesuai masa kerja dengan perhitungan: [2] masa kerja x 1 (satu) bulan upah 12 Komponen Upah sebagai Dasar Pemberian THR Upah 1 (satu) bulan sebagai dasar pemberian THR yaitu terdiri atas komponen upah: a. upah tanpa tunjangan yang merupakan upah bersih (clean wages); atau b. upah pokok termasuk tunjangan tetap. Yang dimaksud dengan tunjangan tetap adalah pembayaran kepada pekerja yang dilakukan secara teratur dan tidak dikaitkan dengan kehadiran pekerja atau pencapaian prestasi kerja tertentu . [3] Jadi, tunjangan yang diperhitungkan dari harga seragam kerja selama 1 tahun dibagi 12 bulan termasuk tunjangan tetap karena pembayarannya dilakukan secara teratur dan tidak dikaitkan dengan kehadiran pekerja atau pencapaian prestasi kerja tertentu. Oleh karena itu, Anda perlu melihat kembali bagaimana komponen upah yang digunakan di perusahaan tempat Anda bekerja sebagai dasar pemberian THR, yakni yang tertuang dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; apakah upah bersih atau upah pokok termasuk tunjangan tetap. Selain itu, dalam Pasal 4 P ermenaker 6/2016 juga diatur bahwa: Apabila penetapan besaran nilai THR Keagamaan berdasarkan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau kebiasaan yang telah dilakukan lebih besar dari nilai THR Keagamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), THR Keagamaan yang dibayarkan kepada Pekerja/Buruh sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama atau kebiasaan yang telah dilakukan. Merujuk pada ketentuan di atas, ada dua kemungkinan penghitungan besaran THR: Apabila di dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama secara tegas dinyatakan bahwa besarnya THR adalah upah pokok ditambah tunjangan tetap, maka perusahaan wajib memberikan THR sesuai ketentuan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama tersebut. Hal ini juga berlaku jika di dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama secara tegas dinyatakan bahwa besarnya THR adalah upah tanpa tunjangan yang merupakan upah bersih (clean wages). Oleh karena itu, Anda perlu melihat kembali bagaimana komponen upah untuk THR yang berlaku di perusahaan tempat Anda bekerja, yakni yang tertuang dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Akan tetapi, jika perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama tidak mengatur tegas namun faktanya telah terjadi kebiasaan, maka THR dibayarkan sesuai kebiasaan yang telah dilakukan. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) , kata ‘kebiasaan’ berarti sesuatu yang biasa dikerjakan. Dihubungkan dengan kasus di perusahaan Anda, kami berpendapat bahwa pembayaran THR dilakukan berdasarkan penghitungan yang biasa dilakukan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ; 2. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan . [1] Pasal 3 ayat (1) huruf a Permenaker 6/2016 [2] Pasal 3 ayat (1) huruf b Permenaker 6/2016 [3] Penjelasan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hukumonline tunjangan hari raya ketenagakerjaan tunjangan hukum klinik klinik hukumonline thr"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya sudah satu tahun bekerja di perusahaan tempat saya bekerja. Terkait ini, saya akan dapat THR berapa kali gaji? Kemudian, saya mau tanya apakah tunjangan jabatan itu masuk ke komponen perhitungan THR? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Lebih lanjut, komponen satu kali gaji untuk THR tersebut terdiri atas:[1]"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah pesangon dan lain-lain dari pemutusan hubungan kerja dikenai pajak?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami hanya akan menguraikan mengenai pengenaan pajak pada uang pesangon. Pada dasarnya, uang pesangon yang dibayarkan sekaligus merupakan objek pajak penghasilan Pasal 21, sehingga akan dilakukan pemotongan pajak penghasilan Pasal 21 yang bersifat final. [1] Uang pesangon dianggap dibayarkan sekaligus dalam hal sebagian atau seluruh pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun kalender. [2] Pesangon yang diberikan kepada para karyawan yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) akan dikenakan tarif pajak berdasarkan besarnya penghasilan bruto yang didapatkan masing-masing karyawan dari pesangon tersebut . Besaran tarif yang dikenakan adalah sebagai berikut: [3] Penghasilan bruto sampai dengan Rp50 juta = 0% Penghasilan bruto Rp50 juta – Rp100 juta = 5% Penghasilan bruto Rp100 juta – Rp500 juta = 15% Penghasilan bruto lebih dari Rp500 juta = 25% Tarif pajak sebagaimana dimaksud diterapkan atas jumlah kumulatif uang pesangon yang dibayarkan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun kalender. [4] Berdasarkan penjelasan di atas, maka setiap karyawan yang terkena PHK dan menerima pesangon, maka akan dikenakan pajak penghasilan dengan tarif yang telah ditentukan, baik sebesar 0% hingga 25% bergantung besaran penghasilan karyawan terkait dari uang pesangon. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2010 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus [1] Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus (“PP 68/2009”) [2] Pasal 2 ayat (2) PP 68/2009 [3] Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2010 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus (“Permenkeu 16/2010”) [4] Pasal 3 ayat (2) Permenkeu 16/2010 pajak hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Jika perusahaan kami mengikutsertakan perusahaan lain untuk melakukan job supply, apakah upah atas pekerjaan borongan tersebut (job supply) harus menggunakan Upah Minimum Sektoral Provinsi sesuai sektor perusahaan kami? Padahal kami melakukan perjanjian dengan perusahaan outsourcing."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Perjanjian pemborongan pekerjaan menurut Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain (“Permenaker 11/2019”) adalah perjanjian antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan penerima pemborongan yang memuat hak dan kewajiban para pihak. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penerima pemborongan adalah sebagai berikut: [1] dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama baik manajemen maupun kegiatan pelaksanaan pekerjaan; dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan, dimaksudkan untuk memberi penjelasan tentang cara melaksanakan pekerjaan agar sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh perusahaan pemberi pekerjaan; merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan. Artinya kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang mendukung dan memperlancar pelaksanaan kegiatan utama sesuai dengan alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan oleh asosiasi sektor usaha yang dibentuk sesuai peraturan perundang-undangan; dan tidak menghambat proses produksi secara langsung. Artinya kegiatan tersebut merupakan kegiatan tambahan yang apabila tidak dilakukan oleh perusahaan pemberi pekerjaan, proses pelaksanaan pekerjaan tetap berjalan sebagaimana mestinya. Mengacu pada ketentuan tersebut, maka pada dasarnya jenis kegiatan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain hanyalah kegiatan yang sifatnya penunjang atau kegiatan tambahan, bukan kegiatan utama perusahaan pemberi pemborongan pekerjaan. Selanjutnya, dengan adanya perjanjian pemborongan pekerjaan tersebut, maka pekerja/buruh terikat hubungan kerja dengan perusahaan penerima pemborongan, bukan perusahaan pemberi pemborongan pekerjaan. Dengan demikian kewajiban pengupahan melekat pada perusahaan penerima pemborongan pekerjaan . Pasal 13 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain (“Permenaker 19/2012”) kemudian mengatur bahwa: Setiap perjanjian kerja dalam pemborongan pekerjaan wajib memuat ketentuan yang menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan . Upah Minumum Sektoral Provinsi (UMSP) Salah satu kebijakan pengupahan guna mencapai kebutuhan hidup layak (KHL) adalah dengan ditetapkannya Upah Minimum Sektoral Provinsi (“UMSP”). Menurut Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 15 Tahun 2018 tentang Upah Minimum (“Permenaker 15/2018”) : Upah Minimum Sektoral Provinsi yang selanjutnya disingkat UMSP adalah Upah Minimum yang berlaku untuk sektor tertentu di dalam wilayah 1 (satu) provinsi. Selain itu, dikenal juga upah minimum sektoral kabupaten/kota sebagai upah minimum yang berlaku untuk sektor tertentu di dalam wilayah satu kabupaten/kota. [2] Oleh karena Anda tidak menyebutkan secara spesifik mengenai lokasi perusahaan Anda, kami asumsikan perusahaan tersebut berada di wilayah DKI Jakarta. Untuk wilayah DKI Jakarta, Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 10 Tahun 2020 tentang Upah Minimum Sektoral Provinsi Tahun 2020 (“Pergub DKI 10/2020”) menetapkan UMSP DKI Jakarta Tahun 2020 dalam sektor atau subsektor sebagai berikut: [3] sektor bangunan dan pekerjaan umum; sektor kimia, energi, dan pertambangan; sektor logam, elektronik, dan mesin; sektor otomotif; sektor asuransi dan perbankan; sektor makanan dan minuman; sektor farmasi dan kesehatan; sektor tekstil, sandang, dan kulit; sektor pariwisata; sektor telekomunikasi; dan sektor ritel. Adapun besaran UMSP per sektor/subsektor disesuaikan dengan kualifikasi pekerja dan jenis kegiatan yang telah diatur secara limitatif dalam peraturan terkait . Contohnya untuk sektor bangunan dan pekerjaan umum dan sektor otomotif, UMSP-nya dalam Lampiran Pergub DKI 10/2020 ditetapkan sebagai berikut : Dengan adanya penggolongan sektor/subsektor pekerjaan tersebut, maka setiap perusahaan yang kegiatannya termasuk dalam sektor/subsektor yang ditentukan oleh pemerintah harus membayar upah sesuai dengan UMSP yang berlaku. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Pergub DKI 10/2020 sebagai berikut : Pengusaha yang termasuk dalam kelompok yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilarang membayar upah lebih rendah dari Upah Minimum Sektoral Provinsi Tahun 2020. Selengkapnya Langkah Hukum Jika Upah di Bawah Standar Minimum . Dengan demikian, meskipun pekerjaan telah diborongkan kepada perusahaan lain, sepanjang jenis pekerjaan penunjang tersebut termasuk dalam kelompok sektor/subsektor yang ditetapkan secara limitatif oleh masing-masing provinsi, maka perusahaan penerima pemborongan harus membayar upah pekerja/buruh sesuai dengan UMSP . Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 27 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 15 Tahun 2018 tentang Upah Minimum Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 10 Tahun 2020 tentang Upah Minimum Sektoral Provinsi Tahun 2020 [1] Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain (“Permenaker 19/2012”) [2] Pasal 1 angka 6 Permenaker 15/2018 [3] Pasal 1 ayat (1) Pergub DKI 10/2020 pekerjaan umsp hukumonline ketenagakerjaan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Kenapa dalam penyusunan UU tidak dicantum Bab atau Pasal yang mengatur tentang sanksi? Sepanjang pengetahuan saya, ditulis hanya tentang Hak, Kewajiban dan Larangan. Padahal apalah artinya sebuah peraturan perundang-undangan tanpa dijelaskan tentang sanksi terhadap pelanggaran UU tersebut?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pertanyaan Anda ini berkaitan erat dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 12/2011”) berbunyi: KLINIK TERKAIT Perbedaan Kekuatan Hukum Keputusan Presiden dengan Peraturan Presiden 09 Mei 2023 Yang Termasuk Bagian Mengingat dalam Peraturan Perundang-Undangan 27 Apr 2023 Di Mana Peraturan Desa Diundangkan? 13 Sep 2016 Status Peraturan Desa Setelah Berlakunya UU No. 12/2011 08 Sep 2016 “ Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi: a. kejelasan tujuan; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan. ” Selain asas-asas tersebut, dalam sebuah materi muatan perundang-undangan harus pula tercermin asas-asas berikut yang terdapat dalam Pasal 6 ayat (1) UU 12/2011 yang berbunyi: “Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas: a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhinneka tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.” Lebih lanjut, Pasal 6 ayat (2) UU 12/2011 menegaskan: “Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.” Menurut Penjelasan Pasal 6 ayat [2] UU 12/ 2011, yang dimaksud dengan “ asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan ”, antara lain: a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah; b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik. Melihat dari bunyi pasal tersebut dapat kita ketahui bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus mengacu pada berbagai asas di atas, termasuk pula dalam pembentukan sebuah undang-undang. Selain itu, asas-asas tersebut juga menjadi pedoman dalam merumuskan suatu ketentuan pidana. Maria Farida Indrati Soeprapto dalam bukunya yang berjudul Ilmu Perundang-Undangan: Proses dan Teknik Pembentukannya , mengatakan bahwa ketentuan pidana merupakan ketentuan yang tidak mutlak ada dalam peraturan perundang-undangan, sehingga perumusan ketentuan pidana tersebut tergantung pada masing-masing peraturan perundang-undangan. Namun demikian, peraturan perundang-undangan yang dapat mencantumkan Ketentuan Pidana hanya Undang-Undang dan Peraturan Daerah (hal. 99). Kata “dapat” yang digunakan oleh Maria Farida tersebut mengindikasikan bahwa undang-undang tidak harus selalu ada ketentuan pidana di dalamnya. Pendapat Maria Farida tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU 12/2011 yang mengatakan bahwa materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam : a. Undang-Undang; b. Peraturan Daerah Provinsi; atau c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Pasal 15 ayat (1) UU 12/2011 tersebut mempertegas bahwa di dalam undang-undang memang mencantumkan ketentuan sanksi di dalamnya. Untuk menjawab pertanyaan Anda, di sepanjang penelusuran kami, sanksi biasanya diatur di bab khusus dengan judul “ Sanksi ” atau dapat pula dengan judul “ Ketentuan Pidana ”. Contoh undang-undang yang di dalamnya terdapat ketentuan sanksi adalah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (“UU 9/1998”) dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (“UU Merek”). Sebagian undang-undang menamakan bab yang mengatur ketentuan sanksi dengan nama “ Sanksi ” seperti UU 9/1998, yakni dalam Bab V, dan sebagian lainnya menamakan bab tersebut dengan nama “ Ketentuan Pidana ” seperti UU Merek, yakni dalam Bab XIV. Pada sisi lain, ada pula undang-undang yang tidak memuat sanksi pidana di dalamnya atau tidak dinyatakan secara eksplisit dalam undang-undang tersebut, seperti pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”). UU HAM hanya mengatur hak, kewajiban, larangan atau pembatasan. Meskipun demikian, tidak berarti undang-undang itu tidak sah atau tidak dijalankan dengan baik. Setiap undang-undang yang dibuat sudah selayaknya memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan harus tercermin dalam materi muatan undang-undang sebagaimana ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU 12/2011 di atas. Dalam Penjelasan Umum UU HAM disebutkan bahwa Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia ini adalah merupakan payung dari seluruh peraturan perundang-undangan tentang hak asasi manusia. Oleh karena itu, pelanggaran baik langsung maupun tidak langsung atas hak asasi manusia dikenakan sanksi pidana, perdata, dan atau administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dari penjelasan tersebut kita dapat ketahui bahwa UU HAM hanya mengatur ketentuan pokok-pokok mengenai HAM secara umum saja, untuk sanksi dapat diberlakukan peraturan perundang-undangan lain yang sesuai konteks tindak pidana pelanggaran HAM apa yang dilakukan, misalnya dengan mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dengan demikian, berdasarkan hal-hal yang telah kami jelaskan dapat disimpulkan bahwa terbentuknya suatu undang-undang ataupun peraturan perundang-undangan lainnya harus memperhatikan berbagai asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, termasuk pula dalam merumuskan ketentuan mengenai sanksi. Namun, ada undang-undang yang tidak mengatur mengenai sanksi atau ketentuan sanksi tersebut tidak dinyatakan secara eksplisit oleh karena sanksi itu telah disebutkan dalam peraturan lainnya yang masih terkait dengan undang-undang tersebut. Akan tetapi, bukan berarti keberlakuan undang-undang tersebut menjadi tidak sah atau tidak bisa dijalankan dengan baik. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: 1. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum 2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek 4. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Referensi: Maria Farida Indrati Soeprapto. 2007. Ilmu Perundang-Undangan Proses dan Teknik Pembentukannya. Kanisius: Yogyakarta. sanksi pidana pembentukan undang-undang"
} |
{
"from": "human",
"value": "Berdasarkan informasi yang saya baca, orang yang menyelenggarakan undian harus mendapat izin. Biasanya undian yang diselenggarakan di TV selalu dipungut pajak hadiah. Bagaimana dengan undian yang dilakukan oleh influencer atau youtuber? Apakah hadiah yang mereka berikan itu dipotong pajak?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Secara umum pengaturan mengenai izin undian gratis berhadiah diatur Permensos 4/2021 dan mengenai pajak penghasilan atas hadiah undian diatur dalam PP 132/2000.\n\nUndian gratis berhadiah adalah tiap-tiap kesempatan untuk mendapatkan hadiah yang diselenggarakan secara cuma-cuma dan digabungkan atau dikaitkan dengan perbuatan lain yang penentuan pemenangnya dilakukan dengan cara undi atau cara lain. [[1]]\n\nSedangkan yang dimaksud dengan hadiah undian adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan melalui undian.[[2]]\n\nSoal izin penyelenggaraan undian, setiap penyelenggaraan undian gratis berhadiah harus memenuhi unsur:[[3]]\n\npenyelenggara; produk barang/jasa yang dipromosikan; hadiah sudah tersedia, terbatas, dan telah ditetapkan; peserta undian gratis berhadiah tidak terbatas; jangka waktu terbatas; danbersifat untung-untungan.\n\nSelain itu, penyelenggaraan undian gratis berhadiah juga harus mendapatkan izin dari Menteri Sosial. [[4]] Permohonan izin undian gratis berhadiah harus diajukan oleh penyelenggara secara tertulis di atas kertas bermeterai cukup kepada Menteri Sosial. [[5]] Dalam permohonan penyelenggaraan kegiatan undian gratis berhadiah wajib mendapatkan persetujuan terlebih dahulu terkait legalitas institusi dan rencana program undian gratis berhadiah dari pejabat yang berwenang. [[6]]\nBentuk Undian Gratis Berhadiah\nSelanjutnya, perlu dipahami terdapat beberapa jenis undian:\n\nUndian gratis berhadiah langsung merupakan undian yang penentuan pemenangnya dilakukan secara langsung dan pemenangnya dapat mengetahui langsung hadiah yang dimenangkannya.[[7]] Undian gratis berhadiah langsung dapat berupa kupon, lintingan, gosok/kerik, atau dengan bentuk lain.[[8]]Undian gratis berhadiah tidak langsung merupakan undian yang penentuan pemenangnya dilakukan dengan cara diundi pada waktu yang telah ditentukan.[[9]] Undian gratis berhadiah tidak langsung dapat berupa amplop, kupon, kode unik, nomor undian, nomor handphone, poin, transaksi terbanyak, poin tertinggi, meraup uang, atau dengan bentuk lain.[[10]]\nPengenaan Pajak Atas Hadiah Undian\n\nPenyelenggara undian wajib memungut pajak atas hadiah undian kepada setiap pemenang yang besarnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan selanjutnya disetorkan ke kas negara.[[11]]\nAdapun laporan penyelenggaraan undian gratis berhadiah wajib disampaikan kepada Menteri Sosial melalui pejabat eselon I yang membidangi urusan penyelenggaraan undian gratis berhadiah dan kepala satuan kerja organisasi pemerintah daerah provinsi yang membidangi urusan sosial dengan melampirkan:[[12]]\nakta berita acara notaris tentang pemenang undian gratis berhadiah;daftar nama pemenang undian gratis berhadiah;salinan bukti setor pajak yang tertera nomor transaksi penerimaan negara;tanda bukti penerima hadiah dilampirkan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP)/identitas diri dari pemenang; dandokumentasi penyelenggaraan undian gratis berhadiah dan penyerahan hadiah kepada pemenang.\n\nPajak yang dalam hal ini berupa Pajak Penghasilan (“PPh”) wajib dipotong atau dipungut oleh penyelenggara undian tersebut.[[13]] Atas penghasilan berupa hadiah undian dengan nama dan dalam bentuk apapun dipotong atau dipungut PPh yang bersifat final.[[14]] Besarnya PPh yang wajib dipotong atau dipungut atas penghasilan berupa hadiah undian itu adalah 25% dari jumlah bruto hadiah undian. Pengertian nilai hadiah adalah nilai uang atau nilai pasar apabila hadiah tersebut diserahkan dalam bentuk natura misalnya mobil.[[15]]\n\nYang melakukan pemotongan bukanlah yang menerima hadiah undian, melainkan penyelenggara undian tersebut. Artinya, kewajiban membayar PPh atas pajak undian ditanggung pemenang, namun dipotong oleh penyelenggara undian.\n\nJadi menjawab pertanyaan Anda, pada dasarnya terhadap undian gratis berhadiah yang diselenggarakan melalui online juga dipungut pajak kepada pemenangnya. PPh atas hadiah undian tersebut wajib dipotong atau dipungut oleh penyelenggara undian tersebut.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Peraturan Pemerintah Nomor 132 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan Atas Hadiah Undian](Data Kepolisian /pusatdata/detail/1105/node/350/pp-no-132-tahun-2000-pajak-penghasilan-atas-hadiah-undian?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_132_2000)\n2. [Peraturan Menteri Sosial Nomor 4 Tahun 2021 tentang Undian Gratis Berhadiah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt610cd7b52e2ae/peraturan-menteri-sosial-nomor-4-tahun-2021/document?utm_medium=pusatdata?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permensos_4_2021)\n[1] Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Sosial Nomor 4 Tahun 2021 tentang Undian Gratis Berhadiah (“Permensos 4/2021”)[2] Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 132 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan Atas Hadiah Undian (“PP 132/2000”)[3] Pasal 3 ayat (1) Permensos 4/2021[4] Pasal 3 ayat (2) Permensos 4/2021[5] Pasal 14 ayat (1) Permensos 4/2021[6] Pasal 16 ayat (1) Permensos 4/2021[7] Pasal 4 ayat (2) Permensos 4/2021[8] Pasal 4 ayat (4) Permensos 4/2021[9] Pasal 4 ayat (3) Permensos 4/2021[10] Pasal 4 ayat (5) Permensos 4/2021[11] Pasal 91 huruf f Permensos 4/2021[12] Pasal 40 ayat (3) Permensos 4/2021[13] Pasal 3 PP 132/2000[14] Pasal 1 PP 132/2000[15] Pasal 2 PP 132/2000"
} |
{
"from": "human",
"value": "Perusahaan tempat saya bekerja sekarang bersengketa dengan salah seorang rekanan. Perkara kemudian berlanjut sampai ke pengadilan, di mana hingga tingkat kasasi kami dikalahkan dan dihukum untuk membayar sejumlah uang kepada lawan, akan tetapi belum kami bayarkan hingga sekarang. Namun demikian, beberapa waktu lalu kami menemukan sebuah dokumen resmi yang kami pikir dapat menjadi bukti baru dan memenangkan kami ditingkat PK. Pertanyaannya adalah, apakah upaya PK dan bukti baru yang akan kami ajukan tersebut dapat menjadi alasan untuk menunda pelaksanaan putusan kasasi? Jika ya, dasar hukumnya apa? Dan jika tidak, upaya apa yang bisa kami lakukan? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Melihat pada ketentuan Pasal 66 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 (“UUMA”) , ditentukan bahwa p ermohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan . Dari ketentuan pasal tersebut dan dari penjelasan pasalnya yang juga berbunyi “cukup jelas”, maka dapat kita simpulkan bahwa upaya Peninjauan Kembali (“PK”) tidak akan menunda pelaksanaan putusan kasasi. KLINIK TERKAIT Aturan Permohonan Peninjauan Kembali (PK) Perkara Perdata 26 Jul 2022 Benarkah Alasan Pengajuan PK Tak Boleh Lebih dari Satu? 13 Jul 2011 Putusan MA 11 Mar 2010 Namun di sisi lain, dalam bukunya “ Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata ” (hal. 323), M. Yahya Harahap, S.H. berpendapat bahwa Pasal 66 ayat (2) UUMA itu: - Dapat diperlunak secara “kasuistik” dan “eksepsional”; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas - Karena yang dilarang pasal itu, mempergunakan permohonan peninjauan kembali sebagai alasan penundaan eksekusi secara “generalisasi”. Yahya menyatakan bahwa tidak setiap permohonan peninjauan kembali mesti menunda atau menghentikan eksekusi. Penerapan yang seperti itu bertentangan dengan undang-undang. Sebaliknya, undang-undang tidak melarang pengadilan menunda atau menghentikan eksekusi asal penerapannya secara “kasuistik” dan “eksepsional”. Dalam keadaan yang sangat mendasar dan beralasan, permohonan peninjauan kembali dapat dipergunakan sebagai alasan menunda atau menghentikan eksekusi. Menurut Yahya, peninjauan kembali dapat dianggap sungguh-sungguh dan mendasar apabila alasan yang diajukan: a. Benar-benar sesuai dengan salah satu alasan yang ditentukan Pasal 67 UU tersebut (UUMA, editor ); b. Alasan yang dikemukakan didukung oleh fakta atau bukti yang jelas dan sempurna; dan c. Dapat diduga majelis hakim yang akan memeriksa PK besar kemungkinan akan mengabulkannya. Dengan berpegang pada kriteria di atas, memudahkan untuk menilai apakah pantas atau tidak menunda eksekusi atas alasan PK. Dan bila kita kembali pada kasus Anda di atas, jika memang alasan dari perusahaan tempat Anda bekerja untuk mengajukan PK adalah sangat mendasar dan memenuhi alasan dalam Pasal 67 UUMA. Mengenai “dokumen resmi” yang menurut Anda dapat menjadi bukti baru, hal tersebut mungkin dapat menjadi alasan PK sebagaimana diatur Pasal 67 huruf b UUMA yang berbunyi: “Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan”. Dengan demikian, menurut hemat kami, Anda dapat saja mengajukan PK dan permohonan penundaan eksekusi atas putusan kasasi sebelumnya. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ."
} |
{
"from": "human",
"value": "Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 485/KMK.03/2003, izin praktik konsultan pajak diberikan kepada orang pribadi. Menurut seorang rekan notaris, meskipun dalam UU Perseroan Terbatas tidak ada pernyataan yang menegaskan larangan konsultan pajak berbentuk PT, namun ada kesepakatan antara Dep. Hukum dan HAM dengan Depkeu bahwa konsultan pajak tidak boleh berbentuk PT. Namun demikian, dalam kenyataannya banyak kantor konsultan pajak yang berbentuk perseroan terbatas. Secara hukum perusahaan, bagaimana seharusnya bentuk badan usaha konsultan pajak? Risiko hukum apa yang mungkin terjadi jika konsultan pajak tersebut tetap berbentuk PT?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Konsultan pajak tidak boleh berbentuk PT. Sebagaimana klasifikasi Daftar Kelompok Lapangan Usaha di Indonesia menurut Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan HAM RI, untuk PT yang maksud dan tujuannya adalah jasa, kegiatan usaha “menjalankan usaha-usaha di bidang jasa” uraiannya adalah menjalankan usaha-usaha di bidang jasa, yang meliputi jasa kecuali jasa dalam bidang hukum dan pajak. Mengingat kegiatan utama konsultan pajak adalah jasa dan memiliki tanggung jawab profesi, maka yang paling tepat adalah perserorangan atau persekutuan perdata. Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya punya dua pertanyaan. Pertama, kalau istri meminjam uang dengan membuat perjanjian dengan pemilik dana tanpa sepengetahuan suami, apakah suami bertanggung jawab atas utang itu? Kedua, kalau istri menjaminkan harta gono gini (rumah) karena meminjam uang tapi suami tidak mengetahui (perjanjian dilakukan di notaris tanpa persetujuan suami), apakah rumah bisa disita untuk melunasi utang tersebut?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Untuk menjawab pertanyaan Anda, mengenai apakah utang istri menjadi tanggung jawab suami, mari simak seputar harta dalam perkawinan terlebih dahulu.\nDalam perkawinan, dikenal dengan adanya harta bersama dan harta bawaan. Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan.[1] Mengenai harta bersama ini, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.[2]\n\nLebih lanjut soal harta bersama ini, penggunaan harta bersama harus dilakukan atas persetujuan pasangan, kecuali bila mengenai harta bersama diperjanjikan lain dalam perjanjian kawin sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UU Perkawinan jo. Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 (hal. 156 – 157) yang menerangkan ketentuan berikut.\n(1) Pada waktu, sebelum dilangsungkan, atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.\n\n(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.\n\n(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.\n\n(4) Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.\n\nSementara itu, harta bawaan adalah harta yang dibawa oleh masing-masing suami dan istri sebelum perkawinan dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan; dan berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang suami dan istri tidak menentukan lain.[3] Atas harta bawaan ini, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum.[4]\nUtang Pribadi Istri\n\nMengenai utang dalam perkawinan, oleh Subekti dalam Pokok-Pokok Hukum Perdata (hal. 34) membedakan utang menjadi dua, yaitu utang pribadi (utang prive) dan utang persatuan (utang gemeenschap atau suatu utang untuk keperluan bersama).\nMenurut Subekti, untuk suatu utang pribadi harus dituntut suami atau istri yang membuat utang tersebut, sedangkan yang harus disita pertama-tama adalah benda prive (benda pribadi). Apabila tidak terdapat benda pribadi atau ada tetapi tidak mencukupi, maka dapatlah benda bersama disita juga. Akan tetapi, jika itu adalah utang suami, benda pribadi istri tidak dapat disita, dan begitu pula sebaliknya.\nSedangkan untuk utang persatuan, yang pertama-tama harus disita adalah benda gemeenschap (benda bersama) dan apabila tidak mencukupi, maka benda pribadi suami atau istri yang membuat utang itu disita pula.\n\nDalam hal ini, utang pribadi yang bisa dimintai pelunasannya dari harta bersama adalah utang pribadi yang berasal dari perjanjian utang piutang dengan persetujuan pasangan. Ini merupakan hal yang logis karena utang yang dibuat oleh suami/istri dapat berdampak pada harta bersama apabila utang tersebut tidak dapat dilunasi, dan untuk bertindak atas harta bersama diperlukan persetujuan pasangan.\n\nOleh karena itu, utang yang dibuat oleh istri tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan suami, tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada harta suami (utang pribadi tidak dapat diambil pelunasannya dari harta pribadi pasangan), dan tidak dapat diambil pelunasannya dari harta bersama (akibat tidak adanya persetujuan).\nPenjaminan Rumah Tanpa Persetujuan Pasangan\n\nMengenai penjaminan rumah (harta gono gini atau harta bersama), kami asumsikan dengan menggunakan hak tanggungan untuk penjaminan tanah dan bangunan menggunakan hak tanggungan. Berkaitan dengan penjelasan mengenai harta bersama di atas, maka penjaminan rumah tanpa sepengetahuan suami (kami asumsikan tidak ada persetujuan suami juga) berakibat penjaminan rumah tersebut tidak sah.\nSebagai informasi, Mahkamah Agung (“MA”) pernah mengadili kasus mengenai penggunaan harta bersama tanpa sepengetahuan suami/istri. Pada kasus tersebut seorang suami menjual tanah yang merupakan harta bersama dalam perkawinan tanpa persetujuan istrinya. Pada akhirnya, dalam Putusan MA No. Reg: 2691 PK/Pdt/1996 dinyatakan bahwa:\n\nTindakan terhadap harta bersama oleh suami atau istri harus mendapat persetujuan suami istri.\nMA lebih lanjut berpendapat bahwa, karena belum ada persetujuan istri maka tindakan seorang suami yang membuat perjanjian atas harta bersama (tanah) adalah tidak sah menurut hukum.\nKemudian, jika dihubungkan dengan syarat perjanjian (kesepakatan untuk mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat perikatan, suatu pokok persoalan tertentu, dan suatu sebab yang tidak terlarang),[5] perjanjian perjanjian penjaminan rumah yang dibuat dapat dianggap cacat hukum karena perjanjian dibuat tanpa persetujuan dari suami. Hal ini terjadi karena tidak terpenuhinya syarat sah perjanjian, yaitu mengenai suatu sebab yang tidak terlarang.\nLebih lanjut, Pasal 1337 KUH Perdata menerangkan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Sementara, ketentuan Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan mengharuskan penggunaan harta bersama dilakukan suami atau istri atas dasar persetujuan kedua belah pihak. Artinya, jika ditafsirkan secara a contrario, Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan melarang penggunaan harta bersama tanpa persetujuan dari pasangan suami/istri.\n\nHal ini juga didukung oleh ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU Hak Tanggungan yang menerangkan bahwa pemberi hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek hak tanggungan yang bersangkutan. Dalam hal ini, istri tidak memiliki kewenangan untuk bertindak sendiri atas harta bersama. Tindakan hukum berkaitan dengan harta bersama harus dilakukan dengan persetujuan pasangan.\nDengan kata lain, karena tidak ada persetujuan pasangan, penjaminan rumah dengan hak tanggungan tersebut tidak sah menurut hukum. Berkaitan dengan ini, dapat diterangkan bahwa rumah tersebut tidak dapat dieksekusi apabila istri tidak dapat membayar utangnya.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17229/node/686?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n2. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/26834/undangundang-nomor-1-tahun-1974/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_1_1974)\n3. [Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5dafedf4cd014?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_16_2019)\n4. [Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/11822/undangundang-nomor-4-tahun-1996?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_4_1996)\nPUTUSAN\n\nPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.\n\nREFERENSI:\n1. Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Bandung: PT Intermasa, 2005.\n\n[1] Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”)[2] Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan[3] Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan[4] Pasal 36 ayat (2) UU Perkawinan[5] Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya mau bertanya, apakah harus utang di dalam judi itu dibayar, sah dalam negara dan agama atau tidak? Terima kasih. Mohon bantuannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Dalam pembahasan di bawah ini, kami akan menjawab pertanyaan Anda dari sudut pandang hukum perdata. KLINIK TERKAIT Jerat Hukum Membuat Website Judi Online 17 Jul 2024 Hukumnya Menceritakan Utang Orang Lain Hingga Membuat Malu 26 Des 2022 Jerat Hukum Judi Online : Penjara hingga Denda Rp1 Miliar 23 Mei 2022 Apa Hukuman Maksimal Bagi Pelaku Judi Bola Online? 07 Nov 2018 Utang judi dilihat dalam hukum perdata, tidak harus dibayar. Ini karena orang yang memiliki piutang judi, berdasarkan Pasal 1788 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) , tidak mempunyai tuntutan hukum. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku untuk permainan-permainan yang dapat dipergunakan untuk olah raga, seperti anggar, lari cepat, dll. ( Pasal 1789 KUHPer ). Pasal 1788 KUHPer Undang-undang tidak memberikan hak untuk menuntut secara hukum dalam hal suatu utang yang terjadi karena perjudian atau pertaruhan. Pasal 1789 KUHPer Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Akan tetapi dalam ketentuan tersebut di atas itu tidak termasuk permainan-permainan yang dapat dipergunakan untuk olah raga, seperti, anggar, lari cepat, dan sebagainya. Meskipun demikian, Hakim dapat menolak atau mengurangi tuntutan bila menurut pendapatnya uang taruhan lebih dari yang sepantasnya. J. Satrio ,S.H. , dalam bukunya yang berjudul Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya (hal. 20-22), sebagaimana kami sarikan, menjelaskan bahwa perikatan sebagai hubungan hukum mempunyai 2 (dua) segi, yaitu segi aktiva (segi hak-hak), yang berupa tagihan yang dimiliki oleh kreditur dan segi passiva (segi kewajiban), yang berupa utang yang harus dibayar debitur. Pada segi passivanya, orang membedakan antara schuld dan haftung . Schuld adalah kewajiban berprestasinya (utangnya), sedangkan haftung adalah tanggung jawab yuridisnya. Seorang debitur mempunyai baik schuld maupun haftung , tetapi seorang yang berutang atas dasar perjudian (utang judi) tidak dapat dituntut pelunasan utangnya melalui sarana hukum, hukum tidak memberikan bantuan kepada kreditur seperti itu atau dengan perkataan lain debitur tidak mempunyai tanggung jawab yuridis dan karenanya disebut “tidak mempunyai haftung ”. Namun, hal itu tidak berarti bahwa debitur seperti itu tidak mempunyai schuld , hal itu menjadi nyata kalau debitur secara suka rela memenuhi kewajibannya, maka atas apa yang telah ia bayar (pemenuhan prestasi) tidak dapatlah debitur menuntut kembali atas dasar pembayaran yang tidak terutang ( Pasal 1361 KUHPer ). Jadi, tidak ada keharusan untuk membayar utang judi dan kreditur juga tidak dapat menuntut debitur di pengadilan untuk membayar utang judinya. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata kuhper"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan dapat dipergunakan sebagai landasan hukum dalam aktivitas atau kegiatan di kementerian/lembaga? Mengingat nomenklatur di dalam UU tersebut adalah perusahaan, bukan kementerian/lembaga. Kemudian, apa maksud dari Pasal 28 angka 3 dari UU tersebut?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelumnya, Pasal 6 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (“KUHD”) mewajibkan setiap orang yang menjalankan perusahaan melakukan penyimpanan buku, catatan tentang keadaan hartanya dan tentang apa yang berhubungan dengan perusahaannya beserta neracanya selama 30 tahun. Selain itu, wajib juga baginya untuk menyimpan surat dan telegram yang diterima dan salinan surat dan telegram yang dikeluarkan selama 10 tahun. Dalam perkembangannya, ketentuan tersebut dinilai menjadi salah satu faktor yang mengurangi efektivitas dan efisiensi perusahaan, sehingga Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan (“UU Dokumen Perusahaan”) dibentuk untuk menjamin penyelenggaraan perusahaan secara efektif dan efisien. [1] Dengan diundangkannya UU Dokumen Perusahaan, ketentuan dalam Pasal 6 KUHD dinyatakan tidak berlaku lagi . [2] Dokumen Perusahaan Pasal 1 angka 1 UU Dokumen Perusahaan mendefinisikan perusahaan sebagai setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba, baik yang diselenggarakan oleh orang-perorangan maupun badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia. Adapun yang dimaksud dengan dokumen perusahaan adalah data, catatan, dan atau keterangan yang dibuat dan atau diterima oleh perusahaan dalam rangka pelaksanaan kegiatannya, baik tertulis di atas kertas atau sarana lain maupun terekam dalam bentuk corak apapun yang dapat dilihat, dibaca, atau didengar. [3] Apakah UU Dokumen Perusahaan Berlaku Terhadap Instansi Pemerintah? Pasal 28 UU Dokumen Perusahaan menegaskan bahwa UU Dokumen Perusahaan berlaku juga terhadap: kantor perwakilan, kantor cabang, agen perusahaan Indonesia atau yang disamakan dengan itu, yang mempunyai kegiatan usaha di luar wilayah Negara Republik Indonesia, dengan tetap memperhatikan ketentuan yang berlaku di negara setempat; kantor perwakilan, kantor cabang, agen perusahaan asing atau yang disamakan dengan itu, yang mempunyai kegiatan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia; dan badan atau lembaga yang tidak termasuk dalam pengertian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, yang dalam kegiatan dan atau tugasnya memiliki dan menghasilkan dokumen sebagaimana layaknya perusahaan . Dalam hal ini, lembaga yang dimaksud dalam angka 3 di atas meliputi lembaga/instansi pemerintah (misalnya Bank Indonesia dan Badan Urusan Logistik) dan lembaga swasta (misalnya Yayasan). [4] Jika suatu lembaga/instansi pemerintah, selain menjalankan fungsi pemerintahan, juga melakukan kegiatan usaha, maka khusus terhadap kegiatan usaha tersebut berlaku ketentuan UU Dokumen Perusahaan , sedangkan untuk kegiatan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, tetap berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang administrasi pemerintahan. [5] Sehingga, menjawab pertanyaan Anda, berdasarkan penjelasan di atas, apabila lembaga/instansi pemerintah, termasuk kementerian, dalam kegiatan/tugasnya memiliki dan menghasilkan dokumen layaknya sebuah perusahaan, khususnya jika lembaga/instansi pemerintah tersebut melakukan kegiatan usaha, maka berlaku ketentuan dalam UU Dokumen Perusahaan. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan [1] Bagian Konsiderans Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan (“UU Dokumen Perusahaan”) [2] Pasal 30 UU Dokumen Perusahaan [3] Pasal 1 angka 2 UU Dokumen Perusahaan [4] Penjelasan Pasal 28 angka 3 UU Dokumen Perusahaan [5] Penjelasan Pasal 28 angka 3 UU Dokumen Perusahaan hukumonline lembaga pemerintah lembaga klinik pemerintah kementerian perusahaan kuhd"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah UU Pers itu melindungi semua objek dan subjek berita atau hanya melindungi pemburu berita saja? Takutnya UU Pers disalahgunakan oleh para pelaku berita dengan adanya UU kebebasan pers ini sehingga dapat melakukan tindakan yang semena-mena!! Apakah UU Pers perlu direvisi? Thank's tolong dijawab ya kakak-kakak! Hehe."
} | {
"from": "gpt",
"value": "DASAR HUKUM:"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah seseorang yang melakukan wanprestasi suatu perjanjian dapat dikatakan melakukan suatu penipuan?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Dalam sebuah perjanjian sering kali dijumpai beberapa permasalahan terkait pelaksanaan perjanjian. Salah satu penyebab pelaksanaan perjanjian tidak lancar adalah adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak. Wanprestasi ini termasuk ke dalam ranah hukum perdata.\n\nAdapun, pengertian dari wanprestasi yang dapat Anda temukan dalam Pasal 1243 KUH Perdata dengan berbunyi:\nPenggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan\n\nMelalui isi pasal tersebut, setidaknya ada 3 unsur wanprestasi, antara lain:\n\nAda perjanjian;Ada pihak yang ingkar janji atau melanggar perjanjian; danTelah dinyatakan lalai, namun tetap tidak melaksanakan isi perjanjian.\n\nDisarikan dari artikel Perbedaan Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum, hal yang dapat menyebabkan timbulnya wanprestasi adalah karena adanya cidera janji dalam perjanjian yang menyebabkan salah satu pihak ingkar akan janjinya atau melanggar janji. Maka, pihak yang cidera janji harus bertanggung jawab terhadap pihak yang dirugikan.\n\nDebitur dapat dikatakan melakukan wanprestasi manakala:[1]\n\ntidak memenuhi prestasi yang telah diperjanjikan;memenuhi prestasi dengan tidak sebagaimana mestinya;memenuhi prestasi tidak sesuai dengan jangka waktu yang diperjanjikan; danmelakukan hal yang dilarang menurut kontrak yang telah disepakati.\n\nAdapun konsekuensi yuridis wanprestasi adalah kreditur dapat memilih beberapa kemungkinan tuntutan kepada debitur berupa:[2]\n\nPembatalan perjanjian Dengan adanya pembatalan perjanjian akan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.Pembatalan perjanjian disertai tuntutan ganti rugi yang timbul karena debitur melakukan wanprestasi. Adapun menurut Pasal 1246 KUH Perdata, ganti kerugian terdiri dari 3 unsur:\nBiaya, yaitu segala pengeluaran atau ongkos-ongkos yang nyata-nyata telah dikeluarkan;Rugi, yaitu kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian debitur;Bunga, yaitu keuntungan yang seharusnya diperoleh atau diharapkan oleh kreditur apabila debitur tidak lalai.Pemenuhan kontrak, dimana kreditur hanya meminta pemenuhan prestasi saja dari debitur.Pemenuhan kontrak disertai tuntutan ganti rugi. Selain menuntut pemenuhan prestasi, kreditur juga menuntut ganti rugi oleh debitur.Menuntut penggantian kerugian saja.\nPengertian Penipuan\n\nPada dasarnya, penipuan merupakan suatu tindak pidana dan masuk ke dalam ranah hukum pidana. Adapun tindak pidana penipuan diatur dalam pasal-pasal yang berbeda dalam KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan serta UU 1/2023 yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan,[3] yakni pada tahun 2026.\nPasal 378 KUHPPasal 492 UU 1/2023Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.Setiap orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau kedudukan palsu, menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kata bohong, menggerakkan orang supaya menyerahkan suatu barang, memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang, dipidana karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V yaitu Rp500 juta.[4]\n\nSugandhi menjelaskan bahwa penipuan adalah tindakan seseorang dengan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, nama palsu dan keadaan palsu dengan maksud menguntungkan diri sendiri dengan tiada hak. Rangkaian kebohongan adalah susunan kalimat-kalimat bohong yang tersusun sedemikian rupa yang merupakan cerita sesuatu yang seakan-akan benar.[5]\n\nAdapun menurut Moeljatno, unsur yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan termasuk dalam tindak pidana penipuan yaitu:[6]\n\nAdanya seseorang yang memang dibujuk atau digerakkan untuk menyerahkan suatu barang atau membuat utang atau menghapus piutang. Barang itu diserahkan oleh yang punya dengan jalan tipu muslihat. Barang yang diserahkan itu tidak selamanya harus kepunyaan sendiri, tetapi juga kepunyaan orang lain.Penipu itu bermaksud untuk menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain tanpa hak. Dari maksud tersebut, ternyata tujuannya adalah untuk merugikan orang yang menyerahkan barang itu.Korban penipuan yang digerakkan menyerahkan barang dengan jalan, yaitu:penyerahan barang itu harus akibat dari tindakan tipu daya;si penipu harus memperdaya si korban dengan satu akal yang diatur dalam Pasal 378 KUHP.\n\nBerdasarkan pendapat yang telah dikemukakan di atas, maka seseorang baru dapat dikatakan telah melakukan tindak penipuan, apabila unsur-unsur yang disebut di dalam Pasal 378 KUHP terpenuhi, maka pelaku tindak pidana penipuan tersebut dapat dijatuhi pidana sesuai perbuatannya.[7]\n\nPenjelasan Pasal 492 UU 1/2023 menerangkan bahwa perbuatan materiel dari penipuan adalah membujuk seseorang dengan berbagai cara yang disebut dalam ketentuan ini, untuk memberikan sesuatu barang, membuat utang atau menghapus piutang. Dengan demikian, perbuatan yang langsung merugikan itu tidak dilakukan oleh pelaku tindak pidana, tetapi oleh pihak yang dirugikan sendiri. Perbuatan penipuan baru selesai dengan terjadinya perbuatan dari pihak yang dirugikan sebagaimana dikehendaki pelaku.\nPerbedaan Wanprestasi dan Penipuan\n\nDisarikan dari Cara Jitu Memahami Wanprestasi dan Penipuan, pada dasarnya penipuan dan wanprestasi memiliki kesamaan dalam awal hubungan hukum antara kedua persoalan tersebut. Hubungan hukum tersebut sama-sama lahir dari hukum kontraktual. Namun ditemukan adanya perbedaan yang menjadi garis batas wanprestasi maupun penipuan. Lantas, bagaimana cara membedakan tindak pidana penipuan dengan wanprestasi?\n\nPertama, disarikan dari artikel yang sama, hal ini dapat dilihat dari ketika pembuatan kontrak ditemukan adanya rangkaian kata bohong, tipu muslihat, dan keadaan palsu. Dalam hal pada kontrak tersebut terjadi wanprestasi tanpa adanya tipu muslihat dalam kontrak, maka atas perbuatan terseput dapat dikenakan Pasal 1236 KUH Perdata. Sementara jika terdapat tipu muslihat dalam kontrak dan berakhir tak dijalankannya perjanjian, maka perbuatan tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana penipuan pada Pasal 378 KUHP.\n\nKedua, dapat dilihat dari niat debitur untuk melakukan wanprestasi. Adapun dalam konteks wanprestasi, debitur memang telah lalai dalam memenuhi prestasi yang telah ditentukan dalam perjanjian. Namun debitur bisa saja memiliki suatu alasan dalam terjadinya wanprestasi yaitu adanya keadaan memaksa, kelalaian debitur sendiri, serta kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.[8] Sementara pada tindak pidana penipuan disini terlihat niat pelaku melakukan suatu tindakan secara sengaja dalam membuat perjanjian dengan memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat atau rangkaian kebohongan.[9]\nApakah Kasus Wanprestasi dapat Dilaporkan Jadi Penipuan?\n\nMenjawab pertanyaan Anda, apakah seseorang yang melakukan wanprestasi dapat dikatakan melakukan suatu penipuan, maka secara konstruksi yuridis sebagaimana dijelaskan di atas, wanprestasi dan penipuan adalah dua hal yang berbeda.\n\nLebih lanjut, dalam Yurisprudensi MA No. 4/Yur/Pid/2018memuat kaidah hukum yang berbunyi:\n\nPara pihak yang tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian yang dibuat secara sah bukan penipuan, namun wanprestasi yang masuk dalam ranah perdata, kecuali jika perjanjian tersebut didasari dengan iktikad buruk/tidak baik.\n\nMahkamah Agung menjelaskan bahwa seseorang yang tidak memenuhi kewajiban dalam sebuah perjanjian, dimana perjanjian tersebut dibuat secara sah dan tidak didasari iktikad buruk, maka perbuatan tersebut bukan penipuan, namun masalah keperdataan. Sehingga, orang tersebut harus dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum.\n\nNamun demikian, tidak semua perbuatan tidak melaksanakan kewajiban perjanjian tidak dapat dipandang sebagai penipuan. Apabila perjanjian tersebut didasari iktikad buruk/tidak baik, niat jahat untuk merugikan orang lain, maka perbuatan tersebut bukan merupakan wanprestasi, tetapi tindak pidana penipuan.\n\nDengan demikian, untuk dapat menilai apakah suatu wanprestasi termasuk sebagai penipuan atau masalah keperdataan, maka harus dilihat apakah perjanjian tersebut didasari atas iktikad buruk/tidak baik atau tidak.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/nprt/38/wetboek-van-strafrecht-(wvs)-kitab-undang-undang-hukum-pidana-(kuhp)?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/17229/burgerlijk-wetboek?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n3. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023_KUHP_baru)\nYurisprudensi:\n\nYurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 4/Yur/Pid/2018.\n\nREFERENSI:\n1. Abdul R. Saliman. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan. Jakarta: Kencana, 2005\n2. Dudung Mulyadi. Unsur-Unsur Penipuan Dalam Pasal 378 KUHP Dikaitkan Dengan Jual Beli Tanah. Jurnal Ilmiah Galuh Justisi, Vol. 5, No. 2, September 2017\n3. I Ketut Gde Juliawan Saputra dan A.A Sri Utari. Perbedaan Wanprestasi dengan Penipuan Dalam Perjanjian Hutang Piutang. Jurnal Kertha Wicara, Vol. 4, No. 3, September 2015\n4. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT Astri Mahasatya, 2022\n5. Niru Anita Sinaga dan Nurlely Darwis. Wanprestasi dan Akibatnya Dalam Pelaksanaan Perjanjian. Jurnal Mitra Manajemen, Vol. 7, No. 2, 2015\n6. Sugandhi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional, 1980\n7. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermassa, 1996.\n\n[1] Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermassa, 1996, hal. 45.\n\n[2] Niru Anita Sinaga dan Nurlely Darwis. Wanprestasi dan Akibatnya Dalam Pelaksanaan Perjanjian. Jurnal Mitra Manajemen, Vol. 7, No. 2, 2015, hal. 52-53.\n\n[3] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”).\n\n[4] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023\n\n[5] R. Sugandhi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional. 1980, hal. 396-397.\n\n[6] Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta : PT Astri Mahasatya. 2022, hal. 70.\n\n[7] H. Dudung Mulyadi. Unsur-Unsur Penipuan Dalam Pasal 378 KUHP Dikaitkan Dengan Jual Beli Tanah. Jurnal Ilmiah Galuh Justisi, Vol. 5, No. 2, September 2017, hal. 213-214.\n\n[8] Abdul R. Saliman. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan. Jakarta: Kencana, 2005, hal.47.\n\n[9] I Ketut Gde Juliawan Saputra dan A.A Sri Utari. Perbedaan Wanprestasi dengan Penipuan Dalam Perjanjian Hutang Piutang. Jurnal Kertha Wicara, Vol. 4, No. 3, September 2015, hal. 4-5."
} |
{
"from": "human",
"value": "Salam. Bapak dan ibu Saya sudah menikah selama 35 tahun dan dikaruniai 3 anak, dan sampai saat ini mereka tidak memiliki surat nikah. Bapak saya saat ini dalam kondisi sakit. Saya mempunyai pertanyaan yang menyangkut warisan bapak saya yang berupa properti yang beratasnamakan bapak saya sendiri. Dan saya di sini sebagai anak cowok yang pertama, mewakili ibu dan kedua adik saya yang hanya ingin menjaga hak milik keluarga saya sendiri. Mohon bantuan kepada bapak atau ibu di tempat. 1. Apakah benar warisan bisa menjadi milik paman-paman dan tante-tante saya, apabila bapak saya meninggal? 2. Bagaimana jalan terbaik untuk menjaga warisan agar tetap menjadi milik keluarga saya sendiri dan tidak diambil oleh paman saya? Sebagai informasi saat ini bapak saya masih bisa berkomunikasi sama saya dan masih bisa menulis walaupun kondisinya sakit, terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih sebelumnya atas pertanyaan yang Saudara ajukan kepada kami. KLINIK TERKAIT Hak Waris Anak Luar Kawin 26 Sep 2023 Hak Waris Kakak dan Adik 15 Apr 2011 Pembagian Waris dari Kakek Beristri Dua 04 Apr 2011 Status kepemilikan atas tanah sawah 08 Feb 2010 Sebelum menjawab pertanyaan yang Saudara ajukan, lebih dahulu akan kami jelaskan mengenai status pernikahan antara bapak dan ibu Saudara. Jika suatu pernikahan belum dicatatkan di Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama, maka pernikahan tersebut belum diakui oleh Negara secara sah. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, sebaiknya bapak dan ibu Saudara segera mendaftarkan/mencatatkan pernikahan yang telah berlangsung ke Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama setempat. Sehingga perkawinan dianggap sah dan akibat hukum dari perkawinan tersebut pun menjadi sah. Kemudian, nama anak-anak dari keduanya dicantumkan dalam surat nikah dengan status yang diakui, s ehingga baik Saudara, ibu dan saudara-saudara Anda berhak menjadi ahli waris dari bapak dan juga ibu Saudara. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas D engan demikian, ketentuan-ketentuan perkawinan dan waris sebagaimana diatur oleh undang-undang akan berlaku kepada bapak, ibu, dan anak-anak. Berikutnya kami akan menjawab dua pertanyaan yang Saudara sampaikan di atas: 1. Adapun syarat-syarat pewarisan menurut KUHPerdata adalah: a. adanya orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta kekayaan ( Pasal 830 KUHPerdata ) b. adanya warisan yang ditinggalkan ( Pasal 833 BW KUHPerdata ) c. adanya Ahli Waris yang masih hidup dan berhak ( Pasal 836 KUHPerdata ) Dan yang menjadi para ahli waris adalah: a. Golongan I, yaitu suami/istri yang hidup terlama dan anak-anak beserta keturunannya terus kebawah tanpa batas (Pasal 852 KUHPerdata) b. Golongan II, yaitu ayah/ibu atau ayah dan ibu beserta saudara-saudaranya dan keturunannya terus ke bawah tanpa batas (Pasal 854 dan Pasal 855 KUHPerdata) c. Golongan III, yaitu kakek/nenek atau kakek dan nenek dari garis ayah maupun garis ibu (Pasal 858 KUHPerdata) d. Golongan IV, yaitu keluarga dalam garis lurus ke samping yang lebih jauh dari saudara, dibatasi sampai derajat keenam (Pasal 861 KUHPerdata) Adapun asas dari ahli waris yang disebutkan di atas adalah bahwa dengan adanya golongan ahli waris I secara hukum akan menutup ahli waris golongan II dan demikian seterusnya . 2. Adapun jalan terbaik untuk menjaga warisan keluarga anda ialah, bapak dan ibu Saudara harus melangsungkan pernikahan ulang dan mencatatkannya secara resmi pada KUA atau kantor catatan sipil. Pasal 11 ayat (3) PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan , menyatakan “dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi” J ika perkawinan tersebut telah dicatatkan di KUA atau kantor Catatan Sipil sebagaimana dijelaskan di atas. Maka paman dan bibi Saudara sebagai ahli waris golongan II tidak berhak mewaris dari harta bapak Saudara karena adanya istri dan anak-anak pewaris sebagai ahli waris golongan I. Demikianlah jawaban yang dapat kami berikan atas pertanyaan yang Saudara ajukan. Dasar hukum : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek , Staatsblad 1847 No. 23) 2. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 3. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya mau tanya: 1. Satu perusahaan (PT) bisa memiliki maksimal berapa banyak merek dagang? Kalau bisa banyak apa mesti semua didaftarkan? 2. Misalnya yang terdaftar merek dagang warna merah gambar singa, apa bisa menggunakan warna lainnya juga misalnya warna hitam gambar singa?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Bolehkah Memiliki Dua Merek Dagang yang Mirip? 13 Nov 2023 Pentingnya Mendaftarkan Merek Dagang bagi UKM 06 Okt 2023 Aturan Pendaftaran Merek Internasional di Indonesia 04 Agt 2023 Tampilan Merek Berubah, Perlukah Didaftarkan Kembali? 10 Apr 2023 Intisari: Tidak ada batasan berapa maksimal merek dagang yang bisa dimiliki oleh suatu perusahaan. Fungsi merek salah satunya adalah untuk menunjukkan identitas penghasil produk barang atau jasa yang dipasarkan. Mengenai apakah warna mempengaruhi perlindungan merek atas suatu tanda, sebenarnya hal tersebut tergantung kepada logo yang ingin didaftarkan karena warna bisa saja menjadi sesuatu yang diklaim sebagai tanda unik dari merek. Jika merek yang didaftarkan memang menggunakan unsur warna-warna, maka warna-warna juga harus dicantumkan dalam permohonan pendaftaran merek. Akan tetapi, pada umumnya yang lebih baik dilakukan adalah mendaftarkan logo hitam dan putih, tanpa klaim untuk warna. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaannya. Dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek (“Undang-Undang Merek”) terdapat rumusan tentang definisi merek sebagai berikut: 1. Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. [1] 2. Merek Dagang adalah Merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya. [2] 3. Merek Jasa adalah Merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya. [3] Dari definisi yang dinyatakan dalam Undang-Undang Merek tersebut di atas dapat diketahui bahwa pada hakikatnya Merek adalah sebuah tanda . Akan tetapi, sebuah tanda tidak akan demikian saja diterima sebagai merek jika tidak memiliki daya pembeda . Yang dimaksud dengan daya pembeda adalah memiliki kemampuan untuk digunakan sebagai tanda yang dapat membedakan hasil perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain. Menurut Margono Suyudi , suatu tanda yang sudah memiliki daya pembedapun tidak serta merta dapat diterima sebagai merek apabila tidak digunakan pada kegiatan perdagangan barang atau jasa. Itu sebabnya Kantor Merek mensyaratkan penyebutan jenis barang pada saat seseorang ingin mendaftarkan hak mereknya. Secara garis besar, pemakaian merek berfungsi sebagai berikut: a. Tanda pengenal untuk membedakan hasil produksi yang dihasilkan seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum dengan produksi orang lain atau badan hukum lainnya; b. Sebagian alat promosi, sehingga mempromosikan hasil produksinya cukup dengan menyebut mereknya; c. Sebagai jaminan atas mutu barangnya; d. Menunjukkan asal barang/jasa dihasilkan. Merek tidak dapat didaftarkan menurut jika merek tersebut: [4] a. Didaftarkan oleh pemohon yang bertikad tidak baik; b. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas keagamaan, kesusilaan, atau ketertiban umum; c. Tidak memiliki daya pembeda; d. Telah menjadi milik umum; atau e. Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya. Merujuk kepada pernyataan di atas, tidak ada batasan berapa maksimal merek dagang yang bisa dimiliki oleh suatu perusahaan. Fungsi merek salah satunya adalah dimaksudkan untuk menunjukkan identitas penghasil produk barang atau jasa yang dipasarkan. Itu sebabnya pada saat permohonan pendaftaran merek, harus menyebutkan jenis barang dan/atau jasa yang termasuk dalam kelas yang dimohonkan pendaftarannya. Apabila perusahaan memiliki banyak jenis barang/jasa, tentunya pendaftaran merek dilakukan sesuai dengan kebutuhan perusahaan agar perlindungan hak merek terhadap produk yang dihasilkan perusahaan tersebut dapat terlindungi secara maksimal. Menjawab pertanyaan apakah warna mempengaruhi perlindungan merek atas suatu tanda, dalam hal ini yang Saudara maksud adalah logo, sebenarnya hal tersebut tergantung kepada logo yang ingin Saudara daftarkan karena warna bisa saja menjadi sesuatu yang diklaim sebagai tanda unik dari merek Saudara akan tetapi rentan terhadap perlindungan hukumnya sendiri. Jika merek yang Saudara daftarkan memang menggunakan unsur warna-warna, maka warna-warna juga harus dicantumkan dalam permohonan pendaftaran merek Saudara. Akan tetapi, pada umumnya yang lebih baik dilakukan adalah mendaftarkan logo hitam dan putih, tanpa klaim untuk warna. Dengan tidak melakukan klaim warna, maka tidak ada yang bisa mendaftarkan atau menggunakan logo yang tidak menimbulkan daya pembeda atau menimbulkan kebingungan karena mirip dalam warna apapun atau bahkan tidak berwarna tanpa melanggar merek Saudara. Kantor Merekpun tentunya akan menolak permohonan pendaftaran pihak lain jika hanya berbeda dalam warna tetapi tidak memiliki daya pembeda pada logo yang didaftarkan sebagai merek. Demikian jawaban saya, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek . [1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Merek [2] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Merek [3] Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Merek [4] Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Merek merek"
} |
{
"from": "human",
"value": "Ibu saya memiliki nama Tionghoa dari lahir (KTP sampai saat ini masih menggunakan nama Tionghoa). Ibu saya lahir di Bogor, kerja sampai sekarang di Jakarta (sekarang usianya 71 tahun). Mempunyai riwayat keluarga: Bapaknya asli Bogor keturunan dan Ibunya asli Bogor (asli lahir sampai meninggal di Bogor). Pertanyaan saya: 1. apakah benar menggunakan nama Tionghoa dianggap WNA? 2. apakah WNI tidak boleh menggunakan nama Tionghoa? 3. Sampai saat ini Ibu saya setiap mengurus surat-surat penting selalu dianggap WNA. Mohon bantuan info yang detail karena Ibu saya terhalang dalam proses surat-surat peralihan dari nama alm. suami (suku Maluku) ke nama Ibu saya. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan yang telah disampaikan. Berikut ini kami sampaikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan Saudara: 1. Menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia pada saat ini, nama bukanlah dasar untuk menentukan kewarganegaraan seseorang . Hal tersebut dapat dilihat dari definisi Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (“ UU 12/2006 ”). Adapun definisi dari Warga Negara Indonesia (“ WNI ”) disebutkan dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 UU 12/2006 , dandalam definisi-definisi WNI tersebut, tidak ada satupun klausul yang menyebutkan bahwa nama seseorang menentukan dirinya adalah WNI atau warga negara asing. Dengan demikian, orang dengan nama Tionghoa, yang termasuk dalam salah satu kategori WNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 UU 12/2006, tidak dapat dikategorikan sebagai warga negara asing hanya karena namanya . KLINIK TERKAIT Jerat Pidana Ortu yang Mengurung Anaknya karena Pindah Agama 11 Sep 2023 Pembuatan Keterangan Waris Bagi Warga Tionghoa Muslim 28 Mar 2013 Perbedaan Surat Keterangan Waris dengan Akta Keterangan Hak Mewaris 12 Des 2012 Pembuatan Paspor untuk WNI Keturunan Tionghoa 04 Okt 2012 2. Terkait dengan pertanyaan mengenai penggunaan nama Tionghoa oleh WNI, penggunaan nama Tionghoa tersebut diatur dalam Pasal 5 Keputusan Presiden No. 240 T ahun 1967 tentang Kebijaksanaan Jang Menjangkut Warga Negara Indonesia Keturunan Asing (“ Keppres 240/1967 ”) yang menyebutkan: “Khusus terhadap warga negara Indonesia keturunan asing jang masih memakai nama Cina diandjurkan mengganti nama-namanja dengan nama Indonesia sesuai dengan ketentuan jang berlaku.” Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Dari ketentuan tersebut, dapat kita ketahui bahwa memang terdapat anjuran untuk mengubah nama Cina menjadi nama Indonesia . Namun demikian, anjuran bukanlah suatu kewajiban yang harus dipatuhi. Terlebih lagi, tidak terdapat sanksi dalam Keppres 240/1967 yang dapat diterapkan jika tidak merubah nama Cina ke nama Indonesia. Dengan demikian, hingga saat ini belum ada peraturan perundang-undangan di Indonesia yang melarang WNI untuk menggunakan nama Tiong Hoa . Sebagai referensi, Anda dapat juga membaca artikel Memberi Nama Cina untuk Anak . 3. Mengenai pengurusan surat-surat penting pada instansi pemerintahan, sesuai dengan Diktum Kedua Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi Dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, Ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan (“ Inpres 26/1998 ”), maka pejabat penyelenggara pemerintahan wajib untuk memberikan perlakuan dan layanan yang sama kepada seluruh WNI dalam penyelenggaraan layanan pemerintahan, kemasyarakatan dan pembangunan, dan meniadakan pembedaan dalam segala bentuk, sifat serta tingkatan kepada WNI baik atas dasar suku, agama, ras maupun asal-usul dalam penyelenggaraan tersebut . Tindakan non-diskriminatif tersebut kembali ditegaskan dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (“ UU 40/2008 ”). Pasal 9 UU 40/2008 menyebutkan: “ Setiap warga negara berhak memperoleh perlakuan yang sama untuk mendapatkan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tanpa pembedaan ras dan etnis .” Lebih lanjut, terdapat fasilitas hukum bagi mereka yang merasa dirugikan dengan adanya perlakuan diskriminatif. Berdasarkan Pasal 13 UU 40/2008 , setiap orang berhak untuk mengajukan gugatan ganti kerugian melalui pengadilan negeri atas tindakan diskriminasi ras dan etnis yang merugikan dirinya. Selain melalui fasilitas hukum perdata, UU 40/2008 juga memberikan ancaman sanksi pidana terhadap orang dan/atau korporasi yang melakukan tindakan diskriminatif. Hal tersebut diatur dalam Bab VIII UU 40/2008 . Dalam kaitannya dengan pertanyaan Saudara, berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan: · Bahwa orang yang menggunakan nama Tiong Hoa namu n masih memenuhi salah satu kriteria WNI sebagaimana dimaksud dalam UU 12/2006 tidak dapat dianggap sebagai warga negara asing. · Bahwa berdasarkan Pasal 5 Keppres 240/1967, terdapat anjuran untuk mengubah nama Cina menjadi nama Indonesia. Namun demikian, tidak terdapat kewajiban untuk mematuhinya, selain daripada itu tidak ada ancaman sanksi apabila anjuran tersebut tidak dipatuhi. · Bahwa sesuai dengan Inpres 26/1998 pejabat penyelenggara pemerintahan wajib untuk memberikan perlakuan yang sama kepada seluruh WNI. Selain daripada itu, berdasarkan UU 40/2008, semua orang (termasuk korporasi) dilarang melakukan tindakan diskriminatif. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: 1. Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia ; 2. Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis ; 3. Keputusan Presiden No. 240 T ahun 1967 tentang Kebijaksanaan Jang Menjangkut Warga Negara Indonesia Keturunan Asing ; 4. Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi Dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, Ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan . cina"
} |
{
"from": "human",
"value": "Halo Bung Pokrol. Saya ingin menanyakan menganai peraturan hukum yang mengatur usaha di bidang entertainment atau event organizer, apakah benar usaha seperti ini di atur dalam hukum impresariat? Kalau Ya, apakah yang dimaksud dengan hukum Impresariat itu? bagaimana prosedur pengurusannya dan berapa biayanya? Jika bukan, peraturan badan hukum apa yang mengatur jenis usaha seperti ini? dan di mana saya bisa mendapatkan informasi yang sejelas-jelasnya mengenai peraturan ini?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Usaha di bidang entertaiment adalah usaha di bidang hiburan, sedangkan usaha di bidang event organizer belumlah tentu merupakan usaha di bidang hiburan. Oleh karenanya perlu ditekankan bahwa usaha di bidang event organizer dimaksud adalah yang bergerak untuk bidang hiburan. Selanjutnya untuk kedua usaha sebagaimana dimaksud di atas memang diatur oleh ketentuan-ketentuan mengenai impresariat atau dalam hal ini usaha di bidang jasa impresariat Pasal 1 butir a Keputusan Menteri Parpostel No. KM.13/UM.201/MPPT-91 tentang Usaha Jasa Impresariat ( Kepmen Usaha Jasa Impresariat ) menyatakan bahwa usaha jasa impresariat adalah kegiatan pengurusan penyelenggaraan hiburan, baik yang berupa mendatangkan, mengirimkan maupun mengembalikan serta menentukan tempat, waktu dan jenis hiburan. Sehingga berdasarkan pasal tersebut pula dapat disimpulkan bahwa hukum impresariat adalah aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai kegiatan pengurusan penyelenggaraan hiburan sebagaimana dimaksud di atas. Berdasarkan pasal 26 Peraturan Pemerintah No. 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan ( PP Penyelenggaraan Kepariwisataan ) dinyatakan bahwa usaha jasa impresariat diselenggarakan oleh Perseroan Terbatas atau Koperasi, dimana kegiatan usahanya meliputi : a. Pengurusan dan penyelenggaraan pertunjukan hiburan oleh artis, seniman, dan olahragawan Indonesia yang melakukan pertunjukan di dalam dan atau di luar negeri; b. Pengurusan dan penyelenggaraan pertunjukan hiburan oleh artis, seniman, dan olahragawan asing yang melakukan pertunjukan di Indonesia; c. Pengurusan, dokumen perjalanan, akomodasi, transportasi bagi artis, seniman dan olahragawan yang akan mengadakan pertunjukan hiburan; dan d. Penyelenggaraan kegiatan promosi dan publikasi pertunjukan. Selanjutnya berdasarkan Pasal 5 Kepmen Usaha Jasa Impresariat dinyatakan usaha jasa impresariat tersebut di atas dilaksanakan berdasarkan izin yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud di atas, maka tahap-tahap yang harus dilakukan adalah sebagai berikut: a. Mengajukan permohonan tertulis dengan persyaratan-persyaratan tertentu disertai rekomendasi dari Kakanwil Parpostel setempat; b. Selambat-lambatnya dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan, Direktur Jenderal harus menetapkan izin usaha atau menolaknya; c. Apabila terjadi penolakan sebagaimana dimaksud pada butir b di atas, maka akan disampaikan kepada pemohon dalam bentuk tertulis dengan disertai alasan-alasan keberatan untuk diberikannya izin. Dinyatakan pula dalam peraturan tersebut bahwa mengenai tata cara dan persyaratan izin usaha jasa impresariat diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal. Namun di lain pihak, berkaitan dengan besarnya biaya atas prosedur tersebut, tidak diperoleh suatu peraturan pemerintah yang mengatur atau memperinci mengenai hal tersebut. Peraturan mengenai usaha jasa impresariat sebagaimana dimaksud di atas, dapat diperoleh di Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi Republik Indonesia. Hal ini dikarenakan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan usaha jasa impresariat diatur dalam peraturan-peraturan yang dikeluarkan sehubungan dengan bidang pariwisata, antara lain adalah: - Undang-Undang No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan; - Peraturan Pemerintah No. 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan; - Keputusan Menteri Parpostel No. KM.13/UM.201/MPPT-91 tentang Usaha Jasa Impresariat."
} |
{
"from": "human",
"value": "Ayah saya memiliki orang tua kandung yang dirawat orang lain dan juga memiliki rumah yang ditinggali dengan orang tersebut sejak lama. Sekarang orang tua ayah saya sudah meninggal semua, sedangkan rumah tadi ditinggali orang lain tersebut. Lalu, pertanyaan saya, apakah orang lain tersebut memiliki hak bagian jika rumah itu dijual ayah saya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami asumsikan masalah kewarisan ini tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“ KUH Perdata”) . Menurut KUH Perdata, prinsip dari pewarisan adalah: Harta waris baru terbuka (dapat diwariskan kepada pihak lain) apabila terjadinya suatu kematian berdasarkan P asal 830 KUH P erdata ; Adanya hubungan darah di antara pewaris d engan ahli waris atau hubungan suami istri berdasarkan P asal 832 KUH P erdata , dengan ketentuan mereka masih terikat dalam perkawinan ketika pewaris meninggal dunia. Artinya, kalau mereka sudah bercerai pada saat pewaris meninggal dunia, maka suami/istri tersebut bukan merupakan ahli waris dari pewaris. Berdasarkan prinsip tersebut, maka yang berhak mewaris hanyalah orang-orang yang mempunyai hubungan darah dan hubungan perkawinan dengan pewaris. Baik itu berupa keturunan langsung maupun orang tua, saudara, nenek/kakek atau keturunannya dari saudara-saudaranya. Sehingga, apabila dimasukkan dalam kategori, maka yang berhak mewaris ada empat golongan besar, yaitu: [1] Golongan I : suami/istri yang hidup terlama dan anak/keturunannya ; Golongan II : orang tua dan saudara kandung p ewaris ; Golongan III : k eluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris ; Golongan IV : p aman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu, keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari pewaris, saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari pewaris. Golongan ahli waris ini menunjukkan siapa ahli waris yang lebih didahulukan berdasarkan urutannya , a rtinya, ahli waris golongan II tidak bisa mewarisi harta peninggalan pewaris dalam hal ahli waris golongan I masih ada. Dalam kasus Anda, kami asumsikan orang tua A nda merupakan ahli waris golongan I yang berhak sepenuhnya atas harta peninggalan dari orang tuanya / kakek-nenek Anda, yakni rumah yang ditinggali orang tua bersama pihak ketiga tersebut. Pihak ketiga yang tidak memiliki hubungan kewarisan dengan orang tua atau kakek / nenek Anda tidak termasuk ahli waris yang mempunyai hak atas harta peninggalan , kecuali terdapat wasiat untuk pihak ketiga tersebut. Mengenai wasiat ini, dapat Anda baca selengkapnya di Hubungan Wasiat dengan Surat Wasiat . Baca juga: Empat Golongan Ahli Waris Menurut KUH Perdata Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar H ukum : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata . [1] Pasal 852, Pasal 852a, Pasal 853, Pasal 854, Pasal 855, dan Pasal 861 KUH Perdata hukumonline waris perdata"
} |
{
"from": "human",
"value": "Di tempat saya, yayasan mengadakan penarikan uang kepada lembaga pendidikan di bawahnya. Apakah hal ini dibenarkan? Dan semua sumbangan selain dari bantuan operasional siswa diminta ke yayasan apakah hal ini dibenarkan? Padahal dalam undang-undang yayasan tidak diijinkan meminta dana ke lembaga di bawahnya kecuali lembaga usaha. Bagaimana hukumnya dan bila dilanggar seperti apa hukumnya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota, demikian yang dikatakan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (“UU Yayasan”) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (“UU 28/2004”) . Mengenai apakah yayasan dibenarkan menarik dana/uang dari lembaga pendidikan di bawahnya, maka hal ini berkaitan dengan kekayaan yayasan. Kekayaan yayasan itu sendiri diatur dalam Pasal 26 UU Yayasan yang berbunyi: KLINIK TERKAIT Status Harta Suatu Yayasan yang Bubar 11 Jul 2019 Apakah Orang Asing atau Badan Hukum Asing Boleh Mendirikan Yayasan? 29 Jul 2016 Pemberian Kuasa oleh Pengurus Yayasan 02 Jun 2014 Apakah Lembaga Pendidikan Boleh Membentuk PT? 19 Mar 2014 Apakah Lembaga Pendidikan Boleh Membentuk PT? 19 Mar 2014 (1) Kekayaan Yayasan berasal dari sejumlah kekayaan yang dipisahkan dalam bentuk uang atau barang. (2) Selain kekayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kekayaan Yayasan dapat diperoleh dari: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas a. sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat; b. wakaf; c. hibah; d. hibah wasiat; dan e. perolehan lain yang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar Yayasan dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Dalam hal kekayaan Yayasan berasal dari wakaf, maka berlaku ketentuan hukum perwakafan. (4) Kekayaan Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dipergunakan untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan. Dari penjelasan Pasal 26 ayat (2) UU Yayasan diperoleh penjelasan sebagai berikut: a. S umbangan atau bantuan yang tidak mengikat adalah sumbangan atau bantuan sukarela yang diterima Yayasan, baik dari Negara, masyarakat, maupun dari pihak lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Wakaf adalah wakaf dari orang atau dari badan hukum. c. Hibah adalah hibah dari orang atau dari badan hukum. d. Besarnya hibah wasiat yang diserahkan kepada Yayasan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan hukum waris. e. P erolehan lain misalnya deviden , bunga tabungan bank, sewa gedung, atau perolehan dari hasil usaha Yayasan . Mengacu pada sumber kekayaan yang diperoleh yayasan di atas diketahui bahwa kekayaan yayasan hanya bisa didapat dari kelima hal di atas. Adapun mengenai lembaga usaha yang di dalamnya terdapat penyertaan kekayaan yayasan, diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 7 UU Yayasan : Pasal 3 UU Yayasan: (1) Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha . (2) Yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas. Pasal 7 UU Yayasan: (1) Yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan. (2) Yayasan dapat melakukan penyertaan dalam berbagai bentuk usaha yang bersifat prospektif dengan ketentuan seluruh penyertaan tersebut paling banyak 25 % (dua puluh lima persen) dari seluruh nilai kekayaan Yayasan. (3) Anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas Yayasan dilarang merangkap sebagai Anggota Direksi atau Pengurus dan Anggota Dewan Komisaris atau Pengawas dari badan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2). Penjelasan lebih lanjut mengenai penyertaan kekayaan yayasan pada suatu badan usaha dapat Anda simak dalam artikel Bolehkah Yayasan Digunakan untuk Menjalankan Usaha Warnet? Melihat pada ketentuan di atas, jelas bahwa selain bersumber dari hal-hal yang disebut dalam Pasal 26 UU Yayasan, penarikan dana dari lembaga pendidikan di bawah naungan yayasan tersebut tidak dibenarkan. Kecuali jika dana dari lembaga pendidikan atau badan usaha di bawah yayasan adalah pembagian hasil usaha atas penyertaaan yayasan dalam badan tersebut. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan . yayasan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah sebuah yayasan keagamaan berhak memiliki sebidang tanah dengan status kepemilikan Hak Milik? Apa dasar hukumnya? Apabila diperbolehkan, bagaimana prosesnya? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Untuk mengetahui apakah sebuah yayasan keagamaan berhak memiliki sebidang tanah dengan status kepemilikan hak milik atau tidak, terlebih dahulu kita perlu mengetahui status kedudukan yayasan keagamaan itu sendiri. KLINIK TERKAIT Jenis-jenis Badan Usaha dan Karakteristiknya 14 Jun 2024 Penggunaan Nama Notaris/PPAT untuk Nama Badan Usaha 09 Jun 2017 Bolehkah Merangkap Jabatan Sebagai Direksi PT dan CV? 24 Jun 2013 Jual Beli Tanah Yayasan 18 Jun 2013 Yayasan merupakan badan hukum sebagaimana diatur dalam UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (“UU 28/2004”). Di dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (“UU Yayasan”) disebutkan: “ Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. ” Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Dari bunyi pasal tersebut dapat kita ketahui bahwa yayasan keagamaan merupakan badan hukum yang kekayaannya dipisahkan dan diperuntukkan untuk tujuan keagamaan. Kita ambil contoh gereja, M. Yasin, S.H., M.H. dalam tulisannya yang berjudul Gereja sebagai Pemohon Informasi Publik mengatakan bahwa dilihat dari sifatnya, badan hukum dapat dibagi dua, yaitu badan hukum publik dan badan hukum privat. Dalam lingkup badan hukum privat inilah gereja ( kerkgenootschappen ) dapat dikategorikan sebagai badan hukum. Masih bersumber dari tulisannya, Yasin mengatakan bahwa menurut Victorius MH Randa Puang (2012), kedudukan gereja atau perkumpulan gereja sebagai badan hukum sering tidak diketahui atau dipahami, termasuk kalangan Kristen dan Katholik. Status gereja sebagai badan hukum sudah melekat sejak zaman Belanda, yakni Pasal 1 Staatblad Tahun 1927 No. 156. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang Dapat Mempunyai Hak Milik atas Tanah (“PP 38/1963”) menetapkan antara lain badan-badan keagamaan sebagai pihak yang berhak mendapat hak milik atas tanah. Berangkat dari pijakan hukum itu, Randa Puang menyimpulkan bahwa gereja mempunyai hak milik atas tanah. Hak gereja itu diperkuat pula dengan Keputusan Dirjen Agraria dan Transmigrasi No. 1/Dd-AT/Agr/67 untuk badan-badan gereja Katholik, dan Keputusan Dirjen Agraria dan Transmigrasi No. 22/HK/1969 untuk badan-badan gereja Protestan. Berikut adalah badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah yang dimaksud dalam Pasal 1 PP 38/1963: a. Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut Bank Negara); b. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasar atas Undang-Undang No. 79 Tahun 1958 (Lembaran-Negara tahun 1958 No. 139); c. Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Agama; d. Badan-badan sosial, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial Dari pengaturan pasal tersebut, jelas kiranya bahwa yayasan keagamaan seperti yang Anda tanyakan adalah badan hukum yang berhak memiliki sebidang tanah dengan status kepemilikan hak milik. Lebih lanjut, Pasal 4 PP 38/1963 menyatakan: “Badan-badan keagamaan dan sosial dapat mempunyai hak milik atas tanah yang dipergunakan untuk keperluan-keperluan yang langsung berhubungan dengan usaha keagamaan dan sosial.” Untuk menjawab pertanyaan Anda berikutnya mengenai proses penerbitan sertipikat hak milik atas nama yayasan keagamaan, kami berasumsi bahwa tanah yang mau dimiliki oleh yayasan keagamaan tersebut sebelumnya belum bersertipikat sehingga untuk memperoleh hak miliknya adalah melalui permohonan hak dengan melakukan pendaftaran tanah untuk pertama kali. Sepanjang penelusuran kami, kami tidak menemukan prosedur khusus penerbitan sertipikat hak milik atas tanah bagi yayasan keagamaan. Akan tetapi, pada umumnya pensertipikatan tanah (pendaftaran tanah untuk pertama kali) itu merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP Pendaftaran tanah”) .Mengenai hal ini Anda dapat simak artikel Pengurusan Sertifikat Tanah dan Bagan/Proses/Prosedur Pembuatan Sertipikat Tanah . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: 1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan 2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan 3. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang Dapat Mempunyai Hak Milik atas Tanah 4. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah 5. Keputusan Direktur Jenderal Agraria dan Transmigrasi No. 1/Dd-AT/Agr/67 6. Keputusan Direktur Jenderal Agraria dan Transmigrasi No. 22/HK/1969 REFERENSI:\n1. M. Yasin, S.H., M.H. Gereja sebagai Pemohon Informasi Publik."
} |
{
"from": "human",
"value": "Benarkah youtuber, selebgram, dan penjual olshop dikenakan pajak penghasilan? Jika iya, bagaimana perhitungannya dan apa dasar hukumnya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Pajak Penjual dan Pembeli dalam Jual Beli Tanah 29 Apr 2024 Syarat Warisan Bebas Pajak 16 Feb 2024 Apa Itu Pajak Karbon dan Bagaimana Penerapannya di Indonesia? 24 Jan 2024 Cara Menghitung Biaya Pajak Restoran 08 Agt 2023 Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Pengenaan Pajak Bagi YouTuber, Selebgram, dan Penjual Olshop di Medsos yang dibuat oleh Dimas Hutomo, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 21 Januari 2019. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Belakangan ini, apabila anak kecil ditanya perihal cita-citanya kelak kalau sudah besar mau jadi apa? Tentu jawabannya akan sangat berbeda dengan 30 atau 20 tahun yang lalu. Bukan lagi menjawab ingin menjadi insinyur, dokter, guru, pegawai negeri, melainkan menjadi youtuber , selebgram , atau content creator . Hal ini sehubungan dengan peningkatan intensitas anak-anak zaman sekarang dengan gadget. Sebab penggunaan gadget juga menjadi media sumber informasi yang sangat efektif saat ini, karena berbagai informasi dari berbagai belahan dunia dapat diakses dengan mudah. Belum lagi banyak youtuber sukses yang berhasil meraup penghasilan besar dari konten viral yang dibuatnya. Kehidupan yang sukses ini tentu menjadi impian banyak orang. Lalu, menjawab pertanyaan Anda, apakah youtuber , selebgram , dan penjual olshop akan dikenai pajak penghasilan? Iya, mengingat pengertian penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 angka 1 UU 7/2021 yang mengubah Pasal 4 UU PPh , bahwa penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Untuk mempermudah pemahaman Anda, kami berikan contoh seorang youtuber saat ini membutuhkan biaya hidup satu bulan sebesar Rp15 juta. Pada bulan Januari 2024, ia menerima penghasilan dari youtube sebesar Rp25 juta. Artinya, youtuber tersebut memiliki tambahan kemampuan ekonomis, yaitu sebesar Rp10 juta. Sehingga, tambahan kemampuan ekonomis sebesar Rp10 juta tersebut adalah objek pajak penghasilan dan harus dipotong pajak sesuai tarif yang berlaku. Adapun penghasilan dapat menambah kekayaan, jika menggunakan pendekatan akuntansi yaitu rumus standar harta = utang + modal , apabila ada penambahan pendapatan yang dalam hal ini diwakilkan oleh modal, maka otomatis harta kita bertambah. Berdasarkan penjelasan ini, bahwa penghasilan yang diterima dari YouTube tersebut merupakan objek pajak dan terutang pajak penghasilan. Berikut ini besaran tarif pajak yang diterapkan atas penghasilan kena pajak bagi wajib pajak orang pribadi dalam negeri dengan lapisan penghasilan kena pajak tarif pajak sebagai berikut: [1] sampai dengan Rp60 juta sebesar 5%; di atas Rp60 juta sampai dengan Rp250 juta sebesar 15%; di atas Rp250 juta sampai dengan Rp500 juta sebesar 25%; di atas Rp500 juta sampai dengan Rp5 miliar sebesar 30%; di atas Rp5 miliar sebesar 35%. Mengingat penghasilan dari YouTube dan lainnya adalah hal baru, oleh karena itu pegawai pajak diberikan pelatihan khusus untuk belajar mengenai bagaimana proses bisnis youtube sampai bisa menghasilkan uang. Selanjutnya, masing-masing harus mencari tahu sendiri berapa besar pajak yang harus dibayar dan bagaimana cara membayar dan melaporkannya. Patut dicatat, bahwa pajak itu beban yang tidak bisa dihindari selama Anda hidup. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan [1] Pasal 3 angka 7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang mengubah Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan selebgram instagram pph youtuber"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya mau tanya sebuah kasus yang dialami jika seorang yang membuat fasilitas website layanan sms gratis disalahgunakan oleh pengguna (untuk melakukan teror, ancaman, sms spam dll), dan bagaimana dampak hukum bagi penyedia jika pengguna menyalahgunakan layanan tersebut? Apakah penyedia layanan bisa dijerat dengan hukum jika term of service telah dicantumkan di web? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Teguh Arifiyadi, S.H., M.H. dan pernah dipublikasikan pada Senin, 11 Agustus 2014. KLINIK TERKAIT Apa itu Klausula Eksonerasi dan Keabsahannya dalam Perjanjian 02 Mei 2024 Motor Hilang di Parkiran, Siapa yang Bertanggung Jawab? 02 Agt 2023 Saldo Dipotong Karena Salah Memasukkan PIN, Bolehkah? 09 Sep 2021 Helm Hilang Bukan Tanggung Jawab Pengelola Parkir? 03 Okt 2012 Intisari: Konten komunikasi teks bersifat privat dan tidak wajib di- filter atau dimoderasi oleh penyedia layanan. Terkecuali pengguna SMS gratis memanfaatkannya untuk pengiriman SMS massal atau spamming yang dapat mengganggu kinerja layanan, maka filter /moderasi dapat diterapkan. Meskipun penyedia layanan tidak melakukan filter /moderasi, menurut pendapat kami, penyedia layanan tidak dapat dimintai tanggung jawab secara pidana terhadap konten komunikasi yang dikirim karena filter /moderasi tanpa alasan yang tepat dapat dianggap melanggar privasi pengguna. Jadi dalam kasus penyediaan layanan SMS gratis, penyedia layanan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana jika ternyata konten yang terkirim dalam layanannya berkaitan dengan suatu tindak pidana. Namun jika layanan tersebut mengakibatkan kerugian secara perdata, misalkan penggunaan layanan untuk pengiriman spam dan terbukti merugikan pihak lain serta tidak ada upaya dari penyelenggara SMS gratis untuk mengatasinya, penyelenggara tetap dapat digugat. Kemudian mengenai Term of Service (“ToS”), dalam konteks pidana, isi ToS yang berisi pelepasan tanggung jawab pidana dapat saja diabaikan berdasarkan teori dolus eventualis (sadar akan kemungkinan). Konkretnya adalah, pemilik sebuah layanan tidak dapat mengelak untuk dimintai pertanggungjawaban hukum jika pemilik dapat memprediksi layanannya digunakan secara langsung untuk perbuatan pidana atau layanannya semata-mata dibuat untuk memfasilitasi tindak pidana. Tapi, itu semua tergantung case by case . Tidak bisa semua kasus diperlakukan sama. Penjelasan lebih lanjut, silakan simak ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Pembaca hukumonline yang baik, sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kami akan menjelaskan terlebih dahulu tentang layanan SMS gratis ( free SMS ) melalui web site . Layanan SMS gratis melalui web site adalah adalah layanan yang dapat diberikan oleh penyedia web site kepada setiap orang untuk mengirimkan pesan singkat tanpa dikenakan biaya/pulsa dengan cara memasang fasilitas widget atau aplikasi sms gratis pada web site tersebut. Pesan singkat yang dikirim memanfaatkan server dari penyedia widget atau aplikasi SMS gratis sehingga tidak memotong pulsa dari penggunanya. SMS yang dikirim dan diterima pada umumnya tidak menampilkan nomor handphone pengirim. SMS hanya berisi konten pengirim dan nama penyedia layanan SMS gratis tersebut. Sebagaimana layanan SMS yang memanfaatkan jaringan telekomunikasi operator (penyelenggara jasa telekomunikasi), layanan free SMS berbasis web hanyalah sebuah media perantara yang digunakan terbatas person to person untuk berkomunikasi secara tekstual. Menurut pendapat kami, konten komunikasi teks tersebut bersifat privat dan tidak wajib di- filter atau dimoderasi oleh penyedia layanan. Terkecuali pengguna SMS gratis memanfaatkannya untuk pengiriman SMS massal atau spamming yang dapat mengganggu kinerja layanan, maka filter /moderasi dapat diterapkan. Meskipun penyedia layanan tidak melakukan filter /moderasi, menurut pendapat kami, penyedia layanan tidak dapat dimintai tanggung jawab secara pidana terhadap konten komunikasi yang dikirim karena filter /moderasi tanpa alasan yang tepat dapat dianggap melanggar privasi pengguna. Term of Service (“ToS”) Istilah “ term of service” sepengetahuan kami sebetulnya tidak dikenal dalam kaidah hukum di Indonesia. Term of service atau ada sebagian negara menyebutnya Acceptable Use Policy (“AUP”) adalah pernyataan sepihak yang biasanya diterapkan sebagai kebijakan bahkan aturan sebuah layanan agar pengguna mematuhi aturan-aturan sebelum atau pada saat menggunakan layanan tersebut. ToS ada yang dimintakan persetujuan dalam bentuk statement persetujuan yang harus di-klik atau di-“centang” oleh pengguna, namun ada juga yang meletakkannya dalam tampilan link web site atau aplikasi dan menganggap semua pengguna telah membaca dan menyetujuinya. Beberapa ToS bahkan digunakan sebagai sebuah penyangkalan atau disclaimer jika terjadi permasalahan atas pelanggaran kebijakan tersebut. ToS berisi klausula baku yang harus disetujui oleh pengguna. Klausula baku memang tidak dikenal dalam istilah pidana. Namun dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”), klausula baku diartikan sebagai setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Menurut pendapat kami, ada atau tidaknya ToS tidak berkaitan secara langsung dengan dapat tidaknya seseorang dikenakan tanggung jawab hukum. Terlebih jika isi ToS adalah pernyataan pelepasan tanggung jawab hukum penyelengara yang “mau tidak mau” harus disetujui oleh pengguna. Pasal 18 ayat (1) UUPK telah mengatur bahwa klausula baku tidak boleh berisi tentang: a) menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b) menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c) menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d) menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e) mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f) memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; g) menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h) menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. Jika ditemukan klausula baku demikian dalam sebuah ToS, maka dinyatakan batal demi hukum (Pasal 18 ayat [3] UUPK). Dalam konteks pidana, isi ToS yang berisi pelepasan tanggung jawab pidana dapat saja diabaikan berdasarkan teori dolus eventualis (sadar akan kemungkinan). Konkretnya adalah, pemilik sebuah layanan tidak dapat mengelak untuk dimintai pertanggungjawaban hukum jika pemilik dapat memprediksi layanannya digunakan secara langsung untuk perbuatan pidana atau layanannya semata-mata dibuat untuk memfasilitasi tindak pidana. Tapi, itu semua tergantung case by case . Tidak bisa semua kasus diperlakukan sama. Menegaskan penjelasan kami sebelumnya, dalam kasus penyediaan layanan SMS gratis, kami berpendapat, penyedia layanan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana jika ternyata konten yang terkirim dalam layanannya berkaitan dengan suatu tindak pidana. Namun jika layanan tersebut mengakibatkan kerugian secara perdata, misalkan penggunaan layanan untuk pengiriman spam dan terbukti merugikan pihak lain serta tidak ada upaya dari penyelenggara SMS gratis untuk mengatasinya, penyelenggara tetap dapat digugat berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) maupun berdasarkan UUPK. Bunyi Pasal 38 UU ITE adalah sebagai berikut: (1) Setiap Orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang menimbulkan kerugian. (2) Masyarakat dapat mengajukan gugatan secara perwakilan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang berakibat merugikan masyarakat, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Demikian pendapat kami, terima kasih. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ; 2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik . hukumonline teknologi uu ite uu perlindungan konsumen klinik hukumonline perdagangan perlindungan konsumen"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya mau menanyakan seputar private label:\n1. Apakah private label wajib didaftarkan?\n2. Apakah resiko private label jika tidak didaftarkan?\n3. Bagaimana proses pendaftaran private label? Dalam hal ini objek private label berupa bentuk bahan baku makanan."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. “ Private l abel ’ adalah produk yang dihasilkan oleh suatu perusahaan dan dijual kepada pihak tertentu atau perusahaan lain dengan kondisi perusahaan tersebut dapat mengubah serta mengembangkannya dan melabeli produk tersebut dengan merek mereka sendiri. Sementara jika dilihat dalam Black’s Law Dictionary 9 th Edition (hal. 213), terdapat definisi dari “ private brand” sebagai berikut: An identification mark placed on goods made by someone else under license or other arrangement and marketed as one's own. • The seller of private brand goods sponsors those goods in the market, becomes responsible for their quality, and has rights to prevent others from using the same mark. Dalam hukum merek, hak eksklusif terhadap suatu merek diberikan oleh negara atas permohonan pemilik merek. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis ( “ UU MIG ” ) , bahwa Hak atas Merek adalah: H ak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik Merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Merek merupakan tanda atau kombinasi dari tanda yang membedakan barang atau jasa dari suatu entitas dengan entitas yang lain. Dalam artian yang luas, merek sebagaimana dijelaskan dalam buku Memahami Hak Kekayaan Industri terbitan dari World Intellectual Property Organization (hal. 13-14), merek memiliki empat fungsi, yaitu: Untuk membedakan barang atau jasa dari suatu entitas dengan entitas lain. Merek memfasilitasi pilihan konsumen saat membeli barang tertentu. Merek membedakan kualitas barang atau jasa tertentu yang digunakan sehingga konsumen dapat bergantung pada konsistensi kualitas barang yang ditawarkan melalui suatu merek. Merek dimaksudkan untuk menunjukkan identitas penghasil produk barang atau jasa yang dipasarkan. Merek dipakai untuk mempromosikan pemasaran dan penjualan produk. Merek juga dimaksudkan untuk menarik konsumen, membuat perhatian, dan memberikan rasa percaya diri. Apabila pemilik produk atau produsen merasa membutuhkan produknya terlindungi secara hukum dari sisi perlindungan merek, maka pemilik produk yang telah memiliki merek dapat mendaftarkan mereknya. Tidak ada kewajiban untuk mendaftarkan merek karena melakukan pendaftaran merek tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pemilik merek terdaftar dari adanya pelanggaran merek yang dilakukan oleh pihak lain. Kalaupun ada persyaratan wajib mendaftarkan merek, hal tersebut adalah bagian dari perjanjian dengan pihak perusahaan yang memproduksi barang private label ataupun pihak yang memasarkan produk tersebut, contohnya Amazon. Sama halnya dengan produk lain yang bukan merupakan private label , perlindungan merek memiliki fungsi sebagaimana tersebut di atas. Apabila pemilik produk private label tidak mendaftarkan mereknya, maka resiko terjadinya pelanggaran merek yang dilakukan oleh pihak lain tidak terlindungi secara hukum. Proses pendaftaran merek private label sama dengan produk lainnya. Syarat dan tata cara permohonan pendaftaran merek diatur pada Pasal 4-8 UU MIG sebagai berikut. Pasal 4 UU MIG Permohonan pendaftaran Merek diajukan oleh Pemohon atau Kuasanya kepada Menteri secara elektronik atau non-elektronik dalam bahasa Indonesia. Dalam Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mencantumkan: tanggal, bulan, dan tahun Permohonan; nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat Pemohon; nama lengkap dan alamat Kuasa jika Permohonan diajukan melalui Kuasa; warna jika Merek yang dimohonkan pendaftarannya menggunakan unsur warna; nama negara dan tanggal permintaan Merek yang pertama kali dalam hal Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas; dan kelas barang dan/atau kelas jasa serta uraian jenis barang dan/atau jenis jasa. Permohonan ditandatangani Pemohon atau Kuasanya. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan label Merek dan bukti pembayaran biaya. Biaya Permohonan pendaftaran Merek ditentukan per kelas barang dan/atau jasa. Dalam hal Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa bentuk 3 (tiga) dimensi, label Merek yang dilampirkan dalam bentuk karakteristik dari Merek tersebut. Dalam hal Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa suara, label Merek yang dilampirkan berupa notasi dan rekaman suara. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilampiri dengan surat pernyataan kepemilikan Merek yang dimohonkan pendaftarannya. Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 5 UU MIG Dalam hal Permohonan diajukan oleh lebih dan satu Pemohon yang secara bersama-sama berhak atas Merek tersebut, semua nama Pemohon dicantumkan dengan memilih salah satu alamat sebagai alamat Pemohon. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh salah satu dari Pemohon yang berhak atas Merek tersebut dengan melampirkan persetujuan tertulis dari para Pemohon yang mewakilkan. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang salah seorang Pemohonnya atau lebih warga negara asing dan badan hukum asing yang berdomisili di luar negeri wajib diajukan melalui Kuasa. Dalam hal Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan melalui Kuasanya, surat kuasa untuk itu ditandatangani oleh semua pihak yang berhak atas Merek tersebut. Pasal 6 UU MIG Permohonan untuk lebih dari 1 (satu) kelas barang dan/atau jasa dapat diajukan dalam satu Permohonan. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyebutkan jenis barang dan/atau jasa yang termasuk dalam kelas yang dimohonkan pendaftarannya. Ketentuan lebih lanjut mengenai kelas barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 7 UU MIG Permohonan dan hal yang berkaitan dengan administrasi Merek yang diajukan oleh Pemohon yang bertempat tinggal atau berkedudukan tetap di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib diajukan melalui Kuasa. Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyatakan dan memilih alamat Kuasa sebagai domisili hukum di Indonesia. Pasal 8 UU MIG Ketentuan lebih lanjut mengenai Syarat dan Tata Cara Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 6 diatur dengan Peraturan Menteri. Terkait dengan jenis barang/jasa yang akan dimohonkan pendaftarannya, Anda dapat melihat jenis dan klasifikasi barang/jasa pada Sistem Klasifikasi Merek NICE Classification . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Referensi : Black’s Law Dictionary 9 th Edition; WIPO. Memahami Hak Kekayaan Industri (diterjemahkan oleh Ditjen HKI) . WIPO Publication No. 895 (E) Indonesian, Jakarta; Sistem Klasifikasi Merek NICE Classification , diakses pada tanggal 15 Juli 2019, pukul 11.24 WIB. hukumonline google online merek pendaftaran hukum permohonan kekayaan intelektual"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah benar bahwa WNA tidak boleh membeli apartemen di wilayah Indonesia? Apa Undang-undang yang mengaturnya? Bisa saya dapat salinannya? Trims, Atik"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini tidak melarang WNA untuk membeli apartemen. Peraturan perundang-undangan yang menjadi rujukan utama jika ingin mengetahui hak-hak WNA untuk memiliki tempat hunian atau tempat tinggal di Indonesia adalah Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia (PP No. 41/1996) . Ketentuan pasal 2 PP No. 41/1996 pada prinsipnya memberikan hak bagi WNA untuk membeli sebuah unit apartemen. Namun, perlu diingat bahwa pasal 2 PP No. 41/1996 juga mensyaratkan bahwa apartemen yang akan dibeli oleh WNA harus “dibangun di atas bidang tanah Hak Pakai atas tanah Negara.” Penjelasan mengenai Hak Pakai atas tanah Negara dapat dilihat dalam Bab VI Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria . Selain persyaratan di atas, terdapat satu persyaratan lagi yang diatur oleh peraturan turunan PP No. 41/1996, yaitu Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 7 Tahun 1996 Tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing (Peraturan MNA/BPN 7/1996) . Pada pasal 2 ayat (2) Peraturan MNA/BPN 7/1996 , apartemen yang dibeli WNA disyaratkan harus “tidak termasuk klasifikasi rumah sederhana atau rumah sangat sederhana.” Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Kriteria rumah sederhana (RS) atau rumah sangat sederhana (RSS) antara lain: - harga perolehan tanah dan rumah tidak lebih dari pada Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah), - luas tanah tidak lebih dari pada 200 M 2 , di daerah perkotaan dan tidak lebih daripada 400 M 2 , untuk di luar daerah perkotaan. Demikian antara lain menurut pasal 1 huruf d Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 15 Tahun 1997 . Demikian sejauh yang kami tahu. Semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria 2. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia 3. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 7 Tahun 1996 Tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing 4. Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 15 Tahun 1997 tentang Perubahan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1997 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Sangat Sederhana (RSS) Dan Rumah Sederhana (RS). Peraturan perundang-undangan tersebut di atas tersedia dalam Pusat Data hukumonline . Klik di sini untuk mendaftar."
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah APHT itu? Sejauh mana wilayah cakupannya? Apakah ada hubungan langsung antara APHT dan sertifikat kepemilikan tanah dan bangunan? Terima kasih"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Akta Pemberian Hak Tanggungan (\" APHT \") mengatur persyaratan dan ketentuan mengenai pemberian Hak Tanggungan dari debitor kepada kreditor sehubungan dengan hutang yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan. Pemberian hak ini dimaksudkan untuk memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor yang bersangkutan (kreditor preferen) daripada kreditor-kreditor lain (kreditor konkuren) (lihat ps.1 (1) Undang-undang No.4 Tahun 1996 atau \" UUHT \"). Jadi, Pemberian Hak Tanggungan adalah sebagai jaminan pelunasan hutang debitor kepada kreditor sehubungan dengan perjanjian pinjaman/kredit yang bersangkutan. Tanah sebagai obyek Hak Tanggungan dapat meliputi benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Hal itu dimungkinkan karena sifatnya secara fisik menjadi satu kesatuan dengan tanahnya, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, yang berupa bangunan permanen, tanaman keras dan hasl karya, dengan ketentuan bahwa benda-benda tersebut milik pemegang hak maupun milik pihak lain (bila benda-benda itu milik pihak lain, yang bersangkutan/pemilik harus ikut menandatangani APHT). Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Pembebanan Hak Tanggungan wajib memenuhi syarat yang ditetapkan dalam UUHT, yaitu: 1. Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian kredit yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. 2. Pemberian Hak Tanggungan wajib memenuhi syarat spesialitas yang meliputi: nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan, domisili para pihak, pemegang dan pemberi Hak Tanggungan, penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijaminkan pelunasannya dengan Hak Tanggungan, nilai tanggungan, dan uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan. 3. Pemberian Hak Tanggungan wajib memenuhi persyaratan publisitas melalui pendaftaran Hak Tanggungan pada Kantor Pertanahan setempat (Kotamadya/ Kabupaten). 4. Sertipikat Hak Tanggungan sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan memuat titel eksekutorial dengan kata-kata \"Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa\". 5. Batal demi hukum, jika diperjanjikan bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memiliki objek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji (wanprestasi). Tata cara pembebanan Hak Tanggungan dimulai dengan tahap pemberian Hak Tanggungan di hadapan PPAT yang berwenang dan dibuktikan dengan APHT dan diakhiri dengan tahap pendaftaran Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan setempat. Pada asasnya pemberi Hak Tanggungan (debitor atau pihak lain) wajib hadir sendiri di kantor PPAT yang berwenang membuat APHT berdasarkan daerah kerjanya (daerah kerjanya adalah per kecamatan yang meliputi kelurahan atau desa letak bidang tanah hak ditunjuk sebagai objek Hak Tanggungan). Didalam APHT disebutkan syarat-syarat spesialitas (sebagaimana disebutkan diatas), jumlah pinjaman, penunjukan objek Hak Tanggungan, dan hal-hal yang diperjanjikan (ps.11 (2) UUHT) oleh kreditor dan debitort, termasuk janji Roya Partial (ps.2 (2) UUHT) dan janji penjualan objek Hak Tanggungan di bawah tangan (ps.20 UUHT). Untuk kepentingan kreditor, dikeluarkan kepadanya tanda bukti adanya Hak Tanggungan, yaitu Sertipikat Hak Tanggungan yang terdiri dari salinan Buku Tanah Hak Tanggungan dan salinan APHT."
} |
{
"from": "human",
"value": "I often see the Indonesian National Standard (Standar Nasional Indonesia/\"SNI\") label on some products. Is this SNI mandatory for all goods/services?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Before answering your question, we will first explain what is meant by Indonesian National Standard (Standar Nasional Indonesia/\"SNI\"). According to Article 1 number 7 Government Regulation 34/2018, SNI is a standard set by the National Standardization Agency (Badan Standardisasi Nasional\"BSN\") and applies in the territory of Indonesia.\nSNI can be applied by business actors, ministries and/or non-ministerial government agencies, and/or local governments as needed,[1] and can be applied to:[2]\n\nGoods traded or distributed;Services provided;Processes or systems that are carried out; and/orPersonnel involved in certain activities.\n\nAnswering your question, basically, the application of SNI is done voluntarily based on needs.[3] However, SNI is enforced compulsorily to meet the requirements imposed by the minister or head of a non-ministerial government agency.[4] Then, to provide convenience for entrepreneurs to obtain SNI certificates, BSN implements a system of data sharing and integrated electronically (online).[5]\nVoluntary Application of SNI\nAs previously explained, SNI can be carried out voluntarily based on needs, where entrepreneurs who have been able to implement SNI can apply for certification to the Conformity Assessment Institution (Lembaga Penilaian Kesesuaian/\"LPK\") that has been accredited by the National Accreditation Committee (Komite Akreditasi Nasional/\"KAN\").[6]\n\nThe certification is a series of conformity assessment activities related to providing written assurance that goods, services, systems, processes, or personnel have met the standards and/or regulations set by BSN and are applicable in Indonesian territory.[7]\n\nFurthermore, Indonesian National Standard product certification will be provided by LPK by providing certificates to applicants who have met the requirements of SNI.[8]\n\nIf the business actor has obtained a certificate, then the person concerned is obliged to affix:[9]\n\nSNI mark; and/orConformity mark on goods and/or packaging or labelling.\n\nThe affixing of the SNI mark and/or conformity mark for services, systems, processes, and/or personnel can be affixed to identification boards, letterheads, and/or other media.[10] Furthermore, the affixing is done after the business actor has received approval for the use of the SNI mark and/or conformity mark from BSN.[11]\nIs SNI mandatory?\n\nMandatory implementation of SNI is carried out by the minister and/or head of a non-ministerial government institution by considering:[12]\n\nsafety, security, health, and preservation of environmental functions;competitiveness of national producers and fair business competition;the ability and readiness of the national business sector;the readiness of the LPK infrastructure;culture, customs, or traditions based on local wisdom; and/orother national interests in accordance with the provisions of laws and regulations.\n\nFurthermore, the mandatory implementation of SNI is stipulated through ministerial regulations and/or heads of non-ministerial government institutions in accordance with the authority based on laws and regulations.[13]\n\nIf SNI has been made mandatory for goods, services, systems, or processes, then business actors, ministries/non-ministerial government agencies, and/or local governments are required to have a certificate for the goods, services, systems, or processes.[14] This certificate is issued by an LPK accredited by KAN.[15]\n\nBusiness actors who produce, manufacture, and/or import goods for which SNI has been compulsorily applied, are obliged to affix the SNI mark and/or conformity mark on the goods and/or packaging or labels that will be traded and/or distributed in the territory of Indonesia.[16] However, this obligation is exempted in the event that the business actor who produces and/or manufactures the goods has made an agreement with the registered trademark owner and/or registered trademark licensee that the affixing of the SNI mark and/or conformity mark is carried out by the registered trademark owner and/or registered trademark licensee.[17]\n\nAs is applicable in the voluntary implementation of SNI, the affixing of SNI mark and/or conformity mark on SNI that is applied compulsorily is also done after obtaining approval for the use of SNI mark and/or conformity mark given by BSN to business actors.[18]\n\nIt should also be noted that in the event that SNI has been applied compulsorily, business actors are obliged to trade:[19]\n\nGoods that have been affixed with the SNI mark and/or conformity mark on the goods and/or packaging or label; and/orServices that already have an Indonesian National Standard certificate.\n\nIf this obligation is violated, then the business actor is obliged to stop trading goods and/or services.[20] In addition, if the business actor does not fulfill the mandatory SNI and does not affix the SNI mark and/or conformity mark, then the business actor is obliged to withdraw the goods from distribution.[21]\nExamples of Goods that are Required to Have SNI\n\nFor example, the following are goods that are required to have SNI certificate:\n\nTires, which are enforced through Regulation of the Minister of Industry 76/9/2015.\n\nProduct Certificate for the Use of the SNI Tire is a certificate issued by the Product Certification Agency to manufacturers who are able to produce tires in accordance with the requirements of the SNI for tires.[22]\n\nThe types of tires that are required to have SNI are:[23]\n\nPassenger car tires;Light truck tires;Truck and bus tires;Motorcycle tires;Tires in motorized vehicles;Tires that have been mounted on rims.\n\nHelmets, which is enforced through Regulation of the Minister of Industry 79/9/2015.\n\nProduct Certificate for the Use of SNI for Helmets for Riders of Two-Wheeled Motorized Vehicles is a certificate issued by Product Certification Agency to manufacturers who are able to produce helmets for riders of two-wheeled motorized vehicles in accordance with SNI helmet requirements.[24]\n\nCement, which was enforced through Regulation of the Minister of Industry 82/9/2015.\n\nProduct Certificate for the Use of SNI Cement is a certificate issued by Product Certification Agency to manufacturers who are able to produce cement in accordance with SNI requirements.[25]\n\nThe types of Cement products that are required to have SNI are:[26]\n\nWhite Portland Cement;Portland Pozoland Cement;Portland cement (other than white Portland, Portland pozoland, mixed Portland, and masonry cement);Portland cement (mixed cement);Masonry cement;Portland Composite Cement.\n\nMineral water, demineralized water, natural mineral water, and dewatered drinking water, enforced through Regulation of the Minister of Industry 78/11/2016 and its amendments.\n\nProduct Certificate for the Use of SNI is a certificate issued by Product Certification Agency to manufacturers who are able to produce mineral water, demineralized water, natural mineral water, and dewatered drinking water in accordance with SNI requirements.[27]\n\nThe types of water products that must have SNI are:[28]\n\nMineral waterDemineralized waterNatural mineral waterDew drinking water.\n\nYou can read Indonesia SNI mandatory list completely on the website of the Ministry of Industry of the Republic of Indonesia.\n\nAs additional information, specifically for Micro and Small Enterprises a.k.a. MSEs (Usaha Mikro dan Kecil) whose business activities are low risk, these MSEs only need to apply for a Business Identification Number (Nomor Induk Berusaha/ “NIB”) without the need to apply for SNI again. This is because Business Identification Number for low-risk business activities carried out by MSEs, functions as the identity of business actors, and legality to carry out business activities, and also applies as SNI and halal guarantee statements.[29]\n\nDynamic regulatory developments often challenge you in fulfilling your company's legal obligations. Keep up to date with the latest legal obligations with Hukumonline's Artificial Intelligence-based legal compliance monitoring platform, Regulatory Compliance System (RCS). Click here to learn more.\n\nThese are the answers we can provide, we hope you will find them useful.\n\nLegal Basis:\n\nRegulation of the Government Number 34 of 2018 on National Standardization and Conformity Assessment System;Regulation of the Government Number 5 of 2021 on the Organization of Risk-Based Business Licensing;Regulation of the Minister of Industry Number 76/M-IND/PER/9/2015 of 2015 on Mandatory Implementation of the Indonesian National Standard for Tires;Regulation of the Minister of Industry Number 79/M-IND/PER/9/2015 of 2015 on Mandatory Implementation of the Indonesian National Standard for Helmets for Riders of Two-Wheeled Motorized Vehicles;Regulation of the Minister of Industry Number 82/M-IND/PER/9/2015 of 2015 on Mandatory Implementation of the Indonesian National Standard for Cement;Regulation of the Minister of Industry Number 78/M-IND/PER/11/2016 of 2016 on Mandatory Implementation of the Indonesian National Standard for Mineral Water, Demineralized Water, Natural Mineral Water, and Dewatered Drinking Water as amended by Regulation of the Minister of Industry Number 26 on 2019 on the Amendment to Regulation of the Minister of Industry Number 78/M-IND/PER/11/2016 of 2016 on Mandatory Implementation of the Indonesian National Standard for Mineral Water, Demineralized Water, Natural Mineral Water, and Dewatered Drinking Water.\n\nReferences:\n\nMinistry of Industry of the Republic of Indonesia, accessed on Thursday, 27 July 2023, at 12.54 Western Indonesian Time (zone).\n\n[1] Article 20 section (1) Regulation of the Government Number 34 of 2018 on National Standardization and Conformity Assessment System (“Government Regulation 34/2018”).[2] Article 20 section (2) Government Regulation 34/2018.[3] Article 20 section (3) Government Regulation 34/2018.[4] Article 20 section (4) Government Regulation 34/2018.[5] Article 20 section (5) Government Regulation 34/2018.[6] Article 21 section (2) Government Regulation 34/2018.[7] Article 1 number (9) Government Regulation 34/2018.[8] Article 21 section (3) Government Regulation 34/2018.[9] Article 22 section (1) Government Regulation 34/2018.[10] Article 22 section (2) Government Regulation 34/2018.[11] Article 22 section (3) and (4) Government Regulation 34/2018.[12] Article 25 section (1) Government Regulation 34/2018.[13] Article 25 section (2) Government Regulation 34/2018.[14] Article 26 section (1) Government Regulation 34/2018.[15] Article 26 section (3) Government Regulation 34/2018.[16] Article 27 section (1) Government Regulation 34/2018.[17] Article 27 section (2) Government Regulation 34/2018.[18] Article 29 section (1) and (2) Government Regulation 34/2018.[19] Article 32 Government Regulation 34/2018.[20] Article 34 section (1) Government Regulation 34/2018.[21] Article 34 section (2) Government Regulation 34/2018.[22] Article 1 number 1 Regulation of the Minister of Industry Number 76/M-IND/PER/9/2015 of 2015 on Mandatory Implementation of the Indonesian National Standard for Tires (“Regulation of the Minister of Industry 76/9/2015”).[23] Article 2 Regulation of the Minister of Industry 76/9/2015.[24] Article 1 number 2 Regulation of the Minister of Industry Number 79/M-IND/PER/9/2015 of 2015 on Mandatory Implementation of the Indonesian National Standard for Helmets for Riders of Two-Wheeled Motorized Vehicles.[25] Article 1 number 1 Regulation of the Minister of Industry Number 82/M-IND/PER/9/2015 of 2015 on Mandatory Implementation of the Indonesian National Standard for Cement (“Regulation of the Minister of Industry 82/9/2015”).[26] Article 2 Regulation of the Minister of Industry 82/9/2015.[27] Article 1 number 8 Regulation of the Minister of Industry Number 78/M-IND/PER/11/2016 of 2016 on Mandatory Implementation of the Indonesian National Standard for Mineral Water, Demineralized Water, Natural Mineral Water, and Dewatered Drinking Water (“Regulation of the Minister of Industry 78/11/2016”).[28] Article 4 section (1) Regulation of the Minister of Industry 78/11/2016.[29] Article 12 Regulation of the Government Number 5 of 2021 on the Organization of Risk-Based Business Licensing."
} |
{
"from": "human",
"value": "Several reports in mass media in Indonesia said that this year, foreign universities would open branches in Indonesia. Does Indonesian law allow foreign universities to operate in Indonesia? If so, what are the regulations?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "In order to answer your question, we will refer to Law 12/2012.\n\nHigher Education Institutions (“HEI”) of foreign countries may organize Higher Education in the territory of the Republic of Indonesia in accordance with the provisions of laws and regulations. The HEI of foreign countries must have been accredited and/or acknowledged in their countries.[1]\nThe government shall determine the regions, types, and Study Programs which may be organized by foreign Universities. The HEI of foreign countries have the obligation to:[2]\n\nobtain a license from the Governmentuse a non-profit principle;cooperate with Indonesian Universities with a permit from the Government;prioritize Indonesian lecturers and educational staffs.\n\nIf the above obligations are not fulfilled, then organizers will be subject to imprisonment for a maximum of 10 years and/or a maximum fine of IDR 1 billion.[3]\nHEI of foreign countries have the obligation to support the national interest of Indonesia.[4] In addition, HEI of foreign countries that do not support the national interest will be subject to administrative sanctions.[5]\n\nThese administrative sanctions are in the form of:\n\nwritten warning;temporary suspension of education cost assistance from the Government;temporary suspension of education organization activities;termination of coaching; and/orrevocation of license.\nAnalysis\n\nIn relation to your question, HEI of foreign countries may organize Higher Education in the territory of the Republic of Indonesia, provided that the universities have been accredited and/or acknowledged in their countries. In addition, the foreign universities must also meet the requirements of obtaining licenses from the Government, using the non-profit principle, cooperating with Indonesian Universities with permission from the Government, and prioritizing Indonesian Lecturers and education staffs.\n\nIn an article entitled Government Opens Operational Opportunities for Foreign Universities in Indonesia as accessed from the Antaranews.com media website, the Minister of Research, Technology and Higher Education, Mohamad Nasir, said that the operational opportunities of foreign universities in Indonesia were opened under several conditions. Foreign universities, especially world-class universities, are given the opportunity to operate in Indonesia.\n\nAccording to the same reference, foreign universities may operate in the country on condition that they must cooperate with universities in Indonesia. In addition, foreign universities must already have exact locations in Indonesia and there are provisions for priority study programs. The conclusion from all this is cooperation with universities in Indonesia. Foreign universities are included in private universities, therefore, they are not regulated by the government. While priority study programs are namely science, technology, engineering, mathematics, business, and management.\n\nAre you confused about determining the relationship between your business obligations and the articles, as well as the applicability of the regulations? Know your company's legal obligations and sanctions under an integrated platform with Hukumonline Regulatory Compliance System, click here to learn more.\n\nThese are the answers we can provide, we hope you will find them useful.\n\nLegal Basis:\n\nLaw Number 12 of 2012 on Higher Education.\n\nReferences:\n\nPemerintah Buka Peluang Operasi Kampus Asing di Indonesia, accessed on Thursday, 1 February 2018, at 14.43 West Indonesia Time (zone);Kampus Asing Boleh Beroperasi di Indonesia, Ini Syaratnya, accessed on Thursday, 1 February 2018, at 15.03 West Indonesia Time (zone).\n[1] Article 90 Section (1) and (2) Law Number 12 of 2012 on Higher Education (“Law 12/2012”).[2] Article 90 Section (3) and (4) Law 12/2012.[3] Article 93 jo. Article 90 Section (4) Law 12/2012.[4] Article 90 Section (35) Law 12/2012.[5] Article 92 Section (1) jo. Article 90 Section (5) Law 12/2012."
} |
{
"from": "human",
"value": "Some police officers often conduct hotel raids under certain circumstances at night. Isn't this a violation of human rights, because it disturbs people's rest? Sometimes they even bring couples who are together in the hotel to the police station. What right does the police have? Can this intrusion into privacy also be prosecuted? Please explain. Thank you."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Since you mentioned the police, we assume you are referring to police investigators with the authority under Article 7 section (1) Criminal Procedure Code, namely:\n\nreceive a report or complaint from a person about a criminal offense;take the first action at the scene;ordering a suspect to stop and checking the suspect's identification;arrest, detention, search, and seizure;conduct examination and seizure of letters;take fingerprints and photograph a person;summon people to be heard and examined as suspects or witnesses;bring in experts who are needed in relation to the examination of the case;terminate the investigation;take other responsible actions according to the law.\nRegarding the actions of police officers who conduct hotel raids and bring couples to the police station, according to our opinion, this is related to the authority of arrest, detention, search, and seizure.\n\nThen, regarding searches, a house search or a clothing search, or a body search can be carried out according to the procedures prescribed by the Criminal Procedure Code.[1] The procedure for searches is further regulated in Article 33 and Article 34 Criminal Procedure Code as follows.\nArticle 33 Criminal Procedure Code\n\nWith the permission of the head of the local district court, investigators in conducting an investigation may conduct necessary searches;In case of necessity, upon a written order from the investigator, the police officers of the Republic of Indonesia may enter the house;Each entry must be witnessed by two witnesses if the suspect or occupant consents;Each time entering the house must be witnessed by the village head or neighborhood head with two witnesses, in the event that the suspect or occupant refuses or is absent;Within two days after entering and or searching the house, a report must be made and a copy submitted to the owner or occupant of the house concerned.\n\nArticle 34 Criminal Procedure Code\n\nIn very necessary and urgent circumstances where the investigator must act immediately and it is not possible to obtain a prior permission letter, without prejudice to the provisions of Article 33 section (5) the investigator may conduct a search:\n\nin the yard of the house where the suspect resides, stays, or exists and that which is above it;at any other place where the suspect resides, stays, or is present;at the place where the criminal offense was committed or where there are traces of it;in lodging places and other public places.\nIn the event that the investigator conducts a search as referred to in section (1), the investigator is not allowed to examine or confiscate letters, books, and other writings which are not objects related to the criminal offense concerned, except for objects related to the criminal offense concerned or which are suspected of having been used to commit the criminal offense and for this purpose must immediately report to the head of the local district court in order to obtain his approval.\n\nContinuing your question, hotels or other entertainment venues are not excluded from places or houses that can be entered by investigators in the context of a search. This is because, except in the case of an arrest, investigators are not allowed to enter:[2]\n\na room where a session of the People's Consultative Assembly (Majelis Permusyawaratan Rakyat/ “MPR”), the House of Representatives (Dewan Perwakilan Rakyat/ “DPR”) or the Regional People's Representative Council (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/ “DPRD”) is taking place;places where religious worship and or ceremonies are taking place;a room where a court session is in progress.\nCan the Police Conduct Hotel Raids?\n\nThen, in terms of arrest, investigators are also authorized to make arrests based on warrants. An arrest order is made against a person who is strongly suspected of committing a criminal offense based on sufficient preliminary evidence. What is meant by \"sufficient preliminary evidence\" is preliminary evidence to suspect a criminal offense. Thus, arrest warrants cannot be carried out arbitrarily, but are aimed at those who have actually committed a criminal offense.[3]\n\nPolice officers who make arrests are obliged to show their duty papers and give the suspect an arrest warrant that includes the suspect's identity and states the reason for the arrest as well as a brief description of the alleged crime and the place where he/she will be examined.[4]\n\nIn the case of being caught in the act (caught red-handed), the arrest is carried out without a warrant, provided that the arresting officer must immediately hand over the arrestee and the evidence to the nearest investigator or assistant investigator.[5]\n\nSo, based on the above explanation, we are of the opinion that the police are authorized to conduct searches or raids of hotels while still complying with the procedures of the Criminal Procedure Code. The police may conduct a hotel search or raid based on a report or complaint about a criminal offense, such as prostitution. The police are also authorized to arrest people who are strongly suspected of committing a criminal offense, or to make arrests without a warrant in the event that the perpetrator is caught red-handed.\n\nHowever, if the police make an arrest that is not in accordance with Criminal Procedure Code, the suspect, his family or his attorney have the right to file a pretrial appeal. Read more in Here are the Applicants, Respondents, and Reasons for Pretrial.\n\nIn addition, a legal remedy can also be filed in the form of reporting to the Division of Profession and Security of the Police (Divisi Profesi dan Pengamanan Polri/ “Div Propam Polri”) for the police action. You can read more in Procedures for Reporting Police Officers and Sanctions for Those Violating the Code of Ethics.\n\nThese are the answers we can provide, we hope you will find them useful.\n\nLegal Basis:\n\nLaw Number 8 of 1981 on the Indonesian Criminal Procedure Code.\n\n[1] Article 32 Law Number 8 of 1981 on the Indonesian Criminal Procedure Code (“Criminal Procedure Code”).[2] Article 35 Criminal Procedure Code.[3] Article 16, Article 17, and the Elucidations Criminal Procedure Code.[4] Article 18 section (1) Criminal Procedure Code.[5] Article 18 section (2) Criminal Procedure Code."
} |
{
"from": "human",
"value": "Pada pasal 15 ayat c UU 19/2002 tentang hak cipta, dikatakan bahwa: pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan: i. ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau ii. pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta. Pertanyaan saya, apa makna 'kepentingan yang wajar' pada poin ii tersebut? Apakah itu artinya adalah kepentingan ekonomi? Jika iya, tolong berikan landasan teorinya yang diakui oleh pemerintah RI itu sendiri, agar hasil tafsiran tersebut mempunyai kekuatan hukum."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Letezia Tobing, S.H., M.Kn. dan pertama kali dipublikasikan pada Jumat, 29 Maret 2013. Intisari: Yang dimaksud dengan \"kepentingan yang wajar dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta\" adalah kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas suatu Ciptaan . Di Amerika Serikat, ditentukan kriteria-kriteria penggunaan suatu ciptaan dikatakan termasuk kepentingan yang wajar atau fair use yaitu: tujuan dari penggunaan ciptaan, apakah sifatnya untuk komersil atau untuk kepentingan edukasi; sifat dari ciptaan itu sendiri; seberapa banyak dan seberapa substansialnya bagian dari ciptaan yang digunakan; dan dampak dari penggunaan ciptaan terhadap pasar terkait dan nilai dari ciptaan tersebut. Penjelasan lebih lanjut, silakan simak ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Perlu diketahui bahwa undang-undang mengenai hak cipta yang berlaku pada saat ini adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta”) yang telah mencabut dan menyatakan tidak berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta . Dalam UU Hak Cipta, ketentuan yang Anda sebutkan terdapat dalam Pasal 44 ayat (1) UU Hak Cipta sebagai berikut: Penggunaan, pengambilan, Penggandaan, dan/atau pengubahan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan: pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta; keamanan serta penyelenggaraan pemerintahan, legislatif, dan peradilan; ceramah yang hanya untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta . Berdasarkan Penjelasan Pasal 44 ayat (1) huruf a UU Hak Cipta , yang dimaksud dengan \"kepentingan yang wajar dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta\" adalah kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas suatu Ciptaan . Hal serupa juga pernah dijelaskan oleh Brian A. Prastyo , Direktur Lembaga Kajian Hukum Teknologi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dalam artikelnya yang berjudul pembajakan lagu : “Bahwa dalam lingkup hukum hak cipta, yang dipersoalkan tidak hanya apakah tujuannya untuk komersial atau tidak, tetapi apakah merugikan kepentingan yang wajar dari pemegang hak cipta atau tidak. Dengan demikian, walaupun Saudara melakukan perbanyakan tidak untuk mencari profit/keuntungan, tetapi kalau tindakan itu merugikan kepentingan (tentunya kepentingan ekonomi) yang wajar dari pemegang hak cipta; maka saudara dapat dianggap melanggar Hak Cipta.” Sementara di Amerika Serikat, kepentingan yang wajar atau fair use , sebagaimana terdapat dalam Copyright Law of the United States , diatur sebagai berikut: Notwithstanding the provisions of sections 106 and 106A, the fair use of a copyrighted work , including such use by reproduction in copies or phonorecords or by any other means specified by that section, for purposes such as criticism, comment, news reporting, teaching (including multiple copies for classroom use), scholarship, or research, is not an infringement of copyright . In determining whether the use made of a work in any particular case is a fair use the factors to be considered shall include — the purpose and character of the use, including whether such use is of a commercial nature or is for nonprofit educational purposes; the nature of the copyrighted work; the amount and substantiality of the portion used in relation to the copyrighted work as a whole; and the effect of the use upon the potential market for or value of the copyrighted work. The fact that a work is unpublished shall not itself bar a finding of fair use if such finding is made upon consideration of all the above factors. Merujuk pada hal di atas, di Amerika Serikat ditentukan kriteria-kriteria penggunaan suatu ciptaan dikatakan termasuk fair use yaitu: tujuan dari penggunaan ciptaan, apakah sifatnya untuk komersil atau untuk kepentingan edukasi; sifat dari ciptaan itu sendiri; seberapa banyak dan seberapa substansialnya bagian dari ciptaan yang digunakan; dan dampak dari penggunaan ciptaan terhadap pasar terkait dan nilai dari ciptaan tersebut. Berdasarkan hal-hal di atas dapat dilihat bahwa yang dimaksud dengan “kepentingan yang wajar” adalah kepentingan yang berhubungan dengan kepentingan ekonomi si pencipta atau pemegang hak cipta, keuntungan yang sewajarnya diterima oleh pencipta atau pemegang hak cipta atas ciptaannya. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta hukumonline google uu hak cipta hak cipta undang-undang hukum klinik pencipta klinik hukumonline perdagangan kekayaan intelektual"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa definisi sebuah putusan MA Tolak Perbaikan, yang mengajukan banding adalah jaksa. Bagaimana putusan hukumannya, apa kembali pada putusan sebelumnya? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Cara Mengajukan Bantuan Hukum ke Pos Bantuan Hukum (Posbakum) di Pengadilan 16 Apr 2021 Pemeriksaan Saksi di Tingkat Penyidikan dan di Pengadilan 28 Jul 2017 Perbedaan Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dengan Pelanggaran 24 Jul 2017 Perbedaan Kasasi Demi Kepentingan Hukum dengan Peninjauan Kembali 21 Jul 2017 Intisari: Jika kita lihat dari bentuk putusan Mahkamah Agung, pada hakikatnya tidak dikenal putusan Mahkamah Agung menolak perbaikan, yang dikenal hanyalah putusan menolak permohonan kasasi atau mengabulkan permohonan kasasi. Namun, Mahkamah Agung berwenang menilai dan mengoreksi putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain Mahkamah Agung atas alasannya sendiri . Meski demikian, kita dapat menemukan istilah “Mahkamah Agung Menolak Perbaikan” dalam putusan Mahkamah Agung, maksudnya adalah Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh pemohon, namun putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain Mahkamah Agung itu dibuat perbaikannya oleh Mahkamah Agung. Perlu diketahui bahwa biasanya yang melakukan perbaikan penerapan hukum di dalam putusan adalah putusan pengadilan pada tingkat banding, yakni putusan Pengadilan Tinggi. Jika Pengadilan Tinggi tidak sependapat dengan putusan pemidanaan yang diputus oleh Pengadilan Negeri, maka putusan tersebut dapat diperbaiki oleh Pengadilan Tinggi, dan hukuman yang berlaku adalah putusan yang ditetapkan oleh pengadilan tinggi tersebut (sepanjang tidak diajukan kasasi ke Mahkamah Agung). Tetapi jika kemudian putusan tersebut diajukan kasasi ke Mahkamah Agung, lalu amar putusan Mahkamah Agung “Menolak Perbaikan”, maka maksudnya adalah Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dan Mahkamah Agung memberikan alasan serta mengoreksinya sendiri terhadap penerapan hukum yang salah pada pengadilan sebelumnya. Dalam hal ini, maka hukuman yang berlaku adalah hukuman pada putusan pengadilan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain sebelum Mahkamah Agung disertai dengan perbaikan dari Mahkamah Agung. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Berdasarkan pernyataan Anda, di sini kami kurang mendapatkan informasi yang jelas seperti apa amar putusan tolak perbaikan yang Anda maksud. Sedikit kami luruskan bahwa yang berwenang memberikan putusan terhadap permohonan banding adalah Pengadilan Tinggi. Sementara itu, yang berwenang memutus permohonan kasasi adalah Mahkamah Agung. Putusan Pengadilan Pada Tingkat Kasasi (Mahkamah Agung) Bentuk Putusan Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi hanya terdiri dari: [1] 1. Menolak pemohonan kasasi, atau 2. Mengabulkan permohonan kasasi Sementara, pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak guna menentukan: [2] a. apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya; b. apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang; c. apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) (hal. 590) menjelaskan bahwa terhadap putusan yang mungkin penerapan hukumnya benar-benar salah, Mahkamah Agung tidak dapat memperbaikinya jika syarat-syarat formal permohonan kasasi tidak dipenuhi oleh pemohon. Sebaliknya, apabila syarat formal dipenuhi, sekalipun keberatan kasasi yang diajukan melenceng dari alasan kasasi (yang kami sebutkan di atas), Mahkamah Agung berwenang menilai dan mengoreksinya atas alasannya sendiri . Jadi, jika kita lihat dari bentuk putusan Mahkamah Agung, pada hakikatnya tidak dikenal putusan Mahkamah Agung tolak perbaikan, yang dikenal hanyalah putusan menolak permohonan kasasi atau mengabulkan permohonan kasasi. Namun, Mahkamah Agung berwenang menilai dan mengoreksi putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain Mahkamah Agung atas alasannya sendiri. Meski demikian, kita dapat menemukan istilah “Mahkamah Agung Menolak Perbaikan” dalam putusan Mahkamah Agung, maksudnya adalah Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh pemohon, namun putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain Mahkamah Agung itu dibuat perbaikannya oleh Mahkamah Agung. Perlu diketahui bahwa biasanya yang melakukan perbaikan penerapan hukum di dalam putusan adalah putusan pada pengadilan tingkat banding yakni putusan Pengadilan Tinggi. Hal ini diatur dalam Pasal 240 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang menyatakan: Jika pengadilan tinggi berpendapat bahwa dalam pemeriksaan tingkat pertama ternyata ada kelalaian dalam penerapan hukum acara atau kekeliruan atau ada yang kurang lengkap, maka pengadilan tinggi dengan suatu keputusan dapat memerintahkan pengadilan negeri untuk memperbaiki hal itu atau pengadilan tinggi melakukannya sendiri . Putusan Pengadilan Pada Tingkat Banding (Pengadilan Tinggi) Bentuk putusan yang dapat dijatuhkan Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding, dapat kita lihat dalam Pasal 241 ayat (1) KUHAP : Setelah semua hal sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tersebut di atas dipertimbangkan dan dilaksanakan, pengadilan tinggi memutuskan, menguatkan atau mengubah atau dalam hal membatalkan putusan pengadilan negeri, pengadilan tinggi mengadakan putusan sendiri. Berpedoman pada ketentuan Pasal 241 ayat (1) KUHAP, bentuk putusan yang dapat dijatuhkan Pengadilan Tinggi terhadap perkara yang diperiksanya dalam tingkat banding: [3] 1. Menguatkan putusan pengadilan negeri 2. Mengubah atau memperbaiki amar putusan pengadilan negeri 3. Membatalkan putusan pengadilan negeri Berdasarkan bentuk putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tinggi tersebut, maka tidak dikenal dengan sebutan “Tolak Perbaikan”. Oleh karena itu, kami berasumsi bahwa putusan Pengadilan Tinggi yang Anda maksud adalah putusan yang mengubah atau memperbaiki amar putusan pengadilan negeri. Mengubah atau Memperbaiki Amar Putusan Pengadilan Negeri Yahya Harahap (hal. 506-507) menjelaskan bahwa mengenai bentuk putusan perubahan atau perbaikan amar putusan Pengadilan Negeri, bisa terjadi: 1. Sepanjang mengenai pertimbangan dan alasan yang dimuat dalam putusan dapat disetujui dan dianggap tepat oleh Pengadilan Tinggi. Terhadap pertimbangan putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi menganggapnya tepat. Namun mengenai amar putusan, Pengadilan Tinggi tidak sependapat, sehingga amar tersebut perlu diperbaiki atau diubah. 2. Atau baik pertimbangan putusan perlu ditambah, juga amar putusan Pengadilan Negeri perlu diubah atau diperbaiki. Pada kejadian seperti ini, di samping pertimbangan putusan ditambah oleh Pengadilan Tinggi, juga sekaligus mengubah atau memperbaiki amar putusan. 3. Atau bisa juga, di samping Pengadilan Tinggi mengubah pertimbangan putusan Pengadilan Negeri dengan pertimbangan lain, sekaligus perubahan pertimbangan itu diikuti perubahan atau perbaikan amar putusan. Dalam hal ini baik pertimbangan maupun amarnya, sama-sama diperbaiki oleh Pengadilan Tinggi. 4. Atau sekaligus di samping mengubah atau memperbaiki amar putusan juga memutus perkara yang bersangkutan atas pertimbangan dan alasan lain. Dalam kemungkinan seperti ini, Pengadilan Tinggi melihat baik pertimbangan dan alasan maupun amar putusan harus diubah atau diperbaiki. Pertimbangan dan alasan sama sekali diubah dengan pertimbangan lain, demikian pula amar putusan diubah atau diperbaiki Pengadilan Tinggi. Jadi perubahan atau perbaikian amar dilakukan Pengadilan Tinggi atas dasar pertimbangan dan alasan lain . [4] Hal-Hal yang Diubah dalam Putusan Banding Yahya Harahap (hal. 507-509) menjelaskan bahwa hal-hal yang diubah atau diperbaiki bisa meliputi berbagai hal, antara lain: 1. Perubahan atau perbaikan kualifikasi tindak pidana 2. Perubahan atau perbaikan mengenai barang bukti 3. Perubahan atau perbaikan pemidanaan Jika dihubungkan dengan pertanyaan Anda tentang bagaimana putusan hukumannya, apa kembali pada putusan sebelumnya? Hal ini tergantung pada seperti apa perubahan yang dilakukan oleh majelis hakim pada Pengadilan Tinggi. Jika perubahan berkaitan dengan pemidanaan (penjatuhan hukuman) tentu hukuman yang diberikan menjadi berbeda. Dalam perubahan putusan pemidanaan, pada prinsipnya Pengadilan Tinggi sependapat dengan putusan Pengadilan Negeri, kecuali mengenai berat atau ringannya pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa . Apabila pemidanaan dianggap terlampau ringan, Pengadilan Tinggi akan memperbaiki pertimbangan Pengadilan Negeri dengan pertimbangan dan alasan yang memberatkan hukuman. Sebaliknya apabila pidana yang dijatuhkan dianggapnya terlampau berat, mengubah pertimbangan Pengadilan Negeri dengan alasan yang meringankan kesalahan terdakwa. [5] Singkatnya, perubahan mengenai pemidanaan hanya berkisar pada dua segi: [6] 1. Segi pertama, perubahan yang “memperberat pemidanaan” yang dijatuhkan kepada terdakwa; 2. Segi kedua, perubahan yang “memperingan pemidanaan” yang dijatuhkan kepada terdakwa. Analisis Jadi menjawab pertanyaan Anda, jika kita lihat dari bentuk putusan Mahkamah Agung, pada hakikatnya tidak dikenal putusan Mahkamah Agung menolak perbaikan, yang dikenal hanyalah putusan menolak permohonan kasasi atau mengabulkan permohonan kasasi. Namun, Mahkamah Agung berwenang menilai dan mengoreksi putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain Mahkamah Agung atas alasannya sendiri . Meski demikian, kita dapat menemukan istilah “Mahkamah Agung Menolak Perbaikan” dalam putusan Mahkamah Agung, maksudnya adalah Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh pemohon, namun putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain Mahkamah Agung itu dibuat perbaikannya oleh Mahkamah Agung. Perlu diketahui bahwa biasanya yang melakukan perbaikan penerapan hukum di dalam putusan adalah putusan pengadilan pada tingkat banding, yakni putusan Pengadilan Tinggi. Jika Pengadilan Tinggi tidak sependapat dengan putusan pemidanaan yang diputus oleh Pengadilan Negeri, maka putusan tersebut dapat diperbaiki oleh Pengadilan Tinggi, dan hukuman yang berlaku adalah putusan yang ditetapkan oleh Pengadilan Tinggi teersebut (sepanjang tidak diajukan kasasi ke Mahkamah Agung). Tetapi jika kemudian putusan tersebut diajukan kasasi ke Mahkamah Agung, lalu amar putusan Mahkamah Agung “Menolak Perbaikan”, maka maksudnya adalah Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dan Mahkamah Agung memberikan alasan serta mengoreksinya sendiri terhadap penerapan hukum yang salah pada pengadilan sebelumnya. Dalam hal ini, maka hukuman yang berlaku adalah hukuman pada putusan pengadilan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain sebelum Mahkamah Agung disertai dengan perbaikan dari Mahkamah Agung. Contoh Putusan Sebagai contoh dapat kita lihat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2330 K/Pid.Sus/2014 , bahwa Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi pemohon dan memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 417 / Pid.Sus / 2014 / PT.Sby tanggal 23 September 2014 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 1496/Pid.B/2014/PN.Sby tanggal 07 Juli 2014 sekedar mengenai pidana yang dijatuhkan . Terdakwa semula dijatuhkan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan denda sebesar Rp 800 juta, subsidair 1 (satu) bulan penjara. Namun kemudian di tingkat kasasi, Mahkamah Agung memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi Surabaya yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya sekedar mengenai pidana yang dijatuhkan, sehingga terdakwa dijatuhi hukuman penjara selama 7 (tujuh) tahun dan denda sebesar Rp800 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar oleh Terdakwa, maka diganti dengan pidana penjara selama 1 bulan. Mahkamah Agung berpendapat pemeriksaan pada tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak diterapkan suatu peraturan hukum atau peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya, atau apakah cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang, dan apakah Pengadilan telah melampaui batas wewenangnya namun demikian putusan pengadilan tinggi perlu diperbaiki sekedar mengenai pidana yang dijatuhkan. Sebagai contoh lain adalah Majelis Mahkamah Agung menyatakan menolak permohonan kasasi yang diajukan terdakwa Chairun Nisa atas perannya sebagai perantara suap Pemilukada Gunung Mas Kalimantan Tengah yang melibatkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar. Tak hanya itu, Mahkamah Agung menolak perbaikan kasasi yang diajukan jaksa penuntut umum (Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK). Berita selengkapnya tentang putusan ini dapat Anda simak MA Tolak Kasasi Chairun Nisa . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana PUTUSAN Putusan Mahkamah Agung Nomor 2330 K/Pid.Sus/2014 REFERENSI:\n1. Yahya Harahap. 2015. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali). Jakarta: Sinar Grafika. [1] Pasal 254 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) [2] Pasal 253 ayat (1) KUHAP [3] Yahya Harahap, hal. 504-509 [4] Yahya Harahap. hal 507 [5] Yahya Harahap, hal 509 [6] Yahya Harahap, hal 509 pt pengadilan ma putusan kasasi pengadilan tinggi klinik hukumonline mahkamah agung kasasi penuntut umum hukumonline jaksa putusan ma acara peradilan banding google terdakwa hukum klinik pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa itu ius curia novit?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Prinsip ius curia novit ini juga ditegaskan dalam Pasal 10 UU Kekuasaan Kehakiman dengan ketentuan sebagai berikut.\n\n1) Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.\n2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.\n\nLebih lanjut Yahya Harahap (hal. 821) menerangkan bahwa hakim sebagai organ pengadilan:\n\ndianggap memahami hukum;oleh karena itu harus memberi pelayanan kepada setiap pencari keadilan yang memohon keadilan kepadanya;apabila hakim dalam memberi pelayanan menyelesaikan sengketa, tidak menemukan hukum tertulis, hakim wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutus perkara berdasar hukum sebagai orang yang bijaksana dan bertanggungjawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara.\n\nBerdasarkan adagium ius curia novit atau curia novit jus, hakim dianggap mengetahui dan memahami segala hukum. Dengan demikian, hakim yang berwenang menentukan hukum objektif mana yang harus diterapkan (toepassing) sesuai dengan materi pokok perkara yang menyangkut hubungan hukum pihak-pihak yang beperkara dalam konkreto.[1]\n\nOleh karena itu soal menemukan dan menerapkan hukum objektif, bukan hak dan kewenangan para pihak, tetapi mutlak menjadi kewajiban dan kewenangan hakim. Para pihak tidak wajib membuktikan hukum apa yang harus diterapkan, karena hakim dianggap mengetahui segala hukum.[2]\n\nPrinsip ius curia novit atau curia novit jus ini pada dasarnya hanya teori dan asumsi. Dalam kenyataannya anggapan itu keliru, karena bagaimanapun luasnya pengalaman seorang hakim, tidak mungkin mengetahui segala hukum yang begitu luas dan kompleks. Namun, adagium itu sengaja dikedepankan untuk mengokohkan fungsi dan kewajiban hakim agar benar-benar mengadili perkara yang diperiksanya berdasarkan hukum, bukan di luar hukum.[3]\n\nYahya Harahap juga menerangkan bahwa adagium ini mengandung sisi negatif berupa arogansi dan kecerobohan. Timbul perasaan super, dan menganggap sepi kebenaran hukum objektif yang dikemukakan para pihak, dan merasa dirinya tahu segala hal dengan alasan, hakim paling tahu segala hukum.\nPadahal yang menyangkut hukum bisnis yang berkenaan dengan transaksi berskala internasional, barangkali pengetahuan hakim sangat terbatas. Menghadapi hal yang demikian, hakim harus berani membuang jauh-jauh perasaan super, dan mau menerima dasar-dasar hukum yang dikemukakan para pihak agar putusan yang dijatuhkan tidak menyimpang dari ketentuan dan jiwa hukum objektif yang sebenarnya.[4]\n\nDengan kata lain, berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa asas ius curia novit atau curia novit jus itu berarti hakim dianggap mengetahui semua hukum sehingga pengadilan tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara.\n\nBaca juga: Catat! Ini 21 Asas Hukum dan 7 Adagium Hukum yang Perlu Dipahami\n\nDemikian jawaban dari kami tentang asas ius curia novit, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nUndang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.\n\nREFERENSI:\n1. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2016.\n\n[1] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2016, hal. 821[2] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2016, hal. 821[3] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2016, hal. 821–822[4] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2016, hal. 822"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah akta perjanjian yang dibuat di hadapan notaris tetap dianggap sah meskipun ada yang menyangkal? Sekarang sedang diajukan gugatan pembatalan ke Pengadilan Negeri, terkait dugaan tidak sahnya akta tersebut. Adakah asas praduga sah pada akta notaris?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Kewenangan Notaris\nSebelum menjawab perihal asas praduga sah pada akta notaris, kami tegaskan bahwa Anda tidak menyebutkan secara spesifik perjanjian apa yang dimaksud. Oleh karena itu, kami akan menjelaskan secara umum kewenangan notaris dalam membuat perjanjian dalam bentuk akta autentik.\nKetentuan Pasal 1 angka 7 UU 2/2014 mengartikan akta notaris adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UU 30/2004 dan perubahannya.\nAdapun kewenangan notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 15 UU 2/2014 adalah sebagai berikut.\n\nNotaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.Selain kewenangan tersebut di atas, notaris berwenang pula untuk: mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau membuat akta risalah lelang.Selain itu, notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.\nAsas Praduga Sah Pada Akta Notaris\n\nMenurut Habib Adjie, sebagaimana kami sarikan dalam Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik (hal. 79), dalam pembuatan akta notaris ada 2 hal yang membuat akta notaris dikatakan sah.\nPertama, notaris berwenang membuat akta sesuai dengan keinginan para pihak. Kedua, secara lahiriah, formal, dan materil telah sesuai dengan aturan hukum tentang pembuatan akta notaris.\n\nLebih lanjut Habib menambahkan (hal. 79-80), akta notaris sebagai produk dari pejabat publik, maka penilaian terhadap akta notaris harus dilakukan dengan asas praduga sah (Vermoeden van Rechtmatigheid) atau Presumptio Iustae Causa. Asas praduga sah ini dapat dipergunakan untuk menilai akta notaris, yaitu akta notaris yang harus dianggap sah sampai ada pihak yang menyatakan akta tersebut tidak sah.\n\nLalu apakah gugatan yang dilakukan membuat akta tidak sah? Habib Adjie menjelaskan kembali (hal 80), bahwa untuk menyatakan atau menilai akta tersebut tidak sah harus dengan gugatan ke pengadilan umum.\nSelama dan sepanjang gugatan berjalan sampai dengan ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, maka akta notaris tetap sah dan mengikat para pihak atau siapa saja yang berkepentingan dengan akta tersebut.\n\nPerihal asas praduga sah ini berkaitan dengan Penjelasan Umum UU 30/2004 yang menyatakan bahwa “sebagai alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh, apa yang dinyatakan dalam akta notaris harus diterima, kecuali pihak yang berkepentingan dapat membuktikan hal yang sebaliknya secara memuaskan di hadapan persidangan pengadilan.”\n\nAsas praduga sah ini menurut Habib Adjie (hal. 80) berkaitan dengan akta yang dapat dibatalkan, merupakan suatu tindakan mengandung cacat, yaitu tidak berwenangnya notaris untuk membuat akta secara lahiriah, formal, materil, dan tidak sesuai dengan aturan hukum tentang pembuatan akta notaris. Asas praduga sah ini tidak dapat dipergunakan untuk menilai akta batal demi hukum, karena akta batal demi hukum dianggap tidak pernah dibuat.\n\nDengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, selama belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, akta perjanjian Anda tetap dianggap sah.\n\nDemikian jawaban dari kami terkait arti asas praduga sah pada akta notaris sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nUndang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.\nREFERENSI:\n1. Habib Adjie. Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik. Bandung: Refika Aditama, 2017."
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin menanyakan mengenai arti dan teori-teori mengenai asas praduga tak bersalah dan di situs atau buku apa yang bisa menjawab hal-hal tersebut. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Asas Nasionalitas Aktif dan Asas Personalitas dalam Hukum Pidana 02 Okt 2023 Arti Asas Praduga Sah Pada Akta Notaris 04 Nov 2022 Pengertian Asas Konkordansi dan Sejarahnya di Indonesia 01 Agt 2022 Catat! Ini 21 Asas Hukum dan 7 Adagium Hukum yang Perlu Dipahami 15 Jul 2022 Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Tentang Asas Praduga Tak Bersalah yang dibuat oleh Letezia Tobing, S.H., M.Kn. dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 26 Maret 2013. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Pasal asas praduga tak bersalah diatur dalam KUHAP dan UU Kekuasaan Kehakiman . Pada KUHAP, asas praduga tak bersalah dijelaskan dalam Penjelasan Umum angka 3 huruf c KUHAP yaitu: Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Selanjutnya, pasal asas praduga tak bersalah diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman , yang berbunyi: Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Selain itu, UU HAM juga menjelaskan mengenai asas ini yaitu dalam Pasal 18 ayat (1) UU HAM , yang berbunyi: Setiap orang yang ditangkap, ditahan, atau dituntut karena disangka melakukan tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah , sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan di atas, menjawab pertanyaan Anda, arti dari asas praduga tak bersalah adalah setiap orang wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan. Salah satu buku yang membahas mengenai asas praduga tak bersalah adalah Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan yang ditulis oleh M. Yahya Harahap . Pada buku tersebut, mengenai penerapan asas praduga tak bersalah, Yahya Harahap berpendapat (hal. 34): Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki hakikat martabat, dia harus dinilai sebagai subjek bukan objek. Yang diperiksa bukan manusia tersangka melainkan perbuatan tindak pidana yang dilakukannyalah yang menjadi objek pemeriksaan atau ke arah kesalahan tindak pidana yang dilakukannyalah pemeriksaan ditujukan. Tersangka harus dianggap tidak bersalah , sesuai dengan asas praduga tak bersalah sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap . Menyambung pernyataan di atas, M. Yahya Harahap menyatakan tujuan diadakannya asas praduga tak bersalah pada sistem peradilan pidana adalah untuk memberikan pedoman kepada penegak hukum untuk mempergunakan prinsip akusator yang menempatkan kedudukan tersangka atau terdakwa dalam setiap pemeriksaan sebagai subjek karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat martabat harga diri. Aparat penegak hukum harus menjauhkan diri dari cara pemeriksaan inkusator yang menempatkan tersangka atau terdakwa sebagai objek yang dapat diperlakukan sewenang-wenang. [1] Lalu, dalam artikel Asas Praduga Tak Bersalah Tidak Bisa Diartikan Secara Letterlijk , Andi Hamzah berpendapat bahwa asas presumption of innocent (praduga tak bersalah) tidak bisa diartikan secara letterlijk (apa yang tertulis). Menurutnya, kalau asas tersebut diartikan secara letterlijk , maka tugas kepolisian tidak akan bisa berjalan. Andi berpandangan, presumption of innocent adalah hak-hak tersangka sebagai manusia diberikan. Hak-hak yang dia maksud misalnya kawin dan cerai, ikut pemilihan dan sebagainya. Mengenai asas praduga tak bersalah ini juga pernah dibahas secara lengkap oleh Romli Atmasasmita dalam artikel yang berjudul Logika Hukum Asas Praduga Tak Bersalah: Reaksi Atas Paradigma Individualistik . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat . DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia; Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman REFERENSI:\n1. M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan . Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Nurhasan. Keberadaan Asas Praduga Tak Bersalah pada Proses Peradilan Pidana: Kajian . Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, Vol. 17 No.3, 2017. [1] Nurhasan. Keberadaan Asas Praduga Tak Bersalah pada Proses Peradilan Pidana : Kajian . Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, Vol.17 No.3, 2017, hal. 208 asas hak asasi manusia hukum acara pidana kuhap"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah yang dimaksud dengan asset forfeiture?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Asset Forfeiture atau perampasan/penyitaan aset adalah hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana yang mana asetnya (uang atau properti) dirampas/disita oleh negara tanpa kompensasi sebagai konsekuensi dari pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan. Asset Forfeiture ini juga dapat diartikan sebagai upaya paksa pengambilalihan hak atas kekayaan atau keuntungan yang telah diperoleh, atau mungkin telah diperoleh oleh orang dari tindak pidana yang dilakukannya baik di Indonesia atau di negara asing. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Arti Asset Forfeiture Forfeiture , berdasarkan Black’s Law Dictionary 9 th Edition diartikan sebagai berikut: 1. The divestiture of property without compensation. 2. The loss of a right, privilege, or property because of a crime, breach of obligation, or neglect of duty.• Title is instantaneously transferred to another, such as the government, a corporation, or a private person. 3. Something (esp. money or property) lost or confiscated by this process; a penalty. - forfeit, vb. - forfeitable, adj. civil forfeiture. (1867) An in rem proceeding brought by the government against property that either facilitated a crime or was acquired as a result of criminal activity. criminal forfeiture. (1866) A governmental proceeding brought against a person to seize property as punishment for the person's criminal behavior. forfeiture of marriage. Hist. A penalty exacted by a lord from a ward who married without the lord's consent. • The penalty was a money payment double the value that the marriage would otherwise have been worth to the lord. forfeiture of pay. Military law. A punishment depriving the guilty party ofall or part ofhis or her military pay. Melihat pada pengertian di atas, forfeiture memiliki arti yang luas. Pengertian luas tersebut juga dapat kita lihat dari pengertian forfeiture dalam laman legal-dictionary : The involuntary relinquishment of money or property without compensation as a consequence of a breach or nonperformance of some legal obligation or the commission of a crime. The loss of a corporate charter or franchise as a result of illegality, malfeasance, or Nonfeasance. The surrender by an owner of his or property mandated law as a punishment for illegal conduct or Negligence. Under old English Law, the release of land by a tenant to the tenant's lord due to some breach of conduct, or the loss of goods or chattels (articles of Personal Property) assessed as a penalty against the perpetrator of some crime or offense and as a recompense to the injuredparty. Forfeiture is a broad term that can be used to describe any loss of property without compensation. Dari kedua uraian di atas, secara sederhana dapat kita simpulkan bahwa Forfeiture atau perampasan/penyitaan aset tanpa kompensasi sebagai konsekuensi dari pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan, melanggar kewajiban atau pengabaian tugas. Sedangkan mengenai asset forfeiture itu sendiri, pengertiannya dapat kita temukan dalam Laporan Akhir Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Perampasan Aset Tindak Pidana yang kami akses dari laman resmi Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dijelaskan antara lain bahwa Asset Forfeiture (“perampasan aset”) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan penyitaan aset, oleh Negara, baik yang (1) hasil kejahatan atau (2) instrumen kejahatan. Instrumen kejahatan adalah “properti” yang digunakan untuk memfasilitasi kejahatan, untuk mobil misalnya digunakan mengangkut narkotika ilegal. Terminologi asset forfeiture yang digunakan bervariasi dalam yurisdiksi yang berbeda. Dalam laporan tersebut juga disebutkan Brenda Grantland mengemukakan bahwa asset forfeiture adalah suatu proses di mana pemerintah secara permanen mengambil properti dari pemilik, tanpa membayar kompensasi yang adil, sebagai hukuman untuk pelanggaran yang dilakukan oleh properti atau pemilik, adalah salah satu senjata paling kontroversial dalam hal penegakan hukum semasa “Perang Melawan Narkotik”. Asset Forfeiture (Perampasan Aset) di Indonesia Di Indonesia itu sendiri, aturan perampasan aset masih berupa rancangan undang-undang (“ RUU Perampasan Aset ”). Menurut RUU ini, Perampasan itu sendiri didefinisikan sebagai upaya paksa pengambilalihan hak atas kekayaan atau keuntungan yang telah diperoleh, atau mungkin telah diperoleh oleh orang dari tindak pidana yang dilakukannya baik di Indonesia atau di negara asing. Sedangkan Perampasan Pidana adalah tindakan negara menuntut mengambil alih aset melalui putusan pengadilan dalam perkara pidana. Namun, tata cara perampasan aset ini setidaknya telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor Nomor 1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang atau Tindak Pidana Lain (“Perma 1/2013”) . Memang, tak ada istilah ‘perampasan’ dapat ditemui dalam Perma 1 Tahun 2013 ini. Perma ini memperhalusnya dengan frasa ‘penanganan harta kekayaan’. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan Dalam Hukum Indonesia . Cara Perampasan Aset Seperti yang diberitakan dalam artikel Perampasan Aset Cukup Putusan Hakim Pengadilan Negeri , Hakim di Pengadilan Negeri punya tambahan tugas, yaitu menetapkan perampasan aset hasil tindak pidana pencucian uang atau tindak pidana lain. Kewenangan itu, bersifat final dan mengikat. Demikian isi Perma 1/2013. Masih bersumber dari artikel yang sama, perampasan aset diawali dengan tindakan penghentian sebagian atau seluruh transaksi oleh Penyedia Jasa Keuangan (“PJK”) atas permintaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (“PPATK”). [1] Kemudian, PJK melaksanakan permintaan PPATK selama lima hari kerja setelah permintaan diterima dan diperpanjang 15 hari kerja. Perpanjangan masa penghentian sementara transaksi dimaksudkan untuk PPATK melengkapi hasil analisis guna diserahkan pada penyidik. Pasal 67 UU TPPU ini memberikan kewenangan kepada penyidik untuk mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri agar pengadilan memutuskan Harta Kekayaan (aset) yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana menjadi aset negara atau dikembalikan kepada yang berhak (dalam hal yang diduga sebagai pelaku tindak pidana tidak ditemukan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari). Demikian jawaban dari kami. Semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (“UU TPPU”); 2. Peraturan Mahkamah Agung Nomor Nomor 1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang atau Tindak Pidana Lain. REFERENSI:\n1. 1. http://legal-dictionary.thefreedictionary.com/Asset+forfeiture , diakses pada 23 November 2015 pukul 15.25 WIB . 2. http://www.heritage.org/research/reports/2014/03/civil-asset-forfeiture-7-things-you-should-knowwww.heritage.org , diakses pada 23 November 2015 pukul 15.28 WIB. 3. http://www.bphn.go.id/data/documents/na_ruu_tentang_perampasan_aset.pdf , diakses pada 23 November 2015 pukul 17.25 WIB. [1] Pasal 65 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (“UU TPPU”) hukumonline aset properti klinik hukumonline hukum klinik uang penyitaan pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa yang dimaksud dengan Bank Perantara dan Bank Kustodian?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Bank Perantara itu adalah bank yang didirikan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk menjadi sarana resolusi dengan menerima pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban bank yang ditangani LPS (bank bermasalah/bank gagal), selanjutnya menjalankan kegiatan usaha perbankan, dan akan dialihkan kepemilikannya kepada pihak lain.. Sementara itu, Bank Kustodian adalah bank umum yang telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk melakukan kegiatan usaha sebagai kustodian. Kustodian adalah pihak yang memberikan jasa penitipan Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak lain, menyelesaikan transaksi Efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya. Penjelasan selengkapnya dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. KLINIK TERKAIT Cara Lapor Uang Palsu dan Ciri-ciri Keaslian Uang Rupiah 18 Apr 2023 Dasar Hukum Penggunaan Uang Elektronik Jika Masuk Tol 19 Jun 2018 Kegiatan Operasi Moneter Syariah 05 Des 2017 Prosedur Perubahan Kegiatan Usaha Bank Konvensional Menjadi Bank Syariah 31 Okt 2017 Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Bank Perantara Menurut Pasal 1 angka 4 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 16/POJK.03/2017 Tahun 2017 tentang Bank Perantara (“POJK 16/2017”) , Bank Perantara adalah bank umum yang didirikan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (“LPS”) untuk digunakan sebagai sarana resolusi dengan menerima pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban bank yang ditangani LPS, selanjutnya menjalankan kegiatan usaha perbankan, dan akan dialihkan kepemilikannya kepada pihak lain. Dalam artikel OJK Terbitkan 3 Aturan Penanganan Krisis Keuangan , dijelaskan bahwa POJK 16/2017 tentang Bank Perantara ( Bridge Bank ) merupakan salah satu dari 3 (tiga) peraturan pedoman pelaksanaan teknis bagi industri keuangan untuk menerapkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan . Ketiga aturan tersebut, merupakan pedoman industri perbankan untuk mecegah dampak sistemik dari krisis keuangan. Menurut Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”) Muliaman Hadad , POJK 16/2017 tentang Bank Perantara ( Bridge Bank ) merupakan ketentuan untuk mengatur pendirian bank yang akan menjadi penampung aset atau kewajiban dari bank gagal . Sebelum dialihkan kepada bank perantara, OJK bersama LPS akan menangani bank gagal dengan mengalihkan sebagian atau seluruh aset dan kewajiban bank gagal. Kemudian, melakukan penyertaan modal sementara dan pencabutan izin usaha bank. Bank Perantara ini hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha setelah mendapat izin dari OJK. Bentuk badan hukum Bank Perantara adalah perseroan terbatas. Menurut jenisnya, Bank Perantara terdiri atas: [1] a. Bank Perantara yang melakukan kegiatan usaha sebagai Bank Umum Konvensional; b. Bank Perantara yang melakukan kegiatan usaha sebagai Bank Umum Syariah. Bank Perantara hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh LPS. Dalam pendirian Bank Perantara oleh LPS, tidak berlaku: [2] a. ketentuan yang mewajibkan perseroan terbatas didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perseroan terbatas; dan b. batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana diatur dalam ketentuan OJK mengenai kepemilikan saham bank umum. Pemberian izin Bank Perantara dilakukan melalui 2 (dua) tahap, yaitu: [3] a. persetujuan prinsip untuk melakukan persiapan pendirian Bank Perantara; dan b. izin usaha untuk melakukan kegiatan usaha Bank Perantara setelah persiapan pendirian Bank Perantara sebagaimana dimaksud dalam huruf a selesai dilakukan. Jadi menjawab pertanyaan Anda, Bank Perantara itu adalah bank yang didirikan oleh LPS untuk menjadi sarana resolusi dengan menerima pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban bank yang ditangani Lembaga Penjamin Simpanan (bank bermasalah/bank gagal), selanjutnya menjalankan kegiatan usaha perbankan, dan akan dialihkan kepemilikannya kepada pihak lain.. Bank Kustodian Sementara itu tentang Bank Kustodian, Pasal 1 angka 3 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 24/POJK.04/2017 Tahun 2017 tentang Laporan Bank Umum Sebagai Kustodian (“POJK 24/2017”) mendefinisikan Bank Kustodian adalah Bank Umum yang telah memperoleh persetujuan OJK untuk melakukan kegiatan usaha sebagai Kustodian. Kustodian , menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (“UU 8/1995”) serta POJK 24/2017, adalah pihak yang memberikan jasa penitipan Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak lain, menyelesaikan transaksi Efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya. [4] Bank kustodian juga merupakan pihak yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan reksa dana. Pengelolaan Reksa Dana, baik yang berbentuk Perseroan maupun yang berbentuk kontrak investasi kolektif, dilakukan oleh Manajer Investasi berdasarkan kontrak. Kontrak pengelolaan Reksa Dana berbentuk Perseroan dibuat oleh direksi dengan Manajer Investasi. Kontrak pengelolaan Reksa Dana terbuka berbentuk kontrak investasi kolektif dibuat antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian . [5] Semua kekayaan Reksa Dana wajib disimpan pada Bank Kustodian. Bank Kustodian dilarang terafiliasi dengan Manajer Investasi yang mengelola Reksa Dana. [6] Sebagaimana yang dijelaskan dalam artikel Bank Kustodian, Manajer Investasi, dan Agen Penjual Reksa Dana yang kami akses dari laman Kompas.com , Bank Kustodian merupakan salah satu pihak yang ada dalam Kontrak Investasi Kolektif (“KIK”). Dalam KIK, Bank Kustodian dan Manajer Investasi sepakat untuk melakukan penghimpunan dan pengelolaan dana dari masyarakat dalam bentuk reksa dana dengan pembagian hak dan kewajiban yang jelas pada masing-masing pihak. Tugas dari Bank Kustodian secara umum dapat dikatakan sebagai administrator, safe keeping dan pengawas. Yang dimaksud dengan administrator yaitu berkaitan dengan segala kegiatan pencatatan berkaitan dengan investasi reksa dana baik yang dilakukan oleh investor ataupun Manajer Investasi. Sebagaimana informasi, berdasarkan laman Pusat Informasi dan Industri Pengelolaan Investasi Otoritas Jasa Keuangan , disebukan ada 15 bank kustodian, beberapa di antaranya adalah Bank Negara Indonesia (Persero) - Custody, Tbk, PT; Bank Mandiri (Persero) – Custody, Tbk, PT; Bank Rakyat Indonesia (Persero) - Custody, Tbk, PT; dan Bank Central Asia – Custody, Tbk, PT. Jadi Bank Kustodian itu adalah bank umum yang telah memperoleh persetujuan OJK untuk melakukan kegiatan usaha sebagai Kustodian. Kustodian adalah pihak yang memberikan jasa penitipan Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak lain, menyelesaikan transaksi Efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal ; 2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan ; 3. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 16/POJK.03/2017 Tahun 2017 tentang Bank Perantara ; 4. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 24/POJK.04/2017 Tahun 2017 tentang Laporan Bank Umum Sebagai Kustodian . REFERENSI:\n1. 1. Bank Kustodian, Manajer Investasi, dan Agen Penjual Reksa Dana , diakses pada 31 Januari 2018, pukul 10.38 WIB\n2. 2. Pusat Informasi dan Industri Pengelolaan Investasi Otoritas Jasa Keuangan , diakses pada 31 Januari 2018, pukul 11.14 WIB. [1] Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 POJK 16/2017 [2] Pasal 5 POJK 16/2017 [3] Pasal 6 POJK 16/2017 [4] Pasal 1 angka 8 UU 8/1995 dan Pasal 1 angka 1 POJK 24/2017 [5] Pasal 21 ayat (1), (2), dan (3) UU 8/1995 [6] Pasal 25 UU 8/1995 ojk jasa keuangan bank umum bank syariah hukumonline google lps perseroan otoritas jasa keuangan hukum klinik investasi lembaga penjamin simpanan bank indonesia klinik hukumonline perbankan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah arti dari begin van uitvoerings handeling?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Begin van uitvoering diartikan sebagai permulaan suatu pelaksanaan dalam percobaan melakukan tindak pidana . Syarat-syarat yang harus dipenuhi supaya percobaan pada kejahatan dapat dihukum adalah: Niat sudah ada untuk berbuat kejahatan itu; Orang sudah memulai berbuat kejahatan itu; dan Perbuatan kejahatan itu tidak jadi sampai selesai, oleh karena terhalang oleh sebab-sebab yang timbul kemudian, tidak terletak dalam kemauan penjahat itu sendiri. Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan pelaksanaan , apabila orang telah mulai melakukan suatu anasir atau elemen dari peristiwa pidana. Jika orang belum memulai dengan melakukan suatu anasir atau elemen ini, maka perbuatannya masih harus dipandang sebagai perbuatan persiapan . Sebagai contoh, suatu anasir dari delik pencurian ialah “mengambil”, jika pencuri sudah mengacungkan tangannya kepada barang yang akan diambil, itu berarti bahwa ia telah mulai melakukan anasir “mengambil” tersebut. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Percobaan Melakukan Tindak Pidana ( Pogging ) Istilah begin van uitvoerings handeling ini menurut Lamintang dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (hal. 552) adalah suatu permulaan pelaksanaan dalam percobaan melakukan tindak pidana . Mengenai percobaan melakukan tindak pidana dapat kita lihat pengaturannya dalam Pasal 53 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) : Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dan adanya permulaan pelaksanaan , dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri. Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai. Mengenai percobaan tindak pidana ini, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 69) menjelaskan bahwa undang-undang tidak memberikan definisi apa yang dimaksud dengan percobaan itu, tetapi yang diberikan ialah ketentuan mengenai syarat-syarat supaya percobaan pada kejahatan itu dapat dihukum. R. Soesilo menjelaskan bahwa menurut arti kata sehari-hari, yang diartikan percobaan yaitu menuju ke sesuatu hal, akan tetapi tidak sampai pada hal yang dituju itu, atau hendak berbuat sesuatu, sudah dimulai, akan tetapi tidak selesai. Misalnya bermaksud membunuh orang, orang yang hendak dibunuh tidak mati; hendak mencuri barang, tetapi tidak sampai dapat mengambil barang itu. Jadi, syarat-syarat yang harus dipenuhi supaya percobaan pada kejahatan dapat dihukum adalah: [1] Niat sudah ada untuk berbuat kejahatan itu; Orang sudah memulai berbuat kejahatan itu; dan Perbuatan kejahatan itu tidak jadi sampai selesai, oleh karena terhalang oleh sebab-sebab yang timbul kemudian, tidak terletak dalam kemauan penjahat itu sendiri. Penjelasan mengenai percobaan tindak pidana dapat Anda simak dalam artikel Tentang Percobaan Tindak Pidana (Poging) . Istilah Begin Van Uitvoerings Handeling Lamintang (hal. 552) menjelaskan bahwa syarat kedua yang harus dipenuhi seseorang agar ia dapat dihukum karena telah melakukan suatu percobaan untuk melakukan suatu kejahatan itu adalah, bahwa voornemen atau maksud orang itu haruslah telah ia wujudkan dalam suatu “ begin van uitvoering ” atau dalam suatu “ permulaan suatu pelaksanaan ”. Dalam hukum pidana timbul permasalahan tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan perkataan “ begin van uitvoering ” tersebut, yaitu apakah “permulaan pelaksanaan” tersebut harus diartikan sebagai “permulaan pelaksanaan dari maksud pelaku” ataukah sebagai “permulaan pelaksanaan dari kejahatan yang telah dimaksud oleh si pelaku untuk ia lakukan”. [2] Para penulis pada umumnya berpendapat bahwa perkataan “ begin van uitvoering ” atau “permulaan pelaksanaan” dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP itu harus diartikan sebagai permulaan pelaksanaan dari kejahatan saja. Akan tetapi ada pula yang berpendapat bahwa perkataan tersebut bukan hanya harus diartikan sebagai permulaan pelaksanaan yang dimaksud si pelaku saja melainkan juga sebagai permulaan pelaksanaan dari kejahatan yang oleh si pelaku telah dimaksud untuk ia lakukan. [3] Dalam memori penjelasan mengenai pembentukan Pasal 53 ayat (1) KUHP itu sendiri sebetulnya telah diberikan beberapa penjelasan, yaitu: [4] Batas antara percobaan yang belum dapat dihukum dengan percobaan yang telah dapat dihukum itu terdapat di antara apa yang disebut “ voorbereidingshandelingen ” atau tindakan-tindakan persiapan dengan apa yang disebut “ uitvoeringshandelingen ” atau tindakan-tindakan pelaksanaan; Yang dimaksud dengan “ uitvoeringshandelingen ” itu adalah tindakan-tindakan yang mempunyai hubungan yang demikian langsung dengan kejahatan yang dimaksud untuk dilakukan dan telah dimulai dengan pelaksanaannya ; Pembentuk undang-undang tidak bermaksud menjelaskan lebih lanjut tentang batas-batas antara “ voorbereidingshandelingen” dengan “ uitvoeringshandelingen” seperti yang dimaksud di atas. Oleh karena penjelasan-penjelasan yang terdapat di dalam memori penjelasan di atas tidak jelas, maka timbullah doktrin dari para ahli, di antaranya: [5] Profesor Noyon berpendapat menurut tata bahasa, pemberian arti dari perkataan uitvoeringshandeling sebagai tindakan pelaksanaan dari maksud si pelaku dan sebagai tindakan pelaksanaan dari kejahatannya itu sendiri adalah sama benarnya. Pemberian arti sebagai tindakan pelaksanaan dari maksud si pelaku itu jelas lebih tepat, akan tetapi di dalam memori penjelasan justru menunjukkan keadaan yang sebaliknya. Profesor Bemmelen , beliau berpendapat bahwa perkataan begin van uitvoering itu tidak boleh semata-mata diartikan sebagai permulaan pelaksanan dari maksud si pelaku saja, melainkan juga harus diartikan sebagai permulaan pelaksanaan dari kejahatan itu sendiri. Profesor Pompe mengatakan bahwa undang-undang itu sendiri mensyaratkan suatu permulaan pelaksanaan, di mana sudahlah jelas bahwa yang dimaksudkan adalah permulaan pelaksanaan dari kejahatan. Di sisi lain, R. Soesilo menjelaskan (hal. 69-70) pada umumnya dapat dikatakan bahwa perbuatan itu sudah boleh dikatakan sebagai perbuatan pelaksanaan , apabila orang telah mulai melakukan suatu anasir atau elemen dari peristiwa pidana. Jika orang belum memulai dengan melakukan suatu anasir atau elemen ini, maka perbuatannya itu masih harus dipandang sebagai perbuatan persiapan . Suatu anasir dari delik pencurian ialah “mengambil”, jika pencuri sudah mengacungkan tangannya kepada barang yang akan diambil, itu berarti bahwa ia telah mulai melakukan anasir “mengambil” tersebut. Dalam hal pencurian dengan pemberatan ( Pasal 363 KUHP ), misalnya dengan membongkar, memecah, memanjat, dan sebagainya, maka jika orang telah mulai dengan mengerjakan pembongkaran, pemecahan, pemanjatan, dan sebagainya, perbuatannya sudah boleh dipandang sebagai perbuatan pelaksanaan, meskipun ia belum mulai mengacungkan tangannya pada barang yang hendak diambil. Bagi tiap-tiap peristiwa dan tiap-tiap macam kejahatan harus ditinjau sendiri-sendiri. Di sinilah kewajiban hakim. [6] Jadi menjawab pertanyaan Anda, begin van uitvoering diartikan debagai permulaan suatu pelaksanaan dalam percobaan melakukan tindak pidana . Dimana suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan pelaksanaan , apabila orang telah mulai melakukan suatu anasir atau elemen dari peristiwa pidana. Jika orang belum memulai dengan melakukan suatu anasir atau elemen ini, maka perbuatannya masih harus dipandang sebagai perbuatan persiapan . Sebagai contoh, suatu anasir dari delik pencurian ialah “mengambil”, jika pencuri sudah mengacungkan tangannya kepada barang yang akan diambil, itu berarti bahwa ia telah mulai melakukan anasir “mengambil” tersebut. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Referensi : Lamintang. 2013. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia . Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. R. Soesilo. 1986. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia. [1] R. Soesilo, hal.69 [2] Lamintang, hal. 553 [3] Lamintang, hal. 553 [4] Lamintang, hal. 553 [5] Lamintang, hal. 553-554 [6] R. Soesilo, hal. 70 acara peradilan hukumonline google hukum pidana klinik hukum tindak pidana klinik hukumonline istilah hukum percobaan pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE ada salah satu unsur yaitu menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, apakah bohong dan menyesatkan adalah hal yang sama dan apakah jika menyesatkan sudah pasti bohong? Apakah ada contoh kasus yang didakwakan dengan pasal tersebut? Mohon contohnya, terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Adi Condro Bawono, S.H., M.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Rabu, 04 Januari 2012. Intisari : Kata “bohong” dan “menyesatkan” adalah dua hal yang berbeda. Dalam frasa “menyebarkan berita bohong” yang diatur adalah perbuatannya, sedangkan dalam kata “menyesatkan” yang diatur adalah akibat dari perbuatan ini yang membuat orang berpandangan salah/keliru. Selain itu, untuk membuktikan telah terjadi pelanggaran terhadap Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik , maka semua unsur dari pasal tersebut haruslah terpenuhi. Penjelasan lebih lanjut dan contoh kasusnya dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Jerat Pidana Bagi Penyebar Berita Bohong Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”) menyatakan: Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. Perbuatan yang diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE merupakan salah satu perbuatan yang dilarang dalam UU ITE. UU ITE tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “berita bohong dan menyesatkan”. Terkait dengan rumusan Pasal 28 ayat (1) UU ITE yang menggunakan frasa “menyebarkan berita bohong”, sebenarnya terdapat ketentuan serupa dalam Pasal 390 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) walaupun dengan rumusan yang sedikit berbeda yaitu digunakannya frasa “menyiarkan kabar bohong”. Pasal 390 KUHP berbunyi sebagai berikut: Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak menurunkan atau menaikkan harg a barang dagangan, fonds atau surat berharga uang dengan menyiarkan kabar bohong , dihukum penjara selama-lamanya dua tahu n delapan bulan. Menurut R.Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) s erta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 269), terdakwa hanya dapat dihukum dengan Pasal 390 KUHP, apabila ternyata bahwa kabar yang disiarkan itu adalah kabar bohong. Yang dipandang sebagai kabar bohong, tidak saja memberitahukan suatu kabar yang kosong, akan tetapi juga menceritakan secara tidak betul tentang suatu kejadian. Menurut hemat kami, penjelasan ini berlaku juga bagi Pasal 28 ayat (1) UU ITE. Suatu berita yang menceritakan secara tidak betul tentang suatu kejadian adalah termasuk juga berita bohong. Menurut hemat kami, kata “bohong” dan “menyesatkan” adalah dua hal yang berbeda. Dalam frasa “menyebarkan berita bohong” yang diatur adalah perbuatannya, sedangkan dalam kata “menyesatkan” yang diatur adalah akibat dari perbuatan ini yang membuat orang berpandangan salah/keliru. Selain itu, untuk membuktikan telah terjadi pelanggaran terhadap Pasal 28 ayat (1) UU ITE maka semua unsur dari pasal tersebut haruslah terpenuhi. Unsur-unsur tersebut yaitu: Setiap orang. dengan sengaja dan tanpa hak. Terkait unsur ini, dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Danrivanto Budhijanto, S.H., LL.M. dalam artikel Danrivanto Budhijanto, \"UU ITE Produk Hukum Monumental\" diunduh dari www.unpad.ac.id ) menyatakan antara lain bahwa perlu dicermati (unsur, ed ) ’perbuatan dengan sengaja’ itu, apakah memang terkandung niat jahat dalam perbuatan itu. Periksa juga apakah perbuatan itu dilakukan tanpa hak? Menurutnya, kalau pers yang melakukannya tentu mereka punya hak. Namun, bila ada sengketa dengan pers, UU Pers ( Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers , ed ) yang jadi acuannya. Menyebarkan berita bohong dan menyesatkan. Karena rumusan unsur menggunakan kata “dan”, artinya kedua unsurnya harus terpenuhi untuk pemidanaan, yaitu menyebarkan berita bohong (tidak sesuai dengan hal/keadaan yang sebenarnya) dan menyesatkan (menyebabkan seseorang berpandangan pemikiran salah/keliru). [1] Apabila berita bohong tersebut tidak menyebabkan seseorang berpandangan salah, maka menurut hemat kami tidak dapat dilakukan pemidanaan. Yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Unsur yang terakhir ini mensyaratkan berita bohong dan menyesatkan tersebut harus mengakibatkan suatu kerugian konsumen. Artinya, tidak dapat dilakukan pemidanaan, apabila tidak terjadi kerugian konsumen di dalam transaksi elektronik. Orang yang melanggar ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU ITE dapat diancam pidana berdasarkan Pasal 45A ayat (1) UU 19/2016 , yaitu: Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar . Contoh K asus Sebagai contoh dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor: 36/Pid.Sus/2018/PT.DKI , putusan tersebut menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 1116/Pid.Sus/2017/PN.Jkt.Brt, dalam putusan tingkat pertama tersebut terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan, bersalah melakukan tindak pidana secara bersama-sama melakukan penipuan dengan sarana Transaksi Elektronik dan Tindak Pidana Pencucian Uang. Penipuan tersebut dilakukan dengan cara tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan mengenai investasi yang mengakibatkan kerugian konsumen. Perbuatan terdakwa tersebut, diancam pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 45A ayat (1) UU 19/2016 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Terdakwa dihukum dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun dan dijatuhkan pula pidana denda sebesar Rp 500 ribu dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan kurungan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Putusan : Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor: 36/Pid.Sus/2018/PT.DKI . Referensi : Danrivanto Budhijanto, \"UU ITE Produk Hukum Monumental\" , diakses pada 21 Agustus 2018, pukul 15.25 WIB; R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Bogor: Politeia, 1991; Kamus Besar Bahasa Indonesia , diakses pada 25 September 2018 pukul 11.37 WIB. [1] Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagaimana yang kami akses dari laman Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bohong hukumonline telekomunikasi teknologi uu ite informasi dan transaksi elektronik hukum media & penyiaran berita"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa yang dimaksud buyback saham dan apa fungsinya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Arti Buyback Saham\n\nIstilah shares buyback seringkali dipakai dalam kegiatan jual beli saham. Singkatnya, arti buyback adalah membeli kembali, sehingga buyback saham atau shares buyback dapat didefinisikan sebagai kegiatan pembelian kembali saham yang telah dimiliki oleh para pemegang sahamnya.\nDalam hal ini, suatu perseroan akan membeli kembali saham yang telah dimiliki oleh para pemegang sahamnya yang mengakibatkan berkurangnya jumlah saham yang dipegang oleh pemegang saham untuk mengubah komposisi kepemilikan serta struktur kendali perseroan tersebut.[1]\n\nPasal 37 ayat (1) UU PT mengatur ketentuan buyback saham sebagai berikut:\nPerseroan dapat membeli kembali saham yang telah dikeluarkan dengan ketentuan:\n\npembelian kembali saham tersebut tidak menyebabkan kekayaan bersih Perseroan menjadi lebih kecil dari jumlah modal yang ditempatkan ditambah cadangan wajib yang telah disisihkan; danjumlah nilai nominal seluruh saham yang dibeli kembali oleh Perseroan dan gadai saham atau jaminan fidusia atas saham yang dipegang oleh Perseroan sendiri dan/atau Perseroan lain yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung dimiliki oleh Perseroan tidak melebihi 10% dari jumlah modal yang ditempatkan dalam Perseroan, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.\n\nPerlu Anda pahami, buyback saham tidak menyebabkan pengurangan modal, kecuali apabila saham tersebut ditarik kembali.[2] Adapun saham yang dibeli kembali perseroan hanya boleh dikuasai perseroan paling lama 3 tahun.[3]\n\nKemudian M. Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Perseroan Terbatas menerangkan bahwa perseroan harus menentukan apakah saham tersebut akan dijual kembali kepada orang lain atau ditarik kembali dengan cara pengurangan modal perseroan (hal. 246).\n\nPembelian kembali saham hanya boleh dilakukan berdasarkan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”), kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.[4]\n\nApabila mengacu Pasal 4 POJK 2/2013 dalam hal terjadi kondisi pasar yang berfluktuasi secara signifikan, perusahaan dapat melakukan buyback saham tanpa persetujuan RUPS.\n\nKetentuan lebih lanjut mengenai buyback saham dapat Anda simak ke dalam POJK 30/2017 yang mengatur secara khusus tentang pembelian kembali saham yang dikeluarkan oleh perusahaan terbuka.\n\nBaca juga: Mungkinkan PT Didirikan oleh Pemegang Saham Tunggal?\nFungsi Buyback Saham\n\nSetelah memahami bagaimana arti buyback saham, selanjutnya perlu dimengerti pula fungsi buyback saham yang sebenarnya beragam, bergantung pada kondisi dan tujuan yang ingin dicapai oleh perseroan. Misalnya, suatu perseroan melakukannya untuk meningkatkan nilai saham dan untuk memperbaiki laporan keuangan.\n\nContoh lainnya, ketika perseroan ingin mendapatkan kembali kendali atas pengambilan keputusan mereka, dalam hal ini supaya dapat mengendalikan persentase yang lebih besar dalam RUPS dikarenakan jumlah saham non-pengendali yang beredar di pasar menjadi berkurang.\n\nNamun patut dicatat, saham yang dikuasai perseroan karena pembelian kembali tidak dapat digunakan untuk mengeluarkan suara dalam RUPS dan tidak diperhitungkan dalam menentukan jumlah kuorum yang harus dicapai sesuai dengan ketentuan UUPT dan/atau anggaran dasar.[5] Saham tersebut juga tidak berhak mendapat pembagian dividen.[6]\n\nLebih lanjut, buyback saham juga bisa terjadi sebagai pelaksanaan hak pemegang saham sebagaimana dimaksud Pasal 62 ayat (1) UUPT:\n\nSetiap pemegang saham berhak meminta kepada Perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar apabila yang bersangkutan tidak menyetujui tindakan Perseroan yang merugikan pemegang saham atau perseroan, berupa:\nperubahan anggaran dasar; pengalihan atau penjaminan kekayaan Perseroan yang mempunyai nilai lebih dari 50% kekayaan bersih Perseroan; atau Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan.\nApabila saham yang diminta untuk dibeli oleh pemegang saham melebihi batas ketentuan pembelian kembali saham, perseroan wajib mengusahakan agar sisa saham dibeli oleh pihak ketiga.[7]\n\nMengenai batas ketentuan buyback saham perseroan adalah tidak melebihi 10% dari jumlah modal yang ditempatkan dalam perseroan, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.[8]\n\nBaca juga: PT Tak Punya Daftar Pemegang Saham, Ini Konsekuensi Hukumnya\n\nSeluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.\nDemikian jawaban kami mengenai arti buyback saham, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas](Data Kepolisian /pusatdata/detail/26940/undangundang-nomor-40-tahun-2007?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_40_2007)\n2. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5fa0c347b9d4e?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Cipta_Kerja)\n3. [Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 2/POJK.04/2013 Tahun 2013 tentang Pembelian Kembali Saham yang Dikeluarkan oleh Emiten atau Perusahaan Publik dalam Kondisi Pasar yang Berfluktuasi Secara Signifikan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt521c64eae94b7/nprt/411/peraturan-otoritas-jasa-keuangan-no-2_pojk.04_2013-tahun-2013-pembelian-kembali-saham-yang-dikeluarkan-oleh-emiten-atau-perusahaan-publik-dalam-kondisi-pasar-yang-berfluktuasi-secara-signifikan?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pojk_2_2013)\n4. [Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 30/POJK.04/2017 Tahun 2017 tentang Pembelian Kembali Saham yang Dikeluarkan oleh Perusahaan Terbuka](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5974ca31c121e?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pojk_30_2017)\nREFERENSI:\n1. Peter Moles, Robert Parrino, David S. Kidwell. Corporate Finance. West Sussex: John Wiley & Sons, 2011\n2. M. Yahya Harahap. Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika, 2016.\n\n[1] Peter Moles Robert Parrino, David S. Kidwell. Corporate Finance. West Sussex: John Wiley & Sons, 2011, hal. 667[2] Penjelasan Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”)[3] Pasal 37 ayat (4) UUPT[4] Pasal 38 ayat (1) UUPT[5] Pasal 40 ayat (1) UUPT[6] Pasal 40 ayat (2) UUPT[7] Pasal 62 ayat (2) UUPT[8] Pasal 37 ayat (1) huruf b UUPT"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin menanyakan tentang definisi cacat hukum menurut para ahli beserta uraiannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Intisari: Cacat hukum dapat diartikan suatu perjanjian, kebijakan atau prosedur yang tidak sesuai dengan hukum yang berlaku, sehingga dikatakan cacat dan tidak mengikat secara hukum. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Cacat hukum dapat diartikan suatu perjanjian, kebijakan atau prosedur yang tidak sesuai dengan hukum yang berlaku, sehingga dikatakan cacat secara hukum. Contohnya, adalah saat pemilihan pimpinan KPK November 2011 lalu, Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) milik Abraham Samad dinyatakan cacat secara formil karena menandatangani formulir surat kuasa yang salah. Lebih jauh, simak artikel Laporan Kekayaan Tiga Capim Cacat Hukum . Demikian antara lain yang dijelaskan dalam artikel Tentang RV, HIR, RBG, AB dan Keberlakuan Perpres No. 68/2005 . KLINIK TERKAIT Apa Itu Juncto dan Junctis dalam Pasal? 26 Jun 2024 Arti Putusan Niet Ontvankelijke Verklaard (NO) 05 Mar 2015 Bisakah Pihak Ketiga Mengajukan Gugatan Wanprestasi? 27 Okt 2014 Dampak Tidak Sahnya Jaminan Terhadap Perjanjian Pembiayaan 25 Apr 2014 Dalam konteks suatu putusan pengadilan, cacat hukum ini dikenal dengan istilah cacat formil. Cacat formil ini sehubungan dengan putusan yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima ( niet ontvankelijke verklaard ). Putusan niet ontvankelijke verklaard atau yang biasa disebut sebagai putusan NO merupakan putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil. M. Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata menjelaskan bahwa berbagai macam cacat formil yang mungkin melekat pada gugatan, antara lain (hal. 811): 1. Gugatan yang ditandatangani kuasa berdasarkan surat kuasa yang tidak memenuhi syarat yang digariskan Pasal 123 ayat (1) Reglemen Indonesia yang Diperbaharui ( Herziene Indlandsch Reglement ) ; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 2. Gugatan tidak memiliki dasar hukum; 3. Gugatan error in persona dalam bentuk diskualifikasi atau plurium litis consortium ; 4. Gugatan mengandung cacat obscuur libel atau melanggar yurisdiksi (kompetensi) absolut atau relatif, dan sebagainya. Penjelasan lebih lanjut tentang putusan NO dapat Anda simak dalam artikel Arti Putusan Niet Ontvankelijke Verklaard (NO) . Dalam laman legal-dictionary , cacat hukum yang dalam bahasa Inggris disebut dengan Legal Defect memiliki arti: “That which is subject to a defect is missing a requisite element and, therefore, is not legally binding . Defective Service of Process, for example, is service that does not comply with a procedural or jurisdictional requirement. A defective will is one that has not been properly drawn up, has been obtained by unlawful means , or does not comply with a particular law . In some cases, however, defects can be cured; for example, defective service of process can be cured by the service of an amended complaint.” Di samping itu, arti defect menurut Black’s Law Dictionary 9 th Edition adalah : “An imperfection or shortcoming, esp. in a part that is essential to the operation or safety of a product.” Jadi, cacat hukum dapat diartikan sebagai suatu ketidaksempuraan atau ketidaklengkapan hukum, baik suatu peraturan, perjanjian, kebijak an, atau suatu hal lainnya. Hal ini disebabkan karena tidak sesuai dengan hukum sehingga tidak mengikat secara hukum. Dalam suatu contoh yang diberikan oleh Black’s Law Dictionary, cacat hukum ini tidak hanya dimaksudkan untuk suatu perjanjian saja, tetapi bisa juga ditujukan untuk keamanan suatu produk. Contoh suatu keputusan yang dinilai cacat hukum adalah Keputusan Presiden Nomor 87 tahun 2013 yang dibatalkan melalui Putusan Pengadilan TUNNomor 139/G2013/PTUN-JKT . Berdasarkan putusan tersebut antara lain diketahui bahwa Keppres yang pada intinya mengangkat Patrialis Akbar dan Maria Farida ini dinilai cacat hukum karena bertentangan dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yang mensyaratkan pemilihan hakim konstitusi harus transparan dan partisipatif. Selengkapnya mengenai putusan ini dapat Anda simak dalam artikel PTUN Batalkan Keppres Pengangkatan Hakim MK dan YLBHI dan ICW 'Kalahkan' Presiden di PTUN Jakarta . Namun, hingga artikel ini diturunkan, putusan PTUN itu belum berkekuatan hukum tetap. K asus ini terakhir diputus pada tahap banding melalui Putusan 55/B/2014/PT.TUN.JKT. Majelis hakim PTTUN DKI Jakarta menerima eksepsi Patrialis selaku tergugat intervensi dengan menyatakan bahwa gugatan aktivis LSM itu dinyatakan tidak terima. Namun, Kuasa hukum penggugat Bahrain menyatakan akan segera mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) atas putusan ini. Selengkapnya mengenai kasasi yang akan diajukan oleh penggugat dapat Anda simak dalam artikel PTTUN Terima Eksepsi Patrialis, LSM Akan Kasasi. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Reglemen Indonesia yang Diperbaharui ( Herziene Indlandsch Reglement ) Staatsblad Nomor 44 Tahun 1941; 2. Keputusan Presiden Nomor 87 tahun 2013. Putusan: 1. Putusan Pengadilan TUN Nomor 139/G2013/PTUN-JKT . 2. Putusan Pengadilan Tinggi 55/B/2014/PT.TUN.JKT. . Referensi: 1. Harahap, Yahya. 2006. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika. 2. Black’s Law Dictionary 9 th Edition. 3. http://legal-dictionary.thefreedictionary.com/defect , diakses pada 4 Juni 2015 pukul 15.54 WIB. putusan hukum klinik hukumonline hukumonline klinik"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah arti dari istilah Concursus Creditorum?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Concursus creditorum itu adalah syarat mengenai keharusan adanya dua atau lebih kreditur agar seorang debitur dinyatakan pailit. Seluruh harta kekayaan debitur, baik yang telah ada maupun yang masih akan ada di kemudian hari merupakan jaminan seluruh utang debitur yang timbul, baik dari undang-undang maupun dari perjanjian, yang harus berbagi secara proporsional di antara para krediturnya, sehingga syarat mengenai harus adanya dua kreditur atau lebih kreditur adalah mutlak . Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Concursus Creditorum adalah istilah dalam Kepailitan yang berkaitan dengan syarat kepailitan. Syarat Kepailitan Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU 37/2004”) : Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Kepailitan itu adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam UU 37/2004. [1] Pasal 8 ayat (4) UU 37/2004 mengatur sebagai berikut: Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi . Merujuk pada ketentuan tersebut, jelas bahwa yang harus terbukti secara sederhana adalah fakta atau keadaan bahwa syarat dinyatakan kepailitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU 37/2004 telah terpenuhi, yaitu: Ada dua atau lebih kreditor . Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan. [2] \"Kreditor\" di sini mencakup baik kreditor konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen. [3] Ada sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih yang tidak dibayar lunas oleh debitor . Artinya adalah ada kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase. [4] Jadi berdasarkan hal tersebut, seorang debitur dinyatakan pailit apabila debitur memiliki paling sedikit dua kreditur dan ada sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Arti dari Concursus Creditorum Menurut Sutan Remy Sjahdeini dalam bukunya Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan (hal. 132), concursus creditorum itu adalah syarat mengenai keharusan adanya dua atau lebih kreditur . Jadi syarat mengenai keharusan adanya dua atau lebih kreditur agar seorang debitur dinyatakan pailit ini disebut dengan concursus creditorum . Syarat bahwa debitur harus mempunyai dua kreditur atau lebih tidak dipersyaratkan atau tidak ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1 ) Faillissements-verordening . [5] Lebih lanjut menurut Sutan Remy, oleh karena UU 37/2004 merupakan pelaksanaan dari asas hukum perjanjian “ seluruh harta kekayaan debitur, baik yang telah ada maupun yang masih akan ada di kemudian hari merupakan jaminan seluruh utang debitur yang timbul, baik dari undang-undang maupun dari perjanjian, yang harus berbagi secara proporsional di antara para krediturnya ,” maka syarat mengenai harus adanya dua kreditur atau lebih kreditur adalah mutlak . [6] Apabila debitur hanya mempunyai seorang kreditur, maka tidak perlu ditempuh upaya kepailitan terhadap debitur untuk menghindarkan terjadinya perebutan di antara para kreditur terhadap harta kekayaan debitur. [7] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang . Referensi : Sutan Remy Sjahdeini. 2016. Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan. Jakarta: Prenadamedia Group. [1] Pasal 1 angka 1 UU 37/2004 [2] Pasal 1 angka 2 UU 37/2004 [3] Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU 37/2004 [4] Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU 37/2004 [5] Sutan Remy Sjahdeini, hal. 132 [6] Sutan Remy Sjahdeini, hal. 132 [7] Sutan Remy Sjahdeini, hal. 132 debitor hukumonline google kreditor penundaan kewajiban pembayaran utang kepailitan hukum klinik debitur utang piutang pailit klinik hukumonline pkpu utang piutang kreditur"
} |
{
"from": "human",
"value": "Selamat pagi. Saya mau tanya, apa kepanjangan serta perbedaan cq dan qq?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Saudara. KLINIK TERKAIT Apa Itu Juncto dan Junctis dalam Pasal? 26 Jun 2024 Mengenal Frasa Demi Hukum dan Batal Demi Hukum 03 Jan 2023 Arti R dan TM dalam Merek Dagang 10 Mar 2022 Arti Berita Bohong dan Menyesatkan dalam UU ITE 25 Sep 2018 1. “qq” merupakan singkatan dari “ Qualitate Qua ”. Frasa berbahasa Latin tersebut dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “ dalam kapasitasnya/kedudukannya sebagai wakil (yang sah) dari .” Contoh penggunaan qq: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas “Sekretaris Daerah Kabupaten ABC qq Pemerintah Kabupaten ABC.“ Dalam contoh tersebut, Pemerintah Kabupaten ABC melalui Bupati menyerahkan mandat ataupun kuasa kepada Sekretaris Daerah untuk melakukan suatu tindakan untuk mewakili Pemerintah Kabupaten ABC. 2. “cq” merupakan singkatan dari “ Casu Quo ”. Frasa yang juga dari Bahasa Latin tersebut dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi beberapa arti, antara lain “ dalam hal ini ”, “ lebih spesifik lagi ”. “Cq” umumnya digunakan pada suatu hubungan yang bersifat hierarkis. Contoh penggunaan cq: “ Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal cq Deputi Bidang Pelayanan Penanaman Modal.” atau “Menteri Hukum dan HAM cq Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual cq Direktur Merek ”. Perbedaan antara “qq” dan “cq” adalah pada tujuan penerimanya. Singkatan “qq” digunakan untuk menerangkan pihak yang mewakili dan diwakili, sedangkan “cq” digunakan untuk menerangkan dan/atau menunjukkan pihak secara lebih detail, spesifik atau khusus. Demikian jawaban yang dapat kami berikan. Referensi : Lampiran IV Kamus Besar Bahasa Indonesia tentang Daftar Singkatan dan Akronim."
} |
{
"from": "human",
"value": "Mohon jelaskan apa yang dimaksud dengan pesonalitas sebuah PT? Bagaimana karakteristik khusus personalitas sebuah perusahaan tersebut?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Personalitas perseroan adalah sebuat prinsip yang mengandung pengertian bahwa sebuah perseroan yang merupakan subjek hukum mandiri yang keberadaannya tidak tergantung dari pemegang saham, anggota direksi dan dewan komisaris. Kemudian seperti apa ciri-ciri dari personalitas perseroan tersebut? Personalitas perseroan itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Perseroan diperlakukan sebagai wujud yang terpisah dan berbeda dari pemiliknya Dapat menggugat dan digugat atas nama perseroan itu sendiri Perseroan dapat memperoleh, menguasai, dan mengalihkan miliknya atas Namanya sendiri Tanggung jawab pemegang saham, terbatas sebesar nilai sahamnya Pemegang saham, tidak mengurus perseroan, kecuali dia dipilih sebagai anggota direksi. Melakukan kegiatan terus-menerus sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Aggaran Dasar. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Perseroan Terbatas Sebagai Subjek Hukum Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”) mendefinisikan Perseroan Terbatas sebagai badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya. M. Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Perseroan Terbatas (hal. 52), menjelaskan secara ringkas mengenai personalitas perseroan ( rechtspersoonlijkheid, legal personality ) dari perseroan. Yahya mengatakan bahwa perorangan manusia baik laki-laki, perempuan maupun dewasa atau anak-anak adalah subjek hukum yang memiliki personalitas atau kepribadian. Manusia sebagai person /perorangan dan subjek hukum mempunyai hak hidup yang dilindungi hukum. Manusia berhak memiliki kekayaan di depan hukum. Bahkan pada dirinya melekat berbagai hak asasi yang harus dihormati penguasa dan anggota masyarakat lain. Sebaliknya, kepadanya dapat diminta pertanggungjawaban atas pelanggaran kewajiban hukum yang melekat pada hak tersebut di depan pengadilan: semua manusia sebagai perorangan adalah badan hukum ( legal person ) dan hal itu melekat pada dirinya sejak lahir, serta keadaan itu berlangsung selama hidupnya sejak lahir sampai meninggal dunia. Lebih lanjut Yahya menjelaskan bahwa akan tetapi, bukan manusia perorangan saja yang bisa menjadi subjek hukum dan badan hukum, perseroan juga bis a menjadi badan hukum . Oleh karena itu, perseroan juga bisa menjadi subjek hukum. Apabila sesuatu mempunyai hak ( recht, right ) dan kewajiban ( duty ) seperti layaknya manusia, maka menurut hukum setiap apa pun yang mempunyai hak dan kewajiban adalah subjek hukum dalam kategori badan hukum. Dengan demikian, tidak selamanya badan hukum harus manusia. [1] Badan hukum yang bukan manusia itu adalah apa yang disebut dalam Pasal 1 angka 1 UU PT yaitu Perseroan Batas. Sejalan dengan hal tersebut, dalam artikel Pandangan Yuridis tentang PT dan Organ-organnya , dijelaskan bahwa perseroan adalah badan hukum dan dengan demikian merupakan subjek hukum mandiri, maka keberadaan Perseroan tidak tergantung dari keberadaan para pemegang sahamnya, para anggota Direksi dan Dewan Komisaris. Sekalipun mereka berganti atau diganti, pergantian tersebut tidak mengubah keberadaan Perseroan selaku persona standi in judicio . Di sini tampak jelas perbedaan hakiki antara Perseroan di satu pihak dan di lain pihak Firma, CV serta persekutuan perdata. Teori Personalitas Perseroan Masih dari sumber buku yang sama, Yahya menjabarkan beberapa teori hukum berkenaan dengan personalitas perseroan sebagai badan hukum antara lain sebagai berikut: [2] Teori F iksi Teori ini juga disebut teori entitas atau teori agregat. Pokok-pokok yang dikemukakan dalam teori ini: Perseroan merupakan organisme yang mempunyai identitas hukum yang terpisah dari anggotanya atau pemiliknya, Oleh karena itu, perseroan adalah badan hukum buatan melalui proses hukum, dengan demikian pada dasarnya bersifat fiktif, Kelahirannya semata-mata melalui persetujuan Pemerintah dalam bentuk fiat atau approva l atau consensus of the government . Maka menurut teori ini, kepribadian atau personalitas perseroan sebagai badan hukum adalah pengakuan hukum terhadap kepentingan sekelompok orang tertentu untuk melakukan kegiatan perusahaan atau bisnis. Teori R ealistik Teori personalitas perseroan yang lain adalah teori realistik atau disebut juga inherence theory , pokok dari teori ini adalah: Perseroan sebagai grup atau kelompok, di mana kegiatan dan aktivitas kelompok itu diakui hukum terpisah ( separate legal recognition ) dari kegiatan dan aktivitas individu kelompok yang terlibat dalam perseroan, Dengan demikian, jumlah peserta ( aggregate ) terpisah dari komponen ( aggregate distinct or separate from components ). Secara realistik atau inherent , hukum mengakui adanya perbedaan dan pemisahaan personalitas para anggota kelompok yang terikat dalam perseroan. Teori K ontrak Teori kontrak mengatakan bahwa perseroan sebagai badan hukum, dianggap merupakan kontrak antara anggota-anggotanya pada satu segi, dan antara anggota-anggota perseroan, yakni pemegang saham dengan pemerintah pada segi lain. Berdasarkan penjelasan di atas, menjawab pertanyaan Anda, yang dimaksud dengan personalitas perseroan adalah sebuah prinsip yang mengandung pengertian bahwa sebuah perseroan yang merupakan subjek hukum mandiri yang keberadaannya tidak tergantung dari pemegang saham, anggota direksi dan dewan komisaris. Kemudian seperti apa ciri-ciri dari personalitas perseroan tersebut? Berikut ulasannya. Ciri Pokok Personalitas Perseroan Berkaitan dengan pertanyaan Anda mengenai karakteristik dari personalitas sebuah perseroan, dalam artikel Adakah Risiko Bagi Pemegang Saham Jika Perusahaan di-Black List BI? dijelaskan bahwa m enurut penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU PT , ketentuan tanggung jawab terbatas, merupakan penegasan ciri personalitas PT bahwa pemegang saham hanya bertanggung jawab sebesar setoran atas seluruh saham yang dimilikinya dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya. Selain itu Yahya Harahap dalam buku yang sama juga menjelaskan mengenai ciri-ciri personalitas perseroan. Seperti apa ciri-ciri dari personalitas perseroan tersebut? Berikut ulasannya. Ciri personalitas yang juga terdapat dalam UU PT yaitu: [3] Perseroan D iperlakukan sebagai W ujud yang T erpisah dan B erbeda dari P emiliknya Ciri personalitas yang demikian diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU PT dalam bentuk “pertanggungjawaban terbatas” pemegang saham atas utang perseroan. Pasal 3 ayat (1) UU PT tersebut berbunyi: Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki. Kemudian penjelasan Pasal 3 ayat (1) tersebut mengatakan bahwa, ketentuan tangung jawab terbatas, merupakan penegasan ciri personalitas perseroan bahwa pemegang saham terpisah tanggung jawabnya sebatas apa yang disetornya kepada perseroan dengan harta pribadinya. Dapat M enggugat dan D igugat A tas N ama P erseroan I tu S endiri Ciri personalitas perseroan yang ini datur pada Pasal 98 ayat (1) UU PT : Perseroan dapat tampil di dalam maupun di luar Pengadilan, untuk itu perseroan diwakili oleh Direksi. Perseroan dapat menggugat wanprestasi atau Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang dilakukan pihak ketiga. Begitu juga sebaliknya, dia dapat digugat pihak ketiga terhadap wanprestasi dan PMH yang dilakukan oleh perseroan. Perseroan D apat M emperoleh, M enguasai, dan M engalihkan M iliknya A tas Namanya S endiri Hal ini berdasarkan Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) UU PT yang mana, perseroan memiliki kekayaan berupa modal dasar, modal ditempatkan dan modal disetor. Dapat memiliki aset dari hasil keuntungan perusahaan. Menguasai dan memindahkan aset itu sesuai dengan cara yang ditentukan undang-undang dan Anggaran Dasar (“AD”). Memiliki “cadangan wajib” dan “cadangan khusus” sesuai dengan ketentuan Pasal 70 ayat (1) dan Pasal 73 ayat (1) UU PT . Tanggung J awab P emegang S aham, T erbatas S ebesar N ilai S ahamnya Sejalan dengan ciri perseroan terpisah dengan pemiliknya, maka tanggung jawab pemegang saham, hanya terbatas sebesar saham yang dimilikinya sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 3 ayat (1) UU PT. Ulasan selengkapnya mengenai tanggung jawab terbatas pemegang saham dapat Anda simak dalam artikel Saat Hapusnya Tanggung Jawab Terbatas Pemegang Saham . Pemegang S aham, T idak M engurus P erseroan, K ecuali D ia D ipilih S ebagai A nggota D ireksi. Perlu diketahui bahwa pemegang saham tidak mengurus perseroan akan tetapi perseroan itu diurus oleh seorang Direksi yang ditunjuk dan diangkat melalui Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 92 ayat (1) dan Pasal 94 ayat (1) UU PT . Melakukan K egiatan T erus-menerus S esuai J angka W aktu yang D itetapkan dalam AD. Jangka waktu perseroan umumnya ditetapkan dalam waktu yang Panjang atau bisa juga tanpa batas. Ciri ini pun diatur pada Pasal 6 UU PT : Perseroan didirikan untuk jangka waktu terbatas atau tidak terbatas sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar . Perseroan dapat didirikan untuk jangka waktu terbatas, atau tidak terbatas. Baik terbatas maupun tidak terbatas, harus ditentukan dalam anggaran dasar. Selama masa berdirinya belum berakhir, perseroan terus menerus melakukan kegiatan usaha sesuai dengan maksud dan tujuan yang ditentukan AD. [4] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas . Referensi : James Barnes, Terry Morehead Dworkin, Eric R. Richards. Law for Business, Fourth Edition . New York, USA: Irwin, 1991 Yahya Harahap. Hukum Perseroan Terbatas . Jakarta: Sinar Grafika , 2016. [1] Yahya Harahap, hal .53 [2] Yahya Harahap, hal 54-56 [3] Yahya Harahap, hal. 57-60 [4] A. James Barnes, Terry Morehead Dworkin, Eric R. Richards, Law for Business, Fourth Edition , Irwin, 1991, hlm. 400 sebagaimana dikutip oleh Yahya Harahap, hal. 60 pemegang saham bisnis pt hukumonline rups badan usaha perseroan perseroan terbatas hukum badan hukum perusahaan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah yang dimaksud dengan undang-undang darurat?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Mengenai undang-undang darurat, dapat kita lihat pengaturannya dalam Pasal 96 Undang-Undang No. 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat Mendjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (“UUDS 1950”) : KLINIK TERKAIT Proses Pembentukan Undang-Undang di Indonesia 02 Mar 2023 Hukum Memiliki Stun Gun 11 Jun 2013 Hukum Membawa Nunchaku (Double Stick) 21 Mei 2013 Perbedaan Undang-Undang dengan Peraturan Perundang-Undangan 05 Nov 2012 1. Pemerintah berhak atas kuasa dan tanggung-djawab sendiri menetapkan undang-undang darurat untuk mengatur hal-hal penjelenggaraan-pemerintahan jang karena keadaan-keadaan jang mendesak perlu diatur dengan segera. 2. Undang-undang darurat mempunjai kekuasaan dan deradjat undang-undang; ketentuan ini tidak mengurangi jang ditetapkan dalam pasal jang berikut. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ini berarti bahwa undang-undang darurat adalah undang-undang yang ditetapkan oleh Pemerintah tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”). Undang-undang darurat ini dibuat untuk mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan yang perlu diatur dengan segera karena adanya keadaan darurat. Sesudah undang-undang darurat ini ditetapkan oleh Pemerintah, undang-undang ini harus disampaikan kepada DPR selambat-lambatnya pada sidang DPR berikutnya untuk dirundingkan ( Pasal 97 ayat [1] UUDS 1950 ). Jika pada saat perundingan, peraturan tersebut ditolak oleh DPR, maka undang-undang darurat ini tidak berlaku lagi karena hukum ( Pasal 97 ayat [2] UUDS 1950 ). Sekarang dalam hal terjadi keadaan mendesak dan perlu pengaturan segera, yang ditetapkan oleh pemerintah bukan lagi undang-undang darurat, melainkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (“Perpu”). Fungsi Perpu serupa dengan undang-undang darurat. Hal ini dapat dilihat dari pengaturan mengenai Perpu dalam Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) yang berbunyi: (1) Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang; (2) Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut; (3) Jika tidak mendapat persetujuan maka Peraturan Pemerintah itu dicabut. Marida Farida Indrati Soeprapto, S.H., M.H. , dalam bukunya yang berjudul Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukannya (hal. 98), mengatakan bahwa Perpu ini, selain ditentukan oleh Pasal 22 UUD 1945, dikenal juga dalam Pasal 139 Konstitusi RIS dan dalam Pasal 96 UUDS 1950 dengan sebutan Undang-Undang Darurat. Lebih lanjut, Maria Farida ( Ibid , hal. 94) menjelaskan bahwa Perpu (atau Undang-Undang Darurat) mempunyai hierarki setingkat dengan undang-undang. Akan tetapi, menurut Maria, Perpu ini kadang-kadang dikatakan tidak sama dengan Undang-Undang karena belum disetujui oleh DPR ( Ibid, hal. 96). Perpu ini jangka waktunya terbatas (sementara) sebab secepat mungkin harus dimintakan persetujuan pada DPR, yaitu pada persidangan berikutnya. Apabila Perpu itu disetujui oleh DPR, akan dijadikan Undang-Undang, sedangkan kalau tidak disetujui, akan dicabut. Karena itu, hierarkinya adalah setingkat/sama dengan Undang-Undang sehingga fungsi maupun materi muatan Perpu adalah sama dengan fungsi maupun materi muatan Undang-Undang. Jadi, baik Undang-Undang Darurat maupun Perpu, dalam hierarki perundang-undangan setingkat dengan Undang-Undang. Contoh undang-undang darurat yang masih berlaku adalah Undang-Undang Darurat Republik Indonesia No. 12 Tahun 1951 tentang Mengubah \"Ordonnantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen\" (STBL. 1948 No. 17) Dan Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu No. 8 Tahun 1948 . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: 1. Undang-Undang Dasar 1945 ; 2. Undang-Undang No. 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat Mendjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia . Referensi: Soeprapto, Marida Farida Indrati. 1998. Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukannya. Kanisius. hierarki peraturan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya membaca dari sebuah bacaan daerah di mana seorang kepala daerah selain melaksanakan otonomi daerah, juga melaksanakan medebewind/tugas pembantuan. Bisa tolong jelaskan apa yang dimaksud dengan medebewind tersebut?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Bolehkah Kepala Desa Mengganti Seluruh Perangkat Desa? 20 Feb 2017 Dasar Hukum Pilkada Putaran Kedua 16 Feb 2017 Hukumnya Jika Menulis Kata-kata Kasar di Medsos yang Ditujukan kepada Pemerintah 09 Feb 2017 Kedudukan Pemerintahan Desa dalam Konstitusi dan Peraturan Perundang-undangan 23 Jan 2017 Intisari: Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah provinsi. Maksud diadakan tugas pembantuan dalam pembangunan di daerah adalah agar keterbatasan jangkauan aparatur pemerintah pusat dapat ditanggulangi melalui kewenangan aparatur daerah. Penjelasan lebih lanjut dan contoh tugas pembantuan dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pemerintahan Daerah Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (“UU 23/2014”) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 . Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. [1] Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. [2] Jadi, kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah melaksanakan urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya. Asas Desentralisasi, Asas Dekonsentralisasi, dan Asas Tugas Pembantuan Menurut Hinca Pandjaitan dalam artikel Fungsi dan Akibat Hukum Keputusan Kepala Daerah Dalam Melaksanakan Urusan Tugas Pembantuan Dikaitkan dengan Pokok Pangkal Sengketa yang dimuat dalam buku Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara (hal. 387) yang disunting oleh S.F. Marbun dkk , sebagai salah satu realisasi Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) serta Pasal 1 UUD 1945 , pemerintah di daerah dilaksanakan melalui tri asas, yaitu asas desentralisasi, asas dekonsentralisasi (dekonsentrasi) dan asas tugas pembantuan. [3] Desentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi. [4] Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum. [5] Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi. [6] Tentang Tugas Pembantuan Lebih lanjut Hinca Pandjaitan menjelaskan bahwa tugas pembantuan dapat juga diartikan sebagai tugas pemerintah daerah untuk mengurusi urusan pemerintahan pusat atau pemerintah yang lebih tinggi, dengan kewajiban mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskannya. [7] Pemerintah pusat dalam hal ini berwenang dan berkewajiban memberikan perencanaan umum, petunjuk-petunjuk serta biaya. Sedangkan perencanaan lebih rinci, khusus mengenai pengawasan dari kegiatan tersebut dipercayakan kepada pejabat atau aparatur pemerintah pusat yang ada di daerah. [8] Maksud Tugas Pembantuan Maksud diadakan asas tugas pembantuan dalam pembangunan di daerah bertujuan agar keterbatasan jangkauan aparatur pemerintah pusat dapat ditanggulangi melalui kewenangan aparatur daerah. [9] Daerah berhak menetapkan kebijakan Daerah dalam melaksanakan Tugas Pembantuan. [10] Kebijakan Daerah hanya terkait dengan pengaturan mengenai pelaksanaan Tugas Pembantuan di Daerahnya. [11] Anggaran untuk melaksanakan Tugas Pembantuan disediakan oleh yang menugasi. [12] Dokumen anggaran untuk melaksanakan Tugas Pembantuan disampaikan oleh kepala daerah penerima Tugas Pembantuan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bersamaan dengan penyampaian rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD dalam dokumen yang terpisah. [13] Laporan pelaksanaan anggaran Tugas Pembantuan disampaikan oleh kepala daerah penerima Tugas Pembantuan kepada DPRD bersamaan dengan penyampaian laporan keuangan Pemerintah Daerah dalam dokumen yang terpisah. [14] Pelaksanaan Tugas Pembantuan Urusan pemerintahan yang dapat ditugaskan dari pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi atau kabupaten/kota dan/atau pemerintah desa merupakan sebagian urusan pemerintahan di luar 6 (enam) urusan yang bersifat mutlak yang menurut peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai urusan pemerintah pusat. [15] Urusan pemerintahan absolut/mutlak meliputi: [16] a.\npolitik luar negeri; b.\npertahanan; c.\nkeamanan; d.\nyustisi; e.\nmoneter dan fiskal nasional; dan f.\nagama. Dengan kata lain, tugas pembantuan yang dapat dilakukan adalah urusan pemerintahan di luar keenam urusan pemerintahan yang mutlak di atas. Pelaksanaan tugas pembantuan itu dapat dilakukan melalui suatu Keputusan Kepala Daerah, dapat juga dilakukan melalui Peraturan Daerah. Misalnya urusan tugas pembantuan berupa program INPRES Sekolah Dasar yang diwujudkan dalam bentuk Keputusan Kepala Daerah. [17] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Dasar 1945 ; 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah ; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan . REFERENSI:\n1. S.F. Marbun dkk. 2004. Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: UII Press. [1] Pasal 1 angka 2 UU 23/2014 [2] Pasal 1 angka 3 UU 23/2014 [3] Pasal 5 ayat (4) UU 23/2014 [4] Pasal 1 angka 8 UU 23/2014 [5] Pasal 1 angka 9 UU 23/2014 [6] Pasal 1 angka 11 UU 23/2014 [7] Hinca Pandjaitan hal. 388 [8] Hinca Pandjaitan hal.388 [9] Hinca Pandjaitan hal 389 [10] Pasal 22 ayat (1) UU 23/2014 [11] Pasal 22 ayat (2) UU 23/2014 [12] Pasal 22 ayat (3) UU 23/2014 [13] Pasal 22 ayat (4) UU 23/2014 [14] Pasal 22 ayat (5) UU 23/2014 [15] Pasal 36 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan [16] Pasal 10 ayat (1) UU 23/2014 [17] Hinca Pandjaitan hal 390 - 391 hukumonline google lembaga pemerintah bupati walikota gubernur hukum klinik pemerintah daerah pemerintah pusat klinik hukumonline pemda otonomi daerah"
} |
{
"from": "human",
"value": "Suatu negara yang meratifikasi kovenan hak asasi manusia boleh menderogasi suatu norma tertentu dengan tujuan menghindari tanggung jawab secara hukum jika ada pelanggaran HAM. Adakah syarat suatu negara untuk menderogasi pasal tertentu itu? Apa dampak bagi warga negaranya jika negara melakukan derogasi?"
} | {
"from": "gpt",
"value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITPengertian HAM menurut Para Ahli, Hukum Nasional dan Internasional26 Sep 20223 Kewajiban Pokok Negara dalam Hukum HAM Internasional21 Apr 2022Apa yang Dimaksud dengan Pelanggaran HAM Berat?06 Apr 2022Bentuk Pelanggaran HAM 'Ringan' di Indonesia, Adakah?09 Mar 2022\n\nSebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu kiranya kami jelaskan terlebih dahulu mengenai kovenan hak asasi manusia (“HAM”) atau perjanjian internasional yang mengatur tentang HAM. Sebagai salah satu sumber hukum formal dalam hukum HAM internasional, kovenan-kovenan HAM beraneka ragam dan dapat digolongkan berdasarkan klasifikasi tentang hukum internasional sebagai berikut:[1]\n\nHukum internasional umum\n\nKovenan HAM yang dapat diratifikasi oleh negara manapun sehingga berlaku umum, di antaranya the International Bill of Human Rights[2] seperti International Covenant on Civil and Political Rights (“ICCPR”) dan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (“ICESCR”).\n\nHukum internasional regional\nKovenan HAM yang dapat diratifikasi oleh negara tertentu di wilayah atau benua tertentu, sehingga berlaku khusus. Di antaranya American Convention of Human Rights (“ACHR”), European Convention of Human Rights (“ECHR”), dan The African Charter on Human and Peoples' Rights (“ACHPR”).\n\nDengan meratifikasi kovenan HAM, negara mengemban kewajiban (obligation) dalam hukum internasional yang bila tidak dipenuhi dapat menimbulkan tanggung jawab negara (state responsibility). Akan tetapi, dalam pasal-pasalnya, sebagian kovenan HAM mengatur tentang hak-hak asasi manusia yang dapat diderogasi (derogable rights).\nSementara ACHPR dan ICESCR tak memuat klausul derogasi seperti yang tertuang dalam Pasal 4 ICCPR, Pasal 27 ACHR, dan Pasal 15 ECHR. Oleh karena itu, tidak seluruh kovenan HAM membolehkan negara untuk menderogasi ketentuan pasalnya.[3]\nApa yang Dimaksud dengan Derogasi?\n\nLantas apa yang dimaksud dengan derogasi dalam HAM? Pengertian derogasi adalah “pengecualian”, yaitu suatu mekanisme di mana suatu negara menyimpangi tanggung jawabnya secara hukum karena adanya situasi yang darurat.[4]\n\nTindakan derogasi (derogation measures)[5] merupakan tindakan negara untuk mengurangi kewajibannya sebagaimana diatur dalam pasal-pasal kovenan HAM, berdasarkan syarat-syarat yang diatur di dalamnya.\n\nDengan kata lain, negara menangguhkan kewajiban tertentu dalam kovenan HAM, dengan terlebih dulu memenuhi pasal tertentu yaitu klausul derogasi. Tujuannya, negara dapat mengambil tindakan-tindakan pengecualian yang dalam situasi biasa atau normal akan dianggap bertentangan dengan kewajiban negara, karena semula merupakan HAM yang wajib dipenuhi.\nHak yang Tak Dapat Diderogasi (Non-Derogable Rights)\n\nNamun demikian, terdapat hak-hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Rincian apa saja yang termasuk dalam non-derogable rights berbeda-beda dalam setiap kovenan HAM.\n\nAdapun, non-derogable rights dalam ICCPR, ACHR, ECHR mencakup antara lain:[6]\n\nthe right to life (hak untuk hidup);the prohibition of torture or cruel, inhuman or degrading treatments or punishments (larangan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat); the prohibition of slavery or involuntary servitude (larangan perbudakan dan perdagangan budak dalam segala bentuknya); and the prohibition of retroactive criminal law (larangan penerapan hukum pidana secara retroaktif)\n\nOleh karena itu, tidak seluruh norma atau pasal dalam kovenan HAM boleh ditangguhkan oleh negara, meskipun kovenan HAM tersebut memuat klausul derogasi.\n\nPada dasarnya, syarat-syarat mengenai derogasi akan bergantung pada isi pasal dalam kovenan HAM itu sendiri. Sedangkan rincian norma dalam setiap kovenan HAM beraneka ragam. Akan tetapi, di balik keragaman itu, terdapat irisan mengenai syarat-syarat yang dimaksud, sehingga ketentuan mengenai derogasi nyaris diatur seragam.\n\nBerikut syarat-syarat derogasi berdasarkan kovenan-kovenan HAM, putusan-putusan pengadilan, dan pendapat para ahli.[7] Seluruh syarat ini dapat dipilah lagi menjadi dua bagian, yaitu sebelum derogasi berlaku (prasyarat) dan saat derogasi berlaku (syarat).\nPrasyarat Derogasi\n\nKlausul derogasi (derogation clause)\n\nDerogasi dapat berlaku jika hal tersebut diatur dalam kovenan HAM yang dimaksud. Dalam kovenan HAM, hal ini tidak disebut secara eksplisit sebagai ‘klausul derogasi’.\n\nKlausul derogasi merupakan istilah teknis yang merujuk pada bentuk. Ia terbentuk apabila isi dalam kovenan HAM memuat ketentuan-ketentuan norma atau pasal yang dapat mengecualikan penerapan pasal lainnya.\n\nDalam ICCPR, ACHR, ECHR, klausul derogasi tercermin dari ketentuan bahwa negara “...may take measures derogating from their/its obligations under the present Covenant/this convention ...”.[8] Lazimnya, klausul derogasi memuat syarat-syarat untuk dapat diberlakukan. Karena itu, prasyarat dan syarat berikutnya, dapat dilihat juga sebagai isi atau komponen yang membentuk keseluruhan klausul derogasi.\n\nHak-hak yang dapat dikurangi (derogable rights)\n\nDerogasi tidak dapat diberlakukan terhadap non-derogable rights. Lazimnya, kovenan HAM merinci hak-hak yang tak dapat dikurangi itu. Hal ini misalnya tertuang dalam Pasal 4 ayat 2 ICCPR, Pasal 27 ayat 2 ACHR, dan Pasal 15 ayat 2 ECHR. Maka, secara a contrario, derogable rights mencakup hak-hak selain non-derogable rights, dan derogasi hanya berlaku bagi derogable rights.\n\nKeadaan darurat publik (public emergency)\n\nKetentuan ini diatur dalam Pasal 4 ayat 1 ICCPR, Pasal 27 ayat 1 ACHR, dan Pasal 15 ayat 1 ECHR.\n\nAda setidaknya dua unsur mengenai keadaan darurat publik, yaitu, pertama, keadaan darurat di sini secara literal merujuk pada ‘keadaan darurat publik yang dapat mengancam keselamatan bangsa/negara’.[9] Ada beragam penafsiran mengenai frasa ini. Namun, tidak seluruh gangguan (disturbance) dan bencana (catastrophe) seperti konflik bersenjata (armed conflict) dianggap memenuhi unsur tersebut.[10]\n\nAda setidaknya dua bentuk tafsiran mengenai frasa di atas. Dalam kasus Lawless v. Ireland dan Greek case (1969) ditafsirkan secara ketat bahwa keadaan darurat tersebut harus berdampak terhadap seluruh penduduk (the whole of population).[11] Sementara dalam kasus Ireland v. United Kingdom, ditafsirkan lebih longgar bahwa negara tersebutlah yang dapat menentukan eksistensi kedaruratan tersebut.[12]\n\nKedua, darurat publik ini mesti diumumkan secara resmi. Ketentuan ini diatur secara eksplisit dalam ICCPR, namun tak diatur dalam ACHR dan ECHR. Adapun tujuan dari unsur terakhir adalah agar negara dalam keadaan darurat publik tetap menjalankan ketentuan hukum nasionalnya.[13]\n\nPemberitahuan (notification)\n\nKetentuan ini diatur dalam Pasal 4 ayat 3 ICCPR, Pasal 27 ayat 3 ACHR, dan Pasal 15 ayat 3 ECHR. Terkait hal ini, negara wajib memberitahukan kepada negara pihak lainnya melalui sekretaris jenderal lembaga HAM terkait,[14] mengenai informasi lengkap tentang apa ketentuan yang diderogasi, beserta alasan mengapa tindakan derogasi diambil.\n\nSelain itu, negara juga harus memberitahukan kapan tindakan derogasi akan dicabut. Tanpa dipenuhinya prasyarat formal ini, negara dapat dianggap belum mengajukan derogasi.[15]\nSyarat-syarat derogasi\n\nDiperlukan (necessity)\n\nKetentuan ini diatur dalam Pasal 4 ayat 1 ICCPR, Pasal 27 ayat 1 ACHR, dan Pasal 15 ayat 1 ECHR. Tindakan negara saat derogasi berlaku, sangat diperlukan dalam kondisi darurat tersebut.[16]\n\nHal ini menyangkut jangka waktu, cakupan wilayah, dan ruang lingkup tindakan derogasi yang boleh dilakukan negara dalam keadaan darurat. Asumsinya, di satu sisi, tindakan-tindakan biasa (normal) tidak mampu untuk menanggulangi kondisi darurat. Di sisi lain, tindakan derogasi merupakan pengecualian yang sifatnya sementara (temporary).\n\nKarena itu, untuk menengahi dua kecenderungan tersebut, berlaku prinsip proporsionalitas yang mengukur apakah setiap tindakan derogasi negara diperlukan atau tidak diperlukan.[17]\n\nTidak diskriminatif (non-discriminative)\n\nKetentuan ini diatur secara eksplisit dalam Pasal 4 ICCPR dan Pasal 27 ACHR, namun tidak diatur dalam ECHR. Tindakan negara saat derogasi berlaku tak boleh diskriminatif, baik atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, atau asal-usul sosial.\n\nMenurut Olivier De Schutter, unsur ini secara implisit dapat juga dianggap tercakup ke dalam konsep ‘diperlukan’ (necessity). Karena per definisi, bagi Schutter, tidak ada diskriminasi yang proporsional. Semua diskriminasi tidaklah proporsional. Maka, larangan tindakan diskriminatif dapat dilihat sebagai salah satu implikasi dari prinsip proporsionalitas.[18]\n\nTidak bertentangan dengan kewajiban internasional lainnya\n\nKetentuan ini diatur dalam Pasal 4 ICCPR, Pasal 27 ACHR, dan Pasal 15 ECHR. Tindakan negara saat derogasi berlaku tak boleh bertentangan dengan kewajiban internasional lainnya yang diemban oleh negara tersebut. Hal ini mencakup jus cogens atau peremptory norms of international law dan hukum kebiasaan internasional.\n\nSebagai contoh, ICESCR tidak mengatur klausul derogasi. Jika suatu negara meratifikasi ICCPR dan ICESCR, maka negara yang tengah memberlakukan derogasi terhadap ICCPR tidak boleh melanggar ketentuan ICESCR. Hal ini karena tindakan itu bukan hanya melanggar ICESCR, melainkan terutama sebagai syarat derogasi yang tak dipenuhi, akan dianggap melanggar ICCPR.\nDampak Derogasi\nDalam hukum HAM, terjalin hubungan antara negara selaku pengemban kewajiban (duty-bearer) dan individu/kelompok (bukan hanya warga negara) sebagai pengemban hak (right-holder). Mengenai konsep tersebut, selengkapnya dapat dibaca dalam 3 Kewajiban Pokok Negara dalam Hukum HAM Internasional\n\nKemudian, menjawab pertanyaan Anda mengenai dampak dari tindakan derogasi adalah sebagai berikut:\n\nindividu/kelompok tidak dapat menuntut pemenuhan hak tersebut kepada negara, karena kewajiban negara dikurangi;jika ketentuan yang diderogasi ‘dilanggar’ (semula dikategorikan sebagai kewajiban negara), maka tidak menjadi pelanggaran HAM lagi. Dengan demikian, peristiwa tersebut tidak dapat menimbulkan tanggung jawab negara. Dengan memenuhi klausul derogasi, negara memiliki pembenaran untuk mengecualikan kewajiban tertentu, sehingga otomatis terhindar dari tanggung jawab negara tertentu.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [International Covenant on Civil and Political Rights](https://treaties.un.org/doc/treaties/1976/03/19760323%2006-17%20am/ch_iv_04.pdf)\n2. [International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights](https://treaties.un.org/doc/treaties/1976/01/19760103%2009-57%20pm/ch_iv_03.pdf)\n3. [American Convention of Human Rights](https://treaties.un.org/doc/publication/unts/volume%201144/volume-1144-i-17955-english.pdf)\n4. [European Convention of Human Rights](https://www.echr.coe.int/documents/d/echr/convention_ENG)\n5. [The African Charter on Human and Peoples' Rights](https://au.int/sites/default/files/treaties/36390-treaty-0011_-_african_charter_on_human_and_peoples_rights_e.pdf)\n6. [General Comment No. 29 States of Emergency (Article 4), CCPR/C/21/Rev.1/Add. 11, 31 Agustus 2001](https://tbinternet.ohchr.org/_layouts/15/treatybodyexternal/Download.aspx?symbolno=CCPR%2FC%2F21%2FRev.1%2FAdd.11&Lang=en)\n7. [Siracusa Principles on the Limitation and Derogation Provisions in the International Covenant on Civil and Political Rights (1985)](https://icj2.wpenginepowered.com/wp-content/uploads/1984/07/Siracusa-principles-ICCPR-legal-submission-1985-eng.pdf)\nPUTUSAN\n\nGreek case (1969);Ireland v. United Kingdom;Lawless v. Ireland.\n\nREFERENSI:\n1. Bertrand G. Ramcharan. The Fundamentals of International Human Rights Treaty Law. Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2011\n2. Ilias Bantekas dan Lutz Oette. International Human Rights Law and Practice. Third Edition. Cambridge: Cambridge University Press, 2020.Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: PT Alumni, 2003\n3. Olivier De Schutter. International Human Rights Law: Cases, Materials, Commentary. Cambridge: Cambridge University Press, 2010\n4. Rhona K.M. Smith dkk. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008\n5. International Bill of Human Rights: A brief history and the two International Covenants, yang diakses pada Jumat, 25 Agustus 2023, pukul 17.00 WIB.\n\n[1] Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: PT Alumni, 2003, hal. 7-9.[2] International Bill of Human Rights: A brief history and the two International Covenants, yang diakses pada Jumat, 25 Agustus 2023, pukul 17.00 WIB.[3] Ilias Bantekas dan Lutz Oette. International Human Rights Law and Practice. Third Edition. Cambridge: Cambridge University Press, 2020, hal. 81.[4] Rhona K.M. Smith dkk. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008, hal. 41 – 42[5] Istilah ini digunakan antara lain dalam Siracusa Principles on the Limitation and Derogation Provisions in the International Covenant on Civil and Political Rights (1985), para. 39–40.[6] Pasal 4 ayat 2 International Covenant on Civil and Political Rights (“ICCPR”), Pasal 27 ayat 2 American Convention of Human Rights (“ACHR”), Pasal 15 ayat 2 European Convention of Human Rights (“ECHR”).[7] Olivier De Schutter. International Human Rights Law: Cases, Materials, Commentary. Cambridge: Cambridge University Press, 2010, hal. 513-560; Ilias Bantekas dan Lutz Oette. International Human Rights Law and Practice. Third Edition. Cambridge: Cambridge University Press, 2020, hal. 80-83; Bertrand G. Ramcharan. The Fundamentals of International Human Rights Treaty Law. Leiden: Martinus Nijhoff Publishers, 2011, hal. 90-96[8] Pasal 4 ayat 1 ICCPR, Pasal 27 ayat 1 ACHR, Pasal 15 ayat 1 ECHR[9] Pasal 4 ayat 1 ICCPR dan Pasal 15 ayat 1 ECHR.[10] General Comment No. 29 States of Emergency (Article 4), CCPR/C/21/Rev.1/Add. 11, 31 Agustus 2001 (“General Comment No. 29”) para. 3:[11] Olivier De Schutter. International Human Rights Law: Cases, Materials, Commentary. Cambridge: Cambridge University Press, 2010, hal. 518; Ilias Bantekas dan Lutz Oette. International Human Rights Law and Practice. Third Edition. Cambridge: Cambridge University Press, 2020, hal. 81.[12] Olivier De Schutter. International Human Rights Law: Cases, Materials, Commentary. Cambridge: Cambridge University Press, 2010, hal. 519.[13] General Comment No. 29, para. 2[14] Sekretaris Jenderal lembaga HAM terkait diatur dalam kovenan HAM masing-masing. ICCPR: Sekretaris Jenderal United Nations, ACHR: Sekretaris Jenderal Organization of American States, ECHR: Sekretaris Jenderal Council of Europe.[15] Ilias Bantekas dan Lutz Oette. International Human Rights Law and Practice. Third Edition. Cambridge: Cambridge University Press, 2020, hal. 82.[16] General Comment No. 29, paras. 4–5[17] General Comment No. 29, paras. 4–5[18] Olivier De Schutter. International Human Rights Law: Cases, Materials, Commentary. Cambridge: Cambridge University Press, 2010, hal. 548"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa itu yang dimaksud dengan Directive Principle of State Policy? Apakah prinsip tersebut diterapkan di Indonesia saat ini?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Directive Principle of State Policy Sebagaimana yang kami sarikan dari buku Bertus de Villiers , Directive Principle of State Policy and Fundamental Rights, The Indian Experience , b erdasarkan pengalaman historis yang ada, Directive Principle of State Policy pada awalnya mengadopsi konstitusi Irlandia yang kemudian berkembang ke berbagai negara persemakmuran seperti India dan Afrika Selatan. Konsep Directive Principle of State Policy berangkat dari perlunya sebuah panduan bagi negara untuk memenuhi hak-hak individu melalui serangkaian kebijakan. Keberadaan Directive Principle of State Policy dirasakan penting dalam perkembangan konstitusi mengingat pengakuan negara terhadap hak-hak individu sangatlah terbatas, cenderung berlaku abstrak dan kurang bermakna karena hanya tertulis di atas kertas semata. Padahal hak-hak individu terus berkembang seiring dengan semakin banyaknya tuntutan yang tumbuh ditengah masyarakat. Lambannya negara dalam mengakomodir hak-hak individu yang terus berkembang dalam konstitusi, tidak terlepas dari pemahaman yang meyakini bahwa penetapan atas hak individu harus melalui konsensus bersama. Hal ini mengingat standar negara dalam mendefenisikan hak-hak individu biasanya berangkat dari kesepahaman atas nilai-nilai individu yang berlaku universal atau diistilahkan Fundamental Rights oleh Bertus de Villiers. Directive Principle of State Policy merupakan tawaran terhadap pemenuhan hak-hak individu yang terus berkembang dalam rangka menegakan keadilan sosial tanpa meminggirkan peran aturan hukum. Dengan adanya Directive Principle of State Policy maka timbul penegasan bahwa negara memiliki tugas dan tanggung jawab moral terhadap pemenuhan hak-hak individu melalui kebijakan yang dibuat berdasarkan panduan atau pedoman yang telah ada. Mengingat sifatnya hanya sebagai panduan, tugas negara dalam pemenuhan hak-hak individu tidak berlaku mengikat kepada penyelenggara negara sehingga pengabaian atau pelanggaran yang terjadi tidak bisa ditindak melalui hukum positif. Meskipun tidak ada sanksi hukum atas pengabaian dalam memenuhi hak individu, Directive Principle of State Policy memiliki konsekuensi yang lebih luas yakni delegitimasi negara secara moral dan politik oleh warga. Dengan demikian, Directive Principle of State Policy lebih berfungsi untuk membingkai hukum positif yang dijalankan pemerintah. Materi-materi yang termuat dalam Directive Principle of State Policy tidak dapat ditegakkan oleh pengadilan, tetapi prinsip-prinsip yang menjadi dasarnya adalah pedoman dasar untuk tata kelola yang diharapkan bisa diterapkan oleh Negara dalam membingkai kebijakan dan mengeluarkan undang-undang. Impementasi Directive Principle of State Policy di Indonesia Di Indonesia sendiri Directive Principle of State Policy telah tergambarkan melalui berbagai kebijakan pemerintah. Salah satu contoh misalnya terdapat dalam bidang pendidikan. Berdasarkan Pasal 31 a yat (4) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) : Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurangkurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional . Ketentuan ini menjadi acuan wajib dalam konstitusi dalam menentukan besaran anggaran pendidikan di Anggaran Pendpatan Belanja Negara (“APBN”) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (“APBD”). Implementasinya kembali ditegaskan dalam P asal 49 ayat ( 1 ) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (“UU 2/2003) dan Putusan MK Nomor 24/PUU-V/2007 bahwa besaran dana pendidikan minimal sebesar 20 persen dari APBN dan APBD selain biaya pendidikan kedinasan. Apabila dicermati, aturan ini merupakan panduan bagi pemerintah untuk memenuhi tanggung jawabnya dalam memenuhi hak pendidikan yang layak bagi warga negara melalui kebijakan anggaran. Akan tetapi, apabila alokasi anggaran pendidikan tersebut tidak mencapai 20 persen maka tidak ada konsekuensi hukum yang bisa dikenakan kepada pemerintah. Demikian jawaban dari kami, semoga bemanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Putusan: Putusan MK Nomor 24/PUU-V/2007 . Referensi : Bertus de Villiers . 1992. Directive Principle of State Policy and Fundamental Rights, The Indian Experience, 8 S. AFR. J. ON HUM. RTS. 29 . pemilu tata negara hukumonline klinik hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Setiap penggunaan diskresi pejabat pemerintahan bertujuan untuk melancarkan penyelenggaraan pemerintah, mengisi kekosongan hukum. Nah, apakah yang dimaksud dengan diskresi dan siapakah pemerintah tersebut? Minta contohnya satu saja. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Dari segi bahasa, menurut KBBI, diskresi adalah kebebasan mengambil keputusan sendiri dalam setiap situasi yang dihadapi.\nAdapun, menurut S. Prajudi Atmosudirdjo mendefinisikan diskresi, discretion (Inggris), discretionair (Prancis), freies ermessen (Jerman) sebagai kebebasan bertindak atau mengambil keputusan dari para pejabat administrasi negara yang berwenang dan berwajib menurut pendapat sendiri.[1]\n\nLaica Marzuki, berpendapat bahwa freies ermessen atau diskresi adalah kebebasan yang diberikan kepada tata usaha negara dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, sejalan dengan meningkatnya tuntutan pelayanan publik yang harus diberikan tata usaha negara terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang kian kompleks.[2]\n\nMenurut Philipus M. Hadjon, kebebasan bertindak (freies ermessen) atau diskresi adalah kebebasan untuk menerapkan peraturan dalam situasi konkret, kebebasan untuk mengukur situasi konkret tersebut, dan kebebasan untuk bertindak meskipun tidak ada atau belum ada pengaturannya secara tegas (sifat aktifnya pemerintah).[3]\n\nSecara yuridis, arti diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.[4]\nPejabat Pemerintahan yang Berwenang Menggunakan Diskresi\n\nPada prinsipnya, pejabat pemerintahan memiliki hak untuk menggunakan kewenangan dalam mengambil keputusan dan/atau tindakan,[5] salah satunya adalah menggunakan diskresi sesuai dengan tujuannya.[6] Lalu, siapa yang dimaksud dengan pejabat pemerintahan itu?\n\nSecara teoritis, pemerintah dapat diartikan dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, mencakup semua alat kelengkapan negara yang pada pokoknya terdiri dari cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudisial, atau kelengkapan negara yang bertindak untuk dan atas nama negara. Sedangkan pemerintah dalam arti sempit adalah cabang kekuasaan eksekutif, baik di tingkat pusat maupun daerah.[7]\n\nPemerintah dalam arti sempit ini disebut sebagai administrasi, yang memiliki dua pengertian, yaitu administrasi dalam arti fungsional dan dalam arti institusional. Administrasi dalam arti fungsional adalah penyelenggaraan semua tugas-tugas kenegaraan selain bidang pembuatan undang-undang dan peradilan. Sementara administrasi dalam arti institusional adalah kumpulan jabatan pemerintahan.[8]\n\nContoh pejabat pemerintahan adalah presiden/wakil presiden, gubernur dan perangkatnya, bupati/wali kota dan perangkatnya.[9]\n\nSecara yuridis, UU Administrasi Pemerintahan mendefinisikan badan dan/atau pejabat pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan fungsi pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya.[10]\n\nDalam UU Administrasi Pemerintahan, pejabat pemerintahan tersebut termasuk yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam lingkup lembaga eksekutif, yudikatif, legislatif, dan pejabat pemerintahan lain yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang disebutkan dalam UUD 1945 dan/atau undang-undang.[11]\n\nAdapun yang dimaksud dengan fungsi pemerintahan adalah fungsi dalam melaksanakan administrasi pemerintahan yang meliputi fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan, dan perlindungan.[12] Administrasi pemerintahan sendiri adalah tata laksana dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.[13]\n\nMenurut hemat kami, cakupan pejabat pemerintahan dalam UU Administrasi Pemerintahan adalah badan/pejabat dalam lingkup eksekutif, yudikatif, dan legislatif yang menyelenggarakan urusan pemerintahan, di luar wewenang pembuatan undang-undang dan peradilan. Misalnya, dalam lingkup lembaga yudikatif, fungsi pemerintahan berkaitan dengan kebijakan kepegawaian, bukan berkenaan dengan wewenang hakim dalam memberikan putusan.\nRuang Lingkup Diskresi\n\nDiskresi pejabat pemerintahan meliputi pengambilan keputusan dan/atau tindakan pemerintahan karena kondisi tertentu, yaitu:[14]\n\nKetentuan peraturan perundang-undangan memberikan suatu pilihan keputusan dan/atau tindakan. Biasanya dicirikan dengan kata dapat, boleh, atau diberikan kewenangan, berhak, seharusnya, diharapkan, dan kata-kata lain yang sejenis.Peraturan perundang-undangan tidak mengatur, yaitu ketiadaan atau kekosongan hukum yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu kondisi tertentu atau di luar kelaziman.Peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas, yakni apabila dalam peraturan perundang-undangan masih membutuhkan penjelasan lebih lanjut, peraturan yang tumpang tindih (tidak harmonis dan tidak sinkron), dan peraturan yang membutuhkan peraturan pelaksanaan, tetapi belum dibuat.Adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas, adalah kepentingan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, penyelamatan kemanusiaan dan keutuhan negara, antara lain bencana alam, wabah penyakit, konflik sosial, kerusuhan, pertahanan dan kesatuan bangsa.\nTujuan Diskresi\n\nSetiap penggunaan diskresi oleh pejabat pemerintahan tentu memiliki tujuan tersendiri. Tujuan diskresi tersebut adalah:[15]\n\nMelancarkan penyelenggaraan pemerintahan;Mengisi kekosongan hukum;Memberi kepastian hukum;Mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Adapun yang dimaksud dengan stagnasi pemerintahan adalah tidak dapat dilaksanakannya aktivitas pemerintahan sebagai akibat kebuntuan atau disfungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan, contohnya seperti keadaan bencana alam atau gejolak politik.\nSyarat Diskresi\n\nAdapun syarat yang harus dipenuhi pejabat pemerintahan dalam menggunakan diskresi adalah:[16]\n\nsesuai dengan tujuan diskresi;sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (“AUPB”);berdasarkan alasan-alasan yang objektif, yaitu alasan-alasan yang diambil berdasarkan fakta dan kondisi faktual, tidak memihak, dan rasional berdasarkan AUPB;tidak menimbulkan konflik kepentingan; dandilakukan dengan iktikad baik, yaitu keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan didasarkan atas motif kejujuran dan berdasarkan AUPB.\n\nKemudian, ada ketentuan atau syarat tambahan yang wajib dipenuhi dalam penggunaan diskresi, yakni terkait dengan persetujuan, pelaporan, atau pemberitahuan kepada atasan pejabat. Atasan pejabat yang dimaksud adalah atasan langsung pejabat yang berwenang menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan. Contoh: bagi bupati/wali kota, atasan langsungnya adalah gubernur.[17]\nPenggunaan diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran wajib memperoleh persetujuan dari atasan pejabat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Persetujuan tersebut dilakukan apabila penggunaan diskresi menimbulkan akibat hukum yang berpotensi membebani keuangan negara.[18]\n\nJika diskresi menimbulkan keresahan masyarakat, keadaan darurat, mendesak, dan/atau terjadi bencana alam wajib memberitahukan atasan pejabat sebelum penggunaan diskresi dan melaporkan kepada atasan pejabat setelah penggunaan diskresi.[19]\n\nPemberitahuan sebelum penggunaan diskresi kepada atasan pejabat tersebut dilakukan jika penggunaan diskresi untuk mengatasi stagnasi pemerintahan berpotensi menimbulkan keresahan masyarakat. Sementara pelaporan setelah penggunaan diskresi dilakukan jika penggunaan diskresi untuk mengatasi stagnasi pemerintahan dilakukan dalam keadaan darurat, keadaan mendesak, dan/atau terjadi bencana alam.[20]\nContoh Diskresi oleh Pejabat Pemerintahan\n\nSeperti yang kami jelaskan, pejabat pemerintahan yang melakukan diskresi adalah mereka yang melaksanakan fungsi pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya. Menjawab pertanyaan Anda, contoh diskresi adalah seorang polisi lalu lintas yang mengatur lalu lintas di suatu perempatan jalan.\n\nDalam konteks ini, sebenarnya lalu lintas di perempatan jalan sudah diatur oleh lampu pengatur lalu lintas (traffic light). Namun, berdasarkan Pasal 104 ayat (1) huruf a dan b UU LLAJ, polisi dapat menahan kendaraan dari satu ruas jalan meskipun lampu hijau atau mempersilakan jalan kendaraan meskipun lampu merah.\n\nContoh lainnya misalnya pemberlakuan kebijakan pembatasan sosial berskala besar yang ditetapkan oleh pemerintah dalam menangani pandemi COVID-19 lalu. Salah satu bentuk pembatasan tersebut adalah penghentian pembelajaran tatap muka bagi siswa sekolah yang tertuang dalam SE Mendikbudristek 7/2022.\n\nDemikian jawaban dari kami tentang arti diskresi, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5462bc42d6073/undang-undang-nomor-30-tahun-2014?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_30_2014)\n2. [Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4a604fcfd406d/undangundang-nomor-22-tahun-2009?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_22_2009)\n3. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n4. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\nREFERENSI:\n1. Yuniar Kurniawaty. Penggunaan Diskresi dalam Pembentukan Produk Hukum. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 13 No. 01, Maret 2016\n2. Ridwan. Diskresi & Tanggung Jawab Pemerintah. Yogyakarta: FH UII Press, 2014\n3. Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. Edisi Revisi. Cetakan Ketujuh. Jakarta: Rajawali Press, 2011.KBBI, yang diakses pada Kamis, 21 September 2023, pukul 08.43 WIB.\n\n[1] Yuniar Kurniawaty. Penggunaan Diskresi dalam Pembentukan Produk Hukum. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 13 No. 01, Maret 2016, hal. 55[2] Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. Edisi Revisi. Cetakan Ketujuh. Jakarta: Rajawali Press, 2011, hal. 171[3] Ridwan. Diskresi & Tanggung Jawab Pemerintah. Yogyakarta: FH UII Press, 2014, hal. 128[4] Pasal 175 angka 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (“UU Administrasi Pemerintahan”)[5] Pasal 6 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan[6] Pasal 6 ayat (2) huruf e UU Administrasi Pemerintahan[7] Ridwan. Diskresi & Tanggung Jawab Pemerintah. Yogyakarta: FH UII Press, 2014, hal. 91[8] Ridwan. Diskresi & Tanggung Jawab Pemerintah. Yogyakarta: FH UII Press, 2014, hal. 93[9] Ridwan. Diskresi & Tanggung Jawab Pemerintah. Yogyakarta: FH UII Press, 2014, hal. 93[10] Pasal 175 angka 1 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 1 angka 3 UU Administrasi Pemerintahan[11] Pasal 4 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan[12] Pasal 175 angka 1 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 1 angka 2 UU Administrasi Pemerintahan[13] Pasal 175 angka 1 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 1 angka 1 UU Administrasi Pemerintahan[14] Pasal 23 UU Administrasi Pemerintahan dan penjelasannya[15] Pasal 22 ayat (2) UU Administrasi Pemerintahan dan penjelasannya[16] Pasal 175 angka 2 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 24 UU Administrasi Pemerintahan beserta penjelasannya[17] Penjelasan Pasal 25 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan[18] Pasal 25 ayat (1) dan (2) UU Administrasi Pemerintahan[19] Pasal 25 ayat (3) UU Administrasi Pemerintahan[20] Pasal 25 ayat (4) dan(5) UU Administrasi Pemerintahan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa yang dimaksud dengan due process of law? Mohon penjelasannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITArti Putusan Pengadilan Batal Demi Hukum03 Agt 2023Arti Pro Justitia dan Contoh Penerapannya07 Jul 2023Arti Law as a Tool of Social Engineering25 Mei 2023Arti Asas Praduga Tak Bersalah15 Mei 2023\n\nMardjono Reksodiputro menyatakan bahwa dalam bahasa Indonesia, arti due process of law adalah proses hukum yang adil. Lebih lanjut, makna dari proses hukum yang adil (due process of law) tidak saja berupa penerapan hukum atau peraturan perundang-undangan (yang dirumuskan adil) secara formal, tetapi juga mengandung jaminan hak atas kemerdekaan dari seorang warga negara.[1]\n\nTobias dan Petersen menyatakan bahwa due process of law berasal dari dokumen Magna Charta 1215 yang berarti jaminan konstitusional dimana tidak seorangpun dapat dirampas nyawa, kebebasan, maupun harta bendanya karena alasan yang sewenang-wenang (constitutional guaranty… that no person will be deprived of life, liberty or property for reasons that are arbitrary).[2]\nAdapun menurut Atip Latipulhayat, due process of law adalah jaminan konstitusional yang memastikan adanya proses hukum yang adil yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk mengetahui proses tersebut dan memiliki kesempatan untuk didengar keterangannya mengapa hak hidup, kebebasan, dan harta miliknya dirampas atau dihilangkan. Due process of law adalah jaminan konstitusional yang menegaskan bahwa hukum tidak ditegakkan secara irasional, sewenang-wenang, atau tanpa kepastian.[3]\n\nAdapun inti dari due process of law adalah:[4]\n\nTersangka maupun terdakwa berhak untuk didengar pandangannya tentang bagaimana peristiwa yang dituduhkan padanya itu terjadi (hearing);Dalam pemeriksaan (sejak pertama kali di kepolisian) berhak didampingi oleh penasihat hukum (legal counsel);Terdakwa berhak mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk menyusun dan mengajukan pembelaannya (defense);Kewajiban penuntut umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa dengan bukti-bukti yang sah menurut hukum (legal evidence);Pengadilan yang memeriksa harus bebas dari tekanan siapapun dan dengan hakim yang tidak berpihak (a fair and impartial court).\nDue Process of Law dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia\nImplementasi due process of law tercermin dalam asas-asas KUHAP sebagai berikut:[5]\n\nPerlakuan yang sama di muka hukum tanpa diskriminasi apapun;Praduga tak bersalah;Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi;Hak untuk mendapat bantuan hukum;Hak kehadiran terdakwa di hadapan pengadilan;Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat, dan sederhana;Peradilan yang terbuka untuk umum;Pelanggaran hak-hak individu (penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan\npenyitaan) harus didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat\nperintah (tertulis);Hak seorang tersangka untuk diberitahu persangkaan dan pendakwaan terhadapnya;\ndanKewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusan-putusannya.\n\nLebih lanjut, M. Yahya Harahap dalam buku Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, berpendapat bahwa berdasarkan kesepuluh asas dalam KUHAP tersebut, maka dapat dikatakan bahwa KUHAP menganut prinsip due process of law dimana proses hukum yang fair bagi tersangka yaitu hak seorang tersangka dan terdakwa untuk didengar pandangannya tentang bagaimana peristiwa kejahatan itu terjadi. Dalam pemeriksaan terhadapnya, dia berhak didampingi oleh penasihat hukum, mengajukan pembelaan. Sementara, penuntut umum harus membuktikan kesalahannya di muka pengadilan yang bebas dan dengan hakim yang tidak berpihak (hal. 41).\n\nMenyambung pendapat di atas, menurut Yahya, esensi due process of law sudah dirumuskan di dalam Bab VI KUHAP, yaitu:[6]\n\nThe right of self incrimination. Tidak seorang pun dapat dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya atau orang lain dalam suatu tindak pidana;Dilarang mencabut dan menghilangkan (deprive) hak hidup (life), kemerdekaan (liberty), atau harta benda (property) tanpa sesuai dengan ketentuan hukum acara (without due process of law);Setiap orang harus terjamin hak terhadap diri (person), kediaman, surat-surat atas pemeriksaan dan penyitaan yang tidak beralasan;Hak konfrontasi (the right to confront) dalam bentuk pemeriksaan silang (cross examine) dengan orang yang menuduh (melaporkan);Hak memperoleh pemeriksaan (peradilan) cepat (the right to a speedy trial);Hak mendapat perlindungan dan pemeriksaan yang sama dalam hukum (equal protection and equal treatment of the law);Hak mendapat bantuan penasehat hukum (the right to have assistance of counsil) dalam pembelaan diri sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat 1 KUHAP. Hak ini juga berkaitan dengan asas presumption of innocence yaitu:\n\nMelarang penyidik melakukan praktik pemaksaan yang kejam untuk memperoleh pengakuan (brutality to coerce confession);Melarang penyidik melakukan intimidasi kejiwaan (psychological intimidation).\n\nAdapun, dalam UU Kekuasaan Kehakiman, pengaturan due process of law adalah sebagai berikut:\n\nPengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-\nbedakan orang (equality before the law);[7]Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, oleh pengadilan melainkan harus berdasarkan alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya;[8]Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, kecuali atas perintah tertulis dari kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur di dalam undang-undang;[9]Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan keabsahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap (presumption of innocence).[10]\n\nDemikian jawaban dari kami tentang arti due process of law, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/2647/node/629/uu-no-8-tahun-1981-hukum-acara-pidana?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHAP)\n2. [Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4b01297e9d172/undangundang-nomor-48-tahun-2009?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_48_2009)\nREFERENSI:\n1. Abdul Latif. Jaminan UUD 1945 dalam Proses Hukum yang Adil. Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 1 Februari 2010\n2. Atip Latipulhayat. Editorial: Due Process of Law. Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2, No. 2, Tahun 2017\n3. Heri Tahir. Proses Hukum yang Adil dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Cetakan Pertama. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2010\n4. M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Pustaka Kartini, 1993.\n\n[1] Heri Tahir. Proses Hukum yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Cetakan Pertama. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2010, hal. 27[2] Abdul Latif. Jaminan UUD 1945 dalam Proses Hukum yang Adil. Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 1 Februari 2010, hal. 59[3] Atip Latipulhayat. Editorial: Due Process of Law. Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2, No. 2, Tahun 2017, hal. ii[4] Abdul Latif. Jaminan UUD 1945 dalam Proses Hukum yang Adil. Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 1 Februari 2010, hal. 59[5] Lihat Penjelasan Umum Angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”)[6] Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Pustaka Kartini, 1993, hal. 95 – 97[7] Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”)[8] Pasal 6 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman[9] Pasal 7 UU Kekuasaan Kehakiman[10] Pasal 8 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin minta contoh kasus tentang Error In Persona & Error In Objecto. Serta artinya apa? Tolong beri saya penjelasan atas permasalahan ini."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Mengenal Jenis-Jenis Sita dalam Hukum Acara Perdata 05 Jan 2024 Perbedaan Sifat Putusan Deklarator, Konstitutif, dan Kondemnator 19 Nov 2021 Upayakan Diversi, Begini Prosedur Peradilan Pidana Anak 14 Jun 2021 Mengenal Gugatan Lain-lain dalam Kepailitan 07 Apr 2021 Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Tentang Error In Persona dan Error in Objecto yang dibuat oleh Si Pokrol dan dipublikasikan pertama kali pada 27 Januari 2003. Istilah error in persona dan error in objecto kerap digunakan pada tahap eksepsi atas gugatan perdata atau dakwaan pidana di pengadilan. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Lantas, sebenarnya apa yang dimaksud dengan error in persona dan error in objecto ? Untuk itu, mari kita bahas satu per satu. Error in Persona Secara umum, error in persona atau exceptio in persona dapat diartikan sebagai kekeliruan mengenai seseorang. Dalam konteks peradilan, error in persona dapat diartikan sebagai kekeliruan atas orang yang diajukan sebagai tergugat melalui surat gugatan atau terdakwa melalui surat dakwaan. Dalam lingkup perdata , M. Yahya Harahap dalam buku Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (hal. 117 - 119) mengklasifikasikan error in persona menjadi: Diskualifikasi in person Diskualifikasi in person terjadi jika pihak yang bertindak sebagai penggugat merupakan orang yang tidak memenuhi syarat (diskualifikasi) disebabkan penggugat dalam kondisi berikut: Tidak mempunyai hak untuk menggugat perkara yang disengketakan Misalnya , orang yang tidak ikut dalam perjanjian bertindak sebagai penggugat menuntut pembatalan perjanjian, atau ayah bertindak sebagai penggugat menuntut perceraian perkawinan anaknya. Tidak cakap melakukan tindakan hukum Orang yang berada di bawah umur atau perwalian, tidak cakap melakukan tindakan hukum. Oleh karena itu, mereka tidak dapat bertindak sebagai penggugat tanpa bantuan orang tua atau wali. Salah sasaran pihak yang digugat Bentuk lain error in persona yang mungkin terjadi adalah keliru menarik orang sebagai tergugat ( gemis aanhoeda nigheid). Misalnya , yang meminjam uang adalah A, tetapi yang ditarik sebagai tergugat untuk melunasi pembayaran adalah B. Atau, menggugat Perseroan Terbatas (“PT”) yang belum mendapat pengesahan. Gugatan tersebut salah sasaran karena PT tersebut belum memiliki kedudukan sebagai persona standi in judicio , sehingga seharusnya yang ditarik sebagai tergugat bukan PT, melainkan para pengurusnya. Gugatan kurang pihak ( Plurium Litis Consortium ) Kondisi ini dapat terjadi jika pihak yang bertindak sebagai penggugat atau yang ditarik sebagai tergugat tidak lengkap karena masih ada orang yang mesti ikut bertindak sebagai penggugat atau tergugat. Misalnya , PT X meminjam uang dari BPD menggunakan sertifikat tanah A selaku pemegang saham. Pada saat A sudah tidak berkedudukan lagi sebagai pemegang saham, A meminta PT X mengembalikan sertifikat tanah miliknya. A kemudian menggugat PT X ke pengadilan untuk mengembalikan sertifikat tanah tersebut. Tapi, pengadilan berpendapat bahwa seharusnya A mengikutsertakan BPD sebagai tergugat. Karena BPD tidak ikut digugat, gugatan tersebut mengandung cacat error in persona dalam bentuk plurium litis consortium . Sedangkan dalam lingkup pidana , error in persona bisa terjadi pada saat dakwaan dialamatkan kepada orang yang salah. Misalnya , dalam surat dakwaan disebutkan bahwa X berdasarkan identitas yang diajukan oleh penuntut umum berusia 25 tahun, beralamat di Jakarta, beragama Hindu, telah membunuh Y dengan cara menusuknya dengan pisau. Kemudian, X mengajukan eksepsi karena identitas X yang diajukan oleh penuntut umum dalam surat dakwaan tersebut tidak sama dengan dirinya, misalnya X yang sedang didakwa ini ternyata berusia 50 tahun, beralamat di Surabaya dan beragama Islam. Jadi menurut X, penuntut umum tersebut telah salah mendakwa orang. Selanjutnya, Safitri Wikan Nawang Sari dalam buku Hukum Pidana Dasar menambahkan, error in persona juga dapat terjadi karena adanya kekeliruan antara apa yang dikehendaki dengan apa yang dilakukan akibat dari salah penglihatan (hal.71). Terhadap hal ini, J. Remmelink dalam buku Pengantar Hukum Pidana Material 1: Prolegomena dan Uraian tentang Teori Ajaran Dasar (hal. 194) menjadikan kasus klasik Rose-Rosahl sebagai contoh. Diceritakan, pedagang kayu Rosahl berjanji akan memberi sejumlah uang kepada pembantunya Rose bila ia bersedia membunuh seorang pedagang ternak. Rose, pada suatu senja menunggu di persimpangan jalan yang biasa dilewati pedagang ternak. Ketika ia merasa telah melihat pedagang ternak tersebut, ia melepas tembakan. Ternyata, orang yang ia tembak adalah seorang anak yang kebetulan lewat. Di sisi lain dalam lingkup tata usaha negara (“TUN”), error in persona dapat terjadi jika penggugat menggugat pihak yang salah, dalam hal ini, bukan pihak yang mengeluarkan keputusan TUN yang menjadi objek gugatan. Misalnya , rumah M terkena proyek gusuran dari pemerintah setempat. Mengetahui hal tersebut, M mengajukan gugatan TUN. Dalam surat gugatannya, dia menunjuk Walikota Jakarta Pusat sebagai tergugat. Walikota tersebut kemudian mengajukan eksepsi bahwa yang mengeluarkan surat perintah penggusuran adalah Gubernur DKI Jakarta, bukan ia selaku walikota, sehingga menurutnya majelis hakim harus menolak gugatan penggugat atas dasar error in persona . Error in Objecto Pada prinsipnya, error in objecto adalah kekeliruan terhadap objek. Dalam lingkup pengadilan, error in objecto ialah kesalahan gugatan/dakwaan karena adanya kekeliruan terhadap objek yang digugat/didakwakan. Misalnya , M menggugat Gubernur DKI Jakarta ke pengadilan TUN atas keputusannya yang mengakibatkan tergusurnya rumah M. Dalam kasus tersebut, objek yang disengketakan penggugat adalah SK No. 888. Padahal, perintah penggusuran tersebut dikeluarkan melalui SK No. 785, bukan SK No. 888. Kesalahan atas objek yang disengketakan tersebut disebut dengan error in objecto . Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. REFERENSI:\n1. J. Remmelink. Pengantar Hukum Pidana Material 1: Prolegomena dan Uraian tentang Teori Ajaran Dasar. Yogyakarta: Maharsa Publishing, 2014\n2. M. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2017\n3. Safitri Wikan Nawang Sari. Hukum Pidana Dasar. Klaten: Penerbit Lakeisha, 2020. acara peradilan perdata terdakwa penuntut umum pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin tahu maksud dari Etiket Merek dan pasal berapa saja yang mengatur tentang Etiket Merek tersebut?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Istilah Etiket Merek atau Trademark Etiquette berarti label atau tag . Etiket Merek adalah contoh merek dalam permohonan pendaftaran merek yang diajukan kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI”). Dalam permohonan pendaftaran merek di luar negeri, untuk menyebut etiket merek dikenal juga istilah ‘drawing’ . Dalam mengajukan permohonan pendaftaran merek disyaratkan melampirkan etiket merek yang dicetak di atas kertas. Walau banyak ditemui permohonan pendaftaran merek yang menerakan etiket merek dalam bentuk huruf standar dalam warna hitam dan putih saja, etiket merek dalam permohonan pendaftaran merek sebaiknya mencakup semua jenis warna dan elemen merek sesuai pemakaian yang sebenarnya ( Pasal 7 ayat [1] huruf d dan Pasal 61 ayat [2] huruf b UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek – UU Merek ). Etiket merek yang benar menurut UU Merek, harus merepresentasikan atau mewakili merek sesuai yang dilekatkan pada barang atau jasa yang diproduksi dan diperdagangkan, atau sebagaimana konsumen menjumpainya dalam perdagangan barang/jasa. KLINIK TERKAIT Arti R dan TM dalam Merek Dagang 10 Mar 2022 Hak Cipta Desain T-Shirt 25 Okt 2017 Apakah Impor Paralel Dikenal dalam Sistem Hukum Indonesia? 02 Apr 2012 Nama Domain dalam Tinjauan UU Merek 22 Mar 2010 Apabila permohonan dikabulkan Ditjen HKI, maka perlindungan hukum diberikan kepada merek sebagaimana ditampilkan dalam permohonannya. Penghapusan pendaftaran Merek dari Daftar Umum Merek dapat dilakukan atas prakarsa Ditjen HKI atau pihak ketiga melalui gugatan ke Pengadilan Niaga berdasarkan kondisi non-use karena pemakaian Merek dalam aktivitas komersial tidak sesuai dengan Merek yang didaftar ( Pasal 61 ayat [2] huruf b dan Pasal 63 UU Merek ). Tidak terdapat pasal yang khusus mengatur mengenai etiket merek dalam UU Merek. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Demikian, semoga membantu. Dasar hukum : Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya resign dan diminta untuk mengisi exit form. Apa itu exit form? Apakah ada ketentuan hukum exit form ini? Wajibkah mengisinya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sepanjang penelusuran kami exit form ini tidak diatur secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan. Exit form ini tidak dikenal oleh banyak perusahaan, ada juga perusahaan yang tidak mengenal exit form atau exit interview.\n\nExit form adalah salah satu bentuk metode dari exit interview. Exit interview menurut Camridge Dictionary adalah:\n\na final meeting between a manager and an employee who is leaving his or her job, especially to find out why the employee is leaving.\n\nLebih dalam lagi Robyn Johns dan Caroline Johnson dalam tulisannya The Usefulness of Exit Interviews in Understanding Voluntary Labour Turnover in a Professional Publishing Firm (hal.5) menjelaskan exit interview sebagai berikut:\n\nThe exit interview is a discussion between a representative of an firm and an employee who is leaving the firm – either voluntarily or involuntarily – or an employee who expresses a desire to leave. The main purpose of conducting an exit interview is to help identify and correct troubles within the firm as well as evaluate the effectiveness of human resource practices and programs.\n\nSingkatnya, exit form adalah salah satu bentuk metode dari exit interview yaitu sejenis survei yang dilakukan oleh perusahaan sebelum pekerja berhenti bekerja. Survei tersebut seputar pengalaman karyawan selama bekerja di perusahaan dan bertujuan untuk mencari tahu alasan pekerja berhenti. Dengan adanya survei ini, perusahaan dapat mengidentifikasi masalah atau mengevaluasi program yang ada di perusahaan itu sendiri.\n\nPerusahaan dapat saja mengatur mengenai exit form ini dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersamanya,[1] dan jika diatur maka Anda harus mengisinya. Namun jika tidak ada pengaturan mengenai exit form ini, maka Anda tidak wajib mengisi exit form tersebut. Lagipula menurut hemat kami, exit form ini hanya merupakan formalitas saja.\n\nKarena hal ini hanya merupakan form survei yang berisi seputar pengalaman bekerja Anda, maka sebaiknya Anda mengisi exit form tersebut untuk memberikan gambaran pada perusahaan mengenai pendapat Anda (pekerjanya) terhadap perusahaan tersebut.\n\nDemikian jawaban dari kami terkait arti exit form dan exit interview sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.\n\nDasar Hukum:\n\nUndang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023.\n\nReferensi:\n\nRobyn Johns dan Caroline Johnson. The Usefulness of Exit Interviews in Understanding Voluntary Labour Turnover in a Professional Publishing Firm, yang diakses pada Kamis, 1 Februari 2024 pukul 17.51 WIB;Camridge Dictionary yang diakses pada Kamis, 1 Februari 2024 pukul 18.01 WIB.\n\n[1] Pasal 54 ayat (1), ayat (2) dan penjelasan jo. Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2) jo. Pasal 124 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa yang dimaksud dengan suami ghaib (terkait cerai/talak)? Bagaimana prosedur dan syarat cerai ghoib? Apakah cerai ghaib dapat akta cerai?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Suami ghaib dalam istilah fikih disebut dengan al-Mafqud,[1] sehingga dalam hukum Islam, cerai ghaib dikenal dengan cerai mafqud. Kata mafqud adalah orang yang pergi dari tempat tingggalnya dan tidak dapat diketahui apakah dia masih hidup atau telah meninggal dunia.[2]\n\nMenurut Wahbah Zuhaily, yang dimaksud ghaib dalam konteks ini adalah seorang wanita yang suaminya hilang dan tidak diketahui keadaan serta keberadaannya. Suami ghaib adalah orang yang hilang yang tidak ditemukan, apakah dia masih hidup sehingga tidak bisa dipastikan kedatangannya kembali atau apakah dia sudah mati sehingga kuburannya dapat diketahui.[3] Hal ini tentu saja akan menyulitkan kehidupan istri yang ditinggalkan, terutama bila suami tidak meninggalkan nafkah bagi kehidupannya dan anak-anaknya.[4]\n\nKemudian, dikutip dari Dirjen Badilag (Mahkamah Agung RI), gugatan cerai ghoib atau cerai talak ghaib adalah gugatan yang diajukan kepada Pengadilan Agama oleh seorang penggugat/pemohon untuk menggugat cerai tergugat/termohon, dimana sampai dengan diajukannya gugatan tersebut, alamat maupun keberadaan tergugat/termohon tidak jelas atau tidak diketahui.\n\nJadi menjawab pertanyaan Anda, suami ghaib merupakan istilah yang muncul dalam perkara gugatan cerai ghaib dimana suami (yang digugat cerai istrinya) tidak diketahui keberadaannya.\nTergugat yang Tidak Diketahui Keberadaannya\n\nKarena ini merupakan perkara gugatan cerai antara suami dan istri yang beragama Islam, maka kami merujuk pada Pasal 73 UU Peradilan Agama yang berbunyi:\nGugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.\n\nDari peraturan tersebut dapat disimpulkan bahwa gugatan perceraian yang diajukan oleh istri pada dasarnya dilakukan di tempat kediaman penggugat. Hal ini bertujuan untuk melindungi pihak istri.[5]\n\nSejalan dengan apa yang diatur dalam UU Peradilan Agama, KHI juga mengatur bahwa gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman tanpa izin suami.[6]\nKemudian, untuk menegaskan mengenai gugatan kepada suami ghaib (tidak diketahui keberadaannya), diatur juga dalam Pasal 20 ayat (2) PP 9/1975 sebagai berikut:\n\nDalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat.\n\nJadi pada dasarnya, dimanapun keberadaan tergugat atau jika tergugat tidak diketahui keberadaannya, UU Peradilan Agama, KHI, dan PP 9/1975 telah mengatur bahwa gugatan cerai diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman istri (penggugat).\n\nBaca juga: Ingin Rujuk, Begini Cara Cabut Gugatan Cerai di Pengadilan\nPemeriksaaan Gugatan Cerai Ghaib dan Pemanggilan Para Pihak\n\nSetelah adanya pengajuan gugatan, proses selanjutnya adalah pemeriksaan gugatan perceraian. Setiap kali diadakan sidang Pengadilan Agama yang memeriksa gugatan perceraian, baik penggugat maupun tergugat, atau kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut.[7] Panggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan, dan apabila yang bersangkutan tidak dapat dijumpai, panggilan disampaikan melalui lurah atau yang sederajat.[8]\n\nDalam Pasal 138 ayat (1) KHI dijelaskan bahwa jika tempat kediaman suami (tergugat) tidak jelas atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan Agama dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar atau media massa lain yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama.\n\nAdapun menurut Pasal 138 ayat (2) KHI, pengumuman melalui surat kabar atau media massa dilakukan sebanyak 2 kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua. Kemudian, tenggang waktu antara panggilan terakhir dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 bulan.[9]\n\nSelanjutnya, berdasarkan Pasal 138 ayat (4) KHI, dalam hal sudah dilakukan panggilan dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak dan tidak beralasan. Peraturan dalam KHI ini serupa dengan yang diatur dalam Pasal 27 PP 9/1975.\n\nBaca juga: Panduan Mengajukan Perceraian Tanpa Pengacara\n\nJadi, apabila pengadilan telah memanggil suami ghaib (tergugat) dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan Agama, dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar atau media massa lain namun tergugat tidak juga hadir, maka gugatan cerai yang diajukan oleh istri diterima tanpa hadirnya tergugat. Hal tersebut dikenal dengan putusan verstek.\nDisarikan dari artikel Upaya Hukum Terhadap Putusan Verstek yang Telah Inkracht, putusan verstek adalah penjatuhan putusan atas perkara yang dipersengketakan yang memberi wewenang kepada hakim menjatuhkan putusan tanpa hadirnya tergugat. Lalu, dikutip dari artikel Putusan Verstek Jika Salah Satu Tergugat Tidak Hadir, jika tergugat tidak mengajukan upaya hukum verzet (perlawanan) terhadap putusan verstek itu, maka putusan tersebut dianggap sebagai putusan yang berkekuatan hukum tetap.\nBaca juga: Bisakah Cerai Jika Suami Tidak Menghadiri Sidang Perceraian?\nProsedur dan Syarat Cerai Ghaib\n\nDikutip dari laman Pengadilan Agama Kandangan Kelas II, dalam hal suami ghaib, berikut adalah persyaratan yang wajib dipenuhi oleh istri (penggugat) yang mengajukan gugatan cerai:\n\nmenyerahkan surat permohonan/gugatan (minimal 8 rangkap);menyerahkan asli kutipan/duplikat akta nikah;fotocopy asli kutipan/duplikat akta nikah (1 lembar);fotocopy KTP pemohon/penggugat (1 lembar);menyerahkan surat keterangan dari kepala desa/kepala kelurahan tempat tinggal penggugat/pemohon dan tergugat/termohon, yang menerangkan tergugat/termohon telah pergi tidak jelas alamatnya (1 lembar);surat ijin/keterangan perceraian dari pejabat yang berwenang bagi PNS, TNI/Polri;persyaratan no. 3, 4 dan 5 di nazelegen atau dimeteraikan dan cap kantor pos; danmembayar panjar biaya perkara.\n\nKemudian, perlu diketahui bahwa persyaratan tersebut merupakan persyaratan awal. Untuk selanjutnya, Anda dapat mengikuti petunjuk dan perintah dari majelis hakim di dalam persidangan.\n\nBaca juga: Cara Mengurus Surat Cerai dan Langkah Mengajukan Gugatannya\n\nLantas, jika melaksanakan perceraian ghaib, apakah cerai ghaib dapat akta cerai? Disarikan dari Mengenal Cerai Ghaib yang Dapat Dilakukan Secara Hukum, pada dasarnya, prosedur untuk melakukan cerai ghaib sama halnya dengan prosedur cerai pada umumnya seperti:\n\nmengajukan permohonan gugatan cerai ghaib atau talak ghaib oleh pemohon ke Pengadilan Agama;pemohon membayarkan biaya panjar perkara sesuai yang ada di Pengadilan Agama;pemohon dan termohon akan dipanggil oleh Pengadilan Agama untuk menghadiri sidang;pengadilan akan memberikan putusan sidang cerai ghaib;untuk cerai talak ghaib, pemohon akan mengucapkan ikrar talak; danjika gugatan cerai ghaib diterima, maka panitera akan memberikan akta cerai pada penggugat.\n\nBaca juga: Cara Mendapatkan Akta Cerai Jika Tidak Hadir Saat Sidang\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17803/undangundang-nomor-7-tahun-1989/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_7_1989)\n2. [Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama](Data Kepolisian /pusatdata/detail/25602?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_3_2006)\n3. [Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt546457ffe3747?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_50_2009)\n4. [Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/1700/peraturan-pemerintah-nomor-9-tahun-1975?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=PP_9_1975)\n5. [Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13200/instruksi-presiden-nomor-1-tahun-1991?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=inpres_1_1991)\nREFERENSI:\n1. Dian Khairul Umam. Fiqih Mawaris. Bandung: Pustaka Setia, 1999\n2. Jamaluddin T. Efektivias Pemanggilan Ghaib terhadap Perkara Perceraian di Pengadilan Agama. Jurnal Al-Adalah Vol. 3, No. 1, 2018\n3. Rd. Singgih Hasanul Baluqia dan Puti Priyana. Pertimbangan Hakim terhadap Perkara Cerai Gugat Suami Ghaib dan Akibat Hukumnya di Pengadilan Agama Karawang. Jurnal Yusitita, Vol. 7, No. 2, 2021\n4. Wahbah Zuhaily. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz 7. Libanon: Dar al-Fikr, 2008\n5. Dirjen Badilag (Mahkamah Agung RI), diakses pada Senin 24 Juli 2023, pukul 12.35 WIB\n6. KBBI, diakses pada Senin 24 Juli 2023, pukul 15.15 WIB\n7. Pengadilan Agama Kandangan Kelas II, diakses pada Senin 24 Juli 2023, pukul 10.23 WIB.\n\n[1] Jamaluddin T. Efektivitas Pemanggilan Ghaib terhadap Perkara Perceraian di Pengadilan Agama. Jurnal Al-Adalah Vol. 3, No. 1, 2018, hal. 6.[2] Dian Khairul Umam. Fiqih Mawaris. Bandung: Pustaka Setia, 1999, hal. 214.[3] Wahbah Zuhaily. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz 7. Libanon: Dar al-Fikr, 2008, hal. 609.[4] Rd. Singgih Hasanul Baluqia dan Puti Priyana. Pertimbangan Hakim terhadap Perkara Cerai Gugat Suami Ghaib dan Akibat Hukumnya di Pengadilan Agama Karawang. Jurnal Yusitita, Vol. 7, No. 2, 2021, hal. 230.[5] Penjelasan Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.[6] Pasal 132 ayat (1) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).[7] Pasal 26 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP 9/1975”).[8] Pasal 26 ayat (3) PP 9/1975.[9] Pasal 138 ayat (3) KHI."
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa yang dimaksud putusan hakim dikabulkan, ditolak, tidak diterima? Apa perbedaan dan persamaannya? Mohon diberikan beserta dasar yuridisnya? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Untuk melihat perbedaan dan persamaan dari berbagai putusan yang Anda tanyakan, simak penjelasan berikut di bawah ini. Dalam Hukum Acara Perdata, putusan pengadilan dapat berupa 3 hal yakni: KLINIK TERKAIT Bagaimana Cara Membuat Surat Gugatan Perdata? 03 Agt 2023 Arti Error in Persona dan Error in Objecto Serta Contoh Kasusnya 24 Jun 2021 Apakah Penggugat Boleh Memilih Siapa yang Hendak Digugatnya? 19 Okt 2011 Jika Tergugat Tidak Diketahui \"Rimbanya\" 20 Apr 2011 A. Gugatan Dikabulkan Menurut pakar hukum acara perdata, M. Yahya Harahap , d ikabulkan nya suatu gugatan adalah d en g a n syarat bila dalil gugatnya d a p a t dibuktikan oleh penggugat sesuai alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) /Pasal 164 Het Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”) . Dikabulkannya gugatan ini pun ada yang dikabulkan sebagian, ada yang dikabulkan seluruhnya, ditentukan oleh pertimbangan majelis hakim. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas B. Gugatan Ditolak Dalam bukunya, Hukum Acara Perdata (hal. 812) , M. Yahya Harahap, menyebutkan bahwa b ila penggugat dianggap tidak berhasil membuktikan dalil gugatannya , akibat hukum yang harus ditanggungnya atas kegagalan membuktikan dalil gugatannya adalah gugatannya mesti ditolak seluruhnya. Jadi, bila suatu gugatan tidak dapat dibuktikan dalil gugatannya bahwa tergugat patut dihukum karena melanggar hal-hal yang disampaikan dalam gugatan, maka gugatan akan ditolak. C. Gugatan Tidak Dapat Diterima Dijelaskan pula oleh M. Yahya Harahap (hal. 811) , bahwa a da berbagai cacat formil yang mungkin melekat pada gugatan, antara lain, gugatan yang ditandatangani kuasa berdasarkan surat kuasa yang tidak memenuhi syarat yang digariskan Pasal 123 ayat (1) HIR jo. SEMA No. 4 Tahun 1996 : 1. g ugatan tidak memiliki dasar h u kum ; 2. gugatan error in persona dalam bentuk diskualifikasi atau plurium litis consortium ; 3. gugatan mengandung cacat atau obscuur libel ; atau 4. gugatan melanggar yurisdiksi (kompetensi) absolute atau relatif dan sebagainya. PUTUSAN Dasar pemberian putusan NO (tidak dapat diterima) ini dapat kita lihat dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No.1149/K/Sip/1975 tanggal 17 April 1975 Jo Putusan Mahkamah Agung RI No.565/K/Sip/1973 tanggal 21 Agustus 1973, Jo Putusan Mahkamah Agung RI No.1149/K/Sip/1979 tanggal 7 April 1979 yang menyatakan bahwa terhadap objek gugatan yang tidak jelas, maka gugatan tidak dapat diterima. Sehingga jelas semua putusan tersebut diberikan karena alasan yang berbeda. Dan secara sederhana dapat kita ketahui persamaannya adalah ketiganya diputuskan oleh Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili gugatan tersebut. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Catatan editor: Klinik Hukum meminta pendapat M. Yahya Harahap melalui sambungan telepon pada 4 November 2011. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23) 2. Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR) / Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (RIB), ( S. 1848 No. 16, S.1941 No. 44); 3. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 1996; Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ."
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya pernah mendengar gugatan tidak dapat diterima, karena dinyatakan prematur oleh hakim di Pengadilan Negeri. Apa itu gugatan prematur? Mohon jelaskan arti gugatan prematur dan contoh gugatan prematur. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Pengertian Gugatan Prematur\nSecara sederhana, gugatan prematur adalah salah satu variasi jenis gugatan yang mengandung cacat formil karena itu gugatan belum dapat diterima pengadilan.\n\nTerkait gugatan prematur lebih lanjut, Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata dalam Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek (hal. 111) menerangkan bahwa putusan hakim tidak selalu mengabulkan gugatan untuk seluruhnya, namun dapat pula gugatan dikabulkan untuk sebagian. Sebagian gugatan selebihnya harus ditolak atau dalam hal-hal tertentu dinyatakan tidak dapat diterima.\nDalam artikel Arti Gugatan Dikabulkan, Ditolak, dan Tidak Dapat Diterima, diterangkan bahwa gugatan yang dijatuhkan putusan dengan “amar gugatan tidak dapat diterima” atau (Niet Ontvankelijke verklaard atau NO) adalah gugatan yang mengandung cacat formil, salah satu variasi jenis gugatannya adalah gugatan prematur.\nM. Yahya Harahap dalam Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan menyatakan gugatan prematur diartikan sebagai gugatan yang diajukan masih terlampau dini (hal. 457). Sifat atau keadaan prematur melekat pada:\n\nbatas waktu untuk menggugat sesuai dengan jangka waktu yang disepakati dalam perjanjian belum sampai; ataubatas waktu untuk menggugat belum sampai, karena telah dibuat penundaan pembayaran oleh kreditur atau berdasarkan kesepakatan antara kreditur dan debitur.\nContoh Gugatan Prematur\n\nM. Yahya Harahap kemudian mencontohkan (hal. 457-458) sejumlah kasus gugatan prematur dalam perdata, misalnya ahli waris yang menggugat pembagian harta warisan padahal pewaris masih hidup, maka gugatan tersebut prematur, karena selama pewaris masih hidup, tuntutan pembagian warisan masih tertunda. Begitu juga halnya dengan tuntutan pembayaran utang yang belum jatuh tempo berdasarkan perjanjian, sehingga perjanjian tersebut belum dapat digugat dalam jangka waktu yang telah ditentukan.\n\nSebagai contoh lain, ketentuan seseorang dapat digugat atas wanprestasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1243 jo. Pasal 1238 KUH Perdata menyatakan sebagai berikut.\n\nPasal 1243 KUH Perdata\n\nPenggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.\nPasal 1238 KUH Perdata\n\nDebitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.\nBerdasarkan ketentuan pasal tersebut, debitur belum dapat digugat ke pengadilan atas wanprestasi jika debitur tersebut tidak pernah dinyatakan lalai berdasarkan ketentuan Pasal 1238 KUH Perdata. Jika kreditur menggugat tanpa debitur pernah dinyatakan lalai, baik melalui surat perintah maupun berdasarkan batas waktu dalam perjanjian, maka pengadilan tidak dapat menerima gugatan.\nContoh Putusan Gugatan Prematur\n\nTerkait contoh putusan gugatan prematur, Pengadilan Hubungan Industrial di tingkat pertama melalui Putusan PN Tanjungkarang No. 13/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Tjk menyatakan bahwa gugatan penggugat masih prematur atau penggugat belum saatnya mengajukan gugatan, sehingga tidak perlu lagi mempertimbangkan pokok perkara dan menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima (hal. 31).\n\nPengadilan menilai bahwa gugatan tersebut prematur karena sengketa tidak melalui proses yang seharusnya dilakukan. Dalam putusan di atas, penggugat melalui proses mediasi menuntut pembayaran gajinya oleh tergugat (hal. 3), namun tergugat tidak pernah hadir selama proses mediasi dan akhirnya mediator dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Tulang Bawang mengeluarkan anjuran yang isinya menjelaskan bahwa tergugat agar membayar gaji penggugat (hal. 4).\nPihak tergugat dalam eksepsi gugatan prematur menyatakan bahwa gugatan tersebut prematur karena hasil mediasi tersebut cacat secara hukum (hal. 6); karena tidak didahulukan dengan penyelesaian sengketa secara bipartit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) jo. Pasal 1 angka 10 UU PPHI yang menyatakan:\nPasal 3 ayat (1) UU PPHI\n\nPerselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat.\nPasal 1 angka 10 UU PPHI\n\nPerundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.\nDalam putusannya, pengadilan menerima eksepsi gugatan prematur karena para pihak belum melakukan perundingan secara bipartit. Menurut pengadilan, kepada penggugat dan tergugat terlebih dahulu diwajibkan melakukan hal tersebut sebelum melakukan proses selanjutnya (hal. 30-31).\nPutusan tersebut mengakibatkan proses mediasi yang sudah dilakukan oleh mediator dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Tulang Bawang menjadi cacat hukum (hal. 30) dan risalah mediasi tersebut belum mempunyai kekuatan hukum mengikat (hal. 31).\nOleh karena itu, pengadilan beranggapan bahwa instansi yang bersangkutan seharusnya mengembalikan berkas untuk dilengkapi dengan bukti-bukti tentang kegagalan perundingan bipartit (hal. 30).\n\nDengan demikian, praktik gugatan prematur pada kasus di atas menitikberatkan bahwa gugatan dianggap prematur karena masih ada upaya penyelesaian sengketa lain sebelum dapat dilakukannya gugatan atau mediasi.\nDemikian jawaban dari kami terkait gugatan prematur sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17229/node/686?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n2. [Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17858/node/166/uu-no-2-tahun-2004-penyelesaian-perselisihan-hubungan-industrial?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_2_2004)\nPUTUSAN\n\nPutusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang Nomor 13/Pdt.Sus-PHI/2015/PN.Tjk.\nREFERENSI:\n1. M. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2016\n2. Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. Bandung: Mandar Maju, 1995."
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa yang dimaksud dengan hak substitusi?"
} | {
"from": "gpt",
"value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITCara Membuat Surat Kuasa yang Baik dan Benar Beserta Contohnya01 Mar 2022Penunjukan Kuasa Substitusi oleh Pimpinan Daerah Ormas09 Des 2019Siapa yang Tanda Tangan jika Penerima Kuasa Lebih dari Seorang?27 Mar 2019Aturan Pemberian dan Penerimaan Kuasa07 Jul 2011\n\nPemberian kuasa secara khusus diatur dalam Pasal 1792 KUH Perdata yang berbunyi:\n\nPemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu untuk dan atas nama orang yang memberikan kuasa.\nMenurut R. Soebekti sebagaimana dikutip Nurun Ainuddin, pemberian kuasa adalah suatu perjanjian di mana pihak yang satu memberikan perintah kepada pihak yang lain untuk melakukan suatu perbuatan hukum.[1]\n\nDari definisi tersebut, dapat dilihat 3 unsur pemberian kuasa:\n\nPerjanjian;Memberikan kekuasaan kepada penerima kuasa;Menyelenggarakan urusan untuk dan atas nama pemberi kuasa.\nAdapun sifat dari pemberian kuasa adalah perwakilan, mengingat tindakan penerima kuasa adalah untuk melakukan tindakan untuk dan atas nama pemberi kuasa.[2]\n\nBaca juga: Cara Membuat Surat Kuasa yang Baik dan Benar Beserta Contohnya\nArti Hak Substitusi\n\nPada dasarnya, hak substitusi merupakan salah satu bentuk pemberian kuasa.\n\nPemberian kuasa dengan hak substitusi terdapat dalam Pasal 1803 KUH Perdata, yang berbunyi:\n\nPenerima kuasa bertanggung jawab atas orang lain yang ditunjuknya sebagai penggantinya dalam melaksanakan kuasanya:\nBila tidak diberikan kuasa untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya.Bila kuasa itu diberikan tanpa menyebutkan orang tertentu sedangkan orang yang dipilihnya ternyata orang yang tidak cakap atau tidak mampu. Pemberi kuasa senantiasa dianggap telah memberi kuasa kepada penerima kuasanya untuk menunjuk seorang lain sebagai penggantinya untuk mengurus barang-barang yang berada di luar wilayah Indonesia atau di luar pulau tempat tinggal pemberi kuasa. Pemberi kuasa dalam segala hal, dapat secara langsung mengajukan tuntutan kepada orang yang telah ditunjuk oleh penerima kuasa sebagai penggantinya.\n\nSederhananya, hak substitusi adalah hak untuk menunjuk kuasa pengganti, dalam hal ini penerima kuasa memberikan haknya kepada orang lain agar orang lain tersebut dapat mewakilkan pemberi kuasa dalam melakukan suatu tindakan hukum.\n\nHak substitusi kerap digunakan dalam dunia advokat, yaitu ketika seorang advokat mengalihkan kuasa yang diberikan kliennya kepada kuasa lain (advokat lain).\n\nAlasan penggunaan hak substitusi adalah agar advokat lain dapat membantu advokat penerima kuasa (dari klien) yang berhalangan dalam melaksanakan kuasanya, baik untuk melakukan pengurusan maupun menghadiri persidangan di pengadilan.\n\nMenurut M. Yahya Harahap, pemberi hak substitusi harus menuliskan hak dan kewenangan secara tegas dalam surat kuasa, yaitu berupa klausula dalam surat kuasa yang berisi pernyataan bahwa penerima kuasa dapat melimpahkan kuasa itu kepada seorang atau beberapa orang yang bertindak sebagai kuasa substitusi.[3]\n\nHal ini untuk memastikan bahwa kuasa substitusi yang ditunjuk memiliki kredibilitas dan profesionalitas yang diperlukan.\n\nBaca juga: Penunjukan Kuasa Substitusi oleh Pimpinan Daerah Ormas\n\nSeluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nKitab Undang-Undang Hukum Perdata.\n\nREFERENSI:\n1. Yahya Harahap. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Cet.ke-2. (Bandung: Alumni), 1986\n2. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. (Jakarta: Sinar Grafika), 2005\n3. Nurun Ainuddin. Hak Substitusi pada Pemberian Kuasa Beserta Tanggung Jawab Hukumnya. Jurnal Hukum Jatiswara. Vol. 30 No. 1, April 2015.\n\n[1] Nurun Ainuddin, Hak Substitusi pada Pemberian Kuasa Beserta Tanggung Jawab Hukumnya, Jurnal Hukum Jatiswara, Vol. 30 No. 1, April 2015, hal. 167\n\n[2] M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, cet.ke-2 (Bandung: Alumni, 1986), hal. 306.\n\n[3] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 23"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan \"intimidasi\", baik dalam doktrin, yurisprudensi, MvT (memorie van toelichting), atau sumber-sumber hukum lain? Apakah intimidasi termasuk tindak pidana dan diatur dalam pasal-pasal tertentu dalam KUHP? Atas jawaban yang diberikan, sebelumnya saya ucapkan banyak terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intimidasi atau intimidation dalam Bahasa Inggris menurut Cambridge Dictionary berarti tindakan menakut-nakuti atau mengancam seseorang, biasanya bertujuan untuk membuat mereka melakukan sesuatu yang pelaku inginkan (the action of frightening or threatening someone, usually in order to persuade them to do something that you want them to do). Atau berasal dari kata intimidatie dalam Bahasa Belanda berarti perbuatan menakut-nakuti.\n\nAdapun, menurut KBBI intimidasi adalah tindakan menakut-nakuti (terutama untuk memaksa orang atau pihak lain berbuat sesuatu); gertakan; ancaman.\nPasal Intimidasi dalam KUHP\n\nBerdasarkan pengertian secara harfiah di atas, maka dalam kata intimidasi terkandung makna menakut-nakuti, memaksa, menggertak, atau mengancam.\n\nDalam KUHP, intimidasi umumnya dirumuskan dalam pasal yang memuat unsur ‘dengan kekerasan atau ancaman kekerasan’ (door geweld atau door bedreiging met geweld). Rumusan tersebut misalnya ditemukan dalam Pasal 146 KUHP atau Pasal 232 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan[1] yang menggunakan kalimat ‘kekerasan atau dengan ancaman kekerasan’ mengganggu sidang legislatif, yang berbunyi:\nPasal 146 KUHPPasal 232 UU 1/2023Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan membubarkan rapat badan pembentuk undang-undang, badan pemerintahan atau badan perwakilan rakyat, yang dibentuk oleh atau atas nama Pemerintah, atau memaksa badan-badan itu supaya mengambil atau tidak mengambil sesuatu putusan atau mengusir ketua atau anggota rapat itu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.Setiap Orang yang dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan membubarkan rapat lembaga legislatif dan/atau badan pemerintah atau memaksa lembaga dan/atau badan tersebut agar mengambil atau tidak mengambil suatu keputusan, atau mengusir pimpinan atau anggota rapat tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun.\nLebih lanjut, dalam PenjelasanPasal 232 UU 1/2023 dinyatakan bahwa yang dimaksud sebagai “kekerasan atau ancaman kekerasan” tidak hanya pengancaman terhadap orang melainkan juga terhadap barang seperti membakar gedung tempat rapat.\n\nSelain itu, contoh pasal intimidasi dan pengancaman juga dapat ditemukan dalam Pasal 336 KUHP atau Pasal 449 UU 1/2023 tentang tindakan mengancam dengan kekerasan terhadap orang atau barang yang selengkapnya dapat dibaca dalam artikel Pasal untuk Menjerat Pelaku Pengancaman Pembunuhan.\n\nContoh pasal intimidasi lainnya adalah Pasal 335 KUHP jo. Putusan MK No. 1/PUU-XI/2013 (hal. 39 – 40) atau Pasal 448 UU 1/2023 yang berkaitan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksa orang lain melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu. Selengkapnya dapat dibaca dalam artikel Pasal Perbuatan Tidak Menyenangkan Dihapus, Ini Dasarnya.\n\nIntimidasi juga dapat ditemukan di dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP atau Pasal 482 UU 1/2023 dan Pasal 369 KUHP atau Pasal 483 UU 1/2023 yang memuat unsur ‘memaksa orang lain’. Pasal 368 ayat (1) KUHP atau Pasal 482 UU 1/2023 disebut ‘pemerasan dengan kekerasan’ (afpersing) sedangkan Pasal 369 KUHP atau Pasal 483 UU 1/2023 disebut ‘pemerasan dengan menista’ (afdreiging atau chatage). Bedanya terletak pada alat yang digunakan untuk memaksa, Pasal 368 menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, sedangkan Pasal 369 menggunakan alat ‘akan menista atau menista dengan surat atau akan membuka rahasia’.[2]\n\nAdapun, dalam UU 1/2023, sepanjang penelusuran kami, terdapat beberapa pasal yang menyebutkan kata intimidasi secara tegas, yaitu Pasal 281 UU 1/2023 dan Pasal 530 UU 1/2023 yang berbunyi sebagai berikut:\n\nPasal 281 UU 1/2023\n\nSetiap Orang yang menghalang-halangi, mengintimidasi, atau memengaruhi Pejabat yang melaksanakan tugas penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, atau putusan pengadilan dengan maksud untuk memaksa atau membujuknya agar melakukan atau tidak melakukan tugasnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori VI.\n\nPasal 530 UU 1/2023\n\nSetiap Pejabat atau orang lain yang bertindak dalam suatu kapasitas Pejabat resmi, atau orang yang bertindak karena digerakkan atau sepengetahuan Pejabat publik melakukan perbuatan yang menimbulkan penderitaan fisik atau mental terhadap seseorang dengan tujuan untuk memperoleh informasi atau pengakuan dari orang tersebut atau orang ketiga, menghukumnya atas perbuatan yang dilakukan atau disangkakan telah dilakukan olehnya atau orang ketiga, atau melakukan intimidasi atau memaksa orang tersebut atau orang ketiga atas dasar suatu alasan diskriminasi dalam segala bentuknya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.\nPasal Intimidasi di Luar KUHP\n\nPengaturan rumusan intimasi juga dikenal dalam beberapa pengaturan tindak pidana di luar KUHP, yang contohnya adalah sebagai berikut:\n\nPenggunaan unsur “ancaman kekerasan” dalam Pasal 2 ayat (1)UU TPPOyang dapat dimaknai sebagai setiap perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan atau tanpa menggunakan sarana yang menimbulkan rasa takut atau mengekang kebebasan hakiki seseorang.[3]\n\nPenggunaan frasa “ancaman kekerasan” untuk menggambarkan intimidasi sebagaimana dimuat dalam Pasal 76D UU 35/2014 dengan bunyi sebagai berikut:\n\nSetiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.\n\nUnsur “ancaman kekerasan” dan “menakut-nakuti” digunakan dalam rumusan Pasal 29 UU 1/2024 sebagai perubahan kedua UU ITE yang dapat dibaca selengkapnya dalam Bunyi Pasal 29 UU ITE tentang Ancaman Kekerasan Melalui Media Elektronik.\nIntimidasi Menurut Pandangan Ahli dan Yurisprudensi\n\nDalam doktrin, setidaknya terdapat beberapa pandangan mengenai unsur ‘dengan kekerasan atau ancaman kekerasan’. D. Simons berpendapat mengenai kekerasan sebagai setiap penggunaan tenaga badan yang tidak terlalu tidak berarti, atau tidak terlalu ringan. TJ Noyon dan GE Langemeijer berpendapat geweld merupakan suatu krachtdalig optreden atau suatu perbuatan bertindak dengan tenaga. Namun, menurut kedua ahli pidana Belanda ini, tidak setiap pemakaian tenaga dapat dimasukkan ke dalam pengertian kekerasan. Misalnya, jika hanya tenaga ringan.[4]\n\nPerlu diketahui bahwa undang-undang memang tidak memberikan penjelasan tentang bagaimana ancaman dengan kekerasan (bedreiging met geweld)itu dilakukan.[5] Alhasil, maknanya berkembang dalam yurisprudensi.\n\nMenurut Hoge Raad dalam beberapa arrest membuat syarat adanya ancaman itu, yaitu:[6]\n\nAncaman itu harus diucapkan dalam keadaan yang sedemikian rupa, sehingga dapat menimbulkan kesan pada orang yang diancam, bahkan yang diancamkan itu benar-benar akan dapat merugikan kebebasan pribadinya;Maksud pelaku memang telah ditujukan untuk menimbulkan kesan tersebut.\nContoh dari penjelasan di atas adalah perbuatan mengancam akan menembak mati seseorang jika orang yang diancam tidak memenuhi keinginan pengancam. Perbuatan ini adalah suatu perbuatan mengancam dengan kekerasan. Jika ia melepaskan tembakan, tembakan itu tidak selalu menghapus kenyataan bahwa pelaku sebenarnya hanya bermaksud untuk mengancam. Demikianlah pandangan Hoge Raad dalam arrest tanggal 14 Juni 1926.[7]\n\nAdapun menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 98) menyebutkan definisi kekerasan adalah mempergunakan kekuatan atau kekuasaan yang agak besar secara tidak sah (hal. 127). Adapun definisi melakukan kekerasan setidaknya termuat dalam KUHP pada Pasal 89 KUHP yakni menggunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil dan tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang, dan sebagainya. Yang disamakan dengan “melakukan kekerasan” ialah membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah).\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt4c7b7fd88a8c3/wetboek-van-strafrecht-wvs?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt548fdfd3a87d2/undang-undang-nomor-35-tahun-2014?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_35_2014)\n3. [Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt584786efd1075?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_17_2016)\n4. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/27912/nprt/1011/uu-no-11-tahun-2008-informasi-dan-transaksi-elektronik?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_ite)\n5. [Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt584a7363785c8?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_19_2016)\n6. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt65961ed500cf3/undang-undang-nomor-1-tahun-2024/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_1_2024)\n7. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023_KUHP_baru)\nPUTUSAN\n\nPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013.\n\nREFERENSI:\n1. KBBI, intimidasi, yang diakses pada Selasa, 23 Januari 2024, pukul 16.00 WIB\n2. Cambridge Dictionary, yang diakses pada Selasa, 30 Januari 2024, pukul 14.05 WIB\n3. PAF Lamintang dan Theo Lamintang. Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum Negara. Edisi kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2010\n4. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1994\n5. Wirjono Prodjodikoro. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung: Eresco, 1986.\n\n[1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”).\n\n[2] R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. (Bogor: Politeia, 1994), hal. 127\n\n[3] Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang\n\n[4] PAF Lamintang dan Theo Lamintang. Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum Negara, Edisi kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hal. 334\n\n[5] PAF Lamintang dan Theo Lamintang. Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum Negara, Edisi kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hal. 334\n\n[6] PAF Lamintang dan Theo Lamintang. Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum Negara, Edisi kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hal. 334-335.\n\n[7] PAF Lamintang dan Theo Lamintang. Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum Negara, Edisi kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hal. 334-335."
} |
{
"from": "human",
"value": "Dh. Hukum Online, ketika saya membaca suatu putusan arbitrase, ada beberapa istilah yang ingin saya tanyakan, yaitu KONVENSI, REKONVENSI, EKSEPSI, PROVISI. Mohon dijelaskan artinya, dan apakah istilah-istilah tersebut hanya terdapat di arbitrase saja atau juga putusan di luar arbitrase? Terima kasih. Aziz H."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Beda Replik dan Duplik dalam Hukum Acara Pidana dan Perdata 05 Apr 2024 Bisakah Menuntut Pasangan yang Membatalkan Perkawinan? 06 Jan 2023 Langkah Hukum Jika Diganggu Pria Beristri Lewat SMS dan Telepon 27 Jul 2021 Pihak yang Dapat Bertindak Sebagai Penggugat 03 Jan 2013 Sebenarnya istilah konvensi, rekonvensi, eksepsi, dan provisi tidak hanya ditemui dalam putusan arbitrase saja, tetapi juga dalam putusan perkara perdata di pengadilan. Arbitrase pada dasarnya merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa perdata tetapi tidak melalui jalur pengadilan pada umumnya. Hal ini sesuai dengan pengertian arbitrase yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU 30/1999”) sebagai berikut: “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.” Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Oleh karena itu, istilah konvensi, rekonvensi, eksepsi, dan provisi yang dikenal dalam arbitrase juga sama dengan yang dikenal dalam proses penyelesaian perkara perdata di pengadilan. Selanjutnya, kami akan membahas pengertian istilah-istilah tersebut satu per satu. a. Rekonvensi Menurut M. Yahya Harahap dalam buku Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (hal. 468) istilah (gugatan) rekonvensi diatur dalam Pasal 132a HIR yang maknanya rekonvensi adalah gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan yang diajukan penggugat kepadanya. Dalam penjelasan Pasal 132a HIR disebutkan, oleh karena bagi tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan gugatan melawan, artinya. untuk menggugat kembali penggugat, maka tergugat itu tidak perlu mengajukan tuntutan baru, akan tetapi cukup dengan memajukan gugatan pembalasan itu bersama-sama dengan jawabannya terhadap gugatan lawannya b. Konvensi Istilah konvensi sebenarnya merupakan istilah untuk menyebut gugatan awal atau gugatan asli. Istilah ini memang jarang digunakan dibanding istilah gugatan karena istilah konvensi baru akan dipakai apabila ada rekonvensi (gugatan balik tergugat kepada penggugat). Di dalam penjelasan Yahya Harahap (hal. 470), Anda dapat menemukan bahwa ketika penggugat asal (A) digugat balik oleh tergugat (B) maka gugatan A disebut gugatan konvensi dan gugatan balik B disebut gugatan rekonvensi. c. Eksepsi Menurut Yahya Harahap (hal. 418), eksepsi secara umum berarti pengecualian, akan tetapi dalam konteks hukum acara, bermakna tangkisan atau bantahan yang ditujukan kepada hal-hal yang menyangkut syarat-syarat atau formalitas gugatan yang mengakibatkan gugatan tidak dapat diterima. Tujuan pokok pengajuan eksepsi yaitu agar proses pemeriksaan dapat berakhir tanpa lebih lanjut memeriksa pokok perkara. Eksepsi diatur dalam Pasal 136 Reglement Indonesia yang Diperbaharui (“HIR”). d. Provisi Saudara tidak menyebutkan lebih lanjut mengenai istilah provisi, apakah gugatan provisi atau putusan provisi. Yahya Harahap (hal. 884) menjelaskan bahwa gugatan provisi merupakan permohonan kepada hakim (dalam hal ini arbiter) agar ada tindakan sementara mengenai hal yang tidak termasuk pokok perkara, misalnya melarang meneruskan pembangunan di atas tanah yang diperkarakan dengan ancaman membayat uang paksa. Apabila dikabulkan, maka disebut putusan provisionil. Putusan provisionil merupakan salah satu jenis putusan sela. Di dalam penjelasan Pasal 185 HIR disebutkan putusan provisionil yaitu keputusan atas tuntutan supaya di dalam hubungan pokok perkaranya dan menjelang pemeriksaan pokok perkara itu, sementara diadakan tindakan-tindakan pendahuluan untuk kefaedahan salah satu pihak atau ke dua belah pihak. Keputusan yang demikian itu banyak digunakan di dalam pemeriksaan singkat. Putusan provisionil dalam aturan arbitrase dapat ditemui dalam Pasal 32 ayat (1) UU 30/1999 : “Atas permohonan salah satu pihak, arbiter atau majelis arbitrase dapat mengambil putusan provisionil atau putusan sela lainnya untuk mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa termasuk penetapan sita jaminan, memerintahkan penitipan barang kepada pihak ketiga, atau menjual barang yang mudah rusak.” Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Reglement Indonesia yang Diperbaharui ( Herziene Indlandsch Reglement ) Staatsblad Nomor 44 Tahun 1941 2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa konvensi"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya sering mendengar istilah roya dari orang orang yang berhubungan dengan tanah dan bank. Apa maksud roya itu? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Sanksi Memalsukan KTP Orang Lain untuk Jual Beli Tanah 24 Okt 2022 Parate Eksekusi: Pengertian, Dasar Hukum, dan Contoh Kasus 13 Okt 2022 Permasalahan Hukum Menggadaikan Barang Jaminan Fidusia 17 Des 2012 Perbedaan Antara Kreditur Separatis dengan Kreditur Konkuren 25 Apr 2012 Istilah roya memang dikenal dalam ketentuan perundang-undangan mengenai tanah. Istilah roya dapat ditemukan dalam penjelasan umum UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (“UU Hak Tanggungan”): Pada buku tanah Hak Tanggungan yang bersangkutan dibubuhkan catatan mengenai hapusnya hak tersebut, sedang sertifikatnya ditiadakan. Pencatatan serupa, yang disebut pencoretan atau lebih dikenal sebagai \"roya\", dilakukan juga pada buku tanah dan sertifikat hak atas tanah yang semula dijadikan jaminan. Sertifikat hak atas tanah yang sudah dibubuhi catatan tersebut, diserahkan kembali kepada pemegang haknya Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Berdasarkan penjelasan umum UU Hak Tanggungan tersebut, dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan istilah roya adalah pencoretan pada buku tanah Hak Tanggungan karena hak tanggungan telah hapus. Pengaturan tata cara pencoretan hak tanggungan terdapat dalam Pasal 22 UU Hak Tanggungan yang berbunyi sebagai berikut: (1) Setelah Hak Tanggungan hapus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Kantor Pertanahan mencoret catatan Hak Tanggungan tersebut pada buku tanah hak atas tanah dan sertifikatnya. (2) Dengan hapusnya Hak Tanggungan, sertifikat Hak Tanggungan yang bersangkutan ditarik dan bersamasama buku tanah Hak Tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan. (3) Apabila sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) karena sesuatu sebab tidak dikembalikan kepada Kantor Pertanahan, hal tersebut dicatat pada buku tanah Hak Tanggungan. (4) Permohonan pencoretan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan melampirkan sertifikat Hak Tanggungan yang telah diberi catatan oleh kreditor bahwa Hak Tanggungan hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu sudah lunas, atau pernyataan tertulis dari kreditor bahwa Hak Tanggungan telah hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu telah lunas atau karena kreditor melepaskan Hak Tanggungan yang bersangkutan. (5) Apabila kreditor tidak bersedia memberikan pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan perintah pencoretan tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat Hak Tanggungan yang bersangkutan didaftar. (6) Apabila permohonan perintah pencoretan timbul dari sengketa yang sedang diperiksa oleh Pengadilan Negeri lain, permohonan tersebut harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara yang bersangkutan. (7) Permohonan pencoretan catatan Hak Tanggungan berdasarkan perintah Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diajukan kepada Kepala Kantor Pertanahan dengan melampirkan salinan penetapan atau putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan. (8) Kantor Pertanahan melakukan pencoretan catatan Hak Tanggungan menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (7). (9) Apabila pelunasan utang dilakukan dengan cara angsuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), hapusnya Hak Tanggungan pada bagian obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan dicatat pada buku tanah dan sertifikat Hak Tanggungan serta pada buku tanah dan sertifikat hak atas tanah yang telah bebas dari Hak Tanggungan yang semula membebaninya. Adapun hapusnya Hak Tanggungan sebagaimana diatur berdasarkan Pasal 18 ayat (1) UU Hak Tanggungan antara lain karena: a. hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan; b. dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan; c. pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri; d. hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan Mengenai pencoretan Hak Tanggungan (roya) ini, Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja dalam bukunya yang berjudul Hak Tanggungan (hal. 272-273), berpendapat: Pencoretan pendaftaran Hak Tanggungan dapat dilakukan dengan atau tanpa pengembalian Sertifikat Hak Tanggungan yang telah dikeluarkan. Dalam hal Sertifikat Hak Tanggungan tidak dikembalikan, maka hal tersebut harus dicatat dalam Buku Tanah Hak Tanggungan. Pada dasarnya pencoretan dapat dilakukan oleh debitor sendiri, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) UU Hak Tanggungan. Dengan demikian jelaslah bahwa pencoretan Hak Tanggungan adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh pemberi Hak Tanggungan (debitor) setelah Hak Tanggungan yang diberikan olehnya hapus, menurut ketentuan Pasal 18 UU Hak Tanggungan. Untuk keperluan pencoretan Hak Tanggungan, pemberi Hak Tanggungan diperbolehkan untuk mempergunakan semua sarana hukum yang diperbolehkan (termasuk permohonan perintah pencoretan kepada Ketua Pengadilan Negeri), dan karenanya juga mempergunakan semua alat bukti yang diperkenankan yang membuktikan telah hapusnya Hak Tanggungan tersebut. Selain itu, pelaksanaan roya ini dapat dilakukan untuk sebagian utang yang dijaminkan yang disebut dengan roya partial. Mengutip artikel APHT (Akte Pemberian hak Tanggungan) ,dasar adanyaroya partial diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU Hak Tanggungan . Praktik pelaksanaan roya partial mengacu antara lain pada Surat Edaran Badan Pertanahan Nasional Nomor 600-1610 Tahun 1995 tentang Pelaksana Roya Partial (Sebagian) , tertanggal 16 Juni 1995 (“Surat Edaran”). Di dalam Surat Edaran tersebut antara lain sebagai berikut: “ 2.\nRoya partial merupakan kelembagaan hukum baru, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, yang memungkinkan penyelesaian secara praktis terhadap bagian benda jaminan apabila telah dilunasi sebagian, sehingga dapat dipergunakan untuk keperluan lainnya. Dengan demikian, sungguhpun roya partial diatur dalam UURS (UU Rumah Susun, ed) , tetapi dapat diterapkan pula untuk menyelesaikan masalah roya partial di luar rumah susun. 3.\nSehubungan dengan hal tersebut di atas, maka hak atas tanah yang dipergunakan sebagai jaminan kredit dibebani Hipotik/CV, apabila telah dilunasi sebagian, dapat dilakukan roya partial, sepanjang yang dibebani Hipotik/CV terdiri dari beberapa bidang tanah. Apabila yang dibebani Hipotik/CV hanya satu bidang tanah saja, tidak dapat dilakukan roya partial. “ Jadi, yang dimaksud dengan istilah roya adalah pencoretan hak tanggungan pada Buku Tanah Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan karena Hak Tanggungan telah hapus dengan cara sebagaimana diatur Pasal 18 UU Hak Tanggungan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah 2. Surat Edaran Badan Pertanahan Nasional Nomor 600-1610 Tahun 1995 tentang Pelaksana Roya Partial (Sebagian) Referensi : Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan , Cet. 3, Jakarta: Penerbit Kencana, 2008 hak tanggungan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah arti dari istilah ius constitutum dan ius constituendum? \nAdakah perbedaan dan persamaannya? \nAdakah referensi buku yang dapat dijadikan bahan bacaan untuk kedua istilah tersebut?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Menjawab pertanyaan Anda mengenai perbedaan keduanya, kami sampaikan bahwa ius constitutum dan ius constituendum adalah dua istilah hukum yang mempunyai arti berbeda, tidak ada persamaan.\n\nDalam ilmu hukum dikenal dua jenis hukum. Pertama, ius constitutum yang artinya hukum yang berlaku saat ini atau hukum yang telah ditetapkan. Sedangkan kebalikannya, ius constituendum yang berarti hukum yang dicita-citakan atau yang diangan-angankan.\n\nSudikno Mertokusumo dalam Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar menjelaskan bahwa berdasarkan kriteria waktu berlakunya, hukum dibagi menjadi:[1]\n\nIus Constitutum\n\nYaitu hukum yang berlaku di masa sekarang. Dalam glosarium di buku yang sama, Sudikno menambahkan bahwa ius constitutum adalah hukum yang telah ditetapkan.[2]\n\nIus Constituendum\n\nYaitu hukum yang dicita-citakan (masa mendatang). Dalam glosarium yang sama, disebutkan bahwa ius constituendum adalah hukum yang masih harus ditetapkan; hukum yang akan datang.[3]\nPembeda Ius Constitutum dan Ius Constituendum\n\nMasih soal referensi pustaka lain, Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka dalam Aneka Cara Pembedaan Hukum menerangkan bahwa:[4]\n\nIus constitutum merupakan hukum yang dibentuk dan berlaku dalam suatu masyarakat negara pada suatu saat. Kemudian, diterangkan bahwa ius constitutum adalah hukum positif.Ius constituendum adalah hukum yang dicita-citakan dalam pergaulan hidup negara, tetapi belum dibentuk menjadi undang-undang atau ketentuan lain.\n\nAdapun terkait perbedaan, pembeda antara ius consitutum dengan ius constituendum terletak pada faktor waktu¸yaitu masa kini dan masa mendatang. Dalam hal ini, hukum diartikan sebagai tata hukum yang diidentikkan dengan istilah hukum positif. Kecenderungan pengertian tersebut sangat kuat, oleh karena kalangan tertentu berpendapat bahwa setelah diundangkan maka ius constituendum menjadi ius constitutum.[5]\n\nDengan demikian, ius constitutum saat ini, sebelumnya (pada masa lampau) merupakan ius constituendum. Kemudian, apabila ius constitutum mempunyai kekuatan hukum, maka ius constituendum mempunyai nilai sejarah.[6]\nPerubahan Ius Constituendum Menjadi Ius Constitutum\n\nSoerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka juga menjelaskan bahwa ius constituendum berubah menjadi ius constitutum dengan cara:[7]\n\nDigantinya suatu undang-undang dengan undang-undang yang baru (undang-undang yang baru pada mulanya merupakan rancangan ius constituendum);Perubahan undang-undang yang ada dengan cara memasukkan unsur-unsur baru (unsur-unsur baru pada mulanya berupa ius constituendum);Penafsiran peraturan perundang-undangan. Penafsiran yang ada kini mungkin tidak sama dengan penafsiran pada masa lampau. Penafsiran pada masa kini, dahulu merupakan ius constituendum;Perkembangan doktrin atau pendapat sarjana hukum terkemuka di bidang teori hukum.\n\nDengan demikian, pembeda antara ius constitutum dengan ius constituendum merupakan suatu abstraksi fakta bahwa sesungguhnya segala sesuatu merupakan proses perkembangan. Artinya, suatu gejala yang ada sekarang akan hilang pada masa mendatang oleh karena diganti oleh gejala yang semula dicita-citakan.[8]\nDemikian jawaban dari kami tentang ius constitutum dan ius constituendum sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.\nREFERENSI:\n1. Sudikno Mertokusumo. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty, 2006\n2. Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka. Aneka Cara Pembedaan Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1994.\n\n[1] Sudikno Mertokusumo. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty, 2006, hal. 25[2] Sudikno Mertokusumo. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty, 2006, hal. 120[3] Sudikno Mertokusumo. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty, 2006, hal. 120[4] Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka. Aneka Cara Pembedaan Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1994, hal. 5[5] Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka. Aneka Cara Pembedaan Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1994, hal. 6[6] Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka. Aneka Cara Pembedaan Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1994, hal. 7[7] Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka. Aneka Cara Pembedaan Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1994, hal. 7[8] Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka. Aneka Cara Pembedaan Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1994, hal. 7"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa saja jenis usaha membatalkan suatu UU selain dengan cara judicial review? Karena saat ini MK banyak sekali kerjanya sehingga orang akan berfikir bagaimana jalan alternatif hukum yang dapat ditempuh untuk menguji atau membatalkan UU?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Judicial Review Menurut Nurul Qamar dalam Jurnal Konstitusi Vol I Kewenangan Judicial Review Mahkamah Konstitusi (hal.2), j udicial review dapat dipahami sebagai suatu pranata hukum yang memberikan kewenangan kepada badan pelaksana kekuasaan kehakiman yang ditunjuk oleh konstitusi (dalam hal ini Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi) untuk dapat melakukan peninjauan dan atau pengujian kembali dengan cara melakukan interpretasi hukum dan atau interpretasi konstitusi untuk memberikan penyelesaian yuridis. [1] Di Indonesia, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”) terdapat jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, yakni: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang (“UU”)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (“Perppu”); Peraturan Pemerintah (“PP”); Peraturan Presiden (“Perpres”); Peraturan Daerah Provinsi (“Perda Provinsi”); dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (“Perda Kab/Kota”). Namun, dari keseluruhan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang ada, hanya Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang dapat dilakukan judicial review terhadapnya. Pelaksanaan kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di atas oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 didistribusikan kepada dua lembaga kekuasaan kehakiman, yakni Mahkamah Agung (“MA”), dan Mahkamah Konstitusi (“MK”). Lembaga yang Berwenang Melakukan Judicial Review Berdasarkan Pasal 24A a yat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) , MA berwenang, antara lain, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Sedangkan berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, MK berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Ketentuan-ketentuan tersebut juga kembali diatur dalam Pasal 9 UU 12/2011 , yang berbunyi: Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi; dan Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Alternatif Selain Judicial Review Mejawab pertanyaan Anda, adakah alternatif hukum yang dapat digunakan sebagai upaya untuk membatalkan suatu UU atau setidaknya substansi tertentu dalam suatu UU selain judicial review ? Sistem hukum Indonesia mengenal legislative review dan executive review . L egislative review dan executive review adalah upaya yang dapat dilakukan untuk mengubah suatu undang-undang melalui lembaga legislatif atau lembaga eksekutif berdasarkan fungsi legislasi yang dimiliki oleh kedua lembaga tersebut sebagaimana yang diatur dalam konstitusi pada Pasal 5 a yat (1) dan Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 dan UU 12/2011 . Yang mana dalam UU 12/2011 disebutkan apabila sebuah rancangan perubahan undang-undang berasal dari pemerintah disebut sebagai usulan Pemerintah dan apabila perubahan undang-undang berasal dari DPR disebut sebagai hak inisiatif DPR. Secara sederhana proses dalam legislative review dan executive review merupakan proses pembentukan undang-undang biasa, baik untuk membentuk baru maupun mengubah undang-undang yang telah ada. Ulasan selengkapnya mengenai legislative review silakan simak artikel Praktik Legislative Review dan Judicial Review di Indonesia . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Referensi : Nurul Qamar, Kewenangan Judicial Review Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Vol. I, No. 1, November 2012. [1] Nurul Qamar, Kewenangan Judicial Review Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Vol. I, No. 1, November 2012, hal. 2. judicial review hukumonline online tata negara hukum klinik hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Dimanakah ambtelijk bevel diatur dalam KUHP?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Ambtelijk bevel itu adalah klausul perintah jabatan yang diatur dalam Pasal 51 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Perintah jabatan itu sendiri secara harfiah dapat diartikan sebagai suatu perintah yang telah diberikan oleh seorang atasan, di mana kewenangan untuk memerintah semacam itu bersumber pada suatu ambtelijk positie atau suatu kedudukan menurut jabatan, baik dari orang yang memberikan perintah maupun dari orang yang menerima perintah. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Ambtelijk Bevel Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Terdakwa Korupsi Lolos Karena Pasal 51 (1) KUHP , Pasal 51 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) dikenal sebagai klausul perintah jabatan ( ambtelijk bevel ) . Pasal ini sering digunakan sebagai alasan untuk menghapus pidana terhadap terdakwa ( exemption from liability ). Bunyi selengkapnya Pasal 51 ayat (1) KUHP adalah sebagai berikut: Barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak akan itu, tidak boleh dihukum. Perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang tidak berhak tidak membebaskan dari hukuman, kecuali jika pegawai yang di bawahnya atas kepercayaannya memandang bahwa perintah itu seakan-akan diberikan kuasa yang berhak dengan sah dan menjalankan perintah itu menjadi kewajiban pegawai yang di bawah perintah tadi. Masih bersumber dari artikel yang sama, dalam bahasa Belanda, rumusan Pasal 51 ayat (1) KUHP ini adalah ‘ Niet strafbaar is hij die een feit begaat ter uitvoering van een ambtelijk bevel , gegeven door het daartoe bevoegde gezag ’. Menurut Lamintang dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (hal. 525), perkataan ambtelijk bevel atau “perintah jabatan” itu sendiri secara harfiah dapat diartikan sebagai suatu perintah yang telah diberikan oleh seorang atasan, di mana kewenangan untuk memerintah semacam itu bersumber pada suatu ambtelijk positie atau suatu kedudukan menurut jabatan, baik dari orang yang memberikan perintah maupun dari orang yang menerima perintah. Jadi ambtelijk bevel itu adalah klausul perintah jabatan yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) KUHP. Lebih lanjut mengenai penjelasan Pasal 51 KUHP ini, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 67) menjelaskan bahwa untuk dapat dipidana dengan pasal tersebut, maka harus dipenuhi beberapa syarat yaitu: Bahwa orang itu melakukan perbuatan atas suatu perintah jabatan. Antara pemberi perintah dengan orang yang diperintah harus ada perhubungan yang bersifat kepegawaian Negeri, bukan pegawai partikelir. Tidak perlu bahwa yang diberi perintah itu harus orang bawahan dari yang memerintah. Mungkin sama pangkatnya, tetapi yang perlu ialah bahwa antara yang diperintah dengan yang memberi perintah ada kewajiban untuk menaati perintah itu. Perintah harus diberikan oleh kuasa yang berhak untuk memberikan perintah itu. Jika kuasa tersebut tidak berhak untuk itu, maka orang yang menjalankan perintah tadi tetap dapat dihukum atas perbuatan yang telah dilakukannya, kecuali jika orang itu dengan itikad baik mengira bahwa perintah tersebut sah dan diberikan oleh kuasa yang berhak untuk itu. Jika demikian, menurut ayat (2) dari pasal ini, orang itu tidak dapat dihukum. Pendapat Ahli Mengenai Ambtelijk Bevel Menurut Lamintang, perkataan-perkataan yang telah dipergunakan oleh pembentuk undang-undang, khususnya untuk merumuskan ketentuan pidana dalam Pasal 51 ayat (2) KUHP itu dapat menimbulkan kesan seolah-olah ketentuan pidana seperti yang telah diatur dalam Pasal 51 KUHP tersebut hanyalah mengatur masalah pemberian perintah kepada seorang “ ondergeschikte ” atau kepada seorang bawahan saja. [1] Masih bersumber dari buku yang ditulis oleh Lamintang, Profesor Simons mengatakan: [2] Adalah tidak perlu bahwa perintah itu harus diberikan kepada seseorang bawahan saja, melainkan ia juga dapat diberikan kepada orang-orang lain, dan selama perintah seperti itu telah diberikan berdasarkan undang-undang, maka hal dapat dihukumnya perbuatan-perbuatan untuk melaksanakan perintah tersebut menjadi ditiadakan. Sementara itu, Profesor Van Hamel mengatakan: [3] Undang-Undang mensyaratkan bahwa perintah itu haruslah bersifat “ambtelijk” yang berarti harus diberikan berdasarkan suatu ambt atau suatu jabatan kepada orang-orang bawahan, yakni kepada pegawai-pegawai negeri dan kepada lain-lain orang. Dari rumusan Pasal 51 KUHP di atas dapat kita ketahui bahwa undang-undang telah mensyaratkan bahwa “perintah jabatan” itu haruslah diberikan oleh “ hel bevoegde gezag ” atau oleh “kekuasaan yang berwenang” untuk mengeluarkan perintah semacam itu. [4] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Referensi : Lamintang. 2013. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia . Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. R. Soesilo. 1986. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Bogor: Politeia. [1] Lamintang, hal. 525 [2] Lamintang, hal. 526 [3] Lamintang, hal. 526 [4] Lamintang, hal. 527 hukumonline google perintah hukum pidana kuhp istilah hukum pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah yang dimaksud dengan pengertian hukum secara yuridis, sosiologis, dan filosofis dalam peraturan perundang-undangan?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Menurut Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011, hierarki peraturan perundang-undangan adalah:\n\nUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;Peraturan Pemerintah;Peraturan Presiden;Peraturan Daerah Provinsi; danPeraturan Daerah Kabupaten/Kota\n\nSelain 7 jenis peraturan di atas, jenis peraturan perundang-undangan juga mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.[1]\nPeraturan perundang-undangan ini diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.[2]\n\nBaca juga: Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia\nLandasan Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis\n\nPembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik meliputi:[3]\n\nkejelasan tujuan;kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;dapat dilaksanakan;kedayagunaan dan kehasilgunaan;kejelasan rumusan; danketerbukaan\n\nAsas dapat dilaksanakan sebagaimana disebut di atas berarti setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.[4]\n\nLalu apa yang dimaksud dengan landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis dalam peraturan perundang-undangan? Berikut penjelasannya:[5]\n\nApa Itu Landasan Filosofis?\n\nLandasan filosofis adalah pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.\n\nApa Itu Landasan Sosiologis?\n\nLandasan sosiologis adalah pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek, serta menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.\n\nApa Itu Landasan Yuridis?\n\nLandasan yuridis adalah pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.\n\nUnsur yuridis adalah menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk peraturan perundang-undangan yang baru.\n\nBeberapa persoalan hukum itu, antara lain peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari undang-undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada.\n\nLandasan filosofis, sosiologis, dan yuridis tersebut, dalam pembentukan peraturan perundang-undangan digunakan dalam penyusunan naskah akademik.[6] Selain itu, landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis dimuat dalam pokok pikiran pada konsiderans Undang–Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.[7]\n\nAdapun unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis tersebut menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya yang penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis.[8]\n\nUnsur filosofis diartikan sebagai pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.\n\nAlasan sosiologis dibentuknya peraturan perundang-undangan adalah menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.\n\nKemudian unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.\n\nDemikian jawaban dari kami terkait arti landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nUndang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.\n\n[1] Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”)\n\n[2] Pasal 8 ayat (2) UU 12/2011\n\n[3] Pasal 5 UU 12/2011\n\n[4] Penjelasan Pasal 5 huruf d Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan\n\n[5] Bab IV Lampiran I UU 12/2011\n\n[6] Lihat Lampiran I UU 12/2011\n\n[7] Bab I butir B.3. Lampiran II UU 12/2011\n\n[8] Bab I butir B.3. Lampiran II UU 12/2011"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya sering mendengar istilah mengenai law as a tool of social engineering, tetapi saya kurang memahami maksudnya. Bisakah tim Hukumonline menjelaskan makna dan contoh dari konsep law as a tool of social engineering?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Secara sederhana, arti dari law as a tool of social engineering adalah hukum sebagai alat untuk memperbaharui atau merekayasa masyarakat. Istilah law as a tool of social engineering dicetuskan oleh Roscoe Pound yang berarti hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat di mana hukum diharapkan dapat berperan mengubah nilai-nilai sosial dalam masyarakat.[1] Law as a tool of social engineering juga dapat dimaknai sebagai hukum adalah sarana kontrol sosial.[2]\n\nKonsep law as a tool of social engineering ini lahir dari pemikiran Roscoe Pound tentang sociological jurisprudence sebagai reaksi dari ajaran formalisme klasik yang memandang ilmu hukum masuk dalam golongan ilmu eksakta, di mana hukum bekerja atas dasar temuan sebab-akibat. Para yuris melalui analisis kasus di perpustakaan, idealnya dapat dengan mudah menemukan hubungan antara suatu perbuatan hukum (sebab) dengan apa yang akan menjadi akibat hukumnya.[3]\nAtas ajaran formalisme klasik tersebut, Pound berpendapat bahwa ada hubungan fungsional antara hukum dan masyarakat melalui idenya tentang hukum itu adalah sarana kontrol sosial. Fungsi hukum law as a tool of social engineering, menurut Pound adalah hukum dapat menjaga stabilitas dan keseimbangan dalam masyarakat.[4]\nKonsep law as a tool of social engineering oleh Satjipto Rahardjo dirumuskan kembali dengan menggunakan pandangan Emile Durkheim tentang hubungan antara kualitas solidaritas masyarakat dengan sistem hukum yang dipakai. Durkheim membedakan antara masyarakat dengan solidaritas mekanik dan masyarakat dengan solidaritas organik.[5] Apa bedanya?\n\nMasyarakat dengan solidaritas mekanik mendasarkan pada sifat kebersamaan dari para anggotanya. Untuk mempertahankan kebersamaan dalam masyarakat solidaritas mekanik, maka berlaku sistem hukum represif.[6]\n\nBerbeda halnya dengan masyarakat dengan solidaritas mekanik, masyarakat dengan solidaritas organik adalah masyarakat yang mendasarkan pada individualitas dan kebebasan dari para anggotanya. Untuk mempertahankan kelangsungan masyarakat solidaritas organik maka menggunakan sistem hukum restitutif yang memberikan kebebasan bagi masing-masing individu untuk berhubungan satu sama lain menurut pilihannya sendiri. Sedangkan hukumnya hanya mengusahakan supaya tercapai keseimbangan di antara kepentingan-kepentingan para pihak yang mengadakan hubungan tersebut.[7]\n\nMenurut Satjipto, teori Durkheim tersebut memberikan dasar bagi kemungkinan penggunaan suatu sistem hukum untuk mencapai atau mempertahankan masyarakat yang diinginkan. Satjipto lantas memberikan pengertian law as a tool of social engineering sebagai penggunaan hukum secara sadar untuk mengubah masyarakat.[8]\n\nDalam pandangan Satjipto, hukum bisa dipakai sebagai instrumen yang dipakai secara sadar untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Yang jelas, prosesnya akan berlangsung cukup panjang dan efek yang ditimbulkan bisa merupakan efek yang sifatnya berantai. Pada keadaan demikian, hukum bisa digolongkan ke dalam faktor penggerak mula, yaitu memberikan dorongan pertama secara sistematik.[9]\n\nBaca juga: Aliran dan Mazhab dalam Sosiologi Hukum\nContoh Law as a Tool of Social Engineering\n\nPutusan Supreme Court Amerika Serikat tahun 1954 yang menyatakan bahwa pemisahan rasial pada sekolah-sekolah pemerintah adalah tidak konstitusional. Putusan ini bisa dimasukkan dalam golongan social engineering karena bertujuan untuk menciptakan perubahan di dalam masyarakat, yaitu untuk mengubah moralitas masyarakat Amerika Serikat yang tidak menyukai adanya orang-orang kulit putih dan kulit hitam dalam satu sekolah.[10]\n\nMemang dalam waktu singkat, keputusan tersebut tidak dapat langsung menghapus sama sekali prasangka kulit putih terhadap kulit hitam. Atas putusan tersebut, perlakuan hukum selanjutnya bagi orang-orang berkulit hitam menjadi efektifitas, karena mendorong penerapan hak-hak individual yang meluas, seperti hak untuk mendapat pendidikan dan pekerjaan.[11]\n\nContoh di atas merupakan penerapan dari apa yang dimaksud Satjipto, hukum sebagai penggerak mula yang dapat memberikan efek berantai. Contoh tersebut juga merupakan bukti bahwa hukum dapat berfungsi untuk menjaga stabilitas dan keseimbangan dalam masyarakat sebagaimana dimaksud Pound.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nREFERENSI:\n1. Martha Ari Safira. Law is a Tool of Social Engineering dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Ditinjau dari Hukum Islam dan Perundang-undangan di Indonesia. Kodifikasia, Vol. 11 No. 1, 2017\n2. Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. Cetakan Keenam. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006\n3. Soetandyo Wignjosoebroto. Pergeseran Paradigma dalam Kajian-Kajian Sosial dan Hukum. Malang: Setara Press, 2013.\n\n[1] Martha Ari Safira. Law is a Tool of Social Engineering dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Ditinjau dari Hukum Islam dan Perundang-undangan di Indonesia. Kodifikasia, Vol. 11 No. 1, 2017, hal. 187[2] Soetandyo Wignjosoebroto. Pergeseran Paradigma dalam Kajian-Kajian Sosial dan Hukum. Malang: Setara Press, 2013, hal. 126[3] Soetandyo Wignjosoebroto. Pergeseran Paradigma dalam Kajian-Kajian Sosial dan Hukum. Malang: Setara Press, 2013, hal. 126[4] Soetandyo Wignjosoebroto. Pergeseran Paradigma dalam Kajian-Kajian Sosial dan Hukum. Malang: Setara Press, 2013, hal. 126 – 127[5] Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. Cetakan Keenam. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006, hal. 207[6] Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. Cetakan Keenam. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006, hal. 207[7] Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. Cetakan Keenam. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006, hal. 207[8] Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. Cetakan Keenam. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006, hal. 208[9] Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. Cetakan Keenam. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006, hal. 209[10] Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. Cetakan Keenam. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006, hal. 209 – 210[11] Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. Cetakan Keenam. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006, hal. 210"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya baru dengar ada istilah meaningful participation yang dituliskan dalam putusan MK dalam hal pembentukan peraturan perundang-undangan. Apa itu artinya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia 11 Apr 2024 Sumber Hukum Tata Negara di Indonesia 07 Nov 2023 Bisakah UU Dibentuk Tanpa Masuk Prolegnas? 11 Jul 2022 Aturan Pungutan Desa dalam Peraturan Desa 08 Jun 2022 Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Dalam Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 (hal. 393), MK mengartikan meaningful participation (partisipasi yang bermakna) sebagai: (1) hak masyarakat untuk didengarkan pendapatnya, (2) hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan (3) hak masyarakat untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Pemenuhan meaningful participation menjadi tolok ukur suatu produk hukum telah tersusun dengan sempurna secara formil sehingga secara materiil juga memenuhi rasa keadilan yang dikehen daki masyarakat. Konsep partisipasi yang bermakna awalnya berasal dari konsep yang dikembangakan oleh Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan dalam perkara doctors for life di tahun 2006. [1] Sepanjang penelusuran penulis, konsep ini kemudian sering diutarakan oleh para ahli dalam perkara-perkara uji formil di MK, salah satu ahli dan akademisi yang sering mengutarakan hal ini adalah Prof. Susi Dwi Harijanti. Konsep ini kemudian dipakai oleh MK dalam pertimbangan perkara yang mendapatkan sorotan publik yakni uji formil UU Cipta Kerja . Dampak dari konsep meaningful participation dalam pertimbangan hakim di Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 adalah sedikit banyak diakomodir dalam UU 13/2022 . Dalam UU tersebut terdapat beberapa perubahan salah satunya Pasal 96 yang mengatur mengenai partisipasi masyarakat/publik. Perubahan yang dimaksud cukup signifikan yaitu yang awalnya dalam Pasal 96 UU 12/2011 hanya memiliki 4 buah ayat, kemudian diubah dalam Pasal 96 UU 13/2022 menjadi 9 buah ayat. Garis besar perubahan P asal 96 adalah merinci nomenklatur pada 4 ayat asli dan penambahan mekanisme lanjutan dalam 5 ayat baru . Beberapa perubahan Pasal 96 UU 13/2022 yang dapat di identifikasi adalah : Penambahan nomenklatur setiap tahapan dalam ayat (1); Pengaturan baru mengenai partisipasi masyarakat secara daring dan/atau luring dalam ayat (2); Masyarakat yang berhak memberi masukan dipertegas sebagai yang terdampak langsung dan/atau mem punyai kepentingan dalam ayat (3); Menegaskan bahwa masyarakat berhak atas akses yang mudah terhadap naskah akademik dan/atau rancangan peraturan perundang-undangan dalam ayat (4); Kewajiban pembentuk peraturan perundang-undangan untuk menginformasikan pembentukan peraturan perundang-undangan kepada masyarakat sebagai ganti ketentuan ayat (2) huruf c mengenai sosialisasi; Pengurangan ketentuan mekanisme sosialisasi dan penambahan terbukanya mekanisme kegiatan konsultasi publik lainnya dalam ayat (6) ; Akomodasi hasil konsultasi publik sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan, penyusunan, dan pembahasan rancangan peraturan perundang-undangan dalam ayat (7) ; Pengaturan bahwa pembentuk peraturan dapat menjelaskan mengenai hasil pembahasan masukan masyarakat kepada masyarakat dalam ayat (8); Ketentuan delegasi peraturan pelaksana mengenai partisipasi masyarakat ke dalam Peraturan DPR, Peraturan DPD, dan Peraturan Presiden dalam ayat (9) . Meski demikian, t erdapat pro-kontra pengaturan baru mengenai partisipasi masyarakat dalam P asal 96 UU 13/2022 dalam kaitannya dengan meaningful participation . Wacana menjanjikan adalah penegasan hak masyarakat bahwa partisipasi masyarakat terbuka di setiap tahap penyusunan , baik secara daring dan/atau luring, dan berhak memiliki akses yang mudah atas naskah akademik dan/atau rancangan peraturan perundang-undangan. Baca juga: Alasan Serikat Buruh ‘Gugat’ Pengesahan UU Pembentukan Peraturan Selain itu , bagi pembentuk peraturan perundang-undangan kini wajib menginformasikan penyusunan dan dibukanya ruang untuk menjelaskan kepada masyarakat . Mengingat kembali Putusan MK No. 9 1/PUU-XVIII/2020 bahwa pemenuhan meaningful participation harus sekurang-kurang dipenuhi dalam tahap pengajuan RUU, pembahasan serta persetujuan bersama antara DPR dan presiden. [2] Pen egasan partisipasi masyarakat terbuka dalam setiap tahap penyusunan menunju k kan pengakuan terhadap eksistensi meaningful participation . Di sisi lain, penulis berpandangan bahwa nomenklatur yang baru s ecara tafsir gramatikal memberi dua pilihan kondisi yang memungkinkan partisipasi masyarakat yaitu yang terdampak langsung dan/atau mem punyai kepentingan . N omenklatur “terdampak langsung” tidak menjelaskan konteks dampak apa yang timbul. Dampak dapat saja diartikan menguntungkan maupun merugikan, sehingga nomenklatur ini membuka ruang salah penafsiran. Demi memberikan kepastian hukum, ketentuan “terdampak langsung” harus diperjelas konteksnya agar masyarakat yang dirugikan dilindungi haknya. [3] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja PUTUSAN Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 . REFERENSI:\n1. Indonesian Center for Legislative Drafting (ICLD), Upaya Terburu-buru Mengakomodir Bentuk Undang-Undang yang Diperkenalkan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam Sistem Perancangan Peraturan Perundang-undangan , Catatan Kritis ICLD atas RUU Perubahan Kedua atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, 2022\n2. Susi Dwi Harijanti, Lailani Sungkar, dan Wicaksana Dramanda, Laporan Hasil Penelitian Pengujian Formil Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi: Urgensi dan Batu Uji , Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2020. [1] Susi Dwi Harijanti, Lailani Sungkar, dan Wicaksana Dramanda, Laporan Hasil Penelitian Pengujian Formil Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi: Urgensi dan Batu Uji , Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, 2020, hal. 77 [2] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 , hal. 393 [3] Indonesian Center for Legislative Drafting (ICLD), Upaya Terburu-buru Mengakomodir Bentuk Undang-Undang yang Diperkenalkan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam Sistem Perancangan Peraturan Perundang-undangan . Catatan Kritis ICLD atas RUU Perubahan Kedua atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, 2022, hal. 12-13 dpr hierarki peraturan ilmu hukum peraturan perundang-undangan presiden"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya mau tanya: 1. Apakah pengertian mutatis mutandis? 2. Apa maksud mutatis mutandis dalam Pasal 54 ayat (3) dan Pasal 89 ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007? 3. Apa maksud mutatis mutandis dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Pengertian Mutatis Mutandis yang dibuat oleh Shanti Rachmadsyah, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Senin, 10 Mei 2010. Arti Mutatis Mutandis Menurut Black's Law Dictionary Ninth Edition , mutatis mutandis berarti: All necessary changes having been made; with the necessary changes <what was said regarding the first contract applies mutatis mutandis to all the later ones> . Sedangkan menurut buku Terminologi Hukum karangan I.P.M. Ranuhandoko , mutatis mutandis berarti dengan perubahan yang perlu-perlu. Kemudian kami juga menemukan pengertian mutatis mutandis berdasarkan Pasal 1 angka 11 Peraturan Kepala Arsip Nasional Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pembentukan Produk Hukum di Lingkungan Arsip Nasional Republik Indonesia , yang berbunyi: Mutatis Mutandis adalah asas yang menyatakan bahwa pada dasarnya sesuai dengan prosedur yang terdapat dalam ketentuan Peraturan Kepala ini tetapi memiliki kewenangan melakukan perubahan prosedur pada hal-hal yang diperlukan atau penting sesuai dengan kondisi yang mendesak . Sehingga dari uraian di atas, maka mutatis mutandis dapat diartikan dengan perubahan-perubahan yang diperlukan atau penting . Penggunaan Mutatis Mutandis Menyambung pertanyaan Anda, bunyi Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) sebagai berikut: Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (4) dan ayat (5) mutatis mutandis berlaku bagi pemegang pecahan nilai nominal saham . Adapun bunyi Pasal 52 ayat (4) dan (5) UUPT adalah: Setiap saham memberikan kepada pemiliknya hak yang tidak dapat dibagi. Dalam hal 1 (satu) saham dimiliki oleh lebih dari 1 (satu) orang, hak yang timbul dari saham tersebut digunakan dengan cara menunjuk 1 (satu) orang sebagai wakil bersama. Merujuk pada pengertian mutatis mutandis di atas, maksud dari Pasal 54 ayat (3) UUPT adalah ketentuan mengenai hak pemilik saham bahwa sahamnya itu tidak dapat dibagi dan hak yang timbul dari saham dalam hal satu saham dimiliki lebih dari satu orang, dengan perubahan-perubahan yang diperlukan, berlaku juga bagi pemegang pecahan nilai nominal saham . Selanjutnya yang kedua, Anda menyebut Pasal 89 ayat (4) UUPT yang berbunyi: Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), dan ayat (9) mutatis mutandis berlaku bagi RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) . Hal ini berarti, ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal yang disebutkan tersebut (antara lain mengenai kuorum RUPS kedua yang tidak tercapai dan pemanggilan RUPS ketiga), dengan perubahan-perubahan yang diperlukan , berlaku juga untuk RUPS untuk menyetujui penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan, pengajuan permohonan agar perseroan dinyatakan pailit, perpanjangan jangka waktu berdirinya, dan pembubaran perseroan . Kemudian yang ketiga, Anda menyebutkan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (“UU Paten”) : Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 28 berlaku secara mutatis mutandis terhadap Permohonan yang menggunakan Hak Prioritas . Maksudnya, ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 28 UU Paten tersebut (antara lain mengenai syarat dan tata cara permohonan paten), dengan perubahan-perubahan yang diperlukan, berlaku juga untuk permohonan paten yang menggunakan hak prioritas . Tidak hanya itu, kami juga mencontohkan penggunaan mutatis mutandis dalam Pasal 63 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang berbunyi: Ketentuan mengenai penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 62 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota . Artinya, terhadap pasal-pasal tentang penyusunan Peraturan Daerah Provinsi, dengan perubahan-perubahan yang diperlukan, berlaku juga bagi penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota . Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata–mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten Peraturan Kepala Arsip Nasional Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pembentukan Produk Hukum di Lingkungan Arsip Nasional Republik Indonesia Referensi : Black's Law Dictionary Ninth Edition ; I.P.M. Ranuhandoko. Terminologi Hukum . Jakarta: Sinar Grafika, 2006. ilmu hukum peraturan hukumonline google asas pasal peraturan perundang-undangan tata negara klinik klinik hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Ada istilah noodweer yaitu upaya pembelaan, kemudian juga ada yang disebut dengan noodweer exces, apa itu noodweer exces?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Noodweer Exces itu merupakan pembelaan darurat yang melampaui batas sebagai mana diatur dalam Pasal 49 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Noodweer Exces dan noodweer sebenarnya sama-sama merupakan pembelaan terpaksa, namun yang membedakannya adalah pada noodweer exces, pembelaan terpaksa dilakukan dengan melampaui batas dimana pembuat melampaui batas karena keguncangan jiwa yang hebat. Apa contohnya? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Noodweer Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Daya Paksa dan Pembelaan Terpaksa Sebagai Alasan Penghapus Pidana , noodweer atau pembelaan terpaksa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu noodweer (pembelaan terpaksa) dan noodweer-exces (pembelaan darurat yang melampaui batas) terdapat dalam Pasal 49 KUHP yang berbunyi: Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta Benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana. Syarat-syarat pembelaan darurat menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentar lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 64-65), yaitu: Perbuatan yang dilakukan itu harus terpaksa dilakukan untuk mempertahankan (membela). Pertahanan itu harus amat perlu, boleh dikatakan tidak ada jalan lain. Di sini harus ada keseimbangan yang tertentu antara pembelaan yang dilakukan dengan serangannya. Untuk membela kepentingan yang tidak berarti misalnya, orang tidak boleh membunuh atau melukai orang lain. Pembelaan atau pertahanan itu harus dilakukan hanya terhadap kepentingan-kepentingan yang disebut dalam pasal itu yaitu badan, kehormatan dan barang diri sendiri atau orang lain. Harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga . R. Soesilo (hal. 65) memberi contoh “pembelaan darurat” yang diatur dalam Pasal 49 yaitu seorang pencuri yang akan mengambil barang orang lain, atau pencuri yang ketahuan seketika mengambil barang orang lain kemudian menyerang orang yang punya barang itu dengan pisau belati dan sebagainya. Di sini orang itu boleh melawan untuk mempertahankan diri dan barangnya yang dicuri itu, sebab si pencuri telah menyerang dengan melawan hak. Selanjutnya, serangan itu harus sekonyong-konyong atau mengancam ketika itu juga. Tapi, jika si pencuri dan barangnya itu telah tertangkap, maka orang tidak boleh membela dengan memukuli pencuri itu, karena pada waktu itu sudah tidak ada serangan sama sekali dari pihak pencuri, baik terhadap barang maupun orangnya. Kemudian menurut Andi Hamzah , sebagaimana pernah dikutip dalam artikel Daya Paksa dan Pembelaan Terpaksa Sebagai Alasan Penghapus Pidana , unsur-unsur suatu pembelaan terpaksa ( noodweer ) adalah: Pembelaan itu bersifat terpaksa. Yang dibela ialah diri sendiri, orang lain, kehormatan kesusilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain. Ada serangan sekejap atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu. Serangan itu melawan hukum. Lebih lanjut, Andi Hamzah (hal. 158-159), menjelaskan bahwa pembelaan harus seimbang dengan serangan atau ancaman. Serangan tidak boleh melampaui batas keperluan dan keharusan. Asas ini disebut sebagai asas subsidiaritas ( subsidiariteit ). Harus seimbang antara kepentingan yang dibela dan cara yang dipakai di satu pihak dan kepentingan yang dikorbankan. Jadi, harus proporsional. Menurut Pompe , jika ancaman dengan pistol, dengan menembak tangannya sudah cukup maka jangan ditembak mati. Pembelaan terpaksa juga terbatas hanya pada tubuh, kehormatan kesusilaan, dan harta benda. Tubuh meliputi jiwa, melukai dan kebebasan bergerak badan. Kehormatan kesusilaan meliputi perasaan malu seksual. R. Sugandhi, S.H. , terkait Pasal 49 KUHP, mengatakan bahwa agar tindakan ini benar-benar dapat digolongkan sebagai “pembelaan darurat” dan tidak dapat dihukum, maka tindakan itu harus memenuhi tiga macam syarat sebagai berikut: Tindakan yang dilakukan itu harus benar-benar terpaksa untuk mempertahankan (membela) diri. Pertahanan atau pembelaan itu harus demikian perlu sehingga boleh dikatakan tidak ada jalan lain yang lebih baik; Pembelaan atau pertahanan yang harus dilakukan itu hanya terhadap kepentingan-kepentingan diri sendiri atau orang lain, peri kesopanan, dan harta benda kepunyaan sendiri atau kepunyaan orang lain; Harus ada serangan yang melawan hak dan ancaman yang mendadak (pada saat itu juga). Untuk dapat dikatakan “melawan hak”, penyerang yang melakukan serangan itu harus melawan hak orang lain atau tidak mempunyai hak untuk itu, misalnya seorang pencuri yang akan mengambil barang orang lain, atau pencuri yang ketahuan ketika mengambil barang orang lain kemudian menyerang pemilik barang itu dengan senjata tajam. Dalam keadaan seperti ini, kita boleh melawan untuk mempertahankan diri dan barang yang dicuri itu sebab si pencuri telah menyerang dengan melawan hak. Noodweer Exces Noodweer Exces itu adalah pembelaan darurat yang melampaui batas . Hal ini diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP . Menurut R. Soesilo (hal. 66), sama halnya dengan pembelaan darurat, Noodweer Exces harus ada serangan yang sekonyong-konyong dilakukan atau mengancam pada saat itu juga. Di sini batas-batas keperluan pembelaan itu dilampaui . Misalnya orang membela dengan menembakkan pistol, sedangkan sebenarnya pembelaan dengan memukul kayu sudah cukup. Pelampauan batas-batas ini oleh undang-undang diperkenankan, asal saja disebabkan karena perasaan tergoncang hebat yang timbul lantaran serangan itu. Perasaan tergoncang hebat misalnya jengkel atau marah sekali biasa dikatakan mata gelap. Misalnya seorang agen polisi yang melihat istrinya diperkosa oleh orang, lalu mencabut pistolnya yang dibawa dan ditembakkan beberapa kali pada orang itu, boleh dikatakan ia melampaui batas-batas pembelaan darurat, karena biasanya dengan tidak perlu menembak beberapa kali, orang itu telah menghentikan perbuatannya dan melarikan diri. Apabila dapat dinyatakan pada hakim, bahwa bolehnya melampaui batas-batas itu disebabkan karena marah yang amat sangat, maka agen polisi itu tidak dapat dihukum atas perbuatannya tersebut. [1] Hal senada juga disampaikan oleh Pompe yang dikutip oleh Lamintang dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (hal. 502), perbuatan melampaui batas itu dapat berkenaan dengan perbuatan melampaui batas keperluan dan dapat pula berkenaan dengan perbuatan melampaui batas dari pembelaannya itu sendiri. Batas-batas dari keperluan itu telah dilampaui yaitu baik apabila cara-cara yang telah dipergunakan untuk melakukan pembelaan itu telah dilakukan secara berlebihan, misalnya dengan membunuh si penyerang padahal dengan sebuah pukulan saja orang sudah dapat membuat penyerang tersebut menjadi tidak berdaya, maupun apabila orang sebenarnya tidak perlu melakukan suatu pembelaan, misalnya karena ia dapat menyelamatkan diri dengan cara melarikan diri. Batas-batas dari sutu pembelaan itu telah dilampaui yaitu apabila setelah pembelaan yang sebenarnya itu telah selesai, orang masih tetap menyerang si penyerang, walaupun serangan dari si penyerang itu sendiri sebenarnya telah berakhir. Perbuatan memukul penyerang, walaupun perbuatan tersebut tidak dapat lagi disebut sebagai suatu pembelaan, sesuai dengan ketentuan pidana, tidak membuat pelakunya menjadi dapat dihukum. [2] Persamaan dan Perbedaan Antara Noodweer dan Noodweer Exces Masih bersumber dari artikel Daya Paksa dan Pembelaan Terpaksa Sebagai Alasan Penghapus Pidana , terkait pembelaan terpaksa yang melampaui batas ( noodweer exces ), menurut Andi Hamzah (hal. 159-160), ada persamaan antara pembelaan terpaksa ( noodweer ) dengan pembelaan terpaksa yang melampaui batas ( noodweer exces ), yaitu keduanya mensyaratkan adanya serangan yang melawan hukum, yang dibela juga sama, yaitu tubuh, kehormatan kesusilaan, dan harta benda, baik diri sendiri maupun orang lain. Perbedaannya ialah: Pada pembelaan terpaksa yang melampau batas ( noodweer exces ), pembuat melampaui batas karena keguncangan jiwa yang hebat. Oleh karena itu, perbuatan membela diri melampaui batas itu tetap melawan hukum, hanya orangnya tidak dipidana karena guncangan jiwa yang hebat. Lebih lanjut maka pembelaan terpaksa yang melampaui batas menjadi dasar pemaaf . Pembelaan terpaksa ( noodweer ) merupakan dasar pembenar , karena melawan hukumnya tidak ada. Jadi menjawab pertanyaan Anda, Noodweer Exces itu merupakan pembelaan darurat yang melampaui batas sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP. Noodweer Exces dengan noodweer sebenarnya sama-sama pembelaan terpaksa, namun yang membedakannya adalah pada noodweer exces, pembelaan terpaksa dilakukan dengan melampaui batas dimana pembuat melampaui batas karena keguncangan jiwa yang hebat. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Referensi : Andi Hamzah. 1994. Asas-Asas Hukum Pidana. PT Rineka Cipta: Jakarta. Lamintang. 2013. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. R. Sugandhi. 1980. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya. Usaha Nasional: Surabaya. R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor. [1] R. Soesilo, hal. 66 [2] Lamintang, hal. 502 acara peradilan hukumonline google hukum pidana pasal kuhp kesusilaan klinik hukum klinik hukumonline pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin bertanya, apakah yang dimaksud dengan “hal yang secara umum diketahui tidak perlu dibuktikan” dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari : Hal yang secara umum diketahui tidak perlu dibuktikan yang diatur pada Pasal 184 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana lazimnya disebut dengan istilah notoire feiten notorious ( generally known ). Sebagai contoh, takaran minuman keras tertentu dapat memabukkan. Jika terjadi suatu persitiwa di mana seseorang meniminum minuman keras dalam takaran tertentu, maka peminum akan mabuk. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Alat Bukti dalam Hukum Acara Pidana Mengenai alat bukti dalam Hukum Acara Pidana, diatur di Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) , bunyinya: Alat bukti yang sah ialah: keterangan saksi [1] ; keterangan ahli; surat; petunjuk; keterangan terdakwa. Sebagaimana pernah dijelaskan dalam arikel Apa Perbedaan Alat Bukti dengan Barang Bukti? , Martiman Prodjohamidjojo dalam bukunya Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti (hal. 19) berpendapat bahwa dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk , hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian. Hal ini berarti bahwa di luar dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah. Arti Notoire Feiten Berkaitan dengan pertanyaan Anda, Pasal 184 ayat (2) KUHAP disebutkan: Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Penjelasan Pasal 184 ayat (2) KUHAP tidak menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan “hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan”. Namun terkait dengan maksud Pasal 184 ayat (2) KUHAP tersebut, Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (hal. 276), menjelaskan bahwa lazimnya bunyi rumusan Pasal 184 ayat (2) ini selalu disebut dengan istilah notoire feiten notorious ( generally known ) yang berarti setiap hal yang “sudah umum diketahui” tidak lagi perlu dibuktikan dalam pemeriksaan sidang pengadilan. Lebih lanjut dijelaskan oleh Yahya (hal. 276), mengenai pengertian “hal yang secara umum sudah diketahui” ditinjau dari segi hukum, tiada lain daripada “perihal” atau “keadaan” atau omstandigheiden atau circumstance , yakni hal ikhwal atau peristiwa yang diketahui umum bahwa hal tersebut memang sudah demikian hal yang sebenaranya. Atau “sudah semestinya demikian”. Atau bisa juga berarti berupa perihal kenyataan dan pengalaman yang akan selamanya dan selalu akan mengakibatkan “resultan” atau kesimpulan yang demikian, yaitu kesimpulan yang didasarkan pengalaman umum ataupun berdasar pengalaman hakim sendiri bahwa setiap peristiwa dan keadaan yang seperti itu “senantiasa” menimbulkan akibat yang pasti demikian. Contoh “Hal yang Secara Umum Sudah Diketahui Tidak Perlu Dibuktikan” Yahya (hal.276) juga menambahkan, banyak contoh sederhana dalam masalah ini. Umpamanya, api panas, adalah suatu kedaan yang secara umum diketahui oleh setiap orang, dan lazimnya, umum sudah mengetahui, takaran minuman keras tertentu dapat memabukkan. Jika terjadi suatu persitiwa di mana seseorang meniminum minuman keras dalam takaran tertentu, resultannya peminum akan mabuk. Dalam hal-hal seperti ini persidangan pengadilan tidak perlu lagi membuktikan, karena keadaan itu dianggap merupakan hal yang secara umum sudah diketahui. Selanjutnya Yahya menjelaskan bahwa dalam penerapan notoire feiten harus memperhatikan hal berikut: majelis hakim dapat menarik dan mengambilnya sebagai suatu “kenyataan” yang dapat dijadikan sebagai “fakta” tanpa membuktikan lagi; akan tetapi kenyataan yang diambil hakim dari notoire feiten, “tidak bisa berdiri sendiri” membuktikan kesalahan terdakwa. Tanpa dikuatkan oleh alat bukti yang lain, kenyataan yang ditarik dan diambil hakim dari notoire feiten “tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Bukankah pada hakikatnya notoire feiten tidak tergolong alat-alat bukti yang diakui oleh Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Hal ini yang secara umum sudah diketahui hanyalah merupakan penilaian terhadap sesuatu pengalaman dan kenyataan “tertentu saja”. Bukan sesuatu yang dapat membuktikan kesalahan terdakwa secara menyeluruh. Jadi secara sederhana, hal yang secara umum diketahui ( notoire feiten ) tidak perlu dibuktikan dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP hanya digunakan sebagai penilaian terhadap hal yang secara umum saja dan tidak dapat dijadikan sebagai bukti untuk membuktikan kesalahan terdakwa karena notoire feiten tidak tergolong sebagai alat bukti. Yang terpenting seorang hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. [2] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana . Putusan : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana . Referensi : Yahya Harahap. 2010. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali . Jakarta: Sinar Grafika. [1] Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana makna saksi telah diperluas menjadi sebagai berikut: Pasal 1 angka 26 KUHAP dan 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3), (4), Pasal 184 ayat (1a) KUHAP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”. [2] Pasal 183 KUHAP acara peradilan hukumonline pengadilan hukum acara pidana bukti terdakwa advokat alat bukti tersangka hakim klinik hukumonline pengacara barang bukti pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa yang dimaksud dengan oogmerk dalam tindak pidana?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Secara sederhana oogmerk dapat diartikan sebagai maksud atau kehendak dalam melakukan suatu tindak pidana. Penjelasan lebih lanjut dan contohnya dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Definisi Oogmerk Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Dituduh Menggelapkan Karena Selisih Laporan Keuangan , menurut E.Y. Kanter, S.H . dan S.R. Sianturi, S.H . dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya (hal. 166-167), tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja lebih berat hukumannya daripada yang dilakukan dengan kealpaan. Masih bersumber dari artikel yang sama, syarat suatu tindak pidana dilakukan dengan sengaja adalah prinsip “ willens en wetens veroorzaken van een gevolg ” yaitu menghendaki dan mengetahui terjadinya suatu tindakan beserta akibatnya. Berarti harus ada kehendak ( oogmerk ) dan pengetahuan bahwa tindakan yang dilakukan akan berakibat hukum tertentu. Istilah oogmerk menurut Lamintang dalam Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (hal. 289), diartikan sebagai maksud . Lamintang dalam bukunya juga mengutip pendapat Profesor Mr. D. Simons bahwa motief, oogmerk dan opzet dalam arti sempit itu merupakan tiga stadia, melalui stadium-stadium atau tingkatan-tingkatan tersebut de will atau kehendak manusia itu tumbuh secara berurutan menjadi tindakan yang nyata. [1] Jadi oogmerk itu merupakan salah satu stadium melalui tingkatan-tingkatan dari kehendak manusia yang tumbuh secara berurutan menjadi suatu tindakan nyata. Lebih lanjut Profesor Mr. D. Simons menjelaskan bahwa opzet itu merupakan suatu tahap terakhir dari pertumbuhan kehendak manusia hingga menjadi tindakan yang nyata. Tindakan manusia yang kita lihat sehari-hari itu bersumber pada suatu motief yang kemudian berkembang menjadi suatu oogmerk dan pada akhirnya telah mendorong manusia untuk mempunyai suatu opzet . [2] Masih bersumber dari buku yang ditulis oleh Lamintang (hal. 287-288), pembentuk undang-undang tidak menjelaskan arti yang sebenarnya dari istilah oogmerk , meskipun perkataan ini banyak dipergunakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Dalam Memorie van Toelichting (M.v.T), oogmerk ini telah dirumuskan sebagai “ het naaste doel” . Naaste doel tersebut jika diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa Indonesia berarti tujuan samping . Penggunaan kata tujuan samping tersebut sudah jelas tidak tepat sama sekali karena dari rumusan beberapa tindak pidana di dalam KUHP, kata oogmerk itu justru memiliki arti sebagai tujuan pokok . [3] Arti Oogmerk jika Dilihat dari Contoh Tindak Pidana Berikut pengertian oogmerk dapat kita lihat dalam contoh tindak pidana: [4] Pasal 362 KUHP , yang berbunyi: Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 900 ribu. [5] Pasal 263 ayat (1) KUHP : Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun. Menurut Lamintang, dari dua contoh di atas dapat dilihat bahwa: [6] Opzetnya untuk mengambil suatu benda yang sebagian atau seluruhnya adalah milik orang lain dengan oogmerk atau maksud menguasai benda tersebut secara melawan hak (Pasal 362 KUHP); Opzetnya untuk membuat palsu atau memalsukan surat adalah dengan oogmerk atau maksud mempergunakannya atau menyuruh orang lain mempergunakannya seolah-olah surat tersebut tidak palsu atau dipalsukan (Pasal 263 ayat (1) KUHP). Jadi menjawab pertanyaan Anda , secara sederhana oogmerk dapat diartikan sebagai maksud atau kehendak dalam melakukan suatu tindak pidana . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP Referensi : E.Y. Kanter & S.R Sianturi. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya . Jakarta: Storia Grafika, 2002; Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia . Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997. [1] Lamintang, hal. 287 [2] Lamintang, hal. 287 [3] Lamintang, hal. 287- 288 [4] Lamintang, hal. 288 [5] Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP [6] Lamintang, hal. 289 hukumonline google hukum tindak pidana percobaan pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Belakangan ini media sosial dihebohkan dengan isu hak angket pemilu bisa berujung pemakzulan presiden. Lantas, apa itu pemakzulan presiden? Apakah benar arti pemakzulan presiden adalah memberhentikan presiden dari jabatannya? Jika benar, apakah pemberhentian itu sama dengan impeachment? Siapa yang berhak memberhentikan presiden? Terakhir, apa mekanisme pemberhentian presiden?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebelum kami menjawab pertanyaan Anda, patut Anda catat, istilah impeachment dan pemberhentian presiden/wakil presiden merupakan hal yang berbeda namun saling terkait.\n\nAchmad Roestandi dalam buku Mahkamah Konstitusi dalam Tanya Jawab (hal. 168) menjelaskan impeachment berasal dari kata impeach yang dalam bahasa Inggris sinonim dengan kata accuse atau charge berarti menuduh atau mendakwa.\n\nLebih lanjut dijelaskan impeachment hanya merupakan sarana yang memberikan kemungkinan dilakukannya pemberhentian seorang presiden atau pejabat tinggi negara dari jabatannya sebelum masa jabatannya berakhir. Dikatakan kemungkinan, karena proses impeachment tidak selalu harus berakhir dengan pemberhentian presiden atau pejabat tinggi negara tersebut.\n\nMasih bersumber dari buku yang sama, Achmad Roestandi (hal. 177) lebih lanjut menjelaskan berdasarkan Pasal 7A, 7B, dan 24C ayat (2) UUD 1945, pejabat yang dapat di-impeach adalah:"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya pernah dengar soal argumentum a contrario. Pertanyaannya, apakah kita bisa menafsirkan undang-undang dengan arti berlawanan, seperti contoh perempuan tidak boleh menikah lagi sebelum masa iddah selesai, berarti ketentuan ini tidak untuk laki-laki. Mohon penjelasannya, kalau bisa seperti apakah cara menafsirkan yang benar?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Penemuan hukum atau rechtsvinding harus dilakukan hakim ketika undang-undang tidak lengkap atau tidak jelas dalam memutus suatu perkara. Terkait hal tersebut, Ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman menerangkan bahwa seorang hakim dilarang menolak perkara. Lalu, hasil temuan (hukum) tersebut akan menjadi hukum apabila diikuti oleh hakim berikutnya atau dengan kata lain menjadi yurisprudensi.\nKemudian, Agustinus dan Patra dalam Panduan Bantuan Hukum di Indonesia Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum (hal. 7) menerangkan bahwa penemuan hukum ini dapat dilakukan dengan cara menggali nilai-nilai hukum yang berkembang dalam masyarakat.\n\nBaca juga: Arti Asas Ius Curia Novit\nCara Penemuan Hukum\nCara penemuan hukum menurut Sudikno Mertokusumo dalam buku Penemuan Hukum dapat dilakukan dengan dua metode, yakni:\n\nInterpretasi atau penafsiran: merupakan metode penemuan hukum yang dilakukan ketika peraturan perundang-undangan tidak jelas dan tidak lengkap. Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna undang-undang dengan menjelaskan, menafsirkan, atau melengkapi peraturan perundang-undangannya (hal. 73).\nInterpretasi atau penafsiran ini dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu secara (hal. 74-82):\n\nGramatikal, yaitu penafsiran menurut bahasa sehari-hari.Historis, yaitu penafsiran berdasarkan sejarah hukum.Sistematis atau logis, yaitu menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan.Teleologis atau sosiologis, yaitu penafsiran menurut makna/tujuan kemasyarakatan.Komparatif, yaitu penafsiran dengan cara membandingkan dengan kaedah hukum di tempat lain.Futuristis atau antisipatif, yaitu penafsiran antisipatif yang berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum.Restriktif, yaitu mempersempit arti suatu peraturan dengan bertitik tolak pada artinya menurut bahasa.Ekstensif, yaitu menafsirkan dengan cara melampaui batas oleh penafsiran gramatikal.\nPenalaran: metode penemuan hukum yang dapat digunakan apabila dalam mengadili perkara tidak ada peraturan yang mengatur secara khusus mengenai peristiwa yang terjadi (hal. 84).\n\nKonstruksi hukum ini dapat dilakukan dengan menggunakan logika berpikir secara (hal. 86 – 92):\n\nArgumentum per analogiam atau sering disebut analogi. Pada analogi, peristiwa yang berbeda namun serupa, sejenis atau mirip yang diatur dalam undang-undang diperlakukan sama.Rechtverfijning atau penyempitan hukum. Pada penyempitan hukum, peraturan yang sifatnya umum diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang khusus dengan penjelasan atau konstruksi dengan memberi ciri-ciri.Argumentum a contrario atau sering disebut a contrario, yaitu menafsirkan atau menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang.\n\nBaca juga: Penemuan Hukum dan Konstruksi Hukum\nPengertian Penafsiran Pengungkapan Secara Berlawanan\nSehubungan dengan pertanyaan yang diajukan, menafsirkan undang-undang secara berlawanan disebut juga dengan argumentum a contrario. Terkait ini, R. Soeroso dalam Pengantar Ilmu Hukum (hal. 115) menjelaskan bahwa penafsiran a contrario adalah penafsiran undang-undang yang didasarkan atas pengingkaran artinya berlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dengan soal yang diatur dalam suatu pasal dalam undang-undang.\n\nR. Soeroso kemudian menerangkan bahwa berdasarkan pengingkaran ini ditarik kesimpulan bahwa masalah perkara yang dihadapi tidak termasuk pasal yang dimaksud, masalahnya berada di luar peraturan perundang-undangan.\n\nSementara, Sudikno Mertokusumo menerangkan bahwa pada a contrario menitikberatkan pada ketidaksamaan peristiwa. Adakalanya, suatu peristiwa tidak secara khusus diatur oleh undang-undang, tapi kebalikan dari peristiwa itu diatur dalam undang-undang. Di sini peraturan yang disediakan untuk peristiwa yang dicari hukumnya tidak ada, namun yang ada adalah peraturan yang khusus disediakan untuk peristiwa lain yang tidak sama, tapi ada unsur kemiripan dengan peristiwa yang akan dicari hukumnya.[1]\nKemudian, pada hakikatnya penafsiran a contrario sama dengan penafsiran analogis hanya hasilnya berlawanan. Analogi membawa hasil positif sedangkan penafsiran a contrario hasilnya negatif. Adapun penafsiran berdasarkan argumentum a contrario mempersempit perumusan hukum atau perundang-undangan. Tujuannya adalah untuk lebih mempertegas adanya kepastian hukum sehingga tidak menimbulkan keraguan.\n\nPerbedaaan penggunaan undang-undang secara analogi dan berdasarkan argumentum a contrario adalah:[2]\n\nMenggunakan undang-undang secara analogi memperoleh hasil yang positif; sedangkan argumentum a contrario memperoleh hasil negatif.Menggunakan undang-undang secara analogi adalah memperluas berlakunya ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan; sedangkan secara a contrario mempersempit berlakunya ketentuan undang-undang.\n\nPersamaannya penggunaan undang-undang secara analogi dan berdasarkan argumentum a contrario adalah:[3]\n\nPenggunaan undang-undang secara analogi dan argumentum a contrario sama–sama berdasarkan konstruksi hukum.Kedua cara tersebut dapat dipergunakan untuk menyelesaikan suatu masalah.Kedua cara tersebut diterapkan sewaktu pasal dalam peraturan perundang-undangan tidak menyebut masalah yang dihadapi.Maksud dan tujuan antara kedua cara tersebut adalah sama-sama untuk mengisi kekosongan di dalam Undang-Undang.\nContoh Penafsiran Argumentum A Contrario\n\nContoh penafsiran a contrario dapat kita temukan pada Pasal 34 KUH Perdata yang menyatakan bahwa seorang wanita tidak diperbolehkan kawin lagi sebelum lewat waktu 300 hari sejak saat perceraian.\nKemudian, dalam Pasal 39 ayat (1) PP 9/1975 disebutkan bahwa waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) UU Perkawinan adalah sebagai berikut.\n\nApabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari.Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 hari.Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.\n\nLalu, apakah seorang laki-laki juga harus menunggu waktu 300 hari? Jawabannya adalah tidak. Karena pasal tersebut diberlakukan bagi duda secara a contrario sehingga kalau duda akan menikah lagi tidak perlu menunggu.\nDengan kata lain, berdasarkan argumentum a contrario (berlawanan), dapat dikatakan bahwa ketentuan ini tidak berlaku bagi seorang laki-laki karena soal yang dihadapi tidak diliputi oleh pasal tersebut. Pasal 34 KUH Perdata, tidak menyebutkan apa-apa tentang seorang laki-laki tetapi khusus ditujukan pada perempuan.[4]\n\nContoh lain, apa yang dimaksud dengan sebab yang halal yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan secara tegas. Namun, Pasal 1337 KUH Perdata mengatur tentang sebab yang terlarang yaitu yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Sehingga, secara a contrario dapat diketahui bahwa sebab yang halal adalah sebab yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.[5]\n\nMenjawab pertanyaan Anda, penafsiran berlawanan itu diperbolehkan dalam rangka penemuan hukum. Penafsiran berlawanan itu disebut juga dengan argumentum a contrario yaitu menafsirkan atau menjelaskan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang.\n\nDemikian jawaban dari kami terkait penafsiran argumentum a contrario, semoga bermanfaat.\n\nDasar Hukum:Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.Referensi:Agustinus Edy Kristianto dan A. Patra M. Zen. Panduan Bantuan Hukum di Indonesia: Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum. Jakarta: YLBHI, 2008;Soeroso. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika,2011;Sudikno Mertokusumo. Penemuan Hukum. Ke-5. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2014.[1] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Cet. Ke-5, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2014, hal. 89 – 90[2] R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hal. 115[3] R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hal. 116[4] R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hal. 116[5] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Cet. Ke-5, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2014, hal. 90 – 91"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah yang sebenarnya disebut dengan peristiwa hukum? Apakah semua peristiwa yang terjadi dinamakan dengan peristiwa hukum? Kemudian apakah semua hubungan itu adalah hubungan hukum?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Satjipto Rahardjo dalam Ilmu Hukum (hal. 35) menerangkan bahwa peristiwa hukum adalah suatu kejadian dalam masyarakat yang menggerakkan suatu peraturan hukum tertentu, sehingga ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalamnya lalu diwujudkan.\nLebih lanjut, Satjipto Rahardjo (hal. 35) pun menerangkan bahwa tidak setiap peristiwa bisa menggerakkan hukum. Apabila A mengambil sepeda motor miliknya sendiri, maka timbullah suatu peristiwa. Peristiwa ini tidak menggerakkan hukum untuk bekerja, lain halnya apabila yang diambil oleh A adalah sepeda motor orang lain. Di sini hukum digerakkan untuk bekerja, oleh karena hukum memberikan perlindungan terhadap orang lain yang mempunyai sepeda motor tersebut. Oleh karena itu, hanya peristiwa-peristiwa yang dicantumkan dalam hukum saja yang bisa menggerakkan hukum dan untuk itu ia disebut sebagai peristiwa hukum.[1]\n\nHal yang sama juga disampaikan oleh R. Soeroso dalam Pengantar Ilmu Hukum (hal. 251). Menurutnya, peristiwa hukum adalah:\n\nSuatu rechtsfeit/suatu kejadian hukum.Suatu kejadian biasa dalam kehidupan sehari-hari yang akibatnya diatur oleh hukum.Perbuatan dan tingkah laku subjek hukum yang membawa akibat hukum, karena hukum mempunyai kekuatan mengikat bagi subjek hukum atau karena subjek hukum itu terikat oleh kekuatan hukum.Peristiwa di dalam masyarakat yang akibatnya diatur oleh hukum. Tidak semua peristiwa mempunyai akibat hukum, jadi tidak semua peristiwa adalah peristiwa hukum.\n\nDengan demikian, secara sederhana dapat kita simpulkan bahwa peristiwa hukum itu adalah sebuah peristiwa yang dapat menggerakkan hukum/menimbulkan akibat hukum. Kemudian, tidak semua peristiwa dapat dikatakan sebagai peristiwa hukum.\nContoh Peristiwa Hukum\n\nDikutip dari artikel Banjir dan Gempa Bumi dari Kacamata Hukum, peristiwa hukum ini terdiri dari:\n\nKeadaan:\n\nAlamiah: siang/malam hariKejiwaan: normal/abnormalSosial: keadaan perang\n\nKejadian: keadaan darurat, kelahiran/kematian, kadaluwarsaSikap tindak dalam hukum:\n\nMenurut hukum: sepihak atau banyak pihakMelanggar hukum: exess du pouvoir/melampaui batas kekuasaan di bidang Hukum Tata Negara;detournement de pouvoir/menyalahgunakan kekuasaan di bidang Hukum Administrasi Negara;di bidang hukum perdata: perbuatan melanggar hukum (Pasal 1365 KUH Perdata);Strafbaar feit/peristiwa pidana yang sesungguhnya merupakan peristiwa atau penyelewengan di tiga bidang lainnya, tetapi diancam dengan straf/pidana; dansikap tindak lain: zaakwaarneming dalam KUH Perdata.\n\nKemudian, menurut Soeroso (hal. 252-253), macam-macam peristiwa hukum terdiri dari:\n\nPeristiwa menurut hukum dan peristiwa melanggar hukum, contohnya:Kelahiran, kematian, pendudukan tanah, pencemaran laut.Lingkungan hidup, jual-beli, sewa menyewa, pemberian kredit, pembukaan rekening pada bank, perjanjian negara, pembunuhan dan lain-lain.\nKejadian/peristiwa itu dapat terjadi karena:\n\nPerbuatan manusiaKeadaan\n\nSuatu peristiwa dapat menimbulkan akibat hukum, contoh:\n\nPasal 1239 KUH Perdata, yang berbunyi:\n\nTiap perikatan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu apabila tidak dipenuhi kewajiban itu oleh si berutang maka ia berkewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga.\n\nDari contoh tersebut di atas terlihat bahwa adanya peristiwa-peristiwa tidak memenuhi kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sama sekali, akibat hukumnya mengganti biaya, rugi dan bunga.\nPeristiwa hukum tunggal dan peristiwa hukum majemuk\n\nPeristiwa hukum tunggal terdiri dari satu peristiwa saja, contohnya hibah (pemberian).\n\nPeristiwa hukum majemuk, terdiri lebih dari satu peristiwa, contoh:\n\nDalam perjanjian jual-beli akan terjadi peristiwa tawar menawar, penyerahan barang, penerimaan barang.Sebelum perjanjian kredit akan terjadi perundingan, penyerahan uang dan di pihak lain penyerahan barang bergerak sebagai jaminan gadai. Dengan pengembalian uang, maka di pihak lain berarti pengembalian barang jaminan.\nPeristiwa hukum sepintas dan peristiwa terus menerus\n\nPeristiwa hukum sepintas, seperti pembatalan perjanjian tawar-menawar.Peristiwa hukum terus menerus, seperti perjanjian sewa-menyewa. Uang sewa-menyewa berjalan bertahun-tahun.\nPeristiwa hukum positif dan peristiwa hukum negatif\nHubungan Hukum\n\nMenurut Soeroso (hal. 269), hubungan hukum ialah hubungan antara dua atau lebih subjek hukum. Dalam hubungan hukum ini hak dan kewajiban pihak yang satu berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain.\n\nHukum sebagai himpunan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan sosial memberikan suatu hak kepada subjek hukum untuk berbuat sesuatu atau menuntut sesuatu yang diwajibkan oleh hak itu, dan terlaksananya kewenangan/hak dan kewajiban tersebut dijamin oleh hukum.[2]\n\nSetiap hubungan hukum mempunyai dua segi: Segi bevoegdheid (kekuasaan/kewenangan atau hak) dengan lawannya plicht atau kewajiban. Kewenangan yang diberikan oleh hukum kepada subjek hukum (orang atau badan hukum) dinamakan hak.[3]\n\nMengenai hubungan hukum ini, Logemann sebagaimana dikutip oleh Soeroso (hal. 270) berpendapat bahwa dalam tiap hubungan hukum terdapat pihak yang berwenang/berhak meminta prestasi yang disebut dengan prestatie subject dan pihak yang wajib melakukan prestasi disebut plicht subject.\n\nHubungan hukum memiliki 3 unsur yaitu:[4]\n\nAdanya orang-orang yang hak/kewajiban saling berhadapan:\n\nContoh:\n\nA menjual rumahnya kepada B.A wajib menyerahkan rumahnya kepada B.A berhak meminta pembayaran kepada B.B wajib membayar kepada A.B berhak meminta rumah A setelah dibayar.\n\nAdanya objek yang berlaku berdasarkan hak dan kewajiban tersebut di atas (dalam contoh di atas objeknya adalah rumah).Adanya hubungan antara pemilik hak dan pengemban kewajiban atau adanya hubungan atas objek yang bersangkutan.\n\nContoh:\n\nA dan B mengadakan hubungan sewa menyewa rumah.A dan B sebagai pemegang hak dan pengemban kewajiban.Rumah adalah objek yang bersangkutan.\n\nSyarat-syarat hubungan hukum adalah:[5]\n\nAdanya dasar hukum, ialah peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum itu, danTimbulnya peristiwa hukum.\n\nContoh:\n\nA dan B mengadakan perjanjian jual-beli rumah\n\nDasar hukumnya Pasal 1474 dan Pasal 1513 KUH Perdata yang masing-masing menetapkan bahwa si penjual mempunyai kewajiban menyerahkan barang (Pasal 1474 KUH Perdata) dan sebaliknya si pembeli berkewajiban membayar harga pembelian (Pasal 1513 KUH Perdata).Karena adanya perjanjian jual-beli, maka timbul peristiwa hukum (jual-beli), ialah suatu perbuatan hukum yang akibatnya diatur oleh hukum.\n\nMenjawab pertanyaan Anda, berdasarkan syarat tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak semua hubungan merupakan hubungan hukum karena suatu hubungan hukum harus ada dasar hukum yang mengaturnya dan diikuti dengan adanya peristiwa hukum.\n\nDemikian jawaban dari kami terkait peristiwa hukum dan hubungan hukum sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.\nDasar Hukum:\n\nKitab Undang-Undang Hukum Perdata.\nReferensi:\n\nR. Soeroso. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2011;Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991.\n\n[1] Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti , hal 35[2] R. Soeroso. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hal 270[3] R. Soeroso. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hal 269[4] R. Soeroso. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hal 271[5] R. Soeroso. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hal 271"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah yang dimaksud dengan jawaban tidak bebas terdakwa atau saksi atau terdakwa atau saksi harus menjawab dengan bebas sebagaimana dalam Pasal 153 ayat (2) KUHAP?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Yang dimaksud dengan saksi atau terdakwa harus menjawab dengan bebas adalah baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, tidak boleh dilakukan penekanan atau ancaman yang bisa menimbulkan hilangnya kebebasan mereka memberikan keterangan . Bahkan pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan baik terhadap terdakwa maupun terhadap saksi Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) . Pasal 153 ayat (2) KUHAP yang Anda sebutkan berbunyi sebagai berikut: Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh terdakwa dan saksi; Ia wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan jawaban secara tidak bebas . Menurut Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (hal.114), sesuai penegasan Pasal 153 ayat (2) huruf b, pemeriksaan terhadap terdakwa atau saksi “ dilakukan dengan bebas ”. Terhadap mereka tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan jawab secara tidak bebas. Baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, tidak boleh dilakukan penekanan atau ancaman yang bisa menimbulkan hilangnya kebebasan mereka memberikan keterangan . Bahkan pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan baik terhadap terdakwa maupun terhadap saksi, sebagaimana hal itu ditegaskan dalam Pasal 166 KUHAP. Pasal 166 KUHAP berbunyi sebagai berikut: Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan baik kepada terdakwa maupun kepada saksi. Dalam Penjelasan Pasal 166 KUHAP dijabarkan bahwa: Jika dalam salah satu pertanyaan disebutkan suatu tindak pidana yang tidak diakui telah dilakukan oleh terdakwa atau tidak dinyatakan oleh saksi, tetapi dianggap seolah-olah diakui atau dinyatakan, maka pertanyaan yang sedemikian itu dianggap sebagai pertanyaan yang bersifat menjerat. Pasal ini penting karena pertanyaan yang bersifat menjerat itu tidak hanya tidak boleh diajukan kepada terdakwa, akan tetapi juga tidak boleh diajukan kepada saksi. Ini sesuai dengan prinsip bahwa keterangan terdakwa atau saksi harus diberikan secara bebas di semua tingkat pemeriksaan. Dalam pemeriksaan penyidik atau penuntut umum tidak boleh mengadakan tekanan yang bagaimanapun caranya, lebih-lebih di dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Tekanan. itu, misalnya ancaman dan sebagainya yang menyebabkan terdakwa atau saksi menerangkan hal yang berlainan daripada hal yang dapat dianggap sebagai pernyataan pikirannya yang bebas . Jadi, berdasarkan Pasal 166 KUHAP beserta penjelasannya tersebut, dilarang mengajukan pertanyaan menjerat baik kepada terdakwa maupun kepada saksi. Hakim harus menegakkan prinsip pemeriksaan persidangan secara bebas . [1] Memang dalam praktek pemeriksaan pesidangan, jarang terjadi tindakan ancaman atau penekanan yang dilakukan oleh hakim atau penuntut umum. Dalam pemeriksaan sidang yang terbuka untuk umum, agak sulit bagi hakim atau jaksa mengancam dan menekan terdakwa atau saksi, tetapi yang sering terjadi ialah pelanggaran atas Pasal 166 KUHAP. Hakim atau penuntut umum sering megajukan pertanyaan yang menjerat, yang mengakibatkan keterangan yang diberikan terdakwa atau saksi, bukan lagi diberikan secara sadar dan bebas, tapi keterangan itu diberikan berdasar pancingan yang berbentuk jebakan dari si penanya. [2] Jadi menjawab pertanyaan Anda, yang dimaksud dengan saksi atau terdakwa harus menjawab dengan bebas adalah terhadap mereka tidak dilakukan hal atau diajukan pernyataan yang mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan jawab secara tidak bebas. Baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, tidak boleh dilakukan penekanan atau ancaman yang bisa menimbulkan hilangnya kebebasan mereka memberikan keterangan . Bahkan pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan baik terhadap terdakwa maupun terhadap saksi. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana . Referensi: Harahap, Yahya. 2015. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika. [1] Yahya Harahap, hal. 115 [2] Yahya Harahap, hal. 114 hukumonline terdakwa ancaman hukum klinik klinik hukumonline pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Pertanyaannya, pasal 879 KUH Perdata dengan tegas melarang pengangkatan waris secara \"lompat tangan\", nah maksud dari lompat tangan tersebut apa ya? Dan di dalam fidei commis ada tiga pihak, yaitu pewaris, penerima beban, pihak ketiga yaitu penunggu, maksud dari penerima beban dan pihak ketiga sebagai penunggu juga apa ya? Untuk sementara pertanyaannya itu dulu."
} | {
"from": "gpt",
"value": "1. Memang benar, menurut J. Satrio dalam buku “ Hukum Waris ” (hal. 210), Pasal 879 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) dengan tegas melarang pengangkatan waris atau hibah wasiat lompat tangan, dengan sanksi, bahwa pemberian yang demikian adalah batal bagi yang diangkat atau si penerima hibah (lihat Pasal 879 ayat [2] KUHPer ). KLINIK TERKAIT Apakah Ahli Waris Wajib Membayar Utang Pewaris? 10 Nov 2023 Haruskah Ahli Waris Membayar Tagihan Kartu Kredit Pewaris? 17 Jul 2023 Kepemilikan Properti (Kaitannya dengan Pernikahan dengan Pria WNA) 28 Jul 2017 Hal-hal yang Perlu Dilakukan Terhadap Merek Terdaftar Pasca-Merger 19 Des 2011 Dari rumusan Pasal 879 ayat (2) KUHPer , J. Satrio merumuskan definisi fidei commis atau pewarisan secara lompat tangan sebagai: “ suatu ketetapan dalam surat wasiat, dimana ditentukan bahwa orang yang menerima harta si pewaris, atau sebagian daripadanya – termasuk para penerima hak daripada mereka, berkewajiban untuk menyimpan yang mereka terima, dan sesudah suatu jangka waktu tertentu atau pada waktu matinya si penerima, menyampaikan/menyerahkannya kepada seorang ketiga. ” Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Jadi, pada dasarnya fidei commis adalah suatu suatu ketentuan dalam surat wasiat yang mensyaratkan bahwa penerima harta pewaris berkewajiban untuk menyimpan harta pewaris sampai jangka waktu tertentu atau sampai matinya penerima harta tersebut, untuk kemudian diserahkan kepada orang ketiga. Pewarisan dengan cara ini mengakibatkan penerima harta pewaris tidak dapat menggunakan harta tersebut, ia hanya berkewajiban untuk menyimpan dan di kemudian hari menyerahkannya kepada orang ketiga. 2. Selain itu, Anda juga benar bahwa dalam fidei commis terdapat tiga pihak, dijelaskan oleh J. Satrio (hal. 211) bahwa ketiga pihak tersebut adalah: Pewaris, Pemikul Beban dan Penunggu . Yang dimaksud dengan Pemikul Beban atau bezwaarde adalah orang yang pertama-tama ditunjuk sebagai ahli waris/ legetaris , dengan tugas/kewajiban menyimpan barang dari pewaris dan menyampaikannya keada pihak ketiga. Sedangkan yang dimaksud dengan Penunggu atau verwachter adalah orang yang akan menerima harta dari pewaris melalui bezwaarde /pemikul beban. Sekian jawaban dari kami, semoga membantu. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek , Staatsblad 1847 No. 23)"
} |
Subsets and Splits