0
dict | 1
dict |
---|---|
{
"from": "human",
"value": "Kalau ada dua karya (novel dan film) yang punya judul sama, bagaimana posisi karya cipta tersebut?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Hak cipta dilanggar jika seluruh atau bagian substansial dari suatu ciptaan yang dilindungi hak cipta diperbanyak. Pengadilan akan menentukan apakah suatu bagian yang ditiru merupakan bagian substansial dengan meneliti apakah bagian yang digunakan itu penting, memiliki unsur pembeda atau bagian yang mudah dikenali. Bagian ini tidak harus dalam jumlah atau bentuk besar untuk menjadi bagian substansial. Substansial di sini dimaksudkan sebagai bagian penting, bukan bagian dalam jumlah besar. Jadi yang dipakai sebagai ukuran adalah ukuran kualitatif bukan ukuran kuantitas. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [1] KLINIK TERKAIT Haruskah Restoran Bayar Royalti Jika Putar Lagu Orang Lain? 12 Apr 2021 Cara Mudah Daftar Kekayaan Intelektual Secara Online 19 Feb 2021 Cara Aman Memakai Gambar dari Internet Terkait Hak Cipta 25 Nov 2015 Adakah Hukuman Bagi Pengguna Aplikasi Dubsmash? 13 Nov 2015 Sedangkan ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata. [2] Ciptaan yang dilindungi meliputi Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang salah satunya adalah buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya serta karya sinematografi. [3] Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Yang dimaksud dengan \"karya sinematografi\" adalah ciptaan yang berupa gambar bergerak ( moving images ) antara lain film dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario, dan film kartun. Karya sinematografi dapat dibuat dalam pita seluloid, pita video, piringan video, cakram optik dan/atau media lain yang memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop, layar lebar, televisi, atau media lainnya. Sinematografi merupakan salah satu contoh bentuk audiovisual. Melihat pada ketentuan mengenai ciptaan apa saja yang dilindungi, UUHC tidak secara eksplisit melindungi suatu judul sebagai ciptaan tersendiri, akan tetapi sebagai satu kesatuan dengan ciptaan lain misalnya buku, karya tulis atau karya sinematografi. Bagaimana jika hanya sebagian dari ciptaan yang sama dengan ciptaan orang lain? Ketentuan yang mengatur mengenai sebagian dari ciptaan dapat kita lihat dalam Pasal 44 ayat (1) UUHC terkait penggunaan, pengambilan, penggandaan, dan/atau pengubahan suatu ciptaan dan/atau produk hak terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial. Pasal tersebut mengatur bahwa penggunaan, pengambilan, penggandaan, dan/atau pengubahan suatu ciptaan dan/atau produk hak terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan: a. pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta; b. keamanan serta penyelenggaraan pemerintahan, legislatif, dan peradilan; c. ceramah yang hanya untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau d. pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta. Yang dimaksud dengan \"sebagian yang substansial\" adalah bagian yang paling penting dan khas yang menjadi ciri dari Ciptaan . Melihat dari ketentuan dalam Pasal 44 ayat (1) UUHC dapat dikatakan bahwa jika sebagian yang substansial dari ciptaan digunakan oleh orang lain yang tidak berhak dan penggunaan tersebut tidak dikecualikan oleh Pasal 44 ayat (1) UUHC, maka merupakan pelanggaran hak cipta. Akan tetapi bagaimana jika “sebagian” dari ciptaan tersebut adalah judul suatu cerpen/buku yang sama dengan film atau sebaliknya? Apakah merupakan pelanggaran hak cipta juga walaupun substansi dari keduanya benar-benar berbeda? Tim Lindsey (ed) dalam buku Hak Kekayaan Intelektua l Suatu Pengantar (hal. 122) menjelaskan umumnya hak cipta dilanggar jika materi hak cipta tersebut digunakan tanpa izin dari pencipta yang mempunyai hak eksklusif atas ciptaannya. Untuk terjadinya pelanggaran, harus ada kesamaan antara dua ciptaan yang ada . Namun, pencipta atau pemegang hak cipta harus membuktikan bahwa karyanya telah dijiplak, atau karya lain tersebut berasal dari karyanya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa hak cipta juga dilanggar jika seluruh atau bagian substansial dari suatu ciptaan yang dilindungi hak cipta diperbanyak. Pengadilan akan menentukan apakah suatu bagian yang ditiru merupakan bagian substansial dengan meneliti apakah bagian yang digunakan itu penting, memiliki unsur pembeda atau bagian yang mudah dikenali. Bagian ini tidak harus dalam jumlah atau bentuk besar untuk menjadi bagian substansial. Substansial di sini dimaksudkan sebagai bagian penting, bukan bagian dalam jumlah besar. Jadi yang dipakai sebagai ukuran adalah ukuran kualitatif bukan ukuran kuantitas. Mengenai judul, dalam buku Asian Copyright Handbook (Indonesian Version) karangan Tamotsu Hozumi , pada bagian tanya jawab (hal. 46) terdapat pertanyaan mengenai apakah judul buku, iklan, dan sebagainya merupakan suatu ciptaan. Dalam bagian jawaban dijelaskan bahwa dalam beberapa hal, sulit untuk menilai apakah sesuatu termasuk ke dalam hak cipta atau tidak, seperti misalnya ju d ul buku, iklan, jenis huruf, rancangan tata letak (perwajahan), lay out dan desain. Umumnya, sebagian besar tidak dilindungi oleh hak cipta, tetapi tolak ukur untuk “ciptaan” adalah sebuah ciptaan orisinal dan ungkapan kreatif dari pemikiran atau perasaan, bukan hanya suatu bentuk ekspresi. Jadi pada akhir nya, pengadilan yang akan menentukan apakah judul tersebut merupakan bagian yang substansial dari ciptaan tersebut atau tidak . Contoh kasus Salah satu contoh kasus karena adanya kesamaan judul adalah Ahmad Dhani vs Yudhistira Anm Massardi pada tahun 2002 silam. Judul lagu \"Arjuna Mencari Cinta\" dari album Cintailah Cinta milik Dewa 19 dianggap telah menjiplak karya yang diciptakan oleh Yudhistira Anm Massardi. Agar permasalahan ini tidak berlarut-larut, perusahaan rekaman tempat mereka bernaung lebih memilih jalur damai. Selengkapnya dapat dibaca dalam artikel Bila \"Sang Arjuna\" Dewa 19 Tersandung Hak Cipta dan Once: Dari Lawyer ke Rocker . Contoh lain yang teranyar adalah film \"Surat dari Praha\" karya Sutradara Angga Dwimas Sasongko vs Yusri Fajar, yang menerbitkan buku berisi kumpulan cerpen \"Surat dari Praha\" pada 2012. Dalam artikel Glenn Fredly disomasi seorang dosen Universitas Brawijaya , yang kami akses dari situs http://www.antaranews.com , Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Brawijaya Malang Yusri Fajar melayangkan somasi terkait dugaan plagiasi terhadap buku miliknya yang difilmkan dengan judul yang sama, \"Surat dari Praha\". Dalam artikel lain, Sutradara belum terima somasi dugaan plagiat “Surat dari Praha” , dari situs yang sama, Angga Dimas membantah dengan menyatakan ide dan cerita film yang digarapnya berbeda dengan cerpen Yusri. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta . Referensi: 1. Tamotsu Hozumi, Asian Copyright Handbook Indonesian Version , Tokyo/Jakarta: Asia/Pacific Cultural Centre for UNESCO / Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), 2006. 2. Tim Lindsey, et. al., Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar , Bandung: PT. Alumni, 2002. 3. Glenn Fredly disomasi seorang dosen Universitas Brawijaya ,yang diakses pada 4 Februari 2016 pukul 11.12. 4. Sutradara belum terima somasi dugaan plagiat “Surat dari Praha” , yang diakses pada 4 Februari 2016 pukul 11.14. [1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UUHC”) [2] Pasal 1 angka 3 UUHC [3] Pasal 40 ayat (1) UUHC hukumonline uu hak cipta hak cipta hukum klinik hukumonline kekayaan intelektual"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya melihat saat ini banyak praktek monopoli terhadap profesi notaris. Misalnya, untuk transaksi KPR di bank, biasanya bank yang menentukan notaris mana yang dipakai. Selain itu, jika ada seorang notaris yang memiliki hubungan dekat dengan pejabat-pejabat terkait, maka ia dapat menyelesaikan kerjaan yang sulit sekalipun dengan cepat tetapi tentu dengan biaya yang mahal. Oleh sebab itu, timbul pertanyaan: Apakah UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat berlaku bagi notaris? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul “Apakah UU No.5/1999 berlaku bagi notaris ?” yang dibuat oleh Shanti Rachmadsyah, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Rabu, 24 Maret 2010 . Terima kasih atas jawaban Anda. Subjek dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“UU 5/1999”) adalah pelaku usaha. Pengertian pelaku usaha menurut P asal 1 angka 5 UU 5/1999 , yaitu: Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama- sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi . Pasal 50 UU 5/1999 mengatur hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan UU tersebut yaitu: perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku ; atau perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba; atau perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan; atau perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan; atau perjanjian kerjasama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas; atau perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia; atau perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri; atau pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; atau kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya. Sekarang kita lihat apakah notaris termasuk pelaku usaha sehingga UU 5/1999 berlaku juga terhadapnya ataukah termasuk yang dikecualikan. Berikut ini beberapa hal menyangkut notaris menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (“UUJN”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 (“UU 2/2014”) : Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UUJN dan perubahannya serta berdasarkan undang-undang lainnya; [1] Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia; [2] Notaris berkedudukan di daerah kabupaten/kota, dan wilayah jabatannya dibatasi pada provinsi di mana ia berkedudukan. [3] Jadi, seorang notaris tidak diperbolehkan untuk berusaha di luar wilayah jabatannya. Formasi atau kebutuhan akan pengisian jabatan Notaris ditentukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia; [4] Besarnya honorarium notaris diatur oleh UU; [5] Pengawasan terhadap notaris dilakukan oleh Majelis Pengawas yang dibentuk Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. [6] Berdasarkan ketentuan-ketentuan UUJN dan perubahannya di atas, kami berkesimpulan; Notaris tidak termasuk pelaku usaha, tapi pejabat umum yang diangkat oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia; Perbuatan atau perjanjian yang dilakukan oleh notaris adalah dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan, karena itu dikecualikan dari ketentuan UU 5/1999 sesuai Pasal 50 huruf a UU 5/1999 ; dan Lembaga yang berwenang menerima laporan masyarakat dan memeriksa adanya dugaan pelanggaran UU atau Kode Etik Notaris, seperti misalnya menetapkan honorarium yang tidak sesuai dengan UUJN dan perubahannya, adalah Majelis Pengawas (baik di tingkat Daerah, Wilayah maupun Pusat). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 [1] Pasal 1 angka 1 UU 2/2014 [2] Pasal 2 UUJN jo. Pasal 1 angka 14 UU 2/2014 [3] Pasal 18 UUJN [4] Pasal 21 UUJN [5] Pasal 36 UUJN [6] Pasal 67 UU 2/2014 anti monopoli hukumonline persaingan usaha google monopoli online profesi hukum hukum persaingan usaha hukum notaris"
} |
{
"from": "human",
"value": "Tanah kampung orang tua kami digusur penguasa pada zaman orba dengan isu yang sangat menakutkan pada waktu itu, yaitu PKI. Pertanyaan saya, apakah ada larangan keturunan PKI untuk mempunyai tanah di Indonesia?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Tidak ada persyaratan bahwa pemegang hak atas tanah tidak boleh keturunan PKI. Yang penting adalah bahwa si pemegang hak atas tanah mempunyai hak atas tanah yang sesuai dengannya, misalnya yang boleh mempunyai hak milik hanya Warga Negara Indonesia. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: Sepanjang penelusuran kami tidak ada peraturan perundang-undangan yang melarang keturunan Partai Komunis Indonesia (“PKI”) untuk memiliki hak atas tanah di Indonesia. Hal tersebut dapat juga terlihat dari persyaratan terkait pihak yang dapat memiliki hak atas tanah di Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) , sebagai berikut: 1. Hak Milik hanya dapat dipunyai oleh Warga-Negara Indonesia (“WNI”) dan badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah dapat mempunyai Hak Milik. [1] KLINIK TERKAIT Apakah Keturunan PKI Boleh Menjadi PNS? 17 Sep 2015 Status Tanah dengan Surat Keterangan Peralihan Penguasaan Lahan 03 Sep 2014 Keabsahan Surat Pernyataan Pelepasan Hak atas Tanah (SPPHT) 04 Jun 2012 Akibat Hukum Tanah Terlantar 11 Agt 2010 2. Hak Guna Usaha, dapat dipunyai oleh WNI dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. [2] 3. Hak Guna Bangunan, dapat dipunyai oleh WNI dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. [3] Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 4. Hak Pakai, dapat dipunyai oleh WNI, orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. [4] Selain syarat-syarat tersebut, jika keturunan PKI tersebut mendapatkan hak atas tanah dari peralihan hak (misalnya jual beli), maka beberapa syarat ini harus dipenuhi, yang mana tidak terpenuhinya salah satu syarat di bawah ini mengakibatkan Kepala Kantor Pertanahan menolak untuk melakukan pendaftaran peralihan atau pembebanan hak: [5] a. sertifikat atau surat keterangan tentang keadaan hak atas tanah tidak sesuai lagi dengan daftar-daftar yang ada pada Kantor Pertanahan; b. perbuatan hukum pengalihan hak atas tanah tidak dibuktikan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”) atau kutipan risalah lelang, kecuali dalam keadaan tertentu yaitu untuk daerah-daerah yang terpencil dan belum ditunjuk PPAT Sementara. c. dokumen yang diperlukan untuk pendaftaran peralihan atau pembebanan hak yang bersangkutan tidak lengkap; d. tidak dipenuhi syarat lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan; e. tanah yang bersangkutan merupakan obyek sengketa di Pengadilan. f. perbuatan hukum yang dibuktikan dengan akta PPAT batal atau dibatalkan oleh putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; atau g. perbuatan hukum pengalihan hak atas tanah dibatalkan oleh para pihak sebelum didaftar oleh Kantor Pertanahan. Melihat pada ketentuan di atas, jelas bahwa tidak ada syarat yang mempersoalkan apakah si pemegang hak atas tanah adalah keturunan PKI atau bukan. Hal serupa juga dapat dilihat dalam laman Layanan Pertanahan Badan Pertanahan Nasional . Misalnya keturunan PKI tersebut menjadi pemegang hak atas tanah melalui proses jual beli tanah, maka persyaratan yang diperlukan untuk mendaftarkan peralihan hak atas tanah tersebut adalah sebagai berikut: [6] 1. Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya di atas materai cukup. Formulir permohonan memuat: a. Identitas diri; b. Luas, letak dan penggunaan tanah yang dimohon; c. Pernyataan tanah tidak sengketa; d. Pernyataan tanah dikuasai secara fisik. 2. Surat Kuasa apabila dikuasakan. 3. Fotocopy identitas pemohon (Kartu Tanda Penduduk (“KTP”), Kartu Keluarga) dan kuasa apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket. 4. Fotocopy Akta Pendirian dan Pengesahan Badan Hukum yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket, bagi badan hukum. 5. Sertifikat asli. 6. Akta Jual Beli dari PPAT. 7. Fotocopy KTP dan para pihak penjual-pembeli dan/atau kuasanya. 8. Izin Pemindahan Hak apabila di dalam sertifikat/keputusannya dicantumkan tanda yang menyatakan bahwa hak tersebut hanya boleh dipindahtangankan jika telah diperoleh izin dari instansi yang berwenang. 9. Foto copy SPPT PBB Tahun berjalan yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket, penyerahan bukti SSB (BPHTB) dan bukti bayar uang pemasukan (pada saat pendaftaran hak). Melihat pada ketentuan di atas, yang diperlukan dari si pemegang hak atas tanah adalah kartu identitas seperti Kartu Tanda Penduduk, yang mana itu tidak ada hubungannya dengan apakah orang tersebut adalah keturunan PKI atau tidak. Jadi menjawab pertanyaan Anda, melihat pada persyaratan-persyaratan di atas, tidak ada persyaratan bahwa pemegang hak atas tanah tidak boleh keturunan PKI. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah . Referensi: http://site.bpn.go.id/o/Beranda/Layanan-Pertanahan/PELAYANAN-PEMELIHARAAN-DATA-PENDAFTARAN-TANAH/PERALIHAN-HAK-ATAS-TANAH-DAN-SATUAN-RUMAH-SUSUN/JUAL-BELI.aspx , yang diakses pada 29 September 2015, pukul 14.46. [1] Pasal 21 ayat (1) dan (2) UUPA [2] Pasal 30 ayat (1) UUPA [3] Pasal 36 ayat (1) UUPA [4] Pasal 42 UUPA [5] Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah [6] Lihat http://site.bpn.go.id/o/Beranda/Layanan-Pertanahan/PELAYANAN-PEMELIHARAAN-DATA-PENDAFTARAN-TANAH/PERALIHAN-HAK-ATAS-TANAH-DAN-SATUAN-RUMAH-SUSUN/JUAL-BELI.aspx hukum hukumonline klinik hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah para keturunan PKI bisa menjadi PNS atau jabatan politik lainnya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Intisari: PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. Dalam UU ASN tidak ada syarat yang melarang keturunan PKI menjadi PNS. Hal sama juga diatur dalam UU Pemilu Legislatif. Jadi, seorang keturunan PKI boleh saja menjadi PNS maupun menduduki jabatan politik. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: KLINIK TERKAIT Bolehkah Orang Asing Menjadi PNS di Indonesia? 21 Feb 2023 Pasangan Suami Istri PNS Bercerai, Apakah Istri Tetap Mendapat Bagian Gaji Suaminya? 26 Agt 2019 Apakah Janda PNS yang Menikah Lagi Masih Berhak atas Tunjangan Istri? 23 Sep 2014 Hak-hak Ahli Waris PNS Jika PNS Meninggal Dunia 03 Sep 2014 Sebelumnya, kami simpulkan bahwa PKI yang Anda maksud di sini adalah Partai Komunis Indonesia (“PKI”). PKI atau Partai Komunis Indonesia merupakan salah satu partai dalam sejarah perpolitikan Indonesia. PKI dinyatakan sebaga i partai terlarang dan dibubarkan berdasarkan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 . Syarat Menjadi PNS Pegawai Negeri Sipil (“PNS”) adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai Aparatur Sipil Negara ( ASN ) secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. [1] Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Pada dasarnya setiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk melamar menjadi PNS setelah memenuhi persyaratan. [2] Ketentuan tersebut dipertegas kembali dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil (“PP 98/2000”) sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002 (“PP 11/2002”) dan terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2013 : “ Setiap Warga Negara Republik Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk melamar menjadi Pegawai Negeri Sipil setelah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah ini. ” Syarat yang harus dipenuhi oleh setiap pelamar untuk mengisi formasi yang lowong sebagai PNS adalah: [3] a. warga negara Indonesia; b. berusia serendah-rendahnya 18 (delapan belas) tahun dan setinggi-tingginya 35 (tiga puluh lima) tahun; c. tidak pernah dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan; d. tidak pernah diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau tidak dengan hormat sebagai PNS atau diberhentikan tidak dengan hormat sebagai pegawai swasta; e. tidak berkedudukan sebagai calon/Pegawai Negeri; f. mempunyai pendidikan, kecakapan, keahlian dan keterampilan yang diperlukan; g. berkelakuan baik; h. sehat jasmani dan rohani; i. bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau negara lain yang ditentukan oleh pemerintah; dan j. syarat lain yang ditentukan dalam persyaratan jabatan. Dari sejumlah ketentuan di atas tidak ada yang mensyaratkan seorang PNS itu tidak boleh berasal atau merupakan keturunan PKI. Menduduki Jabatan Politik Kemudian mengenai keturunan PKI menduduki jabatan politik, kami ambil salah satu jabatan politik sebagai contoh, misalnya jabatan Anggota Legislatif. Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Bolehkah Calon Legislatif dari Jalur Independen? ; persyaratan calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yaitu harus Warga Negara Indonesia yang: [4] a. telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia; e. berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau pendidikan lain yang sederajat; f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945; g. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; h. sehat jasmani dan rohani; i. terdaftar sebagai Pemilih; j. bersedia bekerja penuh waktu; k. mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah, pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali; l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), atau tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; m. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara; n. menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu; o. dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; dan p. dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan. Ketentuan di atas juga tidak mensyaratkan bahwa anggota legislatif dilarang keturunan PKI. Dengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, dari aturan-aturan di atas dapat disimpulkan bahwa baik PNS maupun kedudukan politik, tidak ada aturan yang melarang keturunan PKI menduduki kedua jabatan tersebut. Selama memenuhi syarat-syarat di atas, maka keturunan PKI boleh saja menjadi PNS atau menduduki jabatan politik. Sebagai contoh keturunan PKI yang kini menduduki jabatan politik adalah Ribka Tjiptaning Proletariyati. Ribka merupakan anak keturunan PKI. Menurut profil Ribka yang kami akses dari laman Merdeka.com , Ribka saat ini merupakan Ketua Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Di komisi IX, ia mengetuai komisi yang memperhatikan masalah-masalah di bidang tenaga kerja dan transmigrasi, kependudukan, dan kesehatan. Di DPR, ia juga merupakan anggota dari Badan Urusan Rumah Tangga (DPR RI) DPR RI. Keluarganya sempat dicap sebagai anggota dari Gerakan 30 September 1965 (PKI) . Saat itu, Tjiptaning yang masih duduk di TK kelas Nol Besar harus menyaksikan awal-awal kejatuhan keluarganya. Tjiptaning mengenyam pendidikan formal hingga akhirnya menjadi seorang dokter. Ketika sudah lulus dari bangku kuliah, Tjiptaning kemudian membuka sebuah klinik kesehatan di Ciledug pada tahun 1992. Dari klinik yang dikelolanya, Tjiptaning akhirnya mulai berkenalan dengan para aktivis muda di Jakarta yang sering menentang kebijakan rezim orde baru di bawah pemerintahan Soeharto. Dari sinilah ia mulai mengenal dunia politik. Kemudian, Tjiptaning pun terjun ke dunia politik melalui keikutsertaannya dalam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Masih bersumber dari laman yang sama, disebutkan pula bahwa kiprahnya dalam dunia politik ia mulai dari nol. Tetapi, karena reputasinya di masa lalu, sangat sulit baginya untuk masuk dalam jajaran tertinggi perpolitikan Indonesia. Hingga Presiden Abdurrahman Wahid menghapuskan diskriminasi terhadap keluarga korban Gerakan 30 September 1965, karir politik Ribka akhirnya mulai menunjukkan titik terang. Ia pun mampu mengikuti pemilu 2004 dan 2009 dan menduduki salah satu posisi penting di DPR RI saat ini. Ribka juga menerbitkan buku \"Aku Bangga Jadi Anak PKI\" (ABJAP) yang diluncurkan persis pada Hari Kesaktian Pancasila. Buku tersebut berisi otobiografi Ribka dan perjuangan kedua orang tuanya yang ditahan karena terlibat PKI. Informasi lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel Penulis \"Aku Bangga Jadi Anak PKI\" Tak Pernah Diminta Klarifikasi . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ; 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002 dan terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2013 . Referensi: 1. http://profil.merdeka.com/indonesia/r/ribka-tjiptaning-proletariyati/ , diakses pada 16 September 2015 pukul 15.58 WIB. 2. http://www.pengertiansejarah.com/sejarah-pki.html , diakses pada 16 September 2015 pukul 16.20 WIB. [1] Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”) [2] Pasal 61 UU ASN [3] Pasal 6 ayat (1) PP 11/2002 [4] Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“UU Pemilu Legislatif”) pegawai negeri sipil"
} |
{
"from": "human",
"value": "Kendaraan roda dua wajib menyalakan lampu utama di siang hari, lampu utama itu tidak bisa diketahui oleh driver apakah mati atau hidup saat berkendara di siang hari. Kecuali saat driver berhenti atau berkendara di malam hari. Jika driver roda dua ditilang saat berkendara karena lampu utama mati, apakah driver bisa melakukan pembelaan? karena saat driver berkendara, sang driver tidak selalu mengetahui lampu utama itu mati atau hidup seperti yang dijelaskan di atas tadi, driver hanya mengetahui lampu utama mati saat driver berhenti atau saat berkendara di malam hari. Lalu bagaimana hak pembelaan untuk driver yang kedapatan ditilang di jalan saat ada polantas menyetop driver karena lampu utamanya mati? Apakah pasal itu juga melanggar hak asasi manusia karena Pasal 107 ayat (2) UU LLAJ tidak menjelaskan secara rinci bila driver tidak mengetahui lampu utama mati saat sedang berkendara di siang hari masih dapat toleransi."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari : Khusus bagi pengemudi sepeda motor, selain wajib menyalakan lampu utama pada malam hari dan pada kondisi tertentu, juga wajib menyalakan lampu utama pada siang hari . Jika tidak, maka berdasarkan Pasal 293 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan , ancaman pidananya adalah pidana kurungan paling lama 15 (lima belas) hari atau denda paling banyak Rp 100 ribu. Menurut hemat kami, aturan tersebut tidak dapat dikatakan telah melanggar Hak Asasi Manusia (“HAM”) Anda karena memang tujuan aturan tersebut adalah mengatur ketertiban dan pada pasal tersebut tidak terdapat unsur secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang . Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Kewajiban Sepeda Motor Menyalakan Lampu Utama pada Siang Hari Sebagaimana telah dijelaskan dalam artikel Wajibkah Pengemudi Sepeda Motor Menyalakan Lampu di Pagi Hari? dan Dasar Hukum Kewajiban Menyalakan Lampu Kendaraan pada Siang Hari , kewajiban terhadap kendaraan bermotor untuk menyalakan lampu utama diatur dalam Pasal 107 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”) yang berbunyi sebagai berikut: Pengemudi Kendaraan Bermotor wajib menyalakan lampu utama Kendaraan Bermotor yang digunakan di Jalan pada malam hari dan pada kondisi tertentu. Pengemudi Sepeda Motor selain mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyalakan lampu utama pada siang hari. Khusus bagi pengemudi sepeda motor selain wajib menyalakan lampu utama pada malam hari dan pada kondisi tertentu juga wajib menyalakan lampu utama pada siang hari . Jika tidak, maka berdasarkan Pasal 293 ayat (2) UU LLAJ ancaman pidananya adalah pidana kurungan paling lama 15 (lima belas) hari atau denda paling banyak Rp 100 ribu. Dapat kita lihat bahwa norma dalam Pasal 107 ayat (2) UU LLAJ memang mengharuskan pengemudi sepeda motor untuk menyalakan lampu pada siang hari dan aturan tersebut pada dasarnya bersifat “memaksa” serta aturan ini dibuat oleh pembentuk undang-undang agar hal tersebut dipatuhi masyarakat. Selain aturan tersebut, pengendara yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mematuhi ketentuan tentang persyaratan teknis dan laik jalan. [1] Persyaratan teknis dan laik jalan yang harus dipenuhi oleh kendaraan yang dioperasikan, salah satunya adalah daya pancar dan arah sinar lampu utama . [2] Jika hal di atas tidak dipenuhi, maka terhadap pengemudi dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250 ribu. [3] Menurut hemat kami, langkah ini dipersiapkan dalam UU LLAJ agar pengemudi melakukan upaya pencegahan demi keselamatan berkendara, salah satunya dengan cara ketentuan memenuhi lampu utama sepeda motor serta keharusan pengemudi menyalakannya pada waktu yang telah ditentukan (malam hari, kondisi tertentu, dan siang hari). Itu artinya, sebelum berkendara setiap pengemudi memeriksa kelengkapan berkendara termasuk lampu utama, sehingga nanti dapat dinyalakan sebelum saat berkendara. Menurut hemat kami, apa yang Anda katakan bahwa lampu utama itu tidak bisa diketahui oleh driver apakah mati atau hidup saat berkendara di siang hari, tidak serta merta menjadi alasan. Anda bisa menyalakannya (memastikan bahwa itu menyala) sebelum berkendara atau jika saat berkendara, Anda bisa melihat indikator pada sepeda motor Anda. Pembelaan Berdasarkan keterangan Anda, kami simpulkan bahwa pada kasus ini Anda telah melanggar ketentuan yang diwajibkan oleh UU LLAJ. Ketidaktahuan Anda menurut hemat kami tidak dapat dijadikan dasar untuk membela diri sebagai toleransi atas kesalahan Anda. UU LLAJ juga sudah memberikan langkah preventif, bahwa sebelum berkendara hendaknya memeriksa kelengkapan berkendara, termasuk lampu utama. Tetapi bukan berarti jika melanggar aturan serta merta Anda bisa langsung dikenakan sanksi (harus melewati proses hukum di sidang pengadilan tilang). Di sini Anda memiliki hak untuk membela diri sebagaimana disebutkan oleh Pasal 52 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) , yang berbunyi: Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim. Hal ini supaya pemeriksaan dapat mencapai hasil yang tidak menyimpang daripada yang sebenarnya maka tersangka atau terdakwa harus dijauhkan dari rasa takut. Oleh karena itu, wajib dicegah adanya paksaan atau tekanan terhadap tersangka atau terdakwa. [4] Norma Hukum dalam UU LLAJ Melanggar HAM? Kemudian terkait dengan pertanyaan Anda, apakah pasal atau norma itu juga melanggar hak asasi manusia (“HAM”) karena Pasal 107 ayat (2) UU LLAJ tidak menjelaskan secara rinci bila driver/pengemudi tidak mengetahui lampu utama mati saat sedang berkendara di siang hari masih dapat toleransi? Untuk menjawab pertanyaan Anda tersebut, ada baiknya kita ketahui apa itu norma hukum. Menurut Maria Farida Indrati Soeprapto , dalam bukunya Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya (hal 6.), dalam perkembangannya norma itu diartikan sebagai suatu ukuran atau patokan bagi seseorang dalam bertindak atau bertingkah laku dalam masyarakat. Jadi, inti suatu norma adalah segala aturan yang harus dipatuhi. Suatu norma itu baru ada apabila terdapat lebih dari satu orang, karena norma itu pada dasarnya mengatur tata cara bertingkah laku seseorang terhadap orang lain, atau terhadap lingkungannya. Setiap norma itu mengandung suruhan-suruhan (penyuruhan-penyuruhan) yang di dalam bahasa asingnya sering disebut dengan das Sollen ( ought to be / ought to do ) yang di dalam bahasa Indonesia sering dirumuskan dengan istilah hendaknya. (Contoh hendaknya engkau mengormati orang tua). Lebih lanjut Maria Farida (hal.11) memberikan perbedaan-perbedaan antara norma hukum dan norma-norma lainnya, ialah sebagai berikut: Suatu norma hukum itu bersifat heteronom, dalam arti bahwa norma hukum itu datangnya dari luar diri kita sendiri. Contoh: dalam hal pembayaran pajak, kewajiban itu datangnya bukan dari diri kita sendiri tetapi dari negara sehingga kita harus memenuhi kewajiban tersebut, senang atau tidak senang; Suatu norma hukum itu dapat dilekati dengan sanksi pidana ataupun sanksi pemaksa secara fisik, sedangkan norma lainnya tidak dapat dilekati oleh sanksi pidana ataupun sanksi pemaksa secara fisik. Contoh: apabila seseorang melanggar norma hukum, misalnya menghilangkan nyawa orang lain, maka ia akan dituntut dan dipidana). Dalam norma hukum sanksi pidana atau sanksi pemaksa itu dilaksanakan oleh aparat negara sedangkan terhadap pelanggaran norma-norma lainnya sanksi itu datangnya dari diri kita sendiri Misalnya adanya perasaan berdosa atau bersalah, atau terhadap pelanggaran norma-norma moral atau norma adat tertentu, para pelanggarnya akan dikucilkan dari masyaratakat. Sedangkan HAM menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Adapun yang dimaksud dengan pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. [5] Melihat penjelasan di atas, Pasal 107 UU LLAJ pada dasarnya mengandung norma hukum umum, sejalan dengan pendapat Maria Farida (hal. 12) dapat berarti bahwa suatu peraturan itu ditujukan untuk semua orang, semua warga negara, untuk seluruh provinsi, satu wilayah. Khusus pada Pasal 107 UU LLAJ ditujukan untuk semua orang yang mengemudikan kendaraan bermotor (termasuk sepeda motor) harus mematuhi peraturan tersebut demi kelancaran dan ketertiban lalu lintas. Menurut hemat kami, aturan tersebut tidak dapat dikatakan telah melanggar HAM Anda, karena memang tujuannya adalah mengatur ketertiban dan pada pasal tersebut tidak terdapat unsur secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang. Jika Anda tetap merasa keberatan dengan pasal tersebut karena menurut Anda telah melanggar hak Anda, maka Anda dapat mengajukan uji materiil ( judicial review ) atas pasal tersebut terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 ke Mahkamah Konsitusi. Hak mengajukan judicial review diberikan bagi pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang sebagaimana diatur di Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Referensi : Maria Farida Indrati Soeprapto. 1998. Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius [1] Pasal 106 ayat (3) UU LLAJ [2] Pasal 48 ayat (1) dan ayat (3) huruf g UU LLAJ [3] Pasal 285 ayat (1) UU LLAJ [4] Penjelasan Pasal 52 KUHAP [5] Pasal 1 angka 6 UU HAM polantas hukumonline online tilang motor hukum klinik klinik hukumonline pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 Pasal 7 ayat (1) dijelaskan penetapan yang dilakukan oleh MPR, DPR, DPD, dll yang ingin saya tanyakan Menteri, Lembaga, Badan dan Komisi yang setingkat adalah siapa? Apakah peraturan Kode Etik Advokat termasuk di dalamnya? Atau terdapat di luar perundang-undangan? Mengapa?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Kedudukan Peraturan Menteri, Lembaga, Badan dan Komisi yang S etingkat Hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7 a yat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”) menyebutkan hierarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 tersebut tidak disebutkan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh menteri, lembaga dan komisi yang setingkat, namun peraturan yang dibuat oleh menteri, lembaga dan komisi yang setingkat tersebut dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 8 a yat (1) UU 12/2011 yang menyatakan bahwa: Jenis-jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 a yat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahakamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat . Terkait kekuatan mengikat peraturan-peraturan tersebut, lebih lanjut Pasal 8 ayat (2) UU 12/2011 menyatakan bahwa: Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Simak ulasan selengkapnya mengenai hierarki peraturan perundang-undangan dalam artikel Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia . Menurut doktrin, dasar kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan berasal dari atribusi dan delegasi. A. Hamid S. Attamimmi menegaskan atribusi kewenangan perundang-undangan diartikan penciptaan wewenang (baru) oleh konstitusi/ grondwet atau oleh pembentuk undang-undang ( wetgever ) yang diberikan kepada suatu organ negara, baik yang sudah ada maupun yang dibentuk baru untuk itu. Sedangkan delegasi dalam bidang perundang-undangan ialah pemindahan/penyerahan kewenangan untuk membentuk peraturan dari pemegang kewenangan asal yang memberi delegasi ( delegans ) kepada yang menerima delegasi ( delegataris ) dengan tanggung jawab pelaksanaan kewenangan tersebut pada delegataris sendiri, sedangkan tanggung jawab delegans terbatas sekali. Yang dimaksud dengan menteri, lembaga, badan dan komisi yang setingkat yang disebutkan dalam Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011 lembaga negara, sebagaimana yang terdapat dalam pengertian peraturan perundang-undangan Pasal 1 angka 2 UU 12/2011 : Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga Negara atau Pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan . Dalam konsep trias politica tedapat tiga lembaga negara yaitu lembaga negara yang menjalankan kekuasaan dalam bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif. Apabila dilihat dari pembagian tiga lembaga negara tersebut kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan tentu terdapat pada lembaga legislatif. Namun karena Indonesia tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan melainkan pembagian kekuasaan, menjadikan fungsi kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan tidak hanya berada pada lembaga legislatif, tetapi lembaga eksekutif maupun judikatif juga diberikan kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan. Kewenangan lembaga lain untuk membentuk peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada ketentuan yang sudah ditetapkan oleh lembaga legislatif atau harus berdasarkan pada undang-undang atau konstitusi yang kewenangannya bersumber dari atribusi ataupun delegasi. Kedudukan Peraturan Kode Etik Advokat Untuk menentukan apakah kode etik termasuk kedalam jenis peraturan perundang-undangan maka kita perlu terlebih dahulu melihat definisi dari peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 1 angka 2 UU 12/2011 peraturan perundang-undangan didefinisikan sebagai peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan . Mengenai batasan peraturan perundang-undangan terdapat beberapa pendapat, menurut A Hamid S Attamimi memberikan batasan peraturan perundang-undangan adalah peraturan negara, ditingkat pusat dan ditingkat daerah, yang dibentuk berdasarkan kewenangan perundang-undangan, baik bersifat atribusi maupun bersifat delegasi, biasanya disertai sanksi dan berlaku umum serta mengikat rakyat. Kemudian, TJ Buys mengartikan peraturan perundang-undangan sebagai peraturan-peraturan yang mengikat secara umum. Pendapat tersebut oleh Prof. JHA Logemann ditambah dengan “naar buiten werkende voorschriften” , sehingga menurutnya peraturan perundang-undangan adalah peraturan yang mengikat secara umum dan berdayalaku keluar “ algemeenbindende en naar buiten werkende voorschriften ”. Berdayalaku keluar adalah bahwa peraturan tersebut ditujukan kepada masyarakat (umum) tidak ditujukan kepada (kedalam) pembentukannya . Kode etik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagaimana yang kami akses melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia adalah: norma dan asas yang diterima oleh kelompok tertentu sebagai landasan tingkah laku. Melihat penjelasan batasan-batasan dari peraturan perundang-undangan yang dijelaskan di atas, maka kode etik tidak dapat dikategorikan/termasuk dalam peraturan perundang-undangan karena kode etik adalah aturan yang dibuat untuk suatu kelompok tertentu. Demikian halnya dengan Kode Etik Advokat dibentuk oleh organisasi profesi dalam hal ini organisasi advokat. Di mana organisasi ini bukanlah termasuk kedalam kualifikasi lembaga negara/lembaga yang dapat membentuk peraturan perundang-undangan serta pembentukan kode etik itu tidak melalui prosedur yang telah ditetapkan dalam undang-undang. Kode etik merupakan kristalisasi perilaku yang dianggap benar dan diterima oleh umum karena berdasarkan pertimbangan kepentingan profesi yang bersangkutan. Norma-norma yang terdapat dalam kode etik merupakan norma-norma yang berasal dari dalam lingkungan organisasi profesi itu sendiri yang tidak dipaksakan dari luar. Sehingga kekuatan mengikat dari Kode Etik Advokat tersebut hanya berlaku bagi kalangan profesi tersebut, yang tidak dapat mengikat masyarakat secara umum dan berlaku ke dalam. Kode etik merupakan bagian dari hukum positif tertulis, tetapi perlu diketahui bahwa kode etik profesi tidaklah sama dengan undang-undang , keberlakuan kode etik profesi semata-mata berdasarkan kesadaran moral anggota profesi, berbeda dengan undang-undang yang bersifat memaksa dan dibekali sanksi berat, seorang ahli profesi yang melanggar kode etik profesi menerima sanksi dan atau denda dari induk organisasi profesinya. Sedangkan pelanggaran terhadap aturan hukum atau undang-undang dihakimi/diadili oleh lembaga peradilan yang berwenang untuk itu. Demikianlah jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan . Referensi : Kamus Besar Bahasa Indonesia , diakses pada Rabu, 22 Mei 2019, pukul 11.36 WIB. hukumonline kode etik advokat online kode etik tata negara profesi hukum hukum klinik hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah benar bahwa seorang Komisaris tidak diperbolehkan ikut dalam penandatanganan giro (Cek/BG)? Kalau memang benar, di pasal berapa ayat berapa dari Undang-Undang Perseroan Terbatas yang menyebutkan bahwa seorang Komisaris tidak diperbolehkan ikut dalam penandatanganan giro?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Masa Jabatan Direksi dan Dewan Komisaris PT 27 Apr 2023 Prinsip Fiduciary Duty Direksi dan Dewan Komisaris 08 Mar 2023 Masalah Kewenangan Dewan Komisaris Memberhentikan Direksi 11 Feb 2013 Rangkap Jabatan Direksi dan Dewan Komisaris dalam PT 30 Okt 2012 Sebelum menjawab pertanyaan pokok Anda, saya perlu menyampaikan bahwa istilah yang dikenal dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU Perseroan Terbatas”) adalah Dewan Komisaris, yang merupakan Organ Perseroan, bersama-sama dengan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan Direksi. Mencermati pertanyaan Anda yang menanyakan boleh atau tidak bolehnya Dewan Komisaris ikut dalam penandatanganan Cek atau Bilyet Giro sebagai suatu alat pembayaran (surat berharga), maka saya berasumsi bahwa maksud dari pertanyaan Anda adalah apakah Dewan Komisaris boleh menandatangani Cek/Bilyet Giro, setelah sebelumnya Direksi menandatangani Cek/Bilyet Giro tersebut (jadi ada 2 tanda tangan dalam Cek/Bilyet Giro tersebut). Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Untuk menjawab pertanyaan Anda tersebut, kita perlu untuk memahami pengertian, tugas dan wewenang dari Dewan Komisaris sebagai Organ Perseroan. Dalam Pasal 1 angka 6 UU Perseroan Terbatas dinyatakan bahwa Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus , sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi. Berdasarkan ketentuan di atas, UU Perseroan Terbatas sudah memberikan batasan tugas dan wewenang yang jelas antara Direksi dan Dewan Komisaris, sebagaimana pendapat dari Fred B.G Tumbuan dalam makalah yang disampaikan pada acara Sosialisasi Undang-Undang Tentang Perseroan Terbatas , yang diselenggarakan oleh Ikatan Notaris Indonesia pada 22 Agustus 2007, yang saya kutip berikut ini (hal. 24): “Dewan Komisaris tidak mempunyai peran dan Fungsi Eksekutif. Sekalipun AD (Anggaran Dasar) menentukan bahwa perbuatan-perbuatan Direksi tertentu memerlukan persetujuan Dewan Komisaris, persetujuan dimaksud bukan pemberian kuasa dan pula bukan perbuatan pengurusan. ” Menjawab pertanyaan Anda, sesuai dengan hal-hal yang uraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa memang tidak ada ketentuan dalam UU Perseroan Terbatas yang secara tegas menyebutkan bahwa Dewan Komisaris tidak diperbolehkan ikut dalam penandatanganan Cek atau Bilyet Giro, namun dalam Pasal 15 ayat (2) UU Perseroan Terbatas telah diatur bahwa Anggaran Dasar suatu Perseroan Terbatas dapat memuat/mengatur mengenai ketentuan lain, yang tidak bertentangan dengan UU Perseroan Terbatas , misalnya larangan adanya ketentuan tentang penerimaan bunga tetap atas saham dan ketentuan tentang pemberian manfaat pribadi kepada pendiri/pihak lain (Vide: Pasal 15 ayat [3] UU Perseroan Terbatas ). Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka tidak menutup kemungkinan bahwa di dalam Anggaran Dasar suatu Perseroan Terbatas dapat diatur bahwa Dewan Komisaris dapat ikut menandatangani Cek/Bilyet Giro setelah sebelumnya Direksi menandatangani Cek/Bilyet Giro tersebut. Dengan syarat, tanda tangan Dewan Komisaris tersebut dilakukan sebagai sarana pengawasan dan bukan merupakan perbuatan pengurusan Direksi yang bertindak sebagai persona standi in judicio dari suatu Perseroan Terbatas. Sebagai catatan penting untuk Anda, dalam melakukan pengaturan di Anggaran Dasar, jangan sampai kita memberikan kewenangan yang berlebihan bagi Dewan Komisaris, yang terlalu strict (ketat, ed.) melakukan pembatasan, sehingga menghambat peran dan kemandirian Direksi dalam mengemban kepercayaan dari Perseroan ( Fiduciary Duties ). Selain itu, apabila Dewan Komisaris melakukan kesalahan atau kelalaian dalam menjalankan tugas pengawasan dan memberi nasihat untuk Direksi, atau dengan kata lain melakukan perbuatan di luar kewenangannya ( Ultra Vires ), misalnya sampai mengambil tugas dan wewenang Direksi, maka Dewan Komisaris dapat bertanggung jawab secara pribadi dan tanggung renteng atas kerugian Perseroan tersebut (Vide: Pasal 114 ayat [2] dan ayat [3] UU Perseroan Terbatas ). Demikian jawaban saya. Semoga bermanfaat dan memberikan pencerahan untuk Anda. Dasar hukum : Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas perseroan terbatas direksi uu perseroan terbatas"
} |
{
"from": "human",
"value": "Bagaimana tanggapan anda mengenai perjanjian baku dalam kontrak eksklusif yang ditetapkan oleh rumah produksi dan artis cilik (di bawah umur), apa definisi dari kontrak eksklusif itu sendiri? Setujukah anda dengan kontrak eksklusif bagi anak-anak?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Pada dasarnya setiap kontrak yang dibuat adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak (lihat Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata -“ KUHPerdata ” ). Dengan demikian, dalam membuat kontrak/perjanjian, para pihak bebas menentukan isi kontrak sepanjang isi dari perjanjian itu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum (lihat Pasal 1337 KUHPerdata ). KLINIK TERKAIT Wajibkah Membuat Kontrak dalam Dua Bahasa Jika Melibatkan Pihak Asing? 10 Jun 2024 Bagaimana Pembuatan Kontrak yang Benar Secara Hukum? 09 Nov 2023 Sahkah Minta Stop Berlangganan Internet Hanya via E-mail ? 21 Agt 2023 Perbedaan antara Perikatan dan Perjanjian 31 Mei 2023 Mengenai klausula baku dalam kontrak/perjanjian eksklusif yang ditetapkan oleh rumah produksi memang dapat dicantumkan sepanjang isi dari klausula baku tersebut disepakati dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku . Sebagai contoh klausula baku yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau dilarang adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Undang -Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”) yang melarang suatu perjanjian menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha dalam klausula baku tersebut. Lebih jauh, simak artikel Perjanjian Baku . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Terkait dengan kontrak eksklusif yang melibatkan anak-anak (belum dewasa) sebagai artis cilik, merujuk pada syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dalam pasal tersebut dicantumkan empat syarat untuk sahnya suatu perjanjian, salah satunya adalah kecakapan para pihak. Termasuk dianggap tidak cakap oleh KUHPerdata diantaranya adalah orang-orang yang belum cukup umur. Karena dalam kasus ini perjanjian adalah terkait dengan pekerjaan, maka batasan umur anak yang ditetapkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”) yang diberlakukan. Pasal 1 Angka 26 UUK menyatakan bahwa anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan`belas) tahun. Syarat kecakapan sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata adalah bersifat subyektif, maka jika tidak dipenuhi perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya. Berdasarkan pengaturan Pasal 1320 KUHPerdata , anak di bawah umur tidak cakap untuk membuat perjanjian. Selain itu Pasal 47 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur bahwa orangtua mewakili anaknya mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. Artinya, agar perjanjian kerja antara rumah produksi dengan artis di bawah umur sah menurut hukum, maka anak dalam perjanjian tersebut harus diwakili oleh orangtua atau walinya. Selebihnya, karena perjanjian tersebut adalah mengenai perjanjian kerja, maka dalam membuat perjanjian ketentuan-ketentuan dalam UUK harus ditaati. Sebenarnya, secara prinsip Pasal 68 UUK melarang pengusaha mempekerjakan anak. Namun, UUK memang memberikan beberapa pengecualian terhadap anak yang bekerja, misalnya dalam Pasal 70 Angka 1 UUK ditentukan bahwa: ” Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya .” Untuk dapat melakukan pengecualian ini pengusaha harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 70 Angka 2 UUK yaitu: a. di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali; b. waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan c. kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah. Melihat pengaturan UUK di atas, maka sebenarnya secara normatif telah ada perlindungan bagi pekerja anak-anak. Pengaturan dalam pasal-pasal UUK ini berlaku bagi setiap anak, termasuk juga anak-anak yang bekerja sebagai talent dalam suatu rumah produksi. Pada prinsipnya, kami sependapat dengan pengaturan UUK ini, anak-anak dapat saja melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya. Sepanjang tidak melanggar hak-hak anak yang sudah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan tidak memberikan definisi apa yang dimaksud dengan kontrak eksklusif artis. Namun, advokat Samsul Huda pernah berkomentar mengenai kontrak eksklusif artis dalam artikel Dua Rumah Produksi Terlilit Sengketa Kontrak Artis . Huda menyatakan, “ Sifat eksklusif ini mengakibatkan selama perjanjian berlangsung, artis tidak berhak bekerja sama dalam bentuk apapun dengan perusahaan lain sebagai pemain sinetron, t elesinema, serial mini seri, atau bentuk produksi sejenis .” Dari pernyataan tersebut dapat kita simpulkan bahwa pada praktiknya kontrak eksklusif diartikan sebagai perjanjian antara rumah produksi dengan artisnya yang mensyaratkan selama perjanjian berlangsung, artis tidak berhak (atau dilarang) bekerja sama dalam bentuk apapun dengan perusahaan (Rumah Produksi) lainnya . Atas dasar penjelasan di atas, kami menyadari bahwa kontrak eksklusif memang dimaksudkan untuk mencegah artis atau pekerja seni untuk bekerja di rumah produksi lain. Hal ini dalam banyak hal dapat merugikan pihak artis. Maka kami sarankan sebelum menandatangani perjanjian sebaiknya persyaratan-persyaratannya dinegosiasikan terlebih dahulu. Perlu diingat bahwa suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHperdata hanyalah mengikat apabila kedua belah pihak telah sepakat. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata 2. Undang -Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 3. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakarjaan 4. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Setiap badan usaha wajib mengeluarkan CSR/TJSL. Lantas, apakah koperasi, BPR dan perbankan juga wajib mengeluarkan CSR/TJSL? 1. Bagaimana acuan perhitungan CSR/TJSL bagi badan usaha yang akan disalurkan? 2. Kemana saja CSR/TJSL itu disalurkan dan atas prinsip seperti apa? 3. Apakah penyaluran CSR/TJSL itu wajib dipublikasikan?"
} | {
"from": "gpt",
"value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITApa itu CSR dan Fungsinya26 Jul 2023Berapa Anggaran CSR yang Wajib Dikeluarkan Perusahaan?02 Nov 2020Dapatkah Dana CSR Digunakan Sebelum Dicatat dalam Kas Daerah?09 Okt 2019Kewajiban Perusahaan Tambang Melaksanakan CSR 23 Jan 2019\n\nCorporate Social Responsibility (“CSR”) juga dikenal dengan istilah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (“TJSL”).\n\nKetentuan mengenai TJSL dapat ditemukan dalam UU PT. TJSL adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.[1]\nLantas, perusahaan seperti apakah yang wajib melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan? Dalam Pasal 74 UU PT dinyatakan sebagai berikut.\n\nPerseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan TJSL.TJSL merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.\nLebih lanjut, dalam Penjelasan Pasal 74 UU PT dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam” adalah perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam.\nSementara, yang dimaksud dengan “perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam” adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam.\n\nDalam PP TJSL dinyatakan setiap perseroan selaku subjek hukum mempunyai tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dalam ketentuan ini ditegaskan bahwa pada dasarnya setiap perseroan secara moral mempunyai komitmen untuk bertanggung jawab atas tetap terciptanya hubungan perseroan yang serasi dan seimbang dengan lingkungan dan masyarakat setempat, sesuai dengan nilai, norma, dan budaya masyarakat tersebut.[2]\nNamun, senada dengan UU PT, dalam PP TJSL kewajiban atas TJSL dikenakan terhadap perseroan yang menjalankan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam.[3]\n\nSelain perseroan terbatas, dalam hal tanggung jawab sosial perusahaan, perusahaan penanaman modal juga berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan yaitu tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.[4] Artinya, badan usaha seperti koperasi, CV, firma, dan usaha dagang juga punya kewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan berdasarkan ketentuan Pasal 15 UU Penanaman Modal.[5]\n\nHal tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam Permensos 9/2020 mengenai TJSL badan usaha yang dimaksudkan sebagai bentuk peran serta badan usaha dalam pembangunan sosial secara berkelanjutan.[6] Adapun yang dimaksud dengan badan usaha adalah suatu kesatuan organisasi yang bertujuan memperoleh keuntungan dan memberikan layanan kepada masyarakat.[7]\n\nBaca juga: Apa itu CSR dan Fungsinya\nTJSL bagi Koperasi dan Perbankan\n\nLantas, apakah koperasi dan perbankan wajib menjalankan TJSL? Kewajiban TJSL bagi koperasi dan perbankan secara prinsip dapat kita lihat berdasarkan jenis entitasnya.\n\nKoperasi merupakan jenis usaha sebagai entitas yang berdiri sendiri dengan bentuk koperasi. Badan usaha koperasi tunduk kembali pada UU 25/1992 pasca Putusan MK No. 28/PUU-XI/2013 yang menyatakan UU 17/2012 inkonstitusional. Koperasi didefinisikan sebagai badan usaha yang beranggotakan orang perseorangan atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatan berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat berdasarkan asas kekeluargaan.[8]\n\nJika mengacu pada UU PT, koperasi bukanlah termasuk perseroan yang wajib melakukan TJSL. Jika koperasi melakukan kegiatan penanaman modal, maka koperasi tersebut wajib melakukan TJSL sebagaimana diatur di dalam UU Penanaman Modal.\n\nAdapun, bank umum dapat berbentuk perseroan terbatas, koperasi, atau perusahaan daerah.[9] Sementara, Bank Perkreditan Rakyat (“BPR”) terdiri atas perusahaan daerah, koperasi, perseroan terbatas, atau bentuk lain yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah.[10]\n\nBPR dan bank umum yang berbentuk perseroan terbatas tunduk pada rezim UU PT. Berdasarkan PP TJSL, perbankan yang berbentuk perseroan terbatas wajib ikut serta dalam upaya TJSL. Namun demikian, sejalan dengan UU PT, maka perseroan yang diwajibkan melakukan TJSL adalah perusahaan yang beroperasi di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam.\nTerhadap perbankan yang melakukan penanaman modal, berdasarkan UU Penanaman Modal maka harus melaksanakan tanggung jawab sosial. Sedangkan perbankan yang berbentuk Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”) wajib melaksanakan program TJSL BUMN berdasarkan ketentuan dalam Permen BUMN 05/2021.[11]\nMekanisme Pelaksanaan TJSL\n\nMenjawab pertanyaan Anda selanjutnya terkait dengan perhitungan TJSL, dapat kami sampaikan bahwa acuan perhitungan program TJSL diatur dalam Pasal 4 PP TJSL yang pada intinya mengatur bahwa pelaksanaan TJSL dilakukan oleh Direksi berdasarkan rencana kerja tahunan perseroan. Salah satu materi dimuat dalam rencana kerja tahunan tersebut adalah rencana kegiatan dan anggaran pelaksanaan TJSL.\n\nTerkait dengan acuan perhitungan program TJSL, dapat Anda baca selengkapnya dalam artikel Berapa Anggaran CSR yang Wajib Dikeluarkan Perusahaan?\nSelanjutnya, penyaluran TJSL dilakukan di dalam maupun di luar lingkungan perseroan.[12] Adapun sasaran TJSL diperuntukkan bagi seseorang, kelompok, atau masyarakat yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dengan kriteria kemiskinan, ketelantaran, disabilitas, keterpencilan, tuna sosial dan penyimpangan perilaku, korban bencana, dan/atau korban tindak kekerasan, ekploitasi serta diskriminasi.[13]\n\nTJSL di dalam badan usaha berkaitan dengan komitmen dan upaya badan usaha untuk memenuhi kebutuhan karyawan dan keluarga yang memenuhi kriteria. Adapun, TJSL di luar badan usaha berkaitan dengan komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat di lingkungan area sekitar badan usaha dan secara nasional.[14]\n\nPrinsip penyaluran TJSL yaitu:[15]\n\nDilaksanakan secara langsung oleh badan usaha;Melalui pihak ketiga;Bermitra dengan masyarakat; dan/atau Berkolaborasi dengan badan usaha lainnya dalam bentuk konsorsium\n\nTerkait dengan kewajiban publikasi TJSL yang dilakukan oleh badan usaha, secara tekstual tidak diatur secara limititatif dalam peraturan perundang-undangan.\nDalam peraturan perundang-undangan hanya diatur terkait dengan laporan TJSL. Hal ini diatur dalam Pasal 6 PP TJSL mengatur pelaksanaan program TJSL dimuat dalam laporan tahunan perseroan dan dipertanggungjawabkan kepada RUPS. Adapun dalam Pasal 25 Permensos 9/2020 diatur bahwa laporan TJSL disampaikan badan usaha dalam bentuk laporan tertulis kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial paling sedikit 1 kali dalam 1 tahun.\n\nDinamisnya perkembangan regulasi seringkali menjadi tantangan Anda dalam memenuhi kewajiban hukum perusahaan. Selalu perbarui kewajiban hukum terkini dengan platform pemantauan kepatuhan hukum dari Hukumonline yang berbasis Artificial Intelligence, Regulatory Compliance System (RCS). Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/843/undangundang-nomor-7-tahun-1992/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_7_1992)\n2. [Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/334?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_10_1998)\n3. [Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian](Data Kepolisian /pusatdata/detail/38/undangundang-nomor-25-tahun-1992/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_25_1992)\n4. [Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal](Data Kepolisian /pusatdata/detail/27362?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_25_2007)\n5. [Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas](Data Kepolisian /pusatdata/detail/26940/undangundang-nomor-40-tahun-2007?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_40_2007)\n6. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n7. [Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4f98d3a83cfd2/peraturan-pemerintah-nomor-47-tahun-2012?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=PP_47_2012)\n8. [Peraturan Menteri Sosial Nomor 9 Tahun 2020 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Badan Usaha](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5f92489e8ae1d/nprt/25/peraturan-menteri-sosial-nomor-9-tahun-2020?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permensos_9_2020)\n9. [Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-05/MBU/04/2021 Tahun 2021 tentang Program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Badan Usaha Milik Negara](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt608b7e4de4c40/peraturan-menteri-badan-usaha-milik-negara-nomor-per-05-mbu-04-2021-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permen_BUMN_05_2021)\nPUTUSAN\n\nPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-VI/2008;Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XI/2013.\n\n[1] Pasal 109 angka 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”)[2] Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas (“PP TJSL”) dan penjelasannya[3] Pasal 3 ayat (1) PP TJSL[4] Pasal 15 huruf b Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Penjelasannya[5] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-VI/2008, hal. 96[6] Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Sosial Nomor 9 Tahun 2020 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Badan Usaha (“Permensos 9/2020”)[7] Pasal 1 angka 2 Permensos 9/2020[8] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian[9] Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan[10] Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan[11] Pasal 2 Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-05/MBU/04/2021 Tahun 2021 tentang Program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Badan Usaha Milik Negara[12] Pasal 3 ayat (2) PP TJSL[13] Pasal 4 Permensos 9/2020[14] Pasal 5 ayat (2) dan (3) Permensos 9/2020[15] Pasal 9 Permensos 9/2020"
} |
{
"from": "human",
"value": "Dapatkah bantu dijelaskan tentang data pribadi di KTP? Apakah KTP merupakan data pribadi yang dilindungi?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Indonesia memiliki Kartu Tanda Penduduk Elektronik (“KTP-el”) yaitu kartu tanda penduduk yang dilengkapi cip yang merupakan identitas resmi penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh instansi pelaksana.[1]\n\nKTP-el mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah negara Indonesia, memuat elemen data penduduk, yaitu Nomor Induk Kependudukan (“NIK”), nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama (termasuk kepercayaan),[2] status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP-el, dan tandatangan pemilik KTP-el.[3]\n\nKTP sendiri merupakan dokumen kependudukan yaitu dokumen resmi yang diterbitkan oleh instansi pelaksana yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti autentik yang dihasilkan dari pelayanan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil.[4] Singkatnya KTP adalah dokumen kependudukan yang merupakan hasil dari kegiatan pendaftaran penduduk berupa kartu identitas.[5]\n\nJika dihubungkan dengan data pribadi, KTP juga memuat data pribadi atau data perseorangan, meliputi antara lain NIK, nama lengkap, jenis kelamin, tempat lahir, tanggal/bulan/tahun lahir, golongan darah, status perkawinan, pekerjaan, alamat, dan tanda tangan seperti yang telah disebutkan sebelumnya.[6]\n\nJadi, apakah KTP merupakan data pribadi? Jawabannya adalah benar. KTP adalah dokumen kependudukan resmi yang diterbitkan oleh instansi pelaksana yang memuat data kependudukan yang diperoleh dari kegiatan pendaftaran penduduk dan juga memuat data pribadi yang wajib disimpan dan dilindungi oleh negara.[7]\n\nMenteri Dalam Negeri adalah pihak penanggung jawab untuk memberikan hak akses data kependudukan kepada petugas provinsi dan petugas instansi pelaksana serta pengguna (lembaga negara, kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau badan hukum Indonesia). Petugas dan pengguna dilarang menyebarluaskan data kependudukan yang tidak sesuai dengan kewenangannya.[8]\n\nAdapun sanksi bagi setiap orang yang tanpa hak mengakses database kependudukan adalah dipidana penjara paling lama 2 tahun dan/atau denda paling banyak Rp25 juta.[9] Sanksi yang sama juga diberikan kepada setiap orang yang tanpa hak menyebarluaskan data kependudukan.[10]\nNIK KTP Bersifat Privasi\n\nSebagai tambahan informasi, NIK yang tertera pada KTP-el sifatnya adalah privasi dan tidak boleh sembarangan orang tahu. NIK adalah identitas penduduk Indonesia dan merupakan kunci akses dalam melakukan verifikasi dan validasi data jati diri seseorang guna mendukung pelayanan publik di bidang administrasi kependudukan.[11]\n\nNIK bersifat unik atau khas, tunggal dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai penduduk Indonesia dan berkait secara langsung dengan seluruh dokumen kependudukan.[12] Sehingga jika ditanya apakah nomor KTP itu privasi? Benar, NIK atau nomor KTP bersifat privasi.\n\nOleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk menjaga data pribadi atau dalam hal ini informasi yang termuat dalam KTP supaya tidak terjadi penyalahgunaan data pribadi.\nPelindungan Data Pribadi KTP\n\nSebagaimana telah dijelaskan bahwa KTP termasuk data pribadi yang dilindungi, maka berikut ini kami akan menjelaskan pelindungan berdasarkan UU PDP.\nMengingat dalam KTP termuat informasi antara lain mencakup nama lengkap, jenis kelamin, kewarganegaraan, dan lain-lain, maka KTP memuat data pribadi yang bersifat umum.[13]\n\nBeberapa ketentuan terkait pelindungan data pribadi dapat Anda baca lebih lanjut dalam Bab IV Hak Subjek Data Pribadi dari Pasal 5 s.d. Pasal 15 UU PDP. Selain itu, perlu diperhatikan pula ketentuan yang tercantum dalam Bab VI Kewajiban Pengendali Data Pribadi dan Prosesor Data Pribadi dalam Pemrosesan Data Pribadi dari Pasal 19 s.d. Pasal 54 UU PDP.\n\nMisalnya salah satu kewajiban pengendali data pribadi untuk mencegah data pribadi diakses secara tidak sah adalah dengan menggunakan sistem keamanan elektronik secara andal, aman, dan bertanggung jawab saat memproses data pribadi.[14]\n\nBaca juga: Terjadi Pencurian Data Pribadi (Identity Theft)? Tempuh Langkah Ini\n\nDengan demikian, KTP merupakan data pribadi yang dilindungi baik berdasarkan UU 23/2006 dan perubahannya maupun UU PDP. Sehingga, masyarakat secara sadar dan waspada harus menjaga privasi informasi atau data pribadi yang dimuat dalam KTP agar tidak terjadi penyalahgunaan hingga mengakibatkan kerugian.\n\nDemikian jawaban dari kami tentang apakah KTP merupakan data pribadi, semoga bermanfaat.\n\nDasar Hukum:\n\nUndang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan;Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi\n\nPutusan:\n\nPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016.\n[1] Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan (“UU 24/2013”)[2] Pasal 64 ayat (1) UU 24/2013 jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016[3] Pasal 64 ayat (1) UU 24/2013[4] Pasal 1 angka 8 UU 24/2013[5] Pasal 1 angka 10 UU 24/2013[6] Pasal 58 ayat (2) UU 24/2013[7] Pasal 79 ayat (1) UU 24/2013[8] Pasal 79 ayat (2) dan (3) dan penjelasannya UU 24/2013[9] Pasal 95 UU Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan (“UU 23/2006”)[10] Pasal 95A UU 24/2013[11] Penjelasan Umum UU 23/2006[12] Penjelasan Umum UU 23/2006[13] Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (\"UU PDP”)[14] Pasal 39 UU PDP"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah permohonan PKPU yang ditandatangani oleh kuasa direksi dapat dibenarkan?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Permohonan PKPU Pengajuan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (“PKPU”) dapat dilakukan oleh debitur yang mempunyai lebih dari satu kreditur maupun kreditur sendiri, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 222 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU 37/2004”) . Jika permohonan diajukan oleh debitur, maka berlaku syarat dalam Pasal 222 ayat (2) UU 37/2004 , yang berbunyi: Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih , dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditor. Sedangkan jika permohonan diajukan oleh kreditur, maka berlaku syarat dalam Pasal 222 ayat (3) UU 37/2004 yaitu: Kreditor yang memperkirakan bahwa Debitor tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih , dapat memohon agar kepada Debitor diberi penundaan kewajiban pembayaran utang, untuk memungkinkan Debitor mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditornya. Menyambung pertanyaan Anda, Pasal 224 ayat (1) UU 37/2004 menyatakan: Permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 harus diajukan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dengan ditandatangani oleh pemohon dan oleh advokatnya . Pengadilan yang dimaksud merupakan pengadilan niaga. [1] Apabila pemohon merupakan badan hukum sebagaimana yang tersirat dalam pertanyaan Anda, tempat kedudukan hukumnya adalah yang dimaksud dalam anggaran dasarnya. [2] Kedudukan Kuasa Direksi dalam PKPU Untuk menjawab pertanyaan Anda, kita perlu meninjau ketentuan mengenai wewenang direksi dan kuasa direksi di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU 40/2007”) terlebih dahulu. Pasal 1 angka 5 UU 40/2007 sudah menerangkan dengan jelas bahwa direksi merupakan organ perseroan yang berwenangan melakukan pengurusan perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan dari Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga, serta memiliki kewenangan mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan . Berdasarkan ketentuan ini, maka yang berhak mewakili suatu perseroan yang menjadi pemohon dalam permohonan PKPU adalah direksi. Lebih lanjut dalam proses pengurusan perseroan, Pasal 103 UU 40/2007 mengatur bahwa direksi dapat memberi kuasa tertulis kepada satu orang karyawan perseroan atau lebih atau kepada orang lain untuk dan atas nama perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu sebagaimana yang diuraikan dalam surat kuasa. Namun demikian, pembolehan ini tidak berlaku dalam konteks pengajuan PKPU, walaupun dalam perkembangan masih didapatkan banyak permohonan PKPU ditandatangani oleh karyawan yang menjadi kuasa direksi dan advokatnya . Jika kita merujuk pada Pasal 224 ayat (1) UU 37/2004, jelas bahwa permohonan PKPU harus ditandatangani oleh pemohon principal ( in casu direksi) dan oleh advokatnya yang ditujukan kepada pengadilan di mana tempat debitur berkedudukan. Alinea Kedua Penjelasan Pasal 224 UU 37/2004 juga telah menegaskan bahwa: Dalam hal Debitor adalah perseroan terbatas maka permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang atas prakarsanya sendiri hanya dapat diajukan setelah mendapat persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dengan kuorum kehadiran dan sahnya keputusan sama dengan yang diperlukan untuk mengajukan permohonan pailit. Pasal 104 ayat (1) UU 40/2007 sendiri mengatur bahwa: Direksi tidak berwenang mengajukan permohonan pailit atas Perseroan sendiri kepada pengadilan niaga sebelum memperoleh persetujuan RUPS , dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Hal ini mengindikasikan bahwa permohonan PKPU harus ditandatangani secara langsung oleh direksi , sebagaimana dalam pengajuan permohonan pailit. Dengan demikian, permohonan PKPU yang hanya ditandatangani oleh kuasa direksi dan advokatnya menurut hemat kami bertentangan dengan isi dan maksud dari Pasal 224 ayat (1) UU 37/2004. Kedudukan Advokat Selain pemohon prinicipal, permohonan juga ditandatangani oleh advokat. Yang dimaksud sebagai advokat merujuk pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU 18/2003”) yang berbunyi: Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini. Jasa hukum sendiri adalah jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa , mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien. [3] Dengan demikian, tanpa memberikan kuasa kepada karyawan pun, advokat sendiri telah berperan sebagai kuasa pendamping bagi perseroan yang hendak mengajukan permohonan PKPU. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. [1] Pasal 1 angka 7 UU 37/2004 [2] Pasal 3 ayat (5) UU 37/2004 [3] Pasal 1 angka 2 UU 18/2003 hukumonline penundaan kewajiban pembayaran utang kepailitan direksi pkpu kuasa permohonan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Sebelumnya saya terima kasih sekali atas jawaban dari pertanyaan-pertanyaan saya kemarin. Jawaban yang sangat bagus sekali. Saya mau bertanya lagi tentang kudeta yang kemarin terjadi, yang sempat heboh di media massa. Apakah kudeta tersebut bisa dipidana dengan sangkaan tindak pidana makar?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan yang sangat menarik ini. Kudeta atau makar pada dasarnya sebuah istilah yang dapat digunakan secara bergantian. Namun secara umum, kudeta lebih merujuk pada istilah politik sementara makar merujuk pada istilah hukum. KLINIK TERKAIT Perbuatan yang Termasuk Delik Penistaan Agama 24 Apr 2024 Kebebasan Memeluk Agama dan Kepercayaan sebagai Hak Asasi Manusia 13 Jul 2023 Tentang Hak Pistole 23 Okt 2012 Bisakah Menceraikan Istri Karena Pindah Agama? 06 Feb 2012 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia , kudeta adalah kata kerja yang berarti perebutan kekuasaan (pemerintahan) dengan paksa. Sementara, dalam Wikipedia dijelaskan bahwa kudeta adalah sebuah tindakan pembalikan kekuasaan terhadap seseorang yang berwenang dengan cara illegal dan sering kali bersifat brutal, inkonstitusional berupa \"penggambilalihan kekuasaan\", \"penggulingan kekuasaan\" sebuah pemerintahan negara dengan menyerang (strategis, taktis, politis) legitimasi pemerintahan kemudian bermaksud untuk menerima penyerahan kekuasaan dari pemerintahan yang digulingkan. Pada dasarnya kudeta adalah sebuah perbuatan pidana namun perbuatan pidana akan lenyap apabila kudeta sukses karena adanya legitimasi politik dari rakyat dan militer. Pada sisi lain, dalam hukum pidana istilah yang dikenal adalah makar. Tindak pidana makar masuk ke dalam rumpun kejahatan terhadap keamanan Negara. Secara teoritis, makar yang dikenal oleh umum adalah makar yang ditujukan ke dalam negeri yang dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu makar terhadap keselamatan Presiden dan Wakil Presiden, terhadap wilayah Negara, dan terhadap pemerintahan. Ketiga perbuatan ini diatur dalam Pasal 104, Pasal 106, dan Pasal 107 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Bentuk tindak pidana yang tepat dalam konteks kudeta adalah makar untuk menggulingkan pemerintahan seperti yang diatur dalam Pasal 107 KUHP yang berbunyi : “ (1) Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. (2) Para pemimpin dan pengatur makar tersebut dalam ayat 1, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun. ” Makar dalam rumusan delik ini adalah penggantian pemerintahan dengan cara yang tidak sah yang tidak berdasarkan saluran yang ditetapkan dalam ndang-undang. Oleh Karena itu, tindak pidana makar baru dapat dikenakan apabila memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 87 KUHP. Pasal 87 KUHP menegaskan bahwa tindak pidana makar baru dianggap terjadi apabila telah dimulainya perbuatan-perbuatan pelaksanaan dari si pembuat makar. Jika merujuk pada berita-berita media beberapa waktu lalu, tindakan orang yang “dianggap makar” barulah sebatas rencana untuk mengadakan demonstrasi-demonstrasi. Untuk itu, rumusan dan syarat delik ini tidak dapat terpenuhi. Dasar hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kudeta"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya melakukan perjanjian dengan A untuk menginvestasikan sejumlah uang dengan bunga tertentu tiap bulan. Perjanjian ini ditandatangani antara saya dengan A di atas meterai. Karena bermasalah, saya membuat surat penarikan dana sesuai dengan kesepakatan yg tercantum di perjanjian. Dua bulan sesudah surat tersebut, A melakukan pembayaran sebesar 10% dari investasi. Ketika melakukan pembayaran di kuitansi yang bermeterai dan saya tanda tangani, ditulis oleh A sebagai berikut; \"pembayaran selanjutnya menunggu pembayaran dari B\". Padahal saya tidak ada hubungan perjanjian dengan si B. Apakah kuitansi yang saya tanda tangani tersebut menggantikan perjanjian awal saya dengan si A? Apa dampak kuitansi tersebut dengan perjanjian awal saya? Karena waktu itu saya hanya berpikir, kuitansi itu hanya bukti tanda terima uang saja. Apakah saya masih bisa menuntut pengembalian uang saya tanpa harus menunggu pembayaran dari si B ke A? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Apakah perjanjian yang dibuat merupakan akta otentik atau akta di bawah tangan? Berdasarkan Pasal 162 HIR dinyatakan bahwa alat bukti tertulis dalam perkara perdata dapat dibedakan menjadi: KLINIK TERKAIT Bisakah Membatalkan Pembelian Barang dengan Cacat Tersembunyi? 13 Jun 2023 Dapatkah Kuitansi Berfungsi Sebagai Perjanjian? 07 Sep 2022 Klausula Baku dalam Formulir Pendaftaran Perguruan Tinggi 22 Jul 2011 Faktur Tidak Ada, Jual Beli Kendaraan Bisa Batal? 29 Mar 2011 1. Akta otentik: dibuat di depan pejabat publik (notaris, dll.) Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 2. Akta di bawah tangan: dibuat tidak di depan pejabat publik, namun ditandatangani oleh para pihak dan saksi). 3. Bukti tertulis lainnya: bukti tertulis dibuat tidak dalam rangka pembuktian di depan persidangan. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sedangkan akta di bawah tangan memiliki kekuatan pembuktian pembuktian yang sempurna hanya jika diakui oleh pihak lawan. Dalam kasus Saudara, jikalau perjanjian yang dibuat merupakan akta otentik, maka Hakim terikat pada ketentuan yang dibuat di dalam akta tersebut, bukan kepada kuitansi. Jikalau perjanjian bukanlah merupakan akta otentik, hanya akta bawah tangan, maka kekuatan pembuktian atas hal tersebut bergantung kepada lawan. Apabila lawan mengakui, maka akta di bawah tangan akan bersifat mengikat para pihak. Dalam hal ini, Saudara masih bisa menuntut pengembalian uang saya tanpa harus menunggu pembayaran dari si B ke A. Namun, apabila perjanjian tidak diakui oleh lawan, maka harus dikuatkan dengan alat bukti lain di depan persidangan. Hal tersebut bisa dibuktikan dengan kuitansi, saksi, persangkaan hakim, ataupun sumpah. Demikian penjelasan dari saya, semoga berguna. DASAR HUKUM: Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR) / Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (RIB), (S. 1848 No. 16, S.1941 No. 44)"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah yang melatarbelakangi Komisi Yudisial (KY) tidak mempunyai kewenangan mengawasi Hakim Konstitusi? Lalu siapakah yang berwenang mengawasi Hakim Konstitusi?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Bagaimana peran Komisi Yudisial dalam pengawasan hakim? Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Komisi Yudisial (“KY”) bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.\nLebih lanjut, dalam UU 22/2004 disebutkan tugas KY adalah untuk melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung dan badan peradilan.[1]\n\nMenanggapi ketentuan tersebut, pada tahun 2006 para hakim agung yang tidak sepakat dengan ketentuan terkait mengajukan permohonan pengujian materiil.[2] Para pemohon mendalilkan bahwa UU 22/2004 telah keliru dalam mengatur ketentuan pengawasan KY yang diatur dalam konstitusi, sebagai berikut.\n\nKY seharusnya tidak berwenang dalam mengawasi hakim Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi karena hakim tersebut tidak seluruhnya berasal dari hakim tingkat I dan hakim banding.[3]KY juga seharusnya tidak mengawasi hakim ad hoc karena frasa yang digunakan dalam konstitusinya hanyalah “hakim” saja.[4]Pengawasan KY seharusnya tidak mencakup Hakim Agung karena KY merupakan mitra dari Mahkamah Agung dalam melakukan pengawasan terhadap para hakim pada badan peradilan.[5]Mekanisme penjatuhan sanksi yang berjalan untuk Hakim Agung dan Hakim Konstitusi dilakukan tanpa melalui intervensi KY, sehingga KY tidak memiliki kewenangan.[6]\n\nDi sisi lain, pemerintah dan DPR sebagai pihak pemberi keterangan menyatakan bahwa permohonan yang diajukan seharusnya ditolak dikarenakan beberapa alasan berikut.[7]\n\nPenafsiran pemohon adalah penafsiran sepihak sehingga tidak perlu dipertimbangkan.Perbedaan perekrutan hakim tidak dapat dijadikan dasar untuk membedakan Hakim Agung dengan Hakim, sehingga KY harus dianggap tetap berwenang.Original intent yang diatur dalam UU 22/2004 adalah mengatur bahwa kewenangan KY harus ditafsirkan mencakup hakim agung, hakim pada semua lembaga peradilan, serta hakim konstitusi.Pengawasan yang dilakukan oleh KY bersifat eksternal untuk menjaga martabat hakim. Hal ini berbeda dengan pengawasan internal yang dilakukan oleh Hakim Agung, sehingga intervensi KY tidak mengganggu pengawasan teknis yudisial (internal) yang dilakukan oleh Hakim Agung.\n\nSehingga, bagaimana peran Komisi Yudisial dalam pengawasan hakim? Pada akhirnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa KY tetap berwenang mengawasi Hakim Agung, namun KY tidak berwenang mengawasi Hakim Konstitusi. Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan bahwa independensi yang dimiliki Hakim Agung harus sejalan dengan akuntabilitas melalui sistem pengawasan oleh KY sebagai supporting element.[8]\n\nAdapun Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan bahwa dalam original intent, Hakim Konstitusi tidak boleh diawasi oleh KY dikarenakan letak ketentuan Pasal 24C UUD 1945 yang mengatur mengenai MK diatur setelah Pasal 24B UUD 1945 yang mengatur mengenai KY.\n\nBaca juga: Beda Wewenang KY dan MA dalam Pengawasan Hakim\nSiapa Berwenang Mengawasi Hakim Konstitusi?\n\nSetelah KY dinyatakan tidak berwenang sebagai pengawas eksternal, pengawasan terhadap Hakim Konstitusi seluruhnya hanya dilaksanakan secara internal. Pengawasan internal ini dilakukan oleh dua lembaga, yaitu Dewan Etik Hakim Konstitusi dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (“MKMK”).\n\nDewan Etik Hakim Konstitusi adalah perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan Kode Etik Hakim Konstitusi terkait dengan laporan dan informasi mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh hakim terlapor atau hakim terduga yang disampaikan oleh masyarakat.[9]\n\nMKMK adalah perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan Kode Etik Hakim Konstitusi terkait dengan laporan mengenai dugaan pelanggaran berat yang dilakukan oleh hakim terlapor atau hakim terduga yang disampaikan oleh Dewan Etik Hakim Konstitusi.[10]\n\nMenurut Peraturan MK 2/2014, Dewan Etik Hakim Konstitusi berjumlah 3 orang yang terdiri atas unsur:[11]\n\n1 orang mantan Hakim Konstitusi;1 orang Guru Besar dalam bidang hukum; dan1 orang tokoh masyarakat.\n\nSedangkan untuk MKMK ini menjadi catatan penting bahwa susunan keanggotaannya terus menerus berubah seiring perubahan UU MK. Adapun, susunan keanggotaan MKMK ini dalam perubahan pertama terdiri sebagai berikut: [12]\n\n1 orang Hakim Konstitusi;1 orang anggota KY;1 orang dari unsur DPR;1 orang dari unsur pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum; dan1 orang hakim agung\n\nKemudian, ketentuan ini diubah kedua kalinya oleh UU 4/2014 menjadi sebagai berikut:[13]\n1 orang mantan Hakim Konstitusi;1 orang praktisi hukum;2 orang akademisi yang salah satu atau keduanya berlatar belakang di bidang hukum; dan1 orang tokoh masyarakat.\n\nSelanjutnya, kini ketentuan ini diubah kembali dalam perubahan ketiga oleh UU 7/2020, kedudukan mengenai ketentuan di atas berubah menjadi sebagai berikut:[14]\n1 orang hakim konstitusi;1 orang anggota KY; dan1 orang akademisi yang berlatar belakang di bidang hukum.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami tentang bagaimana peran Komisi Yudisial dalam pengawasan hakim, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4ca2eb6dd2834/node/lt49c8ba3665987/uud-undang-undang-dasar-1945?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UUD_1945)\n2. [Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung](Data Kepolisian /pusatdata/detail/3781/nprt/2/undangundang-nomor-14-tahun-1985?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_14_1985)\n3. [Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17917?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_5_2004)\n4. [Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung](Data Kepolisian /pusatdata/detail/28864?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_3_2009)\n5. [Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13664/undangundang-nomor-24-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_24_2003)\n6. [Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4e3118f0c4f79/nprt/lt51ee17b11ad42/undangundang-nomor-8-tahun-2011?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_8_2011)\n7. [Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt52e63b5c46dc0/nprt/lt51ee17b11ad42/undang-undang-nomor-4-tahun-2014?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_4_2014)\n8. [Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5f76abc40155f?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_7_2020)\n9. [Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial](Data Kepolisian /pusatdata/detail/19747/undangundang-nomor-22-tahun-2004/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_22_2004)\n10. [Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4ed5f3875eaf3?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_18_2011)\n11. [Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5ed8ae4a54da7/peraturan-mahkamah-konstitusi-nomor-2-tahun-2014?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=mk_2_2014)\nPUTUSAN\n\nPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006.\n\n[1] Pasal 1 angka 5 dan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial[2] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, hal. 7[3] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, hal. 6[4] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, hal. 7[5] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, hal. 8 dan Pasal 32[6] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, hal. 8-9[7] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, hal. 23-29[8] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, hal. 178[9] Pasal 1 angka 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (“Peraturan MK 2/2014”)[10] Pasal 1 angka 2 Peraturan MK 2/2014[11] Pasal 15 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi[12] Pasal 27A ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi[13] Pasal 27 A ayat (5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang[14] Pasal 27A ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya, pria berusia di bawah 30 tahun, cukup sering menerima perlakuan yang menurut saya termasuk pelecehan seksual. Perlakuan ini saya terima dari wanita-wanita teman kantor yang usianya lebih tua dari saya. Mereka terkadang memegang lengan saya bahkan meremasnya (saya nge-gym teratur dan jogging). Yang terakhir dalam lift pantat saya diremas oleh dua wanita itu, lalu keduanya menjepit tubuh saya dengan menempelkan badan mereka sebentar (dengan cara memunggungi saya di bagian depan dan belakang badan sambil bergerak-gerak). Apakah saya termasuk korban pelecehan seksual? Adakah cara memperkarakan jika mereka nanti lebih jauh lagi?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi atau mengarah kepada hal-hal seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan reaksi negatif seperti malu, marah, benci, tersinggung dan sebagainya pada diri individu yang menjadi korban pelecehan tersebut.[1]\nDisarikan dari artikel Jerat Hukum bagi Pelaku Pelecehan di Media Sosial, menjawab pertanyaan apa itu pelecehan seksual dan contohnya? menurut Komnas Perempuan pelecehan seksual adalah tindakan seksual fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan, dan mungkin menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan. Contohnya siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, dan sebagainya.\nJerat Pidana Pelecehan Seksual Menurut KUHP\nDi dalam KUHP istilah pelecehan seksual tidak dikenal, melainkan hanya dikenal sebagai perbuatan cabul. Perbuatan cabul dalam KUHP diatur dalam Pasal 281 KUHP hingga Pasal 298 KUHP.\n\nAdapun, berkaitan kejadian yang menimpa Anda maka pelecehan seksual pasal berapa dalam KUHP? Jawabannya Pasal 289 KUHP yang berbunyi:\n\nBarang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.\n\nR. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal mengatakan bahwa yang dimaksud dengan segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu berahi kelamin, misalnya: cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya (hal. 212).\n\nLebih lanjut R. Soesilo menyatakan bahwa yang dilarang dalam pasal ini bukan saja memaksa orang untuk melakukan perbuatan cabul, tetapi juga memaksa orang untuk membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul (hal. 212).\n\nPerbuatan meremas pantat Anda, menempel dan menggerak-gerakkan tubuh pelaku di tubuh Anda akan memenuhi unsur pasal tersebut apabila ada unsur paksaan kepada Anda untuk membiarkan perbuatan cabul itu dilakukan.\n\nBaca juga : Hukum Pidana Pasal Pelecehan Seksual dan Pembuktiannya\nJerat Pidana Pelecehan Seksual Menurut UU TPKS\n\nBerbeda dengan KUHP yang tidak memuat istilah pelecehan seksual secara tersurat, definisi pelecehan seksual menurut undang-undang dimuat di dalam UU TPKS.\n\nDalam UU TPKS, pelecehan seksual merupakan salah satu bentuk tindak pidana kekerasan seksual yang terdiri atas pelecehan seksual fisik dan pelecehan seksual non fisik.[2]\n\nLantas, jenis pelecehan seksual apa saja? Sebagaimana disebutkan di atas, pelecehan seksual terdiri atas pelecehan seksual nonfisik dan pelecehan seksual fisik. Adapun pengertiannya sebagai berikut:\n\nPelecehan seksual nonfisik adalah perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya.[3]\n\nYang dimaksud dengan ‘perbuatan seksual secara nonfisik’ adalah pernyataan, gerak tubuh, atau aktivitas yang tidak patut dan mengarah kepada seksualitas dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan.[4]\n\nContoh pelecehan seksual nonfisik antara lain siulan, kedipan mata, ucapan yang bernuansa seksual, ajakan melakukan hubungan seksual, mempertunjukkan alat kelamin, mempertunjukkan alat kelamin, merekam atau memfoto secara diam-diam tubuh seseorang.\n\nPelecehan seksual fisik terdiri dari 3 bentuk yaitu:[5]\n\nPerbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya;Perbuatan seksual fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya secara melawan hukum, baik di dalam maupun di luar perkawinan.Penyalahgunaan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untu melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau orang lain.\n\nContoh pelecehan fisik antara lain sentuhan, usapan, colekan, dekapan, dan/atau ciuman.\n\nSecara lebih konkret, bentuk-bentuk pelecehan seksual baik fisik dan nonfisik dapat dijabarkan sebagai berikut.[6]\n\nLelucon seks, menggoda secara terus menerus dengan kata-kata tentang hal-hal yang berkaitan dengan seks;Memegang ataupun menyuruh anggota tubuh, terutama organ reproduksi orang lain dengan tujuan seksual;Secara berulang berdiri dengan dekat sekali atau hingga bersentuhan badan dan badan antar orang;Membuat atau mengirimkan gambar-gambar, kartun, atau hal lainnya yang terkait dengan seks;Menunjukkan gerik-gerik tubuh, tatapan mata, atau ekspresi lain yang memiliki maksud atau tujuan seksual;Melakukan tindakan yang mengarah ke perilaku seksual dengan unsur pemaksaan, misalkan mencium atau mengajak berhubungan seksual;Melakukan kekerasan, termasuk memukul atau menendang untuk memaksa agar orang lain menuruti keinginan seksual sang pelaku kekerasan;Melakukan hubungan seksual dengan kekerasan (pemerkosaan).\nApakah Laki-Laki Bisa Menjadi Korban Pelecehan Seksual?\n\nMenjawab pertanyaan Anda terkait apakah Anda sebagai laki-laki termasuk korban pelecehan seksual, maka jawabannya benar. Meskipun pada umumnya korban pelecehan seksual adalah kaum wanita, namun bukan berarti kaum pria kebal terhadap pelecehan seksual.\n\nDalam UU TPKS dijelaskan bahwa korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, kerugian ekonomi, dan/atau kerugian sosial yang diakibatkan tindak pidana kekerasan seksual.[7] Ketentuan tersebut menyebutkan ‘orang’ secara umum, tanpa memandang jenis kelamin ataupun gender tertentu. Dengan demikian siapapun orang tersebut, pria atau wanita dan dari kalangan manapun dapat menjadi korban pelecehan seksual.\n\nSelain itu, berdasarkan Penjelasan Umum UU TPKS, pelecehan seksual adalah bentuk dari tindakan kekerasan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan menjadi hak setiap warga negara untuk mendapatkan pelindungan dari kekerasan seksual. Frasa ‘setiap warga negara’ di sini tentu tidak membedakan asal usul maupun jenis kelamin atau gender tertentu karena berlaku untuk semua warga negara.\n\nBerdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Anda termasuk korban pelecehan seksual fisik karena bagian tubuh Anda disentuh/diremas di luar kehendak Anda.\n\nHukuman pelecehan seksual fisik tersebut berdasarkan Pasal 6 ayat (1) UU TPKS adalah pidana penjara maksimal 4 tahun dan/atau pidana denda maksimal Rp50 juta.\n\nSelain itu, pelaku juga dapat dijerat pasal perbuatan cabul Pasal 289 KUHP jika memenuhi unsur-unsur pasal tersebut, salah satunya adanya paksaan, dengan ancaman pidana penjara maksimal 9 tahun.\n\nAdapun untuk memperkarakan perbuatan pelaku, maka Anda dapat melaporkannya kepada kepolisian untuk diproses secara pidana. Adapun mengenai prosedur melaporkan tindak pidana ke polisi, dapat disimak dalam artikel Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya.\n\nPerlu Anda ketahui pula bahwa sebagai korban, Anda mempunyai hak-hak yang diatur dalam Pasal 66 sampai dengan Pasal 71 UU TPKS seperti mendapatkan pendampingan hukum dan hak lainnya.\nBaca juga: Kekerasan Seksual pada laki-laki: Diabaikan atau Belum Ditangani Serius\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/nprt/38/wetboek-van-strafrecht-(wvs)-kitab-undang-undang-hukum-pidana-(kuhp)?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt627b23aa80fff/undang-undang-nomor-12-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_12_2022)\nREFERENSI:\n1. Allan Taufiq Rivai dkk (Ed). Buku Suplemen Bimbingan Teknis Kesehatan Reproduksi: Pelecehan Seksual. UNESCO dan BKKBN, November 2012\n2. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor, 1991.\n\n[1] Allan Taufiq Rivai, dkk (Ed), Buku Suplemen Bimbingan Teknis Kesehatan Reproduksi: Pelecehan Seksual, UNESCO dan BKKBN, November 2012, hal.8[2] TPKS Pasal 4 ayat (1) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (“UU TPKS”)[3] Pasal 5 UU TPKS[4] Pasal 5 UU TPKS[5] Pasal 6 UU TPKS[7] Pasal 1 angka (4) UU TPKS"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah laporan dapat dicabut kembali? Dalam hal ini penuntutan terhadap tindak pidana penggelapan dalam Pasal 372 KUHP. Apabila bisa, apa dasar hukumnya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Tindak pidana penggelapan diatur dalam pasal tersendiri dalam KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[1] yaitu tahun 2026. Berapa lama hukuman pidana penggelapan? Berikut bunyi pasalnya sebagai berikut:\nPasal 372 KUHP\n\nBarang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu.[2]\n\nPasal 486 UU 1/2023\n\nSetiap orang yang secara melawan hukum memiliki suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena tindak pidana, dipidana karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu Rp200 juta.[3]\n\nBaca juga: Bunyi Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan dan Unsurnya\n\nLebih lanjut, jika penggelapan terjadi di lingkungan keluarga, ada ketentuan tersendiri yang sudah kami ulas dalam Penggelapan dalam Lingkungan Keluarga, Ini Sanksi Pidananya.\nApakah Laporan Dapat Dicabut Kembali?\n\nNamun, perlu digarisbawahi bahwa tindak pidana penggelapan merupakan delik aduan jika terjadi dalam lingkup keluarga.[4] Dalam hal tindak pidana penggelapan dilakukan di luar lingkup keluarga tersebut, tindak pidana penggelapan bukanlah merupakan delik aduan, melainkan delik biasa.\n\nLalu apakah laporan dapat dicabut kembali? Meskipun laporan di kepolisian dicabut oleh korban, proses penuntutan tindak pidana penggelapan akan terus berjalan. Hal ini sesuai dengan tujuan hukum acara pidana untuk mencari kebenaran materiel yaitu kebenaran yang sesungguhnya mengenai siapa pelaku tindak pidana yang sesungguhnya yang seharusnya dituntut dan didakwa.\n\nDalam hal pengaduan tindak pidana penggelapan dalam lingkup keluarga telah dilakukan, namun kemudian korban hendak mencabut pengaduannya, maka berdasarkan Pasal 75 KUHP, pengaduan dapat ditarik kembali/dicabut dalam waktu 3 bulan setelah pengaduan diajukan. Sedangkan Pasal 29 ayat (1) UU 1/2023 menyebutkan pengaduan harus diajukan dalam tenggang waktu:\n\n6 bulan terhitung sejak tanggal orang yang berhak mengadu mengetahui adanya tindak pidana jika yang berhak mengadu bertempat tinggal di Indonesia; atau9 bulan terhitung sejak tanggal orang yang berhak mengadu mengetahui adanya tindak pidana jika yang berhak mengadu bertempat tinggal di luar wilayah Indonesia.\n\nJika yang berhak mengadu lebih dari 1 orang, tenggang waktu di atas dihitung sejak tanggal masing-masing pengadu mengetahui adanya tindak pidana.[5]\n\nJadi, pencabutan laporan/pengaduan di kepolisian tidak akan menghentikan penuntutan terhadap tindak pidana penggelapan, kecuali hal tersebut terjadi dalam lingkup keluarga seperti yang telah kami paparkan di atas.\n\nSebagai tambahan informasi, apakah kasus penggelapan bisa kadaluarsa? Bisa, menurut Pasal 78 ayat (1) angka 3 KUHP atau Pasal 136 ayat (1) huruf c UU 1/2023 yaitu setelah melampaui 12 tahun.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/nprt/38/wetboek-van-strafrecht-(wvs)-kitab-undang-undang-hukum-pidana-(kuhp)?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023_KUHP_baru)\n3. [Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt4f4df95a89a5f/peraturan-mahkamah-agung-nomor-2-tahun-2012?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perma_2_2012)\n[1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)[2] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, denda dilipatgandakan 1.000 kali[3] Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023[4] Pasal 367 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) atau Pasal 481 ayat (2) UU 1/2023[5] Pasal 29 ayat (2) UU 1/2023"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah bekerja di law firm itu juga harus tunduk pada UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja? Karena gaji pokok saya saat ini hitungannya di bawah upah minimum, dan hitungan tambahan gaji diperoleh dari case yang dikerjakan. Apakah law firm dikecualikan dari ketentuan UU 13/2003 dan UU Cipta Kerja?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebelum menjawab pertanyaan Anda, kami berasumsi yang Anda maksud adalah law firm yang didirikan di wilayah dan oleh hukum Indonesia.\nDi Indonesia, law firm atau firma hukum lazimnya berbentuk firma atau persekutuan perdata. Firma menurut Pasal 16 KUHDdiartikan sebagai berikut:\n\nPerseroan Firma adalah suatu perseroan yang didirikan untuk melakukan suatu usaha di bawah satu nama bersama.\nSedangkan pengertian dari persekutuan perdata, Anda dapat menilik bunyi Pasal 1618KUH Perdata yaitu:\n\nPerseroan perdata adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih, yang berjanji untuk memasukkan sesuatu ke dalam perseroan itu dengan maksud supaya keuntungan yang diperoleh dari perseroan itu dibagi di antara mereka.\n\nBaca juga: Jenis-jenis Badan Usaha dan Karakteristiknya\nApakah Law Firm Tunduk pada Hukum Ketenagakerjaan?\n\nUntuk menjawab pertanyaan Anda, pertama-tama kami akan menjelaskan siapa yang dimaksud dengan pekerja dalam Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan:\n\nPekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.\n\nSelanjutnya pengertian dari pengusaha disebut dalam Pasal 1 angka 5 UU Ketenagakerjaan dengan arti sebagai berikut:\n\nOrang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan sendiri;Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.\n\nMenurut hemat kami, law firm baik yang didirikan dalam bentuk firma atau Persekutuan perdata termasuk ke dalam kategori Pengusaha sebagaimana definisi di atas.\n\nAdapun hak pekerja/buruh atas upah timbul pada saat terjadi hubungan kerja,[1] yaitu hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.[2]\n\nDengan demikian, law firm tunduk pada UU Ketenagakerjaan yang beberapa ketentuannya telah diubah, dihapus, atau ditetapkan pengaturan baru dengan Perppu Cipta Kerja yang telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan UU Cipta Kerja.\n\nSehubungan dengan pertanyaan Anda mengenai upah minimum dan tambahan gaji berdasarkan case yang dikerjakan, perlu Anda ketahui pada prinsipnya pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum.[3] Lebih lanjut, upah minimum berlaku bagi pekerja/buruh yang masa kerjanya kurang dari 1 tahun pada perusahaan.[4]\n\nDalam hal pengusaha membayar upah di bawah upah minimum, pekerja dapat mengajukan langkah hukum sebagaimana dijelaskan Upah di Bawah Standar Minimum, Ini Langkah Hukumnya.\n\nKemudian perlu digarisbawahi pada Pasal 81 angka 28 Perppu Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 88A ayat (3) UU Ketenagakerjaan termaktub:\n\nPengusaha wajib membayar upah kepada pekerja/buruh sesuai dengan kesepakatan.\n\nMeski sesuai kesepakatan, hal tersebut tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.[5] Jika kesepakatan itu lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan menjadibatal demi hukum dan pengaturan pengupahan dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.[6]\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Dagang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/507/wetboek-van-koophandel-voor-indonesie/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHD)\n2. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/17229/burgerlijk-wetboek?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n3. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_13_2003)\n4. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n5. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n[1] Pasal 81 angka 28 Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Perppu Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”) yang memuat baru Pasal 88A ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)\n\n[2] Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan\n\n[3] Pasal 81 angka 28 Perppu Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 88E ayat (2) UU Ketenagakerjaan\n\n[4] Pasal 81 angka 28 Perppu Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 88E ayat (1) UU Ketenagakerjaan\n\n[5] Pasal 81 angka 28 Perppu Cipta Kerja Kerja yang memuat baru Pasal 88A ayat (4) UU Ketenagakerjaan\n\n[6] Pasal 81 angka 28 Perppu Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 88A ayat (5) UU Ketenagakerjaan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya mau bertanya seputar legal officer, apakah seorang legal officer harus seorang advokat? Misalnya ada seorang sarjana hukum tetapi dia bukan advokat, apakah bisa jadi legal officer di suatu perusahaan? Terima kasih jawabannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Mengenal Tugas Legal Officer 15 Feb 2024 Bolehkah Karyawan Mewakili Perusahaan di Pengadilan? 17 Okt 2022 Wewenang Sekretaris Perusahaan 11 Jun 2014 Akibat Hukum Jika Perusahaan Tidak Membuatkan Perjanjian Kerja 07 Feb 2013 Intisari: Legal officer merupakan salah satu profesi yang menuntut kualifikasi dari lulusan Fakultas Hukum. Latar belakang pendidikan hukum menjadi prasyarat mutlak untuk menjalani profesi legal officer . Mengenai harus atau tidaknya legal officer adalah advokat, hal tersebut kembali pada kebutuhan dan kebijakan perusahaan tersebut. Pada praktiknya memang ada perusahaan tertentu yang memiliki kebijakan dimana legal officer yang dipekerjakannya harus memenuhi syarat seperti mengantongi izin advokat. Sebaliknya, adapula yang tidak wajib mensyaratkan legal officer mengantongi izin advokat. Penjelasan lebih lanjut serta contohnya dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Posisi Legal officer di Suatu Perusahaan Posisi legal officer dalam suatu perusahaan tidak hanya mengurus masalah internal perusahaan, tapi juga mengurus masalah eksternal perusahaan. Demikian yang dijelaskan oleh Jimmy Joses Sembiring, S.H., M.Hum. dalam buku “ Legal officer, Panduan Mengelola Perizinan, Dokumen, HaKI, Ketenagakerjaan dan Masalah Hukum di Perusahaan ” sebagaimana pernah dikutip dalam artikel Tugas Legal officer . Lebih lanjut, Jimmy Joses menjelaskan bahwa tugas seorang legal officer untuk perusahaan yang berskala besar dapat dibagi menjadi beberapa bagian, seperti legal officer yang bertugas menangani dokumen dan perizinan atau legal officer yang bertugas menangani permasalahan hukum, baik untuk masalah perdata maupun pidana. Namun, di perusahaan skala menengah, legal officer menangani semua hal termasuk dokumen dan permasalahan hukum. Masih bersumber dari laman yang sama, Jimmy Joses menjelaskan bahwa kedudukan sebagai legal di suatu perusahaan memiliki peranan penting. Hal ini disebabkan segala hal yang berhubungan dengan jalannya suatu perusahaan sangat bergantung pada dokumen-dokumen, perizinan-perizinan, surat-surat dan langkah-langkah hukum yang harus ditempuh jika terjadi masalah hukum. Contoh Tugas Legal Officer di Perusahaan Sudaryat , dalam bukunya Legal Officer (hal. 12), mengatakan bahwa tugas legal officer bervariasi, bergantung pada jenis perusahaannya. Contohnya: 1) Legal officer perusahaan bank atau lembaga pembiayaan bertugas melakukan analisis yuridis, melakukan pemeriksaan dan penilaian jaminan, menyiapkan perjanjian kredit, melakukan pengikatan jaminan, melakukan penyimpanan legal dokumen, melakukan pengawasan kredit, serta melakukan upaya penyelamatan kredit bermasalah. 2) Legal officer perusahaan ekpedisi atau logistik bertugas me- review aktivitas corporate legal , me- review dan menangani perjanjian bisnis, serta menangani pengelolaan dokumen legal. 3) Legal officer perusahaan migas bertugas dalam hal handling legal contract, procurements, tender, and litigation . Legal officer Harus Lulusan Fakultas Hukum Perlu diketahui bahwa legal officer merupakan salah satu profesi yang menuntut kualifikasi dari lulusan Fakultas Hukum . Latar belakang pendidikan hukum menjadi prasyarat mutlak untuk menjalani profesi legal officer . [1] Apakah Legal officer Harus Advokat? Advokat yaitu orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”). [2] Yang dapat diangkat sebagai advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat. [3] Penjelasan lebih lanjut tentang advokat silakan Anda simak artikel Prosedur Menjadi Advokat Sejak PKPA Hingga Pengangkatan dan Apakah Perbedaan Pengacara dengan Penasihat Hukum? . Mengenai harus atau tidaknya legal officer itu adalah advokat, hal tersebut kembali pada kebutuhan dan kebijakan perusahaan tersebut. Namun, seperti yang kami uraikan di atas, tugas legal officer adalah menangani dokumen dan perizinan dan/atau menangani permasalahan hukum. Hal ini tidak mewajibkan legal officer haruslah seorang advokat, yang penting adalah lulusan Fakultas Hukum. Pada praktiknya memang ada perusahaan yang memiliki kebijakan tertentu dimana legal officer yang dipekerjakannya harus memenuhi syarat tertentu seperti mengantongi izin advokat. Namun, ada pula perusahaan yang hanya mensyaratkan legal officer nya berlatar belakang sarjana hukum. Contoh Perusahaan yang Mensyaratkan Legal Officer- nya Adalah Advokat Sudaryat mencontohkan legal officer yang juga sebagai advokat misalnya di perusahaan industri . Sudaryat menjelaskan bahwa seorang legal officer di perusahaan industri biasanya memiliki tiga tugas utama: [4] 1) Sebagai konsultan hukum perusahaan, yaitu memberikan nasihat atau opini hukum kepada pemimpin perusahaan; 2) Sebagai advokat perusahaan , yaitu mewakili perusahaan jika terjadi masalah di pengadilan; dan 3) Sebagai pelaksana perusahaan, yaitu menyiapkan dan mengurus perizinan perusahaan. Demikian jawaban dari kami semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat . REFERENSI:\n1. Sudaryat. Legal Officer. Bandung: Oase Media. 2008. [1] Sudaryat, Legal Officer , hal. 9. [2] Pasal 1 ayat (1) UU Advokat. [3] Pasal 2 ayat (1) UU Advokat. [4] Sudaryat, Legal Officer , hal. 12. konsultan hukum sarjana hukum hukumonline legal officer advokat hukum klinik perusahaan klinik hukumonline pengacara"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saat ini ada lembaga yang mengumpulkan royalti atas dasar pengumuman hak cipta musik. Apakah hal ini dibenarkan? Padahal kita sudah membeli kaset/CD asli, dan jika kita perdengarkan kita harus bayar lagi? Bukannya sudah termasuk dari harga CD/kaset tersebut? Padahal saya tidak menggandakannya dan menjualnya lagi. Mohon penjelasan mengenai hal ini, terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul “ Apakah Lembaga Pengumpul Royalti Dibenarkan Secara Hukum? ” yang dibuat oleh Ari Juliano Gema/Diana Kusumasari dan pertama kali dipublikasikan pada Kamis, 02 Jun i 2011 . Intisari : Pada dasarnya, penggunaan (dengan memperdengarkan) suatu karya cipta yang telah dibeli (misalnya, kaset atau compact disc/CD ) sepanjang tidak untuk diperdengarkan dengan tujuan untuk mendapat keuntungan materi/komersial adalah diperbolehkan. Namun, apabila terhadap karya cipta tersebut (dalam hal ini musik) dipergunakan (diumumkan) untuk kepentingan komersial, maka ada kewajiban untuk membayar royalti. Misalnya, menjadikan musik itu sebagai bagian dari pertunjukan yang memungut biaya dari penontonnya, maka terhadap penggunaan karya cipta tersebut dapat dikenakan kewajiban pembayaran royalti. Adanya suatu lembaga yang memungut royalti atas pengumuman suatu karya cipta bisa dibenarkan, sepanjang lembaga tersebut telah mendapat kuasa dari pencipta atau pemegang hak cipta musik tersebut. Dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 29 Tahun 2014 tentang Tata Cara Permohonan dan Penerbitan Izin Operasional Serta Evaluasi Lembaga Manajemen Kolektif disebutkan bahwa untuk pengelolaan royalti hak cipta bidang lagu dan/atau musik dibentuk LMK Nasional Pencipta dan LMK Nasional Hak Terkait . Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Royalti dalam UU Hak Cipta Jika melihat ke dalam Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta”) , royalti dapat diartikan sebagai imbalan atas pemanfaatan hak ekonomi suatu ciptaan atau produk hak terkait yang diterima oleh pencipta atau pemilik hak terkait. Membicarakan royalti, tentunya juga harus memahami hak ekonomi yang merupakan hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan. [1] Pencipta atau pemegang hak cipta memiliki hak ekonomi untuk melakukan: [2] penerbitan ciptaan; penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya; penerjemahan ciptaan; pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan; pendistribusian ciptaan atau salinannya; pertunjukan ciptaan ; pengumuman ciptaan ; komunikasi ciptaan ; dan penyewaan ciptaan. Setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi tersebut wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Selain itu setiap orang dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. [3] Mengenai lembaga pengumpul royalti dapat kami jelaskan sebagai berikut: Pemegang hak cipta atas suatu karya cipta tidak bisa setiap waktu mengontrol setiap stasiun televisi, radio, restoran untuk mengetahui berapa banyak karya cipta musiknya telah diperdengarkan di tempat-tempat tersebut. Oleh karena itu, untuk memudahkan baik bagi si pemegang hak cipta untuk memonitor penggunaan karya ciptanya dan bagi si pemakai, maka si pencipta/pemegang hak cipta dapat saja menunjuk kuasa (baik seseorang ataupun lembaga) yang bertugas mengurus hal-hal tersebut. Dalam praktiknya di beberapa negara, pengurusan lisensi atau pengumpulan royalti dilakukan melalui suatu lembaga manajemen kolektif. Di Indonesia, beberapa lembaga manajemen kolektif pengumpul royalti di antaranya adalah Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI), Wahana Musik Indonesia (WAMI) dan Performers Rights Society of Indonesia (PRISINDO). Lebih jauh simak artikel Memungut Royalti Lagu, Hak Siapa? Jadi, memang adanya suatu lembaga yang memungut royalti atas pengumuman suatu karya cipta bisa dibenarkan, sepanjang lembaga tersebut telah mendapat kuasa dari pencipta atau pemegang hak cipta musik tersebut. Pada dasarnya, penggunaan (dengan memperdengarkan) suatu karya cipta yang telah dibeli (misalnya, kaset atau compact disc/CD ) sepanjang tidak untuk diperdengarkan dengan tujuan untuk mendapat keuntungan materi/komersial adalah diperbolehkan. Namun, apabila terhadap karya cipta tersebut (dalam hal ini musik) dipergunakan (diumumkan) untuk kepentingan komersial, maka ada kewajiban untuk membayar royalti. Misalnya, menjadikan musik itu sebagai bagian dari pertunjukan yang memungut biaya dari penontonnya, maka terhadap penggunaan karya cipta tersebut dapat dikenakan kewajiban pembayaran royalti. Lembaga Manajemen Kolektif Berkaitan dengan pertanyaan Anda mengenai keberadaan lembaga yang mengumpulkan royalti, dalam UU Hak Cipta disebut dengan Lembaga Manajemen Kolektif (“LMK”) yang didefinisikan dalam Pasal 1 angka 22 UU Hak Cipta sebagai berikut: Lembaga Manajemen Kolektif adalah institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti. Agar tidak berpanjang lebar, Anda dapat juga membaca artikel Kedudukan Lembaga Manajemen Kolektif dalam UU Hak Cipta yang Baru . Yang menarik perhatian adalah, dalam Pasal 89 ayat (1) UU Hak Cipta diamanatkan bahwa untuk pengelolaan royalti hak cipta bidang lagu dan/atau musik dibentuk 2 (dua) LMK nasional yang masing-masing merepresentasikan keterwakilan sebagai berikut: kepentingan Pencipta; dan kepentingan pemilik Hak Terkait. Lebih jelasnya lagi dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 29 Tahun 2014 tentang Tata Cara Permohonan dan Penerbitan Izin Operasional Serta Evaluasi Lembaga Manajemen Kolektif (“Permenkumham 29/2014”) disebutkan bahwa untuk pengelolaan royalti hak cipta bidang lagu dan/atau musik dibentuk LMK Nasional Pencipta dan LMK Nasional Hak Terkait . Kedua LMK tersebut memiliki kewenangan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan Royalti dari Pengguna yang bersifat komersial. Untuk melakukan penghimpunan tersebut kedua LMK wajib melakukan koordinasi dan menetapkan besaran Royalti yang menjadi hak masing-masing LMK dimaksud sesuai dengan kelaziman dalam praktik berdasarkan keadilan. [4] Diakses dari laman Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (“LMKN”) , dijelaskan bahwa LMKN Pencipta adalah LMK yang mengelola hak-hak yang dimiliki oleh pencipta dan pemegang hak cipta untuk kepentingan komersial. Sementara LMKN Hak Terkait adalah LMK yang mengelola hak-hak yang dimiliki oleh produser fonogram dan performer untuk kepentingan komersil. LMK Nasional Pencipta dan LMK Nasional Hak Terkait memiliki tugas sebagai berikut: [5] menyusun kode etik LMK di bidang lagu dan/atau musik; melakukan pengawasan terhadap LMK di bidang lagu/musik; memberikan rekomendasi kepada Menteri untuk menjatuhkan sanksi atas pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh pengurus LMK; memberikan rekomendasi kepada Menteri terkait dengan perizinan LMK di bidang lagu dan/atau musik yang berada di bawah koordinasinya; menetapkan sistem dan tata cara perhitungan pembayaran royalti oleh pengguna kepada LMK menetapkan tata cara pendistribusian royalti dan besaran royalti untuk pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait; melakukan mediasi atas sengketa hak cipta dan hak terkait; dan memberikan laporan kinerja dan laporan keuangan kepada menteri. Sebagai contoh, sejauh penelusuran kami didasarkan pada Pasal 1 ayat (3) Keputusan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional tentang Tarif Royalti untuk Bioskop , tarif royalti untuk bioskop adalah sebesar Rp 3.600.000,- (tiga juta enam ratus ribu rupiah) per layar per tahun. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 29 Tahun 2014 tentang Tata Cara Permohonan dan Penerbitan Izin Operasional Serta Evaluasi Lembaga Manajemen Kolektif Keputusan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional tentang Tarif Royalti untuk Bioskop Referensi : LMKN , diakses pada 19 November 2018, pukul 15.23 WIB; [1] Pasal 8 UU Hak Cipta [2] Pasal 9 ayat (1) UU Hak Cipta [3] Pasal 8 ayat (2) dan (3) UU Hak Cipta [4] Pasal 89 ayat (2) dan (3) UU Hak Cipta [5] Pasal 6 Permenkumham 29/2014 lembaga manajemen kolektif royalti lagu hukumonline kekayaan intelektual"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah sebuah lembaga pendidikan di bawah yayasan diperbolehkan secara undang-undang memiliki unit usaha atau perusahaan berbentuk PT sendiri (semacam anak perusahaan)? Apakah ada UU yang mengatur mengenai hal tersebut?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Menjawab pertanyaan rekan berikut yang dapat kami sampaikan. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan ( “UU Yayasan” ), disebutkan bahwa yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha. Kewenangan yayasan dalam membentuk badan usaha dijelaskan pula dalam Pasal 7 dan Pasal 8 UU Yayasan , sebagai berikut: Pasal 7 UU Yayasan: KLINIK TERKAIT 3 Perbedaan Perkumpulan dan Yayasan 04 Mar 2024 Status Harta Suatu Yayasan yang Bubar 11 Jul 2019 Apakah Orang Asing atau Badan Hukum Asing Boleh Mendirikan Yayasan? 29 Jul 2016 Bolehkah Yayasan Digunakan untuk Menjalankan Usaha Warnet? 09 Jan 2014 (1) Yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan. (2) Yayasan dapat melakukan penyertaan dalam berbagai bentuk usaha yang bersifat prospektif dengan ketentuan seluruh penyertaan tersebut paling banyak 25% (dua puluh lima persen) dari seluruh nilai kekayaan Yayasan. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas (3) Anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas Yayasan dilarang merangkap sebagai Anggota Direksi atau Pengurus dan Anggota Dewan Komisaris atau Pengawas dari badan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2). Pasal 8 UU Yayasan: Kegiatan usaha dari badan usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) harus sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terkait dengan pertanyaan bahwa apakah yayasan dapat memiliki anak perusahaan berbentuk PT tentu hal yang perlu dijabarkan adalah apakah yayasan dapat menjadi pemegang atas saham dalam Perseroan Terbatas. Dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) , pada dasarnya Perseroan Terbatas didirikan oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Yayasan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11 UU Yayasan memperoleh status sebagai badan hukum setelah akta pendirian yayasan disahkan oleh Menteri. Maka dengan kata lain yayasan diperbolehkan menjadi pemegang saham dari Perseroan Terbatas namun harus sesuai dengan ketentuan Pasal 7 dan Pasal 8 UU Yayasan di atas. Terkait yayasan sebagai pemegang saham atas Perseroan Terbatas yang berorientasi pada keuntungan, dalam UU Yayasan tidaklah disebutkan secara jelas bahwa yayasan tidaklah diperbolehkan mencari keuntungan. Disebutkan dalam Pasal 26 ayat (2) point (e) UU Yayasan bahwa kekayaan Yayasan dapat diperoleh dari perolehan lain yang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar Yayasan dan/atau peraturan perundangan yang berlaku. Namun karena di satu sisi sifat dan tujuan dari yayasan sesuai dengan Pasal 1 angka 1 UU Yayasan yaitu badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan, maka PT (badan usaha) yang sahamnya dimiliki oleh yayasan wajib berorientasi kepada tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan dan sesuai dengan tujuan dalam akta pendirian yayasan, contohnya bidang jasa kesehatan dan kegiatan sosial dalam KBLI 2009 seperti jasa rumah sakit (Kode KBLI 861), jasa kegiatan sosial di dalam panti (Kode KBLI 871), dll. Dan dalam hal yayasan tersebut merupakan lembaga pendidikan maka Perseroan Terbatas yang sahamnya dimiliki oleh yayasan wajib memiliki bidang usaha sesuai dengan tujuan dalam Akta Pendirian Yayasan yaitu terkait Jasa Pendidikan (Kode KBLI 85). Demikian kiranya yang dapat kami sampaikan dan semoga bermanfaat. Dasar Hukum: 1. Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan ; 2. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas . pt"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin mendirikan usaha jasa penyedia/penyalur tenaga kerja ART/PRT tetapi hanya sebatas mediator antara calon ART/PRT dan majikan. Apakah usaha saya harus berbadan hukum?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pekerja Rumah Tangga Pertama-tama, kami akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai definisi Pekerja Rumah Tangga (“PRT”). PRT adalah orang yang bekerja pada orang perseorangan dalam rumah tangga untuk melaksanakan pekerjaan kerumahtanggaan dengan menerima upah dan/atau imbalan dalam bentuk lain yang dilakukan dalam lingkup dan kepentingan rumah tangga. [1] Sedangkan pengguna PRT adalah orang perseorangan yang mempekerjakan PRT dengan membayar upah dan/atau imbalan dalam bentuk lain. [2] Badan Usaha Kemudian, berkenaan dengan usaha berbadan hukum, Purwosutjipto dalam bukunya yang berjudul Pengertian Pokok Hukum Dagang (hal. 23) menyatakan bahwa badan usaha adalah organisasi usaha yang didirikan oleh lebih dari satu individu yang melaksanakan tujuan usaha yaitu keuntungan. Badan usaha terdiri dari 2 jenis, yaitu: Badan usaha tidak berbadan hukum, dan Badan usaha berbadan hukum. Selengkapnya mengenai jenis-jenis badan usaha dapat Anda simak dalam Jenis-jenis Badan Usaha dan Karakteristiknya . Selanjutnya, Chaidir Ali dalam bukunya Badan Hukum (hal. 107) menyatakan perbedaan dua jenis badan usaha di atas didasarkan atas tanggung jawab para pihak yang terlibat di dalam masing-masing badan usaha. Pada badan usaha yang berbadan hukum, tanggung jawab para pihak telah terbatas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur jenis badan hukum tersebut. Sedangkan dalam badan usaha yang tidak berbadan hukum maka para pihak bertanggung jawab secara pribadi sesuai aturan badan usaha tersebut. Lembaga Penyalur PRT Berkaitan dengan pertanyaan Anda, usaha penyalur PRT dikenal dalam Pasal 1 angka 4 Permenaker 2/2015 sebagai Lembaga Penyalur PRT (“LPPRT”) , yang merupakan badan usaha yang telah mendapat izin tertulis dari Gubernur atau pejabat yang ditunjuk untuk merekrut dan menyalurkan PRT. LPPRT yang akan menyalurkan PRT, wajib memiliki Surat Izin Usaha Lembaga Penyalur PRT (“SIU-LPPRT”) dari Gubernur atau pejabat yang ditunjuk. [3] Untuk memperoleh SIU-LPPRT, LPPRT harus mengajukan permohonan secara tertulis dengan melampirkan: [4] copy akte pendirian dan/atau akte perubahan badan usaha yang telah mendapat pengesahan dari instansi yang berwenang; copy anggaran dasar yang memuat kegiatan yang bergerak di bidang jasa penyalur PRT; copy surat keterangan domisili perusahaan (“SKDP”); copy nomor pokok wajib pajak (NPWP); copy bukti kepemilikan sarana dan prasarana kantor serta peralatan kantor milik sendiri; bagan struktur organisasi dan personil; dan rencana kerja minimal 1 tahun. Mengenai SKDP, untuk Provinsi DKI Jakarta kini sudah tidak ada lagi. Penjelasan mengenai hal ini serta pengganti dari SKDP di DKI Jakarta dapat Anda simak dalam Izin Domisili PT di Jakarta Pasca Penghapusan SKDP . SIU-LPPRT diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 5 tahun. [5] Kewajiban dan Larangan Bagi LPPRT Perlu diperhatikan, dalam melakukan kegiatan usaha, kewajiban LPPRT bukan hanya sebatas sebagai mediator antara calon PRT dengan pengguna PRT melainkan mempunyai kewajiban lain sebagai berikut : [6] menyeleksi calon pengguna; memastikan calon PRT dalam kondisi sehat dan dapat bekerja dengan baik; memonitor PRT yang telah disalurkan pada pengguna; mengembalikan imbalan jasa dari pengguna dalam hal PRT tidak bersedia melanjutkan bekerja dalam waktu sekurang-kurangnya 6 bulan. Selain itu, LPPRT dilarang menyalurkan PRT pada pengguna perusahaan atau badan usaha atau badan-badan lainnya yang bukan perseorangan, [7] dan dilarang juga untuk memungut imbalan jasa dari PRT. [8] Namun, LPPRT berhak menerima imbalan jasa dari pengguna yang besarnya ditentukan berdasarkan kesepakatan antara LPPRT dengan pengguna. [9] LPPRT juga wajib menyampaikan laporan setiap bulan kepada Gubernur atau pejabat yang ditunjuk, jumlah dan data PRT yang disalurkan. [10] Berdasarkan uraian di atas, tidak terdapat aturan yang mensyaratkan bahwa LPPRT harus berbadan hukum. Sebaliknya, dari definisinya, LPPRT cukup merupakan badan usaha . Akan tetapi, LPPRT wajib memiliki surat izin dari Gubernur atau pejabat yang ditunjuk. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga . Referensi : Chaidir Ali. Badan Hukum. (Bandung: Alumni). 2005; H.M.N Purwosutjipto. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia (Hukum Persekutuan Perdata) Jilid I. (Jakarta: Djambatan). 1982. [1] Pasal 1 angka 1 dan 2 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (“Permenaker 2/2015”) [2] Pasal 1 angka 3 Permenaker 2/2015 [3] Pasal 12 Permenaker 2/2015 [4] Pasal 13 Permenaker 2/2015 [5] Pasal 16 Permenaker 2/2015 [6] Pasal 23 Permenaker 2/2015 [7] Pasal 24 Permenaker 2/2015 [8] Pasal 22 ayat (1) Permenaker 2/2015 [9] Pasal 22 ayat (2) dan (3) Permenaker 2/2015 [10] Pasal 26 ayat (1) Permenaker 2/2015 ketenagakerjaan badan usaha pekerja rumah tangga prt badan hukum"
} |
{
"from": "human",
"value": "Dapatkah Lembaga Perlindungan Konsumen beracara dalam persidangan yang berkaitan dengan permasalahan (sengketa) konsumen?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebelumnya, kami ingin melengkapi bahwa istilah yang dikenal dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU Perlindungan Konsumen”) adalah Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. Berdasarkan Pasal 1 angka 9 UU Perlindungan Konsumen , Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (“LPKSM”) adalah lembaga non-pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen. KLINIK TERKAIT Menggugat Restoran ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen 25 Okt 2013 Apakah Pasien Termasuk Konsumen? 29 Agt 2013 Aturan dan Praktik Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) Konsumen 10 Mar 2012 Konsep dan Praktik Strict Liability di Indonesia 31 Mar 2011 Sebelum mengetahui apakah LPKSM bisa beracara dalam persidangan, terlebih dahulu kita mengetahui apa saja tugas LPKSM itu. Tugasnya meliputi kegiatan [ Pasal 44 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen ]: a. menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas b. memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya; c. bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen; d. membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen; e. melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen. Mengacu pada pasal di atas, adapun tugas LPKSM yang berkaitan dengan pertanyaan Anda adalah dalam hal membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen. Di dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (“PP LPKSM”) dikatakan bahwa dalam membantu konsumen untuk memperjuangkan haknya, LPKSM dapat melakukan advokasi atau pemberdayaan konsumen agar mampu memperjuangkan haknya secara mandiri, baik secara perorangan maupun kelompok . Tidak dijelaskan dalam PP LPKSM ini bagaimana bentuk advokasi yang dimaksud, apakah dalam bentuk memberikan jasa hukum sebagaimana halnya advokat di persidangan atau tidak. Akan tetapi, berdasarkan penelusuran kami dan mengacu pada rumusan pasal-pasal dalam PP LPKSM, tugas LPKSM sebatas pada membantu konsumen untuk menerima keluhan konsumen. Di samping itu, jasa hukum hanyalah diberikan oleh orang yang memang berprofesi sebagai advokat sebagaimana yang disebut dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”): “Jasa hukum adalah jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.” Akan tetapi, pada prinsipnya, LPKSM ini diberikan hak oleh undang-undang untuk melakukan gugatan atas pelanggaran pelaku usaha. Pasal 46 ayat (1) huruf c UU Perlindungan Konsumen mengatakan bahwa gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat , yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. Sebagai contoh kita mengacu pada Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor 62/Pdt.G/2013/PN.KPJ . Dalam putusan tersebut diuraikan bahwa ada 2 (dua) tergugat yaitu Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia, yang mendalilkan dirinya sebagai sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang perlindungan konsumen (“Penggugat I”), serta Mardi, konsumen yang mengadu kepada Penggugat I karena dirugikan oleh pelaku usaha (“Penggugat II”). Kedua Penggugat menggugat suatu koperasi yang dalam hal ini bertindak sebagai pelaku usaha. Dalam perkara ini Hakim berpendapat bahwa apabila lembaga perlindungan konsumen tersebut berperan sebagai penerima kuasa dari Mardi (dalam hal ini beracara di pengadilan untuk memberikan jasa hukum), maka berdasarkan UU Advokat yang dapat menjadi kuasa hanyalah Advokat. Akan tetapi, apabila lembaga perlindungan konsumen tersebut bertindak sebagai suatu lembaga yang menggugat, maka perlu dilihat apakah LPKSM tersebut memiliki kapasitas hukum untuk menggugat atau tidak ( legitima persona standi in judicio ). Gugatan atas pelanggaran konsumen dapat dilakukan oleh LPKSM yang memenuhi syarat, yaitu LPKSM berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh suatu badan/perkumpulan/badan usaha agar dapat dikatakan sebagai badan hukum ( legal person/rechtperson ). Menurut doktrin ilmu hukum syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut : 1. Adanya harta kekayaan yang terpisah ; 2. Mempunyai tujuan tertentu ; 3. Mempunyai kepentingan sendiri ; 4. Adanya kepengurusan/organisasi yang teratur ; Setelah dilakukan pemeriksaan di pengadilan, syarat adanya harta kekayaan yang terpisah untuk diakuinya sebagai badan hukum tidak dipenuhi oleh LPKSM tersebut. Dalam Anggaran Dasar Penggugat I, tidak nampak adanya pemisahan yang jelas antara harta kekayaan Penggugat I dengan harta kekayaan para pengurusnya. Selain itu, tidak nampak adanya bukti pengesahan badan hukum dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Dengan demikian, LPKSM ini tidak memiliki kapasitas hukum untuk menggugat sebagaimana disebut dalam Pasal 46 ayat (1) huruf c UU Perlindungan Konsumen sehingga gugatan para penggugat dinyatakan tidak dapat diterima. Dengan demikian, mengacu pada contoh di atas, maka suatu LPKSM tidak bisa memberikan jasa bantuan hukum (beracara di pengadilan) karena yang dapat menjadi kuasa hanyalah advokat berdasarkan UU Advokat. Adapun hak yang diberikan oleh UU Perlindungan Konsumen hanyalah sebatas hak untuk menggugat. Hak untuk menggugat dari LPKSM itu pun harus dibuktikan dengan status lembaga yang bersangkutan, yakni harus memenuhi persyaratan dalam Pasal 46 ayat (1) huruf c UU Perlindungan Konsumen. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ; 2. Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat ; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat . Putusan: Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor 62/Pdt.G/2013/PN.KPJ . perlindungan konsumen advokasi pengaduan konsumen"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah guru dan dosen mendapatkan hak cuti sama dengan PNS lainnya? Bagaimana status liburan yang diberikan, apakah liburan tersebut memotong cuti tahunan guru dan dosen?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Guru dan dosen yang diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah merupakan Pegawai Negeri Sipil (“PNS”). Karena guru dan dosen yang diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah itu adalah PNS, maka guru dan dosen itu mendapatkan ketentuan cuti sama dengan ketentuan cuti PNS, seperti antara lain mendapatkan cuti tahunan, cuti besar, cuti sakit, cuti melahirkan, dan sebagainya. Khusus guru dan dosen juga mendapatkan cuti tambahan seperti cuti studi yang bertujuan untuk pengembangan keprofesian (untuk guru) dan cuti untuk studi dan penelitian atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan/atau olahraga (untuk dosen). Mengenai status liburan yang diterima oleh guru dan dosen yang mendapat liburan menurut peraturan perundang-undangan, maka liburan tersebut disamakan dengan PNS yang telah menggunakan hak cuti tahunan . Ini berarti mengambil liburan bagi guru dan dosen sama dengan mengambil cuti tahunan bagi PNS. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. KLINIK TERKAIT Syarat Perpindahan Mahasiswa Antar Perguruan Tinggi 06 Sep 2017 Melaporkan PNS yang Diam-Diam Berpoligami 11 Jul 2017 Hukumnya Memberikan Uang untuk Dosen agar Lulus Ujian Skripsi 27 Mar 2017 Sanksi Hukum Bagi yang Mengejek Guru di Jejaring Sosial 10 Feb 2017 Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami berpedoman pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (“UU 14/2005”) , lebih rinci diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2009 tentang Dosen (“PP Dosen”) , dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru (“PP Guru”) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru (“PP 19/2017”) . Sebelumnya, karena Anda membandingkan hak cuti guru dan dosen dengan Pegawai Negeri Sipil (“PNS”), maka kami asumsikan guru dan dosen yang Anda maksud berstatus PNS , yakni guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah. [1] Guru dan Dosen Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. [2] Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. [3] Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional dibuktikan dengan sertifikat pendidik. [4] Sedangkan dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. [5] Dosen mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan tinggi yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. [6] Pengakuan kedudukan dosen sebagai tenaga profesional dibuktikan dengan sertifikat pendidik. [7] Jenis Cuti Guru dan Dosen yang Berstatus PNS Guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah merupakan PNS . [8] Menurut Pasal 310 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (“PP 11/2017”) , cuti terdiri atas: a. cuti tahunan; b. cuti besar; c. cuti sakit; d. cuti melahirkan; e. cuti karena alasan penting; f. cuti bersama; dan g. cuti di luar tanggungan negara. PNS dan calon PNS yang telah bekerja paling kurang 1 (satu) tahun secara terus menerus berhak atas cuti tahunan. [9] Lamanya hak atas cuti tahunan adalah 12 hari kerja. [10] Untuk menggunakan hak atas cuti tahunan, PNS atau calon PNS yang bersangkutan mengajukan permintaan secara tertulis kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (“PPK”) atau pejabat yang menerima delegasi wewenang untuk memberikan hak atas cuti tahunan. [11] Hak atas cuti tahunan diberikan secara tertulis oleh PPK atau pejabat yang menerima delegasi wewenang untuk memberikan hak atas cuti tahunan. [12] Menyorot pertanyaan Anda, Pasal 315 PP 11/2017 menyatakan: PNS yang menduduki Jabatan guru pada sekolah dan Jabatan dosen pada perguruan tinggi yang mendapat liburan menurut peraturan perundang-undangan, disamakan dengan PNS yang telah menggunakan hak cuti tahunan. Ketentuan Cuti Guru dan Dosen Guru Guru memperoleh cuti sesuai dengan peraturan perundang-undangan. [13] Guru dapat memperoleh cuti untuk studi dengan tetap memperoleh hak gaji penuh. [14] Guru yang diangkat Pemerintah atau Pemerintah Daerah berhak memperoleh cuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [15] Selain cuti tersebut, Guru dapat memperoleh cuti studi yang bertujuan untuk pengembangan keprofesian, paling lama 6 (enam) bulan dengan tetap memperoleh hak gaji penuh. [16] Cuti studi tersebut dapat diberikan kepada Guru yang telah memenuhi Kualifikasi Akademik dan telah memiliki Sertifikat Pendidik. [17] Cuti studi dapat diberikan secara periodik kepada Guru setiap 6 (enam) tahun dihitung sejak yang bersangkutan memenuhi ketentuan Kualifikasi Akademik dan telah memiliki Sertifikat Pendidik. [18] Cuti studi tersebut digunakan oleh Guru untuk: [19] a. penelitian; b. penulisan buku; c. praktik kerja di dunia industri atau usaha yang relevan dengan tugasnya; d. pelatihan yang relevan dengan tugasnya; e. pengabdian kepada masyarakat; dan/atau e. magang pada satuan pendidikan lain atas inisiatif sendiri. Dosen Demikian halnya dengan guru, dosen juga memperoleh cuti sesuai dengan peraturan perundang-undangan. [20] Dosen memperoleh cuti untuk studi dan penelitian atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dengan memperoleh hak gaji penuh. [21] Dosen yang diangkat Pemerintah berhak memperoleh cuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [22] Dosen dapat memperoleh cuti untuk studi dan penelitian atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan/atau olahraga dengan tetap memperoleh gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lainnya berupa tunjangan profesi, tunjangan khusus, tunjangan kehormatan, serta maslahat tambahan yang terkait dengan tugas sebagai dosen secara penuh. [23] Cuti untuk studi dan penelitian diberikan oleh pemimpin perguruan tinggi kepada dosen yang mempunyai jabatan fungsional sebagai berikut: [24] a. asisten ahli atau lektor berhak mendapatkan cuti 5 (lima) tahun sekali; b. lektor kepala atau profesor berhak mendapatkan cuti 4 (empat) tahun sekali. Studi dan penelitian meliputi kegiatan: [25] a. pendidikan nongelar; b. penelitian; c. penulisan buku teks; d. praktik kerja di dunia usaha atau dunia industri yang relevan dengan tugasnya; e. pelatihan yang relevan dengan tugasnya; f. pengabdian kepada masyarakat; g. magang pada satuan pendidikan tinggi lain; atau h. kegiatan lain yang sejenis. Cuti untuk studi dan penelitian diberikan paling lama 6 (enam) bulan. [26] Jadi menjawab pertanyaan Anda, guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah atau pemerintah daerah merupakan PNS. Guru dan dosen memperoleh hak cuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Karena guru dan dosen yang diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah adalah PNS, maka guru dan dosen mendapatkan ketentuan cuti sama dengan ketentuan cuti PNS, seperti antara lain cuti tahunan, cuti besar, cuti sakit, cuti melahirkan, dan sebagainya. Untuk guru dan dosen ada cuti tambahan seperti cuti studi yang bertujuan untuk pengembangan keprofesian (untuk guru) dan cuti untuk studi dan penelitian atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan/atau olahraga (untuk dosen). Kemudian mengenai status liburan yang diterima oleh guru dan dosen yang mendapat liburan menurut peraturan perundang-undangan, liburan tersebut disamakan dengan PNS yang telah menggunakan hak cuti tahunan . Ini berarti mengambil liburan bagi guru dan dosen sama dengan mengambil cuti tahunan bagi PNS. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru ; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2009 tentang Dosen ; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil . [1] Pasal 30 ayat (5) UU 14/2005 dan Pasal 67 ayat (6) UU 14/2005 [2] Pasal 1 angka 1 UU 14/2005 [3] Pasal 2 ayat (1) UU 14/2005 [4] Pasal 2 ayat (2) UU 14/2005 [5] Pasal 1 angka 2 UU 14/2005 [6] Pasal 3 ayat (1) UU 14/2005 [7] Pasal 3 ayat (2) UU 14/2005 [8] Pasal 30 ayat (5) UU 14/2005 dan Pasal 67 ayat (6) UU 14/2005 [9] Pasal 311 ayat (1) PP 11/2017 [10] Pasal 311 ayat (2) PP 11/2017 [11] Pasal 311 ayat (3) PP 11/2017 [12] Pasal 311 ayat (4) PP 11/2017 [13] Pasal 40 ayat (1) UU 14/2005 [14] Pasal 40 ayat (2) UU 14/2005 [15] Pasal 50 ayat (1) PP Guru [16] Pasal 51 ayat (1) PP Guru [17] Pasal 51 ayat (2) PP Guru [18] Pasal 51 ayat (3) PP Guru [19] Pasal 51 ayat (4) PP Guru [20] Pasal 76 ayat (1) UU 14/2005 [21] Pasal 76 ayat (2) UU 14/2005 [22] Pasal 31 ayat (1) PP Dosen [23] Pasal 32 ayat (1) PP Dosen [24] Pasal 32 ayat (2) PP Dosen [25] Pasal 32 ayat (3) PP Dosen [26] Pasal 32 ayat (5) PP Dosen kampus perguruan tinggi hukumonline google ketenagakerjaan pegawai negeri sipil pendidikan universitas cuti guru hukum pns klinik hukumonline pendidikan dan kebudayaan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Salah satu usulan untuk mencegah penyebaran virus corona di masyarakat adalah dengan melakukan lockdown, khususnya di ibukota. Apakah lockdown ini sama dengan karantina wilayah dalam UU Kekarantinaan Kesehatan? Jika dilakukan, apakah pembatasan pergerakan masyarakat nantinya tidak tergolong sebagai pelanggaran HAM?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Lockdown dan Karantina Wilayah Istilah lockdown telah dipakai di beberapa negara sebagai salah satu bentuk upaya pencegahan penyebaran penyakit Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang telah ditetapkan sebagai pandemi global. Lockdown secara umum dapat diartikan sebagai penguncian akses masuk dan keluar suatu daerah atau negara. Namun, istilah lockdown tidak dikenal di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Yang dikenal adalah istilah karantina wilayah dan pembatasan sosial berskala besar yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (“UU 6/2018”) . Karantina wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi. [1] Karantina tersebut dilaksanakan kepada seluruh anggota masyarakat di suatu wilayah, apabila dari hasil konfirmasi laboratorium sudah terjadi penyebaran penyakit antar anggota masyarakat di wilayah tersebut. [2] Pejabat karantina kesehatan wajib memberikan penjelasan kepada masyarakat di wilayah setempat sebelum melaksanakan karantina wilayah. Wilayah yang dikarantina kemudian diberi garis karantina dan dijaga terus menerus oleh Pejabat Karantina Kesehatan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berada di luar wilayah karantina. [3] Anggota masyarakat yang dikarantina sendiri tidak boleh keluar masuk wilayah karantina . Jika selama masa karantina wilayah ternyata salah satu atau beberapa anggota di wilayah tersebut ada yang menderita penyakit kedaruratan kesehatan masyarakat yang sedang terjadi, maka dilakukan tindakan isolasi dan segera dirujuk ke rumah sakit. [4] Selain karantina wilayah, dikenal pula istilah pembatasan sosial berskala besar , yaitu pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi. [5] Pembatasan ini paling sedikit meliputi: [6] peliburan sekolah dan tempat kerja; pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Upaya pembatasan sosial berskala besar sendiri praktis telah dicoba dilakukan pemerintah, baik pusat maupun di daerah. Contohnya, Surat Edaran Dinas Pendidikan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 27/SE/2020 tentang Pembelajaran di Rumah ( Home Learning ) menetapkan agar kegiatan pembelajaran peserta didik di satuan pendidikan formal dan nonformal di DKI Jakarta dilakukan di rumah. Baca juga: Hak Rakyat Jika Terjadi Lockdown Penetapan Status Kedaruratan Kesehatan Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, karantina wilayah dan pembatasan sosial ditetapkan sebagai upaya membatasi penyebaran penyakit yang menimbulkan darurat kesehatan. Status keadaan darurat tersebut perlu ditetapkan terlebih dahulu oleh pemerintah pusat, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU 6/2018 berikut: Pemerintah Pusat menetapkan dan mencabut Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Sebelum menetapkan status tersebut, pemerintah harus terlebih dahulu menetapkan jenis penyakit dan faktor risiko yang dapat menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. [7] Setelah ditetapkan adanya kedaruratan kesehatan masyarakat, pemerintah pusat yang diwakili oleh Menteri Kesehatan memiliki kewenangan untuk menetapkan karantina wilayah dan pembatasan sosial berskala besar. [8] Status wabah corona sendiri saat ini ditetapkan pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai “Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit”. Selengkapnya mengenai hal ini dapat Anda baca pada artikel Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Akibat Virus Corona . Apakah Kekarantinaan Kesehatan Melanggar HAM? Terkait pertanyaan kedua Anda, kekarantinaan kesehatan harus menghormati hak asasi manusia dan dasar-dasar kebebasan seseorang. Hal tersebut jelas dinyatakan dalam Bagian Menimbang huruf c UU 6/2018 sebagai berikut : bahwa sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia berkomitmen melakukan upaya untuk mencegah terjadinya kedaruratan kesehatan masyarakat yang meresahkan dunia sebagaimana yang diamanatkan dalam regulasi internasional di bidang kesehatan, dan dalam melaksanakan amanat ini Indonesia harus menghormati sepenuhnya martabat, hak asasi manusia, dasar-dasar kebebasan seseorang , dan penerapannya secara universal; Selain itu, dalam Pasal 2 huruf f UU 6/2018 telah diuraikan bahwa kekarantinaan kesehatan harus diselenggarakan berdasarkan asas kepentingan umum . Yang dimaksud dengan asas “kepentingan umum” adalah bahwa dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan harus mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi atau golongan tertentu . [9] Adanya kekarantinaan kesehatan tentu akan membatasi pergerakan masyarakat. Namun hal tersebut dilakukan guna menjamin kesehatan seluruh warga negara Indonesia agar tidak terinfeksi virus corona. Dengan demikian, hal tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia . Hal tersebut juga sesuai dengan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia , yang menyatakan bahwa: Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang , semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan Surat Edaran Dinas Pendidikan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 27/SE/2020 tentang Pembelajaran di Rumah (Home Learning) [1] Pasal 1 angka 10 UU 6/2018 [2] Pasal 53 ayat (2) UU 6/2018 [3] Pasal 54 ayat (1) dan (2) UU 6/2018 [4] Pasal 54 ayat (3) dan (4) UU 6/2018 [5] Pasal 1 angka 11 UU 6/2018 [6] Pasal 59 ayat (3) UU 6/2018 [7] Pasal 10 ayat (3) UU 6/2018 [8] Pasal 49 ayat (3) UU 6/2018 [9] Penjelasan Pasal 2 huruf f UU 6/2018 hukumonline pelanggaran ham karantina wilayah hak asasi manusia lockdown"
} |
{
"from": "human",
"value": "Perusahaan saya sudah mendaftarkan sebuah logo perusahaan sebagai hak cipta untuk lukisan. Apakah dengan sudah terdaftarnya logo tersebut sebagai hak cipta sudah secara otomatis tidak perlu lagi mendaftarkan sebagai merek untuk semua kelas pada barang dan jasa?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebelum menjawab pertanyaan Anda, ada baiknya kami paparkan terlebih dahulu mengenai apakah Hak Cipta (hak atas suatu ciptaan) dan hak atas Merek itu. KLINIK TERKAIT Jangka Waktu Hak Merek dan Syarat Perpanjangannya 20 Des 2023 Hukumnya Pakai Nama Jalan yang Sama untuk Warung Makan 05 Sep 2022 Keberatan Pemilik Merek Terdaftar atas Pendaftaran Merek oleh Pihak Lain 07 Agt 2020 Pasal 2 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menjelaskan bahwa h ak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara itu, Pasal 3 UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek menjelaskan bahwa h ak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Dari definisi yang diberikan oleh ketentuan-ketentuan tersebut di atas, maka dapat kita ketahui perbedaan antara hak atas ciptaan dan hak atas merek. Hak atas suatu ciptaan timbul otomatis sejak suatu ciptaan itu dilahirkan. Sedangkan, hak atas suatu merek baru timbul ketika suatu merek terdaftar dalam Daftar Umum Merek. Namun, dengan didaftarkannya suatu ciptaan pada Direktorat Hak Kekayaan Intelektual, maka mempertegas perlindungan hukum atas ciptaan tersebut (dalam hal ini lukisan sebagai logo perusahaan). Menurut konsultan hak kekayaan intelektual Rapin Mudiardjo , pendaftaran hak cipta atas lukisan/logo tersebut tidaklah serta merta berlaku bagi merek untuk semua kelas pada barang dan jasa yang diperdagangkan. Sebab hak cipta dan hak atas merek merupakan domain yang berbeda. Hak cipta atas karya lukisan/logo, tidak berlaku untuk merek dan hanya boleh digunakan sebagai identitas perusahaan. Saat perusahaan tersebut menjual produk barang dan/atau jasa, perusahaan tersebut harus mendaftarkan mereknya berdasarkan kelas barang maupun jasanya. Lebih jauh mengenai pendaftaran merek simak artikel kami sebelumnya: - Proses awal penerimaan pendaftaran merek . - Perlindungan atas Hak Merek . Sama halnya dengan nama perusahaan, tidak serta merta menjadi merek yang dilindungi oleh hukum. Salah satu contohnya dalam kasus sengketa perebutan merek Sinar Laut. Dalam persidangan kasus tersebut di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Tomi Suryo Utama, sebagai pakar di bidang hak atas kekayaan intelektual dari Universitas Gadjah Mada yang dihadirkan untuk memberikan keterangan ahli menyampaikan bahwa suatu perusahaan tidak otomatis mendapatkan merek sesuai dengan nama perusahaan tersebut. Artinya, ketika suatu badan hukum didirikan dengan nama tertentu, bukan berarti nama perusahaan itu menjadi merek yang menjadi hak eksklusif perusahaan tersebut. Lebih jauh Tomi berpendapat, nama perusahaan dan merek adalah dua hal yang harus dibedakan. Apabila suatu perusahaan ingin mendapatkan merek sesuai dengan namanya, maka perusahaan tersebut tetap harus melakukan pendaftaran. Lebih jauh simak artikel Ahli: Nama Perusahaan Tak Otomatis Menjadi Merek . Jadi, perlindungan hak cipta atas nama perusahaan maupun logo perusahaan tidak serta merta secara otomatis berlaku bagi produk barang dan/atau jasa yang diperdagangkan oleh perusahaan tersebut. Namun, haruslah didaftarkan tersendiri menurut setiap kelas barang dan/atau jasanya. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Catatan editor: Klinik Hukum menghubungi Rapin Mudiardjo pada 13 Januari 2011 melalui sambungan telepon. Dasar hukum : 1. Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 2. Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ."
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah lomba burung yang pendaftarannya mengeluarkan uang dan juaranya mendapat piagam serta uang yang lebih banyak dari nilai pendaftaran masuk unsur pidana judi?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Jerat Hukum Membuat Website Judi Online 17 Jul 2024 Perbedaan Game Online dengan Judi Online 27 Okt 2023 Apa Hukuman Maksimal Bagi Pelaku Judi Bola Online? 07 Nov 2018 Cara Penyidik Menjerat Pelaku Perjudian Internet 31 Okt 2018 Terima kasih atas pertanyaan Anda. Intisari: Lomba burung, seperti lomba balap burung, yang mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, dapat dikategorikan sebagai perjudian. Hal ini karena unsur perjudian adalah termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain. Penjelasan selengkapnya dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Sebelumnya, kami akan menjelaskan sedikit soal lomba burung terlebih dahulu. Dalam artikel Peraturan Lomba Merpati Balap Sprint 2013 yang kami akses dari laman Klub Burung Indonesia, yakni laman omkicau . com , antara lain dijelaskan bahwa burung jenis tertentu biasanya diikutsertakan dalam lomba burung berkicau maupun lomba balap burung. Pada umumnya jenis burung yang diikutsertakan dalam lomba burung berkicau adalah Burung Kenari, Murai Batu, Kacer, Lovebird, dan sebagainya. Sedangkan jenis burung yang diikutsertakan dalam lomba balap burung adalah Burung Merpati. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Meski Anda kurang spesifik menyebut lomba burung apa yang dimaksud, namun sebagai contoh, lomba burung yang juaranya mendapatkan piagam penghargaan adalah lomba balap burung. Masih bersumber dari laman yang sama, dikatakan soal Peraturan Lomba Balap Merpati Sprint 2013 yang di antaranya mengatur soal uang pendaftaran lomba dan hadiah bagi pemenang berupa uang dan piagam . Dalam Pasal 9 Peraturan Balap Merpati Sprint telah diatur : Merpati dinyatakan sah menang jika merpatinya lebih cepat/lebih dulu hinggap, pada siku ke bawah atau badan, kaki, ekor, sayapnya terpegang oleh joki dan joki harus berada di dalam patik, barulah wasit finish menunjuk pemenangnya (penunjukan yang terakhir). Mengacu pada peraturan di atas, penentuan menangnya burung merpati dalam lomba ini dilihat dari burung merpati yang paling cepat sampai finish. Jika menang, maka hadiahnya adalah berupa uang dan piagam. Bahkan, ada pula lomba balap burung Merpati yang berhadiah mobil pick up. Serupa dengan yang Anda tanyakan, contoh ini menunjukkan bahwa pada kenyataannya memang ada perlombaan seperti yang Anda sebutkan. Menurut hemat kami, kemungkinan ada unsur tindak pidana perjudian dalam suatu lomba burung. R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 222) menerangkan bahwa yang disebut permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka , dan juga kemungkinan mendapatkan untung tersebut menjadi lebih besar karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain , demikian juga segala pertaruhan lainnya. Mengenai judi diatur dalam Pasal 303 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) . Adapun selengkapnya bunyi Pasal 303 KUHP yaitu: (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau pidana denda paling banyak dua puluh lima juta rupiah, barang siapa tanpa mendapat izin: 1. dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan untuk permainan judi dan menjadikannya sebagai pencarian, atau dengan sengaja turut serta dalam suatu perusahaan untuk itu; 2. dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan kepada khalayak umum untuk bermain judi atau dengan sengaja turut serta dalam perusahaan untuk itu, dengan tidak peduli apakah untuk menggunakan kesempatan adanya sesuatu syarat atau dipenuhinya sesuatu tata-cara; 3. menjadikan turut serta pada permainan judi sebagai pencarian. (2) Kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencariannya, maka dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian itu. (3) Yang disebut permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya. Sebagai informasi untuk Anda, pacu kuda, yang mana juga dilakukan atas dasar kecepatan, dalam artikel Apakah Permainan Ketangkasan termasuk Perjudian? digolongkan sebagai perjudian di tempat-tempat keramaian yang dilarang. Hal ini disebut dalam Penjelasan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Penertiban Perjudian (“PP 9/1981”) . Dalam penjelasan pasal ini memang tidak menyebut lomba balap burung termasuk perjudian yang dilarang. Akan tetapi, melihat dari kesamaan cara dilakukannya pacu kuda dengan balap burung dan berpedoman pada pengaturan dalam KUHP, apabila lomba burung dilakukan untuk mencari keuntungan dan sebagai suatu bentuk pertaruhan tentang suatu perlombaan, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perjudian. Artinya, pemilik burung yang mengikutsertakan burungnya dalam lomba dapat dipidana dengan pasal perjudian. Sebagai contoh kasus dapat kita temukan dalam Putusan Pengadilan Negeri Jember Nomor 872/Pid.B/2012/PN.Jr. . Dalam putusan tersebut diketahui bahwa terdakwa telah melakukan perjudian aduan burung merpati yang dilakukan dengan cara burung merpati betina dipegang oleh orang yang disebut dengan joki sedangkan burung merpati yang jantan dipegang oleh pelepas kemudian burung jantan dilepas dari tempat yang berjauhan untuk beradu kecepatan menuju tempat burung merpati betina berada dan yang masuk terlebih dahulu maka burung tersebut yang dinyatakan menang dan berhak mendapatkan uang tombokan, jadi sifatnya hanya untung-untungan belaka, dan setiap kali putaran terdakwa memasang taruhan dengan jumlah yang ber v ariasi. Terdakwa terbukti dengan sengaja mengadakan atau memberi kesempatan kepada umum untuk ikut dalam aduan balap burung merpati, yang mana terdakwa sebagai petaruh/penombok yang diikuti di luar acara pihak Bandar dalam arti bahwa terdakwa bertaruh sendiri bersama teman-temannya diluar ring taruhan, dimana kegiatan perjudian tersebut tidak mendapat ijin dari pihak yang berwenang. Terdakwa dinyatakan oleh hakim terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana dengaja tanpa ijin telah melakukan perjudian sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 303 ayat (1) ke-2 KUHP dan dihukum pidana penjara selama tiga bulan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) Staatsblad Nomor 732 Tahun 1915 ; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Penertiban Perjudian . Putusan: Putusan Pengadilan Negeri Jember Nomor 872/Pid.B/2012/PN.Jr. Referensi : 1. http://omkicau.com/2012/11/22/peraturan-lomba-merpati-balap-sprint-2013/ , diakses pada 6 Januari 2015 pukul 14.49 WIB; 2. http://omkicau.com/2014/08/14/anugerah-juara-merpati-kolongan-lapak-fortuna-magelang-berhadiah-mobil-pick-up/ , diakses pada 6 Januari 2015 pukul 15.09 WIB. lomba hukum perjudian keuntungan pidana klinik hukumonline hukumonline klinik"
} |
{
"from": "human",
"value": "1. Apakah definisi \"bekerja\" menurut peraturan yang berlaku? 2. Apakah mengikuti pelatihan/kegiatan training selama masa pemagangan dapat dikategorikan dalam definisi \"bekerja\"?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Apakah Magang Digaji? Cari Tahu di Sini 29 Mei 2023 Ketentuan Pemagangan Agar Tak Menyalahi UU Ketenagakerjaan 31 Mei 2017 Perekrutan Peserta Magang Menjadi Karyawan Perusahaan 03 Feb 2014 Adakah Aturan Soal Uang Saku Pekerja yang Melakukan Perjalanan Dinas? 27 Sep 2013 Intisari: Sepanjang penelusuran kami, tidak ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus memberikan definisi dari kata ‘bekerja’. Pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman. Jadi, karyawan yang mengikuti pemagangan itu dikategorikan telah bekerja. Ia bekerja dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sepanjang penelusuran kami, tidak ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus memberikan definisi dari kata ‘bekerja’. Adapun definisi yang diberikan terkait kata dasar ‘kerja’ antara lain sebagai berikut: 1. Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. [1] 2. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. [2] Sementara, kerja (bekerja) menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang kami akses dari laman Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yaitu: “kegiatan melakukan sesuatu; yang dilakukan (diperbuat): sesuatu yg dilakukan untuk mencari nafkah; mata pencaharian.” Khusus tentang pemagangan yang Anda tanyakan, Pasal 1 angka 11 UU Ketenagakerjaan memberikan definisi pemagangan sebagai berikut: Pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu. Sementara, Pasal 1 angka 9 UU Ketenagakerjaan memberikan definisi pelatihan kerja sebagai berikut: Pelatihan kerja adalah keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan, serta mengembangkan kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat keterampilan dan keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kualifikasi jabatan atau pekerjaan. Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan kesejahteraan. [3] Penjelasan lebih lanjut tentang pelatihan kerja dapat Anda simak dalam artikel Sudah Training 3 Bulan Tapi Belum Diangkat Jadi Karyawan Tetap dan Jangka Waktu dan Hak-hak Peserta Pemagangan . Menjawab pertanyaan Anda dengan mengacu pada definisi pemagangan, dapat kita ketahui bahwa karyawan dalam masa pemagangan sebagai bagian dari pelatihan kerja sudah dikategorikan bekerja. Ia bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu . Sebagai pekerja, ia juga berhak atas imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan . REFERENSI:\n1. Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan , diakses pada 14 Juli 2016 pukul 16.19 WIB. [1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) [2] Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan [3] Pasal 9 UU Ketenagakerjaan pelatihan kerja training ketenagakerjaan hukumonline pemagangan hukum klinik klinik hukumonline bekerja magang"
} |
{
"from": "human",
"value": "Ada beberapa pertanyaan mengenai magang yaitu:\n\nPenerapan magang itu sebenarnya seperti apa?\nJangka waktu seseorang bisa magang dalam suatu perusahaan berapa lama?\nAnak magang apakah dapat gaji?\n\nMohon dibantu ya untuk jawabannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebelum menjawab inti pertanyaan Anda tentang apakah magang digaji, patut Anda ketahui bahwa pemagangan atau yang dikenal dengan sebutan magang adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu.[1]\nPemagangan dapat dilaksanakan di perusahaan sendiri atau di tempat penyelenggaraan pelatihan kerja, atau perusahaan lain, baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia.[2]\n\nUntuk pemagangan yang dilakukan di luar wilayah Indonesia, harus memperoleh izin dari Menteri Ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk.[3] Selain itu, penyelenggara pemagangan di luar wilayah Indonesia tersebut harus berbentuk badan hukum Indonesia.[4]\nPemagangan dilakukan dengan perjanjian tertulis antara peserta magang dan pengusaha, yang minimal memuat ketentuan:[5]\n\nhak dan kewajiban peserta dan pengusaha; sertajangka waktu pemagangan.\n\nJika pemagangan tidak dilakukan melalui perjanjian pemagangan, maka pemagangan tersebut dianggap tidak sah dan status peserta berubah menjadi pekerja perusahaan yang bersangkutan.[6]\nAturan Magang di Dalam Negeri\n\nAdapun aturan pemagangan yang dilakukan di dalam negeri diatur dalam Permenaker 6/2020. Yang dapat menjadi peserta pemagangan dalam negeri yaitu pencari kerja atau pekerja yang akan ditingkatkan kompetensinya yang memenuhi syarat:[7]\n\nUsia paling rendah 17 tahun untuk pencari kerja. Jika berusia tepat 17 tahun, harus melampirkan surat persetujuan dari orang tua atau wali;Sehat jasmani dan rohani; danLulus seleksi.\n\nSeperti yang telah diterangkan sebelumnya, antara peserta pemagangan dan perusahaan dibuat perjanjian pemagangan secara tertulis, yang memuat:[8]\n\nhak dan kewajiban peserta pemagangan;hak dan kewajiban penyelenggara pemagangan;program pemagangan;jangka waktu pemagangan; danbesaran uang saku.\n\nPerjanjian pemagangan tersebut harus disahkan oleh dinas ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat, dengan melampirkan program pemagangan. Pengesahan tersebut harus selesai dalam jangka waktu maksimal 3 hari kerja sejak tanggal permohonan pengesahan disampaikan ke dinas terkait.[9]\n\nLalu, berapa jangka waktu untuk pemagangan dalam negeri? Merujuk Pasal 5 ayat (5) Permenaker 6/2020, jangka waktu pemagangan dalam negeri dibatasi maksimal 1 tahun.\nPemagangan di Luar Negeri\n\nJenis pemagangan kedua adalah pemagangan di luar negeri. Pasal 1 angka 1 Permenakertrans 8/2008 mendefinisikan pemagangan di luar negeri sebagai:\n\nPemagangan di luar negeri adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara utuh dan terpadu di Indonesia dan di luar negeri oleh lembaga pelatihan kerja atau perusahaan atau instansi pemerintah atau lembaga pendidikan di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur dan/atau pekerja yang lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau jasa dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu.\n\nPemagangan di luar negeri dapat diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja swasta, perusahaan, instansi pemerintah, dan lembaga pendidikan.[10]\n\nDalam hal ini, kami akan mencontohkan pemagangan luar negeri yang dijalankan perusahaan, sesuai pertanyaan Anda.\n\nDalam hal pemagangan dilakukan di luar negeri, menurut Pasal 13 ayat (1) huruf d dan e Permenakertrans 8/2008, perjanjian pemagangan tidak hanya antara peserta magang dengan perusahaan, tetapi juga antara perusahaan tersebut dengan lembaga penerima pemagang di luar negeri.\n\nPenyelenggara pemagangan tersebut harus mendaftarkan secara tertulis pemagangan tersebut dengan disertai dokumen-dokumen yang dipersyaratkan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (1) Permenakertrans 8/2008, di antaranya adalah melampirkan salinan perjanjian antara perusahaan dengan lembaga penerima pemagang di luar negeri, serta salinan perjanjian pemagangan antara pekerja peserta pemagangan dengan perusahaan.[11]\n\nPendaftaran tersebut harus diketahui oleh dinas ketenagakerjaan kabupaten/kota, kemudian disampaikan kepada direktur jenderal yang bertanggungjawab di bidang pelatihan kerja di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan.[12]\n\nAdapun syarat peserta pemagangan luar negeri bagi perusahaan yang menyelenggarakan pemagangan adalah:[13]\n\nberstatus sebagai pekerja di perusahaan yang bersangkutan;persyaratan lain sesuai dengan kebutuhan program.\n\nLalu, bagaimana ketentuan jangka waktu pemagangan di luar negeri? Sepanjang penelusuran kami, ketentuan jangka waktu pemagangan di luar negeri tidak diatur secara spesifik.\n\nNamun, dalam Penjelasan Pasal 22 ayat (2) UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa jangka waktu pemagangan bervariasi sesuai dengan yang diperlukan untuk mencapai standar kompetensi yang ditetapkan dalam program pelatihan pemagangan.\nApakah Magang Digaji?\n\nKemudian, menjawab pertanyaan netizen yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan, magang apakah digaji? Jika benar magang digaji, berapa besarannya?\n\nSebelum menjawab persoalan apakah magang digaji, secara hukum, hak-hak yang didapat oleh peserta pemagangan di dalam negeri, yaitu:[14]\n\nmemperoleh bimbingan dari pembimbing pemagangan atau instruktur;memperoleh pemenuhan hak sesuai dengan perjanjian pemagangan;memperoleh fasilitas keselamatan dan kesehatan kerja selama mengikuti pemagangan;memperoleh uang saku;diikutsertakan dalam program jaminan sosial; danmemperoleh sertifikat pemagangan atau surat keterangan telah mengikuti pemagangan.\n\nSehingga dari ketentuan di atas dapat diketahui apakah magang dibayar? Benar, magang mendapat bayaran, namun berupa uang saku. Sedangkan peserta pemagangan di luar negeri berhak:[15]\n\nmendapatkan uang saku dan transportsesuai dengan perjanjian antara peserta pemagangan dengan penyelenggara pemagangan;mendapatkan perlindungan asuransi kecelakaan, kesehatan, dan kematian yang preminya ditanggung oleh penyelenggara pemagangan;mendapatkan fasilitas keselamatan dan kesehatan kerja selama mengikuti magang;mengikuti uji kompetensi untuk mendapatkan pengakuan kualifikasi kompetensi;mendapatkan sertifikat apabila telah menyelesaikan program pemagangan.\n\nJadi, menjawab pertanyaan Anda mengenai anak magang apakah dapat gaji? Secara hukum hak peserta magang bukanlah gaji, melainkan uang saku yang besarannya sesuai dengan yang diperjanjikan para pihak dalam perjanjian pemagangan.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami tentang apakah magang digaji seperti yang ditanyakan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_13_2003)\n2. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n3. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n4. [Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.08/MEN/V/2008 Tahun 2008 tentang Tata Cara Perizinan dan Penyelenggaraan Pemagangan di Luar Negeri](Data Kepolisian /pusatdata/detail/28013/node/180/peraturan-menteri-tenaga-kerja-dan-transmigrasi-no-per.08_men_v_2008-tahun-2008-tata-cara-perizinan-dan-penyelenggaraan-pemagangan-di-luar-negeri?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permenakertrans_8_2008)\n5. [Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5eafe60b68075/node/534/peraturan-menteri-ketenagakerjaan-nomor-6-tahun-2020?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permenaker_6_2020)\n[1] Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)\n\n[2] Pasal 24 UU Ketenagakerjaan\n\n[3] Pasal 25 ayat (1) jo. Pasal 1 angka 33 UU Ketenagakerjaan\n\n[4] Pasal 25 ayat (2) UU Ketenagakerjaan\n\n[5] Pasal 22 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan\n\n[6] Pasal 22 ayat (3) UU Ketenagakerjaan\n\n[7] Pasal 9 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri (“Permenaker 6/2020”)\n\n[8] Pasal 1 angka 7 jo. Pasal 10 ayat (2) Permenaker 6/2020\n\n[9] Pasal 12 jo. Pasal 1 angka 9 Permenaker 6/2020\n\n[10] Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.08/MEN/V/2008 Tahun 2008 tentang Tata Cara Perizinan dan Penyelenggaraan Pemagangan di Luar Negeri (“Permenakertrans 8/2008”)\n\n[11] Pasal 13 ayat (1) huruf d dan e Permenakertrans 8/2008\n\n[12] Pasal 13 ayat (3) jo. Pasal 1 angka 8 Permenakertrans 8/2008\n\n[13] Pasal 8 ayat (2) Permenakertrans 8/2008\n\n[14] Pasal 13 ayat (1) Permenaker 6/2020\n\n[15] Pasal 20 ayat (1) Permenakertrans 8/2008"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin bertanya, apakah ada pajak dari mahar/mas kawin berupa uang? Mahar ini ingin diberikan oleh calon suami (WNA) ke calon istrinya (WNI). Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pajak atas penghasilan yang diperoleh seseorang. Kami asumsikan pasangan yang Anda tanyakan tinggal dan akan menikah di Indonesia, karena patut dicatat bahwa subjek pajak, menurut Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1 dan ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (“UU 36/2008”) , mencakup pula orang pribadi, termasuk orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Meski pasangan yang Anda tanyakan dapat dikategorikan sebagai subjek pajak penghasilan, namun mahar atau mas kawin yang Anda maksud dikategorikan sebagai bantuan atau sumbangan, sehingga tidak akan kena potong pajak . Beberapa objek berikut ini bukan merupakan objek pajak penghasilan walaupun menambah kekayaan atau harta: [1] bantuan atau sumbangan , yaitu pemberian dalam bentuk uang atau barang kepada orang pribadi atau badan yang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah; warisan; harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal; pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa; bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada wajib pajak tertentu, Walaupun mahar atau mas kawin bukan sebagai objek pajak penghasilan, namun harus tetap mencantumkan dan melaporkannya di surat pemberitahuan tahunan pajak sebagai tambahan kekayaan atau harta . Baca juga: Dapatkah Mahar Diminta Kembali? Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2009 tentang Bantuan atau Sumbangan Termasuk Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan [1] Pasal 4 ayat (3) UU 36/2008 jo. Pasal 1 dan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2009 tentang Bantuan atau Sumbangan Termasuk Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan pajak hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apabila kita mengambil jurusan hukum perdata, apakah diwajibkan menghapal semua pasal?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Mungkin memang ada pandangan dari sebagian masyarakat bahwa mahasiswa fakultas hukum harus dapat mengha f al semua pasal peraturan perundang-undangan . Padahal , pada kenyataannya tidaklah harus demikian. KLINIK TERKAIT Konsultasi Hukum oleh Mahasiswa, Memang Boleh? 09 Agt 2023 Kewenangan Polri Menindak Demo Anarkis di Kampus 20 Jan 2022 Rangkap Jabatan Profesi Hukum 17 Jun 2019 Apakah SH Program Hukum Internasional Bisa Jadi Advokat Lokal? 29 Agt 2012 Demikian pula halnya ketika mahasiswa fakultas hukum mengambil jurusan Hukum Perdata, dia tidak diwajibkan menghafal seluruh pasal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”). Seperti dikatakan pengajar H ukum P erdata Fakultas Hukum Universitas Indonesia , Suharnoko, S.H. , M.L.I , mahasiswa tidak perlu mengha f al semua pasal . Menurutnya, yang penting adalah mahasiswa memahami doktrin-doktrin yang melatarbelakangi pembentukan pasal -pasal itu sehingga akan lebih tajam dalam melihat persoalan. Sel ain itu, Suharnoko mengatakan, mahasiswa perlu juga memiliki kemampuan menganalisis putusan-putusan pengadilan supaya ada kaitan antara teori dengan praktik. Pe ndapat senada juga diungkapkan advokat Ahmad Fikri Assegaf, S.H. , LL.M. Menurutnya , yang paling penting dalam mempelajari ilmu hukum adalah m emaham i konsep, filosofi, dan kalau perlu sejarah dari suatu peraturan perundang-undangan . Selain itu, Fikri juga menegaskan pentingnya mempelajari putusan-putusan pengadilan sebagai rujukan dalam memecahkan suatu perkara hukum. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Meski demikian, Fikri berpendapat adalah hal yang baik jika seorang Sarjana Hukum dapat menghafal semua pasal KUHPerdata. Namun, saat ini perkembangan teknologi telah memudahkan orang untuk mengakses isi pe raturan perundang-undangan melalui internet dari telepon genggam. Pada sisi lain, menurut notaris Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn. sebagian pasal KUHPerdata perlu dihafal, meski tidak semua. Pasal-pasal KUHPerdata yang penting dan sering dipakai dalam praktik, menurutnya, perlu dihafal dan dipahami, misalnya Pasal 1131, Pasal 1132, Pasal 1313, Pasal 1314, Pasal 1338, Pasal 1340, Pasal 1813, Pasal 1838 dll. Jadi, memiliki kemampuan untuk mengha f al semua pasal bukanlah hal yang diwajibkan untuk mahasiswa yang mengambil jurusan hukum perdata, karena pemahaman akan konsep dan logika hukum adalah lebih penting. Meski demikian, ada juga yang berpendapat bahwa pasal-pasal KUHPerdata tertentu yang sering dipakai dalam praktik perlu dihafalkan dan dipahami. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Catatan editor: Klinik hukumonline meminta pendapat Ahmad Fikri Assegaf pada 13 September 2012, dan Suharnoko serta Irma Devita Purnamasari pada 14 September 2012. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad No. 23 Tahun 1847)."
} |
{
"from": "human",
"value": "Mohon informasi, apakah UU Perlindungan Konsumen juga berlaku dalam institusi pendidikan? Dalam hal ini saya adalah mahasiswa pascasarjana PTN di Bandung yang merasa dirugikan oleh universitas secara finansial. Karena kebijakan-kebijakan yang tidak ramah mahasiswa, seperti kenaikan biaya kuliah secara sepihak, tanpa sosialisasi yang semestinya dan kemudian kewajiban membayar kuliah 1 tahun, padahal sebelumnya persemester. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Pasal 1 angka 3 UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) merumuskan pelaku usaha sebagai setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Dari pengertian di atas, titik beratnya adalah melakukan kegiatan ekonomi. Ini artinya, seorang pelaku usaha haruslah berorientasi profit/keuntungan. Pasal 53 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Selanjutnya dalam pasal 53 ayat (3) UU Sisdiknas disebutkan bahwa badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Dari prinsip nirlaba di atas, dapat disimpulkan bahwa badan hukum pendidikan bukan termasuk dalam pelaku usaha sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1 angka 3 UUPK tersebut. Dengan demikian, badan hukum pendidikan tidak termasuk dalam lingkup pengaturan UUPK. Untuk mencari penyelesaian terhadap masalah Anda, barangkali Anda dapat menggunakan mekanisme atau saluran-saluran yang telah disediakan oleh pihak universitas yang bersangkutan. Semoga masalah Anda dapat terselesaikan dengan baik. Demikian penjelasan kami. Semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional"
} |
{
"from": "human",
"value": "Mohon pencerahan jika saja tuntutan perkara pidana sudah dicabut oleh penuntut umum apakah pihak tertuntut masih wajib untuk wajib lapor atau melaporkan diri kepada pihak kepolisian? Thanks."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Intisari: Jika telah dikeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan, maka orang tersebut sudah tidak berstatus sebagai tersangka. Yang mana wajib lapor hanya diperuntukkan bagi penangguhan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa. Maka terhadap seseorang yang sudah tidak berstatus sebagai tersangka karena telah terbit SKPP, orang tersebut tidak ada kewajiban untuk melapor kepada kepolisian. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: Penuntutan d an Penghentian Penuntutan Anda membicarakan tuntutan perkara pidana yang sudah dicabut oleh penuntut umum. Ini berarti, kasus tersebut telah sampai pada tahap penuntutan. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. [1] Yang berwenang melakukan penuntutan adalah penuntut umum. [2] KLINIK TERKAIT Berapa Lama Jangka Waktu Pelaksanaan Wajib Lapor? 15 Nov 2023 Jangka Waktu Maksimal Penahanan di Kepolisian 16 Des 2013 Aturan Penerapan Wajib Lapor di Kepolisian 20 Jul 2012 Syarat-syarat Penangguhan Penahanan 17 Nov 2011 Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan. [3] Penuntut umum dapat menghentikan penuntutan dalam hal: [4] Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 1. Tidak terdapat cukup bukti; 2. Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana; 3. Perkara ditutup demi hukum. Dalam hal dilakukan penghentian penuntutan, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan (Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan – “SKPP”). [5] Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib segera dibebaskan. Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim. Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka. [6] Wajib Lapor Wajib lapor kepada kepolisian ini berhubungan dengan penangguhan penahanan. Mengenai penangguhan penahanan dapat dilihat dalam Pasal 31 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: “Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan . ” Yang dimaksud dengan “syarat yang ditentukan”, menurut penjelasan Pasal 31 ayat (1) KUHAP , yaitu: 1. Wajib lapor ; 2. Tidak keluar rumah; atau 3. Tidak keluar kota. Untuk lebih jelasnya, silakan baca artikel Syarat-Syarat Penangguhan Penahanan . Jadi, wajib lapor merupakan salah satu syarat dalam penangguhan penahanan. Karena wajib lapor berhubungan dengan penahanan, maka ini berarti orang yang diwajibkan untuk melapor tersebut adalah tersangka atau terdakwa. Pasal 21 KUHAP menyatakan bahwa perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup. Berdasarkan ketentuan tersebut, wajib lapor hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa . Oleh karena itu, jika telah dikeluarkan SKPP dan orang tersebut sudah tidak berstatus sebagai tersangka, maka tidak ada kewajiban untuk melapor kepada kepolisian. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana . [1] Pasal 1 angka 7 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) [2] Pasal 1 angka 6 huruf b KUHAP [3] Pasal 140 ayat (1) KUHAP [4] Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP [5] Pasal 140 ayat (2) huruf b dan c KUHAP [6] Pasal 140 ayat (2) huruf d KUHAP klinik hukumonline hukum hukumonline wajib lapor"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah materi muatan Perppu sama persis dengan UU? Apakah Perppu dapat mencantumkan materi ketentuan pidana, khususnya pidana mati seperti yang dicantumkan oleh UU? Apakah pengertian Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dapat dimaknai bahwa pembatasan HAM dapat pula dilakukan dengan instrumen Perppu? Atau hanya dengan instrumen UU? Apakah nonderogable rights sebagaimana yang diatur Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 dapat dikecualikan dengan instrumen Perppu?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Apakah Materi Muatan Perppu Sama d engan UU? Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (“Perppu”) adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Secara konstitusional, Perppu diatur dalam Pasal 22 a yat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ( “ UUD 1945 ” ) yang menyatakan: Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang Terkait dengan materi muatan Perppu diatur pada Pasal 11 UU 12/2011 yang menyebutkan bahwa materi muatan Perppu sama dengan materi muatan undang-undang (“UU”) . Lalu perihal pengaturan materi muatan tersebut (UU dan Perppu) diatur lebih rinci dalam Pasal 10 UU 12/2011 yaitu : Materi muatan yang harus diatur dengan Undang- Undang berisi: pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang; pengesahan perjanjian internasional tertentu; tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Kemudian, Maria Farida dalam bukunya Ilmu Perundang-Undangan:Proses dan Teknik Pembentukanya (hal.80) mengatakan bahwa secara hierarki Undang-Undang memiliki tingkatan yang sama dengan Perppu sehingga fungsi maupun materi muatan Perppu juga sama dengan undang-undang. [1] Jadi berdasarkan uraian di atas, materi muatan Perppu dan undang-undang adalah sama. Apakah P erppu D apat Mencantumkan Materi Ketentuan Pidana Seper t i y ang Dimuat oleh UU? Sebelumnya telah diuraikan bahwa secara hierarki, fungsi dan materi muatan antara undang-undang dengan Perppu adalah sama. Terkait dengan apakah Perppu dapat memuat ketentuan pidana sebagaimana undang-undang? Maka akan kami jabarkan sebagai berikut: Pasal 15 UU 12 / 2011 mengatur sebagai berikut : Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam: Undang-Undang; Peraturan Daerah Provinsi; atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Kemudian berdasarkan L ampiran II Bab I huruf C.3 angka 112 UU 12 / 2011 , ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau norma perintah. Jika kita amati, meskipun Pasal 15 UU 12/2011 tidak menyebutkan Perppu sebagai peraturan perundang-undangan yang dapat memuat materi ketentuan pidana, namun perlu kita pahami bahwa kedudukan, fungsi dan materi muatan antara undang-undang dengan Perppu adalah sama. Mengenai kedudukan yang sama ini dapat kita lihat dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 yakni : Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota . Maria Farida dalam buku yang sama (hal.80) menyatakan bahwa Perppu memiliki hierarki, fungsi dan materi muatan yang sama dengan UU. Perbedaan antara keduanya adalah dari segi pembentukannya, dimana undang-undang disetujui bersama oleh Presiden dan DPR sedangkan Perppu ditetapkan oleh Presiden. Adapun contoh Perppu yang memuat ketentuan pidana dapat kita lihat pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (“Peppu 1/2002”) yang ditetapkan menjadi undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 sebagaimana terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (“Perppu 2/2017”) yang telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 . Berdasarkan hal tersebut maka Perppu dapat memuat ketentuan pidana sebagaimana halnya undang-undang. Pengaturan Hak Asasi Manusia (HAM) pada Perppu Kemudian berkaitan dengan pertanyaan terakhir Anda, apakah Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 tentang pembatasan HAM dapat pula diatur pada instrumen Perppu? Serta apakah non - derogable righ ts sebagaimana diatur dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 dapat dikecualikan dengan instrumen Perppu? Terkait dengan pertanyaan tersebut, perlu kita perhatikan terlebih dahulu tafsir konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 (hal.412), Mahkamah berpendapat sebagai berikut : dari perspektif original intent pembentuk UUD 1945, seluruh hak asasi manusia yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945 keberlakuannya dapat dibatasi. Original intent pembentuk UUD 1945 yang menyatakan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi juga diperkuat oleh penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945 tersebut. Jadi, secara penafsiran sistematis (sistematische interpretatie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Sistematika pengaturan mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945 sejalan dengan sistematika pengaturan dalam Universal Declaration of Human Rights yang juga menempatkan pasal tentang pembatasan hak asasi manusia sebagai pasal penutup, yaitu Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society.” Kemudian terkait dengan hak yang tak dapat dikurangi ( non derogable rights ) sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 apakah bersifat mutlak atau tidak, maka Mahkamah juga berpendapat bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 065/PUU-II/2004 yang pada intinya menyatakan bahwa Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 haruslah dibaca bersama-sama dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Oleh karena itu kelompok hak yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 tersebut tidaklah bersifat mutlak atau dengan kata lain dapat dilakukan pembatasan sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 tersebut. Labih lanjut Mahkamah berpendapat bahwa pembatasan HAM dapat dilakukan dengan Undang-Undang sebagaimana rumusan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 akan tetapi pembatasan tersebut hanya untuk tujuan yang secara tegas disebutkan yakni semata-mata untuk pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban dalam suatu masyarakat demokratis. Terkait dengan apakah pembatasan hak asasi manusia yang termasuk rumpun non - derobale right s dapat dilakukan dengan Perppu? Sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas, bahwa kedudukan, fungsi, dan materi muatan Perppu adalah sama dengan undang-undang. Maka pembatasan HAM yang dilakukan dengan undang-undang sebagaimana rumusan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 tersebut dapat dilakukan pada Perppu, karena secara materil, kedudukan, fungsi, dan materi muatan Perppu adalah sama dengan undang-undang. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Undang-Undang Dasar 1945 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 Putusan : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 065/PUU-II/2004 ; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 . Referensi : Maria Farida Indrati S. 2017. Ilmu Perundang-Undangan: Proses dan Teknik Pembentukannya . Yogyakarta : PT. Kanisius. [1] Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan: Proses dan Teknik Pembentukannya, PT. Kanisius, 2017, hal. 80 peraturan hukumonline ham undang-undang mahkamah konstitusi online peraturan perundang-undangan tata negara klinik hukum klinik hukumonline pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Selama ini saya sering melakukan dokumentasi digital terhadap kaset-kaset lagu dan ceramah koleksi saya yang sudah menggunung dan rentan kerusakan. Salah satu caranya adalah mengkonversikan ke file .mp3, kemudian saya simpan sebagai database saya. Nah, menurut hukum apakah termasuk pelanggaran padahal bukan untuk saya jual?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Diana Kusumasari, S.H., M.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Jumat, 03 Juni 2011 . Intisari : Perbuatan yang Anda lakukan dengan melakukan konversi dari kaset ke dalam bentuk file MP3 bukanlah pelanggaran hak cipta , sepanjang dipergunakan hanya untuk konsumsi pribadi, hanya dapat dibuat sebanyak 1 (satu) salinan, dan tidak merugikan kepentingan ekonomi yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Rekaman Lagu dan Ceramah Merupakan Fonogram yang Dilindungi Hak Cipta Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta”) ditentukan bahwa hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sebelum masuk pada pembahasan lebih dalam, perlu dilihat apa saja ciptaan yang dilindungi menurut Pasal 40 ayat (1) UU Hak Cipta . Ciptaan yang dilindungi meliputi ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, terdiri atas: buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya; ceramah , kuliah, pidato, dan ciptaan sejenis lainnya; alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks; drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim; karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase; karya seni terapan; karya arsitektur; peta; karya seni batik atau seni motif lain; karya fotografi; potret; karya sinematografi; terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi; terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modifikasi ekspresi budaya tradisional; kompilasi ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan program komputer maupun media lainnya; kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli; permainan video; dan program komputer. Oleh karena lagu dan ceramah sebagaimana Anda jelaskan merupakan suatu rekaman suara, maka dapat dikategorikan sebagai fonogram. Pasal 1 angka 14 UU Hak Cipta menjelaskan definisi dari fonogram sebagai berikut: Fonogram adalah Fiksasi suara pertunjukan atau suara lainnya , atau representasi suara, yang tidak termasuk bentuk Fiksasi yang tergabung dalam sinematografi atau Ciptaan audiovisual lainnya. Hak Ekonomi Fonogram Perlu diketahui bahwa produser fonogram memiliki hak ekonomi yang meliputi hak melaksanakan sendiri, memberikan izin, atau melarang pihak lain untuk melakukan: [1] penggandaan atas Fonogram dengan cara atau bentuk apapun; pendistribusian atas Fonogram asli atau salinannya; penyewaan kepada publik atas salinan Fonogram; dan penyediaan atas Fonogram dengan atau tanpa kabel yang dapat diakses publik. Dalam huruf a di atas, yang dimaksud dengan penggandaan atas fonogram dengan cara atau bentuk apapun antara lain meliputi: perubahan rekaman dari format fisik (compact disc/video compact disc/digital video disc) menjadi format digital (Mpeg-1 Layer 3 Audio (Mp3), Waveform Audio Format (WAV), Mpeg-1 Layer 4 Audio (Mp4), atau perubahan dari buku menjadi buku audio. [2] Definisi penggandaan dijelaskan dalam Pasal 1 angka 12 UU Hak Cipta yaitu proses, perbuatan, atau cara menggandakan satu salinan ciptaan dan/atau fonogram atau lebih dengan cara dan dalam bentuk apapun , secara permanen atau sementara. Apakah Melanggar Hukum Jika Mengubah Bentuk Kaset Menjadi MP3? Menyambung pertanyaan Anda apakah boleh melakukan konversi lagu dan ceramah dari kaset ke dalam bentuk file MP3?, perlu diketahui bahwa terdapat pembatasan hak cipta, salah satunya diatur dalam Pasal 46 UU Hak Cipta sebagai berikut: Penggandaan untuk kepentingan pribadi atas Ciptaan yang telah dilakukan Pengumuman hanya dapat dibuat sebanyak 1 (satu) salinan dan dapat dilakukan tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta . Penggandaan untuk kepentingan pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencakup : karya arsitektur dalam bentuk bangunan atau konstruksi lain; seluruh atau bagian yang substansial dari suatu buku atau notasi musik; seluruh atau bagian substansial dari database dalam bentuk digital; Program Komputer, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1); dan Penggandaan untuk kepentingan pribadi yang pelaksanaannya bertentangan dengan kepentingan yang wajar dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta . Hal senada juga disampaikan oleh Rapin Mudiardjo , salah seorang konsultan hak kekayaan intelektual menyampaikan bahwa sepanjang pengalihwujudan kaset menjadi file dengan format MP3 tersebut adalah semata-mata untuk konsumsi pribadi , tindakan tersebut tidaklah melanggar hak cipta karena yang dilarang dan dianggap sebagai pelanggaran hak cipta adalah pengumuman dan perbanyakan (penggandaan) terhadap suatu ciptaan yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki hak untuk itu (bukan pencipta atau pemegang hak cipta). Di sisi lain, ada pendapat lain yang mengemukakan bahwa tindakan Anda mengubah format suatu koleksi audio visual adalah termasuk tindakan penggandaan. Bahwa dalam lingkup hukum hak cipta, yang dipersoalkan tidak hanya apakah tujuannya untuk komersial atau tidak, tapi juga apakah merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta atau tidak. Dengan demikian, walaupun Anda melakukan perbanyakan tidak untuk mencari profit/keuntungan, tetapi kalau tindakan itu merugikan kepentingan (tentunya kepentingan ekonomi) yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta; maka Anda dapat dianggap melanggar hak cipta. Sebagai kesimpulan, perbuatan yang Anda lakukan dengan melakukan konversi dari kaset ke dalam bentuk file MP3 bukanlah pelanggaran hak cipta , sepanjang dipergunakan hanya untuk konsumsi pribadi, hanya dapat dibuat sebanyak 1 (satu) salinan, dan tidak merugikan kepentingan ekonomi yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta . Catatan : Klinik Hukum online meminta pendapat Rapin Mudiardjo melalui hubungan telepon pada 30 Mei 2011. [1] Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UU Hak Cipta [2] Penjelasan Pasal 24 ayat (2) huruf a UU Hak Cipta hukumonline hak cipta online hukum klinik hukumonline kekayaan intelektual"
} |
{
"from": "human",
"value": "1. Di mana saya bisa memperoleh penjelasan mengenai undang-undang perselisihan antar-rumah tangga? 2. Misal ada kasus: tetangga membangun rumah tanpa minta izin tetangga sebelah-sebelahnya. Apakah sudah termasuk pelanggaran hukum, apabila pembangunan tersebut mengganggu rumah sekitarnya (dari suara yang ditimbulkan dan penempatan material sembarangan di jalan umum)? Apakah setelah menimbulkan kerusakan di rumah lainnya, baru bisa dikatakan melanggar hukum? Kapan kasus seperti itu bisa dibawa secara hukum (pengadilan)? Dan bagaimana tahap-tahapnya? Demikian pertanyaan ini, atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "1. Sepengetahuan kami, tidak ada undang-undang khusus terkait perselisihan antar-rumah tangga. 2. Seperti sudah diketahui secara umum bahwa untuk mendirikan bangunan (dalam hal ini rumah tinggal), diperlukan adanya Izin Mendirikan Bangunan (“IMB”). IMB merupakan salah satu jenis retribusi perizinan tertentu yang harus dibayarkan kepada Pemerintah Daerah (lihat Pasal 141 huruf a UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah ). Untuk wilayah DKI Jakarta, ketentuan mengenai kewajiban untuk memiliki IMB sebelum membangun rumah ini juga dapat kita temui antara lain dalam Pasal 15 ayat (1) Perda Provinsi DKI Jakarta No. 7 Tahun 2010 tentang Bangunan Gedung (“Perda 7/2010” ) . Lebih jauh simak IMB . Pada dasarnya, tidak ada kewajiban bagi orang yang ingin membangun rumah untuk meminta izin kepada tetangganya. Namun, dalam praktiknya di sebagian daerah seseorang yang hendak membangun rumahnya merasa perlu memberitahu tetangga-tetangga yang tinggal bersebelahan dengan rumahnya. Hal ini boleh jadi telah merupakan kebiasaan atau tata krama yang berlaku di sebagian masyarakat Indonesia. Hal demikian dapat dipahami karena pembangunan rumah akan menimbulkan bunyi-bunyi gaduh, kotornya area sekitar (karena bahan-bahan bangunan) atau hal-hal lainnya serta tidak menutup kemungkinan dapat merusak tembok pembatas rumah milik tetangga. Saat pelaksanaan pembangunan, tentu tidak dapat dihindarkan adanya suara-suara gaduh dan kotornya area sekitar. Untuk itulah, sangat penting adanya sikap saling toleransi dan pengertian di masyarakat. Karena setiap orang bisa saja suatu saat akan membangun rumah (termasuk Anda). Sepanjang orang yang membangun rumah tersebut telah memiliki IMB dan melaksanakan kegiatan pembangunan sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam IMB, maka secara hukum pembangunan tersebut tidaklah melanggar hukum (untuk wilayah Jakarta, lihat Pasal 231 Perda 7/2010 ). Memang pada prinsipnya setiap pelaksanaan kegiatan membangun harus memperhatikan: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas a. kesesuaian antara pelaksanaan pembangunan bangunan gedung dengan dokumen rencana teknis yang disetujui dalam IMB; b. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3); c. kebersihan dan ketertiban lingkungan; dan d. dampak pelaksanaan pembangunan terhadap lingkungan. (lihat Pasal 145 Perda 7/2010 ). Namun, jika pembangunan rumah tersebut ternyata mengganggu tetangga (dalam hal ini Anda), sehingga Anda mengalami kerugian secara moril, idiil maupun materiil, ada upaya hukum yang dapat Anda lakukan yaitu dengan menggugat tetangga Anda ke pengadilan dengan alasan melakukan Perbuatan Melawan Hukum (“PMH”). Akan tetapi, kami lebih menyarankan agar Anda lebih mengedepankan asas kekeluargaan dan melakukan pendekatan dengan cara musyawarah terlebih dahulu. Apabila upaya musyawarah tidak mencapai kata mufakat dan Anda semakin dirugikan (baik secara moril, idiil maupun materiil), Anda dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri setempat dengan dasar gugatan PMH. Pada akhirnya, pengadilanlah yang akan memutuskan apakah perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsur PMH atau tidak. Lebih jauh, simak artikel jawaban Bermasalah Dengan Tetangga karena Tembok Batas Pekarangan . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: 1. Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah 2. Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 7 Tahun 1991 Tentang Bangunan Dalam Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ."
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya baru tahu ternyata sebuah tanah bisa dilepaskan haknya oleh pemilik. Bagaimana caranya? Kemudian tanah yang dilepaskan haknya tersebut apakah otomatis menjadi tanah milik negara?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Pelepasan Hak atas Tanah kepada Negara\n\nDasar hukum mengenai pelepasan hak atas tanah baik hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dapat dilihat dalam Pasal 27, Pasal 34 dan Pasal 40 UU PA. Pengertian pelepasan hak dapat mengacu pada Pasal 1 angka 11 PP 39/2023 mendefinisikan sebagai kegiatan pemutusan hubungan hukum dari pihak yang berhak kepada negara.\nDengan demikian, berdasarkan ketentuan tersebut, setelah dilakukan pelepasan hak itu maka tanah yang dilepaskan haknya tersebut beralih kepada negara dan menjadi tanah negara atau tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Oleh karena itu, penyebutannya adalah tanah negara bukan tanah milik negara.\n\nTanah negara atau tanah yang dikuasai langsung oleh negara adalah tanah yang tidak dilekati dengan sesuatu hak atas tanah, bukan tanah wakaf, bukan tanah ulayat dan/atau bukan merupakan aset barang milik negara/barang milik daerah.[1]\nDalam hal ini proses pelepasan hak dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan umum oleh pemerintah dapat dilihat pada Pasal 100 PP 19/2021, yaitu:\n\nPelepasan Hak Objek Pengadaan Tanah dilaksanakan oleh Pihak yang Berhak kepada Negara di hadapan Kepala Kantor Pertanahan setempat atau pejabat yang ditunjuk oleh ketua pelaksana Pengadaan Tanah.Pelepasan Hak Objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam berita acara Pelepasan Hak Objek Pengadaan Tanah.\n\nDalam pelaksanaan pelepasan hak objek pengadaan tanah, pelaksana pengadaan tanah:[2]\n\nmenyiapkan surat pernyataan pelepasan/penyerahan hak atas tanah atau penyerahan tanah, dan/atau bangunan, dan/atau tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah;menarik bukti penguasaan atau kepemilikan objek pengadaan tanah dari pihak yang berhak;memberikan tanda terima pelepasan; danmembubuhi tanggal, paraf, dan cap pada sertipikat dan buku tanah bukti kepemilikan yang sudah dilepaskan kepada negara, yang dilakukan secara manual atau elektronik.\nPelepasan Hak Milik atas Tanah kepada PT\n\nSelain itu, pelepasan hak juga dapat terjadi dalam rangka perolehan tanah untuk kepentingan perusahaan swasta dan apabila terjadi jual beli ketika pembelinya bukan subjek hak atas tanah, misalnya terjadi tanah berstatus hak milik tetapi hendak dibeli oleh sebuah Perseroan Terbatas (“PT”), yang mana berdasarkan ketentuan hukum di Indonesia, PT tidaklah bisa menjadi subjek hukum hak milik atas tanah.\n\nUntuk itu, menurut Irma Devita Purnamasari dalam bukunya Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Mengatasi Masalah Hukum Pertanahan (hal. 35-36), pemilik tanah hak milik tersebut melepaskan haknya atas tanahnya ke negara dengan Akta Pelepasan Hak atas Tanah yang dibuat di hadapan notaris yang berwenang.[3]\n\nAkta tersebut dibuat secara notariil atau bawah tangan, yaitu dengan:[4]\n\nakta notaris yang menyatakan bahwa pemegang yang bersangkutan melepaskan hak atas tanah (dalam hal ini hak milik);surat keterangan dari pemegang hak bahwa pemegang hak yang bersangkutan melepaskan hak atas tanah (dalam hal ini hak milik) yang dibuat di depan dan disaksikan oleh camat pada lokasi tanah setempat;surat keterangan dari pemegang hak bahwa pemegang hak yang bersangkutan melepaskan hak atas tanah (dalam hal ini hak milik) yang dibuat di depan dan disaksikan oleh kepala kantor pertanahan setempat.\n\nSetelahnya, tanah tersebut menjadi tanah yang dikuasai negara (tanah negara), kemudian PT selaku calon pembeli tanah itu memiliki hak preference untuk mengajukan permohonan hak kepada negara atas tanah tersebut, misalnya hak guna bangunan.[5]\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria](Data Kepolisian /pusatdata/detail/249/nprt/6/uu-no-5-tahun-1960-peraturan-dasar-pokok-pokok-agraria#dokumen?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_5_1960)\n2. [Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris](Data Kepolisian /pusatdata/detail/19754/undangundang-nomor-30-tahun-2004?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_30_2004)\n3. [Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt52e61d0707fe3/undang-undang-nomor-2-tahun-2014?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_2_2014)\n4. [Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt60322fb265651/peraturan-pemerintah-nomor-19-tahun-2021/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_19_2021)\n5. [Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt64c219bfb45ca?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_39_2023)\nREFERENSI:\n1. Irma Devita Purnamasari, Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Mengatasi Masalah Hukum Pertanahan, Kaifa, 2012\n\nRolan Napitupulu dan Agus Sarono, Akibat Hukum Jual Beli Tanah untuk Kepentingan Perusahaan Swasta dengan Akta Pelepasan Hak, Jurnal Notarius Vol. 15 No. 1, 2022.\n\n[1] Pasal 1 angka 8 Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum[2] Pasal 101 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum[3] Pasal 15 ayat (2) huruf f Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris[4] Rolan Napitupulu dan Agus Sarono, Akibat Hukum Jual Beli Tanah untuk Kepentingan Perusahaan Swasta dengan Akta Pelepasan Hak, Jurnal Notarius Vol. 15 No. 1, 2022, hal. 153[5] Irma Devita Purnamasari, Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Mengatasi Masalah Hukum Pertanahan, Kaifa, 2012, hal. 35-36"
} |
{
"from": "human",
"value": "Dear Hukum Online, Di tempat saya bekerja ada seorang rekan kerja laki-laki yang senang memandang selama lebih dari 10 detik (menatap cukup lama) pada bagian (maaf) dada rekan kerja wanita. Dan pernah kami pergoki juga sedang memandang cukup lama (menatap) bagian kaki atau (maaf) bokong wanita. Banyak rekan kerja wanita yang risih dan tidak nyaman jika berada di dekat orang tersebut. Apakah tindakan tersebut termasuk pada pelecehan seksual? Apakah dapat dipidanakan atau dilakukan tindakan hukum lainnya yang dapat membuat jera? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "1. Untuk mengetahui apakah perbuatan rekan kerja laki-laki tersebut termasuk pelecehan seksual, kita simak dulu apa yang dimaksud pelecehan seksual. Istilah pelecehan seksual, tulis Ratna Batara Munti dalam artikel berjudul “ Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas ”, tidak dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). KUHP, menurutnya, hanya mengenal istilah perbuatan cabul, yakni diatur dalam Pasal 289 s.d. Pasal 296 KUHP . Perbuatan cabul, menurut R. Soesilo dalam buku KUHP Serta Komentar-komentarnya, mencakup perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin. Misalnya, cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya. KLINIK TERKAIT Jerat Pidana Pasal Pelecehan Seksual dan Pembuktiannya 22 Feb 2024 Ada Pelecehan di Tempat Kerja? Tempuh Langkah Ini 29 Jan 2024 Menghindari Pelecehan Seksual di Kereta Api 12 Okt 2011 Aturan tentang Diskriminasi di Tempat Kerja 12 Okt 2011 Istilah pelecehan seksual, menurut Ratna, mengacu pada sexual harrasment yang diartikan sebagai unwelcome attention (Martin Eskenazi and David gallen, 1992) atau secara hukum didefinisikan sebagai \" imposition of unwelcome sexual demands or creation of sexually offensive environments \". Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Sementara itu, menurut Nina Tursinah, S.Sos, M.M., Ketua Bidang UKM, Wanita Pekerja, Pengusaha, Gender & Sosial DPN Apindo, ada empat bentuk pelecehan seksual yaitu: a. Fisik, kontak langsung tubuh , mencubit, mencium, menatap dengan nafsu b. Lisan , komentar yang tidak diinginkan tentang kehidupan pribadi c. Isyarat , bahasa tubuh yang bernada seksual d. Tulisan , Gambar, pornografi, postek seksual atau pelecehan lewat email dan model komunikasi elektronik e. Psikologis, Emosional , ajakan terus menerus dan tidak diinginkan kencan yang tidak diharapkan penghinaan, celaan. Demikian disampaikan Nina Tursinah dalam makalah berjudul Pentingnya Social Compliance Bagi Dunia Usaha yang kami unduh dari situs apindo.or.id . Jadi, dari uraian di atas, tindakan rekan kerja laki-laki di kantor Anda yaitu memandang bagian-bagian tertentu tubuh wanita tidak termasuk perbuatan cabul menurut KUHP, tapi dapat dikategorikan sebagai pelecehan seksual . 2. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah pelecehan seksual berupa menatap penuh nafsu lawan jenis bisa dipidanakan atau dikenakan sanksi hukum lainnya? Untuk menjawab pertanyaan ini kita dapat melihat kembali kesimpulan dalam jawaban poin 1 di atas. Yaitu, karena tindakan memandang bagian-bagian tertentu dari tubuh wanita tidak termasuk perbuatan cabul, maka laki-laki tersebut tidak dapat dijerat dengan KUHP . Meski demikian, bukan berarti tidak ada upaya atau tindakan lain yang dapat dilakukan untuk memberikan efek jera terhadap laki-laki tersebut. Seperti diketahui UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“ UUK ”) telah memberikan perlindungan bagi tenaga kerja, termasuk dalam masalah moral dan kesusilaan. Pasal 86 ayat (1) UUK menyebutkan bahwa setiap buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas; a. keselamatan dan kesehatan; b. moral dan kesusilaan ; dan c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama. Berdasarkan Pasal 86 ayat (1) UUK di atas, tindakan konkret yang dapat dilakukan terhadap si laki-laki yang melakukan pelecehan seksual dalam kasus Anda adalah menegur atau memperingatkannya secara langsung. Jika setelah diperingatkan dia masih mengulangi perbuatannya lagi, maka para pegawai wanita yang pernah menjadi korban pelecehan sebaiknya melaporkan si pelaku secara bersama-sama kepada atasan atau manajemen perusahaan. Ini agar laporan menjadi lebih kuat karena ada lebih dari satu saksi. Dengan adanya pelaporan tersebut diharapkan pihak manajemen dapat menjatuhkan sanksi berupa surat peringatan kepada si pelaku pelecehan. Sanksi dari perusahaan ini seharusnya membuat si pelaku jera dan tidak mengulangi perbuatannya lagi. Untuk mencegah terjadinya pelecehan seksual di tempat kerja, Nina Tursinah, S.Sos, M.M., Ketua Bidang UKM, Wanita Pekerja, Pengusaha, Gender & Sosial DPN Apindo mengatakan perusahaan perlu memasukkan prinsip-prinsip non-diskriminasi dalam kebijakan di tempat kerja. Salah satu cara untuk melakukan itu, menurutnya, adalah menciptakan hubungan kerja yang harmonis, dinamis dan berkeadilan, melalui pengaturan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama di tempat kerja yang diatur dalam Perjanjian Kerja (PK), Peraturan Perusahaan (PP), atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Catatan editor: Artikel jawaban ini telah mengalami penambahan isi pada 25 November 2011 pukul 07.45 wib. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( Wetboek van Strafrecht , Staatsblad 1915 No 73) 2. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah pemberian bonus bagi karyawan perusahaan merupakan gratifikasi? Sedangkan bonus bagi karyawan adalah untuk memberikan motivasi guna peningkatan kinerja."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih untuk pertanyaan Anda. Intisari: Istilah gratifikasi tidak dikenal dalam lingkup hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerjanya. Di samping itu, pemberian bonus pun tidak dapat disamaartikan dengan “gratifikasi” karena prinsipnya bonus itu diberikan kepada pekerja karena hasil keuntungan perusahaan atau karena pekerja menghasilkan hasil kerja lebih besar dari target produksi yang normal atau karena peningkatan produktivitas, yang mana besarnya pembagian bonus diatur berdasarkan kesepakatan. Penjelasan selengkapnya dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Sebelum membahas tentang bonus, terlebih dahulu kami ingin menjelaskan soal gratifikasi . Perlu Anda ketahui, gratifikasi dapat kita temukan pengaturannya dalam Pasal 12B Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 20/2001”) . Yang mana mengenai pengertian gratifikasi dapat dilihat dalam Penjelasan Pasal 12B UU 20/2001 sebagai berikut: KLINIK TERKAIT Aturan Gaji Ke-14 untuk Karyawan Swasta 20 Jun 2024 Bolehkah Uang Lembur Diganti Insentif? 27 Des 2021 Gaji Terakhir dan Bonus Tahunan Tidak Dibayar 18 Mei 2017 Keabsahan Pemberian Insentif yang Bersifat Mengurangi Upah 21 Jul 2016 “Yang dimaksud dengan \"gratifikasi\" dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik” Sebagaimana yang dijelaskan dalam artikel Perbedaan Antara Suap dengan Gratifikasi dapat dianggap sebagai suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Adapun contoh-contoh pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi yang sering terjadi antara lain, yaitu: 1. Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya; 2. Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari pejabat oleh rekanan kantor pejabat tersebut; 3. Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma. Contoh lainnya dari gratifikasi dapat Anda simak dalam artikel Ancaman Pidana bagi Pemberi dan Penerima Gratifikasi .Dari contoh-contoh di atas dapat kita ketahui bahwa gratifikasi itu terjadi di lingkungan pejabat pemerintahan. Sedangkan, dalam lingkungan antara pengusaha dengan pekerjanya (hubungan kerja) tidak dikenal istilah gratifikasi. Masih bersumber dari artikel yang sama, sanksi bagi pelaku baik pemberi maupun penerima gratifikasi terdapat dalam Pasal 5 jo. Pasal 12 huruf a dan huruf b UU 20/2001 , yang diperuntukkan bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara . Ini artinya, memang gratifikasi pada prinsipnya dikenal dalam lingkup pemerintahan, bukan hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja sebagaimana yang dimaksud dalam pertanyaan Anda. Selanjutnya kami akan jelaskan soal bonus. Bonus adalah bukan merupakan bagian dari upah, melainkan pembayaran yang diterima pekerja dari hasil keuntungan perusahaan atau karena pekerja menghasilkan hasil kerja lebih besar dari target produksi yang normal atau karena peningkatan produktivitas; besarnya pembagian bonus diatur berdasarkan kesepakatan. Demikian yang disebut dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No. SE-07/MEN/1990 Tahun 1990 tentang Pengelompokan Komponen Upah Dan Pendapatan Non Upah (“SE Menaker 7/1990”) . Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Bolehkah Tunjangan Jabatan Mengurangi Bonus Tahunan? dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) dan peraturan pelaksananya, tidak ada kewajiban bagi pengusaha untuk memberikan bonus bagi pekerjanya. Maka mengenai bonus pekerja harus melihat kepada ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja atau perjanjian kerja bersama dan peraturan perusahaan. Penjelasan selengkapnya mengenai bonus dapat Anda simak pula dalam artikel Pengaturan Mengenai Gaji Ke-14. Jadi, bonus bukanlah gratifikasi, karena bonus adalah pembayaran yang diterima pekerja dari hasil keuntungan perusahaan atau karena pekerja menghasilkan hasil kerja lebih besar dari target produksi yang normal atau karena peningkatan produktivitas. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan 3. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No. SE-07/MEN/1990 Tahun 1990 tentang Pengelompokan Komponen Upah Dan Pendapatan Non Upah gratifikasi"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya menggunakan nakotika dan teman saya meminta barang tersebut kepada saya. Saya pun memberikannya. Apakah itu termasuk sebagai pengedar?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Pada dasarnya, dalam UU Narkotika tidak dijelaskan secara eksplisit definisi dari “pengedar narkotika”.\n\nMenurut KBBI, pengedar adalah orang yang mengedarkan. Adapun, mengedarkan berarti membawa (menyampaikan) surat dan sebagainya dari orang yang satu kepada yang lain.\nSecara yuridis, Pasal 35 UU Narkotika menjelaskan peredaran narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindahtanganan, untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.\n\nPeredaran narkotika ini wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah misalnya surat persetujuan ekspor/impor, faktur, surat angkut, surat penyerahan barang, resep dokter atau salinan resep dokter yang merupakan bagian tidka terpisahkan dari narkotika yang bersangkutan.[1]\n\nArtinya, tindakan peredaran tanpa izin atau tanpa dokumen yang sah, tergolong sebagai tindakan yang tidak sah atau melawan hukum. Tindakan ini dikategorikan sebagai peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika yaitu setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum yang ditetapkan sebagai pidana narkotika dan prekursor narkotika.[2]\n\nKemudian, menurut Lilik Mulyadi dalam penelitian Pemidanaan Terhadap Pengedar dan Pengguna Narkoba (Penelitian Asas, Teori, Norma, dan Praktik Penerapannya dalam Putusan Pengadilan) menjelaskan bahwa secara sempit, pengedar narkotika adalah orang yang melakukan kegiatan penyaluran dan penyerahan narkotika. Adapun, secara luas, pengertian pengedar juga dapat dilakukan dan berorientasi kepada dimensi penjual, pembeli untuk diedarkan, mengangkut, menyimpan, menguasai, menyediakan, melakukan perbuatan mengekspor dan mengimpor narkotika (hal. 2 – 3).\n\nLebih lanjut, disarikan dari artikel Jerat Pidana Maksimal Bagi Pembuat dan Pengedar Narkoba perbuatan-perbuatan yang dianggap sebagai pengedaran narkotika adalah:\n\nyang menyalurkan narkotika;yang menyerahkan narkotika;penjual narkotika;pembeli narkotika lalu mengedarkannya kembali;pengangkut narkotika;penyimpan narkotika;yang menguasai narkotika;yang menyediakan narkotika;yang mengekspor dan/atau mengimpor narkotika.\n\nBerdasarkan pengertian di atas, tindakan Anda memberikan narkotika kepada teman Anda menurut pendapat kami tergolong sebagai menyerahkan narkotika. Menyerahkan dalam KBBI berarti memberikan (kepada); menyampaikan (kepada); memberikan dengan penuh kepercayaan; memasrahkan. Dengan demikian, tindakan memberikan narkotika kepada teman dapat saja dikategorikan sebagai pengedaran narkotika.\nJerat Pasal Memberikan Narkotika kepada Teman\n\nUntuk menyederhanakan jawaban, kami asumsikan bahwa narkotika yang Anda maksud adalah narkotika golongan I, seperti ganja.\n\nBaca juga: Penggolongan Narkotika Terbaru dalam Permenkes\n\nTindakan Anda yang mempunyai dan memberikan narkotika kepada teman Anda dapat dijerat dengan pasal-pasal dalam UU Narkotika sebagai berikut:\nPasalTindakanAncaman PidanaPasal 111 ayat (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman. Pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800 juta dan paling banyak Rp8 miliar.Pasal 111 ayat (2)Jika menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud ayat (1) beratnya melebihi 1 kilogram atau melebihi 5 batang pohon. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud ayat (1) ditambah 1/3.Pasal 112 ayat (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I bukan tanaman.Pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800 juta dan paling banyak Rp8 miliar.Pasal 112 ayat (2)Jika memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud ayat (1) beratnya melebihi 5 gram. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud ayat (1) ditambah 1/3.Pasal 114 ayat (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan I. Pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1 miliar dan paling banyak Rp10 miliar.Pasal 114 ayat (2)Jika perbuatan menawarkan untuk menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima narkotika golongan I sebagaimana dimaksud ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya lebih dari 1 kilogram atau melebihi 5 batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 gram. Pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud ayat (1) ditambah 1/3.Pasal 116 ayat (1)Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan narkotika golongan I terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan I untuk digunakan orang lain. Pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1 miliar dan paling banyak Rp10 miliar.Pasal 116 ayat (2)Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian narkotika golongan I untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen.Pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud ayat (1) ditambah 1/3.\nBerdasarkan ketentuan di atas, tindakan Anda memiliki, menyimpan, dan memberikan narkotika kepada teman Anda dapat dipidana berdasarkan pasal-pasal dalam UU Narkotika di atas, tergantung pada fakta-fakta yang terungkap selama penyidikan dan persidangan.\n\nSelain itu, menggunakan narkotika golongan I untuk diri sendiri juga termasuk dalam tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a UU Narkotika.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4af3b7f6cf607/undangundang-nomor-35-tahun-2009/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_35_2009)\n2. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n3. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\nREFERENSI:\n1. Lilik Mulyadi. Pemidanaan Terhadap Pengedar dan Pengguna Narkoba (Penelitian Asas, Teori, Norma dan Praktik Penerapannya dalam Putusan Pengadilan). Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2012\n2. Mengedarkan, yang diakses pada Selasa, 25 Juli 2023, pukul 08.45 WIB\n3. Menyerahkan, yang diakses pada Selasa, 25 Juli 2023, pukul 09.01 WIB\n4. Pengedar, yang diakses pada Selasa, 25 Juli 2023, pukul 08.51 WIB.\n\n[1] Pasal 38 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (“UU Narkotika”) dan penjelasannya[2] Pasal 1 angka 6 UU Narkotik"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin membuat audiobook dari buku Student Hidjo yang dibuat tahun 1919, dan pengarangnya adalah Mas Marco Kartodikromo, sudah meninggal pada tahun 1932. Sesuai peraturan batas hak cipta itu 50 tahun sesudah meninggal. Jadi buku itu menjadi umum, tidak ada yang pegang lisensinya, apakah benar begitu? Mohon penjelasan."
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Apakah Kesamaan Judul Merupakan Pelanggaran Hak Cipta? 04 Feb 2016 Hak Cipta Software: Milik Pemberi Ide atau Pembuat Software? 02 Feb 2016 Cara untuk Menggunakan Anime Pihak Lain Sebagai Desain Kaos 03 Des 2015 Pelanggaran Hak Cipta Terhadap Ciptaan yang Belum Didaftarkan 29 Okt 2015 Intisari: Harus dilihat terlebih dahulu siapakah pemegang hak ciptanya, apakah penulis atau penerbit. Jika penulis yang memegang hak cipta, maka perlindungan hak cipta buku berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung selama 70 (tujuh puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia, terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya. Sedangkan jika hak cipta (hak ekonomi) dipegang oleh penerbit, maka berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali dilakukan Pengumuman. Akan tetapi, harus diingat nama pencipta harus selalu dicantumkan karena itu adalah hak moral pencipta yang melekat padanya tanpa batas waktu. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Menjawab pertanyaan Anda mengenai status suatu ciptaan yang telah habis masa perlindungannya dan dikategori masuk pada “ public domain ” atau domain publik, ada dua pertanyaan penting yang harus dijawab, yaitu: siapa penciptanya dan kapan penciptanya meninggal dunia. Ada baiknya kita membahas terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud dengan domain publik. Perlu diingat bahwa ada dua hak yang melekat pada pencipta, yaitu hak ekonomi dan hak moral. Suatu ciptaan yang telah menjadi domain publik tidak sepenuhnya lepas dari penciptanya karena karya yang telah menjadi domain publik berarti perlindungan hak ekonominya yang telah habis masa berlakunya. Akan tetapi, dari sisi hak moral, nama pencipta harus tetap dicantumkan karena hak moral melekat secara abadi pada diri pencipta (tanpa batas waktu). [1] Mengenai apa saja hak moral yang dimiliki oleh pencipta, diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UUHC”) sebagaimana berikut: Pasal 5 Hak moral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 merupakan hak yang melekat secara abadi pada diri Pencipta untuk: a. tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian Ciptaannya untuk umum; b. menggunakan nama aliasnya atau samarannya; c. mengubah Ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat; d. mengubah judul dan anak judul Ciptaan; dan e. mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi Ciptaan, mutilasi Ciptaan, modifikasi Ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya. Sekarang kita bicara mengenai buku. Buku adalah salah satu ciptaan yang dilindungi. Masa perlindungan hak cipta buku berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung selama 70 (tujuh puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia, terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya. [2] Dalam hal buku dibuat oleh Penerbit, pada umumnya hak cipta buku tersebut telah dialihkan oleh penciptanya kepada Penerbit. Jika yang terjadi adalah demikian, maka Penerbit menjadi Pemegang Hak Cipta dari buku tersebut. Apabila telah terjadi pengalihan hak, dan Penerbit sebagai pemegang hak cipta dari buku tersebut, maka Pasal 58 ayat (3) UUHC mengaturnya sebagai berikut. Pelindungan Hak Cipta atas Ciptaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang dimiliki atau dipegang oleh badan hukum berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali dilakukan Pengumuman. (Pasal 58 angka (3)). Anda berniat membuat audiobook yang merupakan karya pengalihwujudan atau adaptasi dari buku Student Hidjo. Anda harus menjawab dua pertanyaan penting tadi. Apabila jawaban pertanyaan Anda tadi memenuhi syarat untuk sebuah karya yang telah menjadi domain publik, maka Anda dapat membuat audiobook dengan menggunakan buku tersebut tanpa harus meminta izin kepada siapapun, dengan syarat nama pencipta harus selalu dicantumkan. Penting diingat, bahwa Anda kemungkinan bukanlah satu-satunya orang yang melakukan adaptasi buku tersebut, sehingga jika Anda ingin mengadaptasi, karya yang boleh diadaptasi tanpa memerlukan izin adalah karya asal atau aslinya, bukan yang telah diadaptasi orang lain. Karya audiobook Anda yang merupakan adaptasi dari buku tersebut, nantinya pun memiliki hak cipta terpisah dari karya asalnya. Demikian jawaban saya, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang No. 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta . [1] Pasal 57 UUHC [2] Pasal 58 ayat (1) UUHC hak ekonomi hukumonline buku hukum klinik klinik hukumonline kekayaan intelektual"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya suka menonton film produksi dalam dan luar negeri, dan terinspirasi untuk membuat fan fiction dengan alur cerita yang sama sekali berbeda atau membuat cerita yang seolah sekuel dari cerita di film tersebut. Tokohnya sama, dengan beberapa tokoh baru sudah banyak karya yang dibuat. Saya ingin publish lewat wordpress, tapi takut kena pasal plagiarisme. Apakah bila tetap ingin di-publish harus mencantumkan credit film tersebut atau perlu izin ke produser filmnya? Mohon pencerahannya, terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Ketentuan Wakaf Kekayaan Intelektual 26 Nov 2020 Hukumnya Mencantumkan Playlist Lagu Spotify di Produk Dagangan 26 Agt 2020 Penggunaan Logo Perusahaan Lain dengan Perjanjian Lisensi 18 Agt 2020 Adakah Hukuman Jika Tak Sengaja Menggunakan Merek Pihak Lain? 07 Agt 2020 Karya Sinematografi Plagiarisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (“KBBI”) adalah penjiplakan yang melanggar hak cipta. Selanjutnya Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UUHC”) mendefinisikan hak cipta: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sementara itu, yang dimaksud Pencipta , Ciptaan , dan Pemegang Hak Cipta adalah: Pasal 1 angka 2 UUHC Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi. Pasal 1 angka 3 UUHC Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, alau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata. Pasal 1 angka 4 UUHC Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai pemilik Hak Cipta, pihak yang menerima hak tersebut secara sah dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut secara sah. Dalam hal ini, karya sinematografi merupakan ciptaan yang dilindungi. [1] Karya sinematografi menurut Penjelasan Pasal 40 ayat (1) huruf m UUHC yaitu: Ciptaan yang berupa gambar bergerak (moving images) antara lain film dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario, dan film kartun . Karya sinematografi dapat dibuat dalam pita seluloid, pita video, piringan video, cakram optik dan/atau media lain yang memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop, layar lebar, televisi, atau media lainnya . Sinematografi merupakan salah satu contoh bentuk audiovisual. Perlindungan Film Produksi Luar Negeri Demikian juga jika cerita atau tokoh film yang Anda maksud merupakan film yang diproduksi di luar negeri, dan dimiliki oleh pemegang hak cipta oleh pihak luar negeri. Patut dicatat, Indonesia telah mengesahkan Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works (“ Berne Convention ”) melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pengesahan Berne Convention for The Protection of Literary and Artistic Works (“Keppres 18/1997”) . Pasal 5 ayat (1) dan (2) Berne Convention (Lampiran Keppres 18/1997) menerangkan: Authors shall enjoy, in respect of works for which they are protected under this Convention, in countries of the Union other than the country of origin, the rights which their respective laws do now or may hereafter grant to their nationals, as well as the rights specially granted by this Convention. The enjoyment and the exercise of these rights shall not be subject to any formality; such enjoyment and such exercise shall be independent of the existence of protection in the country of origin of the work. Consequently, apart from the provisions of this Convention, the extent of protection, as well as the means of redness afforded to the author to protect his rights, shall be governed exclusively by the laws of the country where protection is claimed. Jika diterjemahkan secara bebas, ketentuan di atas berarti ciptaan yang berasal dari salah satu negara peserta, yaitu ciptaan seorang warga negara peserta atau ciptaan yang pertama kali diterbitkan di salah satu negara peserta harus mendapat perlindungan hukum yang sama di negara lain tersebut, seperti ciptaan seorang warga negara sendiri. Fan Fiction Melanggar Hak Cipta? Sebelumnya patut digarisbawahi, Pasal 113 ayat (2) UUHC menjelaskan: Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500 juta. Hal ini mengingat Pencipta atau Pemegang Hak Cipta memiliki hak ekonomi untuk melakukan: [2] penerbitan ciptaan; penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya; penerjemahan ciptaan; pengadaptasian , pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan; pendistribusian ciptaan atau salinannya; pertunjukan ciptaan; pengumuman ciptaan; komunikasi ciptaan; dan penyewaan ciptaan Dengan demikian, meskipun cerita yang Anda buat memiliki kebaruan (lain dengan cerita yang pernah ada), namun Anda menggunakan cerita tersebut seolah sebagai sekuel , yang dalam KBBI diartikan lanjutan dari cerita sebelumnya (tentang novel, film, atau drama). Adapun dalam hal ini pembuatan fan fiction tersebut bisa dikategorikan sebagai adaptasi , yaitu mengalihwujudkan suatu ciptaan menjadi bentuk lain. [3] Misalnya, dari suatu karya film dibuatkan fan fiction dalam bentuk cerita tulisan sekuel sebagaimana Anda sebutkan. Artinya, jika Anda memanfaatkan hasil karya ciptaan pihak lain untuk melakukan hak ekonomi, dalam hal ini fan fiction yang seolah sekuel dari cerita di film, maka apabila dilakukan tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dan untuk tujuan komersial , Anda dapat dikatakan melanggar Pasal 113 ayat (2) UUHC di atas. Jadi, kami menyarankan Anda harus memperoleh izin dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta jika akan melaksanakan hak ekonomi, salah satunya pengadaptasian. [4] Di samping keharusan izin, Anda juga menyebutkan credit film yang Anda buat fan fiction -nya. Baca juga: Mengambil Gambar dari Website Lain, Cukup dengan Menulis Sumbernya? Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pengesahan Berne Convention for The Protection of Literary and Artistic Works REFERENSI:\n1. Plagiarisme , diakses pada 8 Januari 2021, pukul 08.57 WIB\n2. Sekuel , diakses pada 8 Januari 2021, pukul 10.44 WIB. [1] Pasal 40 ayat (1) huruf m UUHC [2] Pasal 9 ayat (1) UUHC [3] Penjelasan Pasal 40 ayat (1) huruf n UUHC [4] Pasal 9 ayat (2) UUHC artis logo film hak cipta merek novel lagu kekayaan intelektual"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah membuka rahasia sulap merupakan suatu perbuatan tindak pidana?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Menuduh Orang Melakukan Santet, Ini Sanksi Hukumnya 21 Feb 2024 Pasal Santet dalam KUHP Baru dan Pembuktiannya 19 Des 2023 Menolak Panggilan Sebagai Saksi, Apa Ancaman Pidananya? 03 Jan 2023 Hukum Khitan Perempuan di Indonesia 17 Nov 2021 Intisari: Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana. Suatu perbuatan dapat dikatakan suatu tindak pidana yang pelakunya dapat dihukum jika berdasar pada peraturan perundang-undangan yang telah ada. Artinya, pelaku tidak dapat dihukum apabila perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Mengenai membuka rahasia sulap, tidak ada ketentuan yang secara eksplisit mengatur mengenai hal tersebut. Namun, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) diatur mengenai tindak pidana “Membuka Rahasia”. Apakah membuka rahasia sulap bisa dipidana berdasarkan ketentuan dalam KUHP? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelum kami membahas lebih dalam mengenai pertanyaan Anda, perlu dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud tindak pidana. Tindak Pidana dan Asas Legalitas Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (hal. 59) me mberikan definisi tindak pidana sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana. Dengan kata lain, tindak pidana adalah perbuatan yang melanggar ketentuan atau peraturan perundang-undangan, dimana pelanggarnya dapat dikenakan ketentuan atau sanksi pidana. S elain definisi tindak pidana, dikenal juga asas legalitas. Asas legalit as ( n ullum delictum noella poena sine praevia lege poenali ) terdapat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (”KUHP”) yang berbunyi: Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada . Penjelasan lebih lanjut tentang asas legalitas dapat Anda simak artikel Apakah Asas Legalitas Hanya Berlaku di Hukum Pidana? Dengan kata lain , suatu perbuatan dapat dikatakan suatu tindak pidana yang pelakunya dapat dihukum hanya berdasar pada peraturan perundang-undangan, dan tidak dapat dihukum apabila tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan . Membuka Rahasia Sulap Merujuk kepada pertanyaan Anda mengenai membuka rahasia sulap apakah merupakan suatu perbuatan tindak pidana atau bukan, maka pertama-tama kita harus melihat apakah sudah ada ketentuan mengenai membuka rahasia dan apakah aturan tersebut memiliki sanksi pidana. Apabila kita membahas mengenai membuka rahasia sulap, sejauh ini tidak ada aturan yang secara khusus membahas mengenai ketentuan pidana apabila seseorang membuka rahasia sulap. Adapun ketentuan mengenai membuka rahasia dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 32 2 KUHP , yang isinya antara lain: (1) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah. (2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seseorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang itu. R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 232) menjelaskan bahwa seseorang dapat dijatuhkan pidana dengan tindak pidana membuka rahasia apabila memenuhi elemen-elemen yang harus dibuktikan sebagai berikut : a. Yang diberitahukan (dibuka) itu harus suatu rahasia; b. Bahwa orang itu diwajibkan untuk menyimpan rahasia tersebut dan ia harus betul-betul mengetahui bahwa ia wajib menyimpan rahasia itu; c. Bahwa kewajiban untuk menyimpan rahasia itu adalah akibat dari suatu jabatan atau pekerjaan yang sekarang, maupun yang dahulu pernah ia jabat; dan d. Membukanya rahasia itu dilakukan dengan sengaja. Lebih lanjut Soesilo menjelaskan antara lain bahwa yang diartikan dengan “ rahasia ” yaitu barang sesuatu yang hanya diketahui oleh yang berkepentingan, sedangkan orang lain belum mengetahuinya. Siapakah yang diwajibkan menyimpan rahasia itu, tiap-tiap peristiwa harus ditinjau sendiri-sendiri oleh hakim . Yang masuk di sini misalnya seorang dokter harus menyimpan rahasia sakit pasiennya, seorang pastur harus menyimpan rahasia dosa orang-orang yang telah melakukan “biecht” kepadanya, seorang penyimpan arsip rahasia dilarang memberitahukan tentang surat-surat kepada orang yang tidak berkepentingan. Apabila dikaitkan dengan pertanyaan Anda , soal elemen bahwa orang itu diwajibkan untuk menyimpan rahasia tersebut dan ia harus betul-betul mengetahui bahwa ia wajib menyimpan rahasia itu, belum tentu elemen tersebut sudah terpenuhi, mengingat tidak ada kewajiban pesulap untuk tidak memberitahukan rahasia sulap dimaksud. Kemudian, tidak ada kewajiban yang mengikat seseorang bahwa rahasia sulap wajib untuk dirahasiakan, berdasarkan jabatannya atau pe kerjaannya untuk menjaga rahasia sulap tersebut. Oleh karena itu, pembuka rahasia sulap tidak dapat dijatuhi hukuman pidana karena tidak ada kewajiban untuk menyimpan rahasia tersebut, dalam suatu jabatan yang dimiliki seseorang. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat . DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . REFERENSI:\n1. 1. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Bogor: Politeia. 1994. 2. Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Refika Aditama. 2003. hukumonline pengadilan google klinik hukum klinik hukumonline pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa saja kewenangan Ikatan Dokter Indonesia (IDI)? Apakah IDI berwenang memecat seorang dokter? Jika iya, di mana ketentuan tersebut diatur?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Ikatan Dokter Indonesia (IDI) adalah organisasi profesi kedokteran di Indonesia.[1] Adapun menurut Pasal 1 angka 4 Pedoman MKEK, IDI adalah organisasi profesi dokter yang diakui pemerintah sesuai perundang-undangan yang berlaku.\n\n.css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITDokter Malapraktik, Bisakah Asuransi yang 'Tanggung Jawab'?01 Mar 2022Bisakah Menuntut Dokter Jika Pasien Tidak Sembuh Total?23 Sep 2021Sanksi bagi Sopir Ambulans yang Tak Mau Angkut Korban Kecelakaan25 Mei 2021Tugas Majelis Kehormatan Etik Kedokteran dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia19 Nov 2014\n\nAnggota IDI terdiri dari dokter anggota biasa, anggota muda, anggota luar biasa dan anggota kehormatan IDI sebagaimana ditetapkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.[2]\nKewenangan Ikatan Dokter Indonesia\n\nTerkait kewenangan Ikatan Dokter Indonesia, secara hukum, IDI berwenang melakukan pembinaan terhadap dokter yang melakukan praktik kedokteran bersama-sama dengan Konsil Kedokteran Indonesia (“KKI”), dalam rangka terselenggaranya praktik kedokteran yang bermutu dan melindungi masyarakat sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam UU Praktik Kedokteran.[3]\nKemudian, kewenangan Ikatan Dokter Indonesia selaku organisasi profesi adalah mengusulkan anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (“MKDKI”) yang akan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.[4]\n\nApakah IDI Berwenang Memecat Dokter?\nSelain peran Ikatan Dokter Indonesia yang telah dijelaskan sebelumnya, apakah memecat dokter juga termasuk kewenangan Ikatan Dokter Indonesia?\nUntuk menjawab hal tersebut, perlu diketahui bahwasannya IDI memiliki salah satu badan otonom yang dibentuk secara khusus untuk menegakkan etika profesi kedokteran di tingkat pusat, wilayah, dan cabang untuk menjalankan tugas kemahkamahan profesi pembinaan etika profesi dan/atau tugas kelembagaan dan ad hoc lainnya dalam tingkatannya masing-masing, yang bernama Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (“MKEK”).[5]\n\nPelanggaran etika kedokteran dibedakan menjadi pelanggaran etik ringan, sedang, dan berat. Penetapan kategori pelanggaran diputuskan menurut keyakinan Majelis Pemeriksa yang didasarkan atas pertimbangan:[6]\n\nAkibat yang ditimbulkan terhadap keselamatan dan kehormatan pasien.Akibat yang ditimbulkan terhadap keselamatan dan kehormatan teman sejawat dan tenaga kesehatan lainnya.Akibat yang ditimbulkan terhadap kesehatan masyarakat.Akibat yang ditimbulkan terhadap kehormatan profesi kedokteran.Rekam jejak dokter teradu.Akibat yang ditimbulkan terhadap kepentingan umum.Iktikad baik teradu dalam turut menyelesaikan kasus.Sikap teradu terhadap MKEK dan Majelis Pemeriksa.Motivasi yang menimbulkan kasus.Situasi lingkungan yang mempengaruhi kasus.Pendapat dan pandangan BHP2A/sejawat pembela.\n\nBaca juga: Bisakah Menuntut Dokter Jika Pasien Tidak Sembuh Total?\nSanksi Pelanggaran Etika Kedokteran\n\nDalam hal dokter dinyatakan melanggar butir sumpah dokter dan pasal-pasal Kode Etik Kedokteran Indonesia, yang bersangkutan diberikan sanksi sebagaimana dituangkan dalam putusan MKEK.[7]\n\nSanksi MKEK terbagi dalam 4 kategori, yaitu:[8]\nKategori 1, bersifat murni pembinaan, di antaranya meliputi:\nMembuat refleksi diri secara tertulis;Mengikuti workshop etika yang ditentukan MKEK;Mengikuti modul etik yang sedang berjalan di Fakultas Kedokteran (“FK”) yang ditunjuk oleh MKEK;Mengikuti program magang bersama panutan selama 3 bulan; danKerja sosial pengabdian profesi di institusi kesehatan yang ditunjuk MKEK tidak lebih dari 3 bulan.Kategori 2, bersifat penginsafan tanpa pemberhentian keanggotaan, di antaranya meliputi:\nRekomendasi pemberhentian jabatan tertentu kepada pihak yang berwenang;Pemberhentian dari jabatan di IDI dan organisasi di bawah IDI serta pelarangan menjabat di IDI dan organisasi di bawah IDI untuk satu periode kepengurusan;Kerja sosial pengabdian profesi di institusi kesehatan yang ditunjuk MKEK dalam kurun waktu 6-12 bulan;Mengikuti program magang bersama panutan selama 6-12 bulan.Kategori 3, bersifat penginsafan dengan pemberhentian keanggotaan sementara, berupa berupa pemberhentian keanggotaan sementara beserta pencabutan sementara hak dan kewenangan profesi sebagai dokter di Indonesia sekurang-kurangnya 12 bulan.\nHilangnya hak dan kewenangan tersebut dapat berimplikasi pada:\nKehilangan hak dan kewenangan melakukan praktik kedokteran, termasuk dicabut sementara seluruh rekomendasi izin praktik yang kewenangan untuk itu akan ditindaklanjuti kemudian oleh otoritas penerbit izin praktik agar menonaktifkan sementara surat izin praktik yang bersangkutan.Kehilangan hak dan kewenangan menjadi pengurus dan anggota IDI dan seluruh organisasi di bawah IDI termasuk Perhimpunan Dokter Spesialis (PDSp) atau Perhimpunan Dokter Pelayanan Primer (PDPP) yang kewenangan untuk itu akan ditindaklanjuti kemudian oleh jajaran IDI, PDSp, PDPP, dan organisasi lain di bawah IDI.Kehilangan hak dan kewenangan menyandang suatu jabatan publik yang mensyaratkan dijabat seorang dokter aktif yang kewenangan untuk itu akan ditindaklanjuti kemudian oleh instansi/organisasi terkait.Surat Tanda Registrasi dan status di Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) menjadi non-aktif yang kewenangan untuk itu akan ditindaklanjuti kemudian oleh KKI.Kategori 4, bersifat pemberhentian keanggotaan tetap, yang juga bermakna hilangnya seluruh hak dan kewenangan secara tetap sebagaimana dijabarkan dalam poin nomor 3 di atas.\n\nPemberhentian keanggotaan tetap tersebut dilakukan pada Muktamar IDI, sehingga terhitung sejak sanksi ditetapkan melalui putusan MKEK hingga Muktamar IDI dilaksanakan, dokter dijatuhi sanksi menjalankan sanksi pemberhentian keanggotaan sementara sampai dilaksanakannya Muktamar IDI.[9]\n\nApabila Muktamar IDI memutuskan hal yang berbeda dengan rekomendasi pemberhentian keanggotaan tetap, maka MKEK menjalankan sesuai ketentuan yang diputuskan Muktamar IDI.[10]\n\nSelain itu, perlu diperhatikan, khusus pemberian sanksi berupa pemberhentian keanggotaan tetap, dilakukan surat menyurat Ketua MKEK kepada Ketua MKEK Pusat serta Ketua Pengurus Besar IDI (PB IDI). Ketua PB IDI wajib melaporkan sanksi pemberhentian keanggotaan tetap ke Muktamar IDI ke depan tanpa syarat.[11]\n\nSebagai informasi tambahan, putusan Majelis Pemeriksa dan resume singkat putusan MKEK dapat terbuka ke publik/persjika sanksi yang ditetapkan MKEK berupa pemecatan tetap. Hal ini dilakukan agar publik tidak lagi menilai dokter yang bersangkutan sebagai bagian dari Dokter Indonesia.[12]\n\nJadi, menjawab pertanyaan Anda, pemberhentian keanggotaan tetap terhadap dokter yang melanggar etika kedokteran merupakan kewenangan Ikatan Dokter Indonesia melalui MKEK. Nantinya, pelaksanaan pemberhentian keanggotaan tetap tersebut akan dilakukan pada Muktamar IDI, jika Muktamar IDI sepakat dengan sanksi yang dijatuhkan oleh MKEK dalam putusannya.\n\nBaca juga: Tugas Majelis Kehormatan Etik Kedokteran dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia\n\nSeluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.\n\nDemikian jawaban dari kami terkait kewenangan Ikatan Dokter Indonesia, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran](Data Kepolisian /pusatdata/detail/19808/undangundang-nomor-29-tahun-2004?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_29_2004)\n2. [Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia](http://mkekidi.id/wp-content/uploads/2019/01/ORTALA-MKEK-2018-SALINAN.pdf)\nREFERENSI:\n1. [1] Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (“UU Praktik Kedokteran”)\n\n[2] Pasal 1 angka 10 Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (“Pedoman MKEK”)\n\n[3] Pasal 54 UU Praktik Kedokteran\n\n[4] Pasal 60 UU Praktik Kedokteran\n\n[5] Pasal 1 angka 3 Pedoman MKEK dan Profil MKEK, diakses pada 04 April 2022, pukul 15.36 WIB\n\n[6] Pasal 28 angka 12 Pedoman MKEK\n\n[7] Pasal 28 angka 1 dan 2 Pedoman MKEK\n\n[8] Pasal 29 Pedoman MKEK\n\n[9] Pasal 29 angka 8 Pedoman MKEK\n\n[10] Pasal 29 angka 9 Pedoman MKEK\n\n[11] Pasal 29 angka 13 Pedoman MKEK\n\n[12] Pasal 28 angka 7 huruf e Pedoman MKEK"
} |
{
"from": "human",
"value": "1. Apakah proses modifikasi motor termasuk dalam proses invensi menurut UU Paten? 2. Apakah modifikator motor mendapatkan hak paten?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Mau Modifikasi Kendaraan Bermotor? Pastikan Sudah Uji Tipe Ini 15 Sep 2022 Ini Perbedaan Merek Biasa, Merek Terkenal, dan Merek Termasyhur 18 Feb 2019 Apakah Fanfiksi Memiliki Hak Cipta dan Legal Diterbitkan? 21 Okt 2016 Hukumnya Mengaransemen Lagu Anak-anak untuk Tujuan Komersil 04 Okt 2016 Intisari: Untuk memastikan apakah modifikasi sepeda motor termasuk sebagai invensi, Anda harus dapat membuktikan bahwa ada teknologi baru yang ditemukan pada modifikasi sepeda motor tersebut. Umumnya, modifikasi sepeda motor hanya menyangkut perubahan tampilan kreasi estetika bukan pada penemuan teknologi. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelumnya, kami asumsikan motor yang Anda maksud di sini adalah sepeda motor , yaitu Kendaraan Bermotor beroda dua dengan atau tanpa rumah-rumah dan dengan atau tanpa kereta samping atau Kendaraan Bermotor beroda tiga tanpa rumah-rumah. [1] Untuk bisa memahami apa yang dimaksud dengan Paten, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud dengan Paten dan Invensi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (“UU Paten”) . Paten dan Invensi Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya. [2] Sedangkan Invensi adalah ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses. [3] Kata ‘teknologi’ menjadi sangat penting untuk diperhatikan ketika kita bicara mengenai paten. Paten ini sendiri bisa dibedakan menjadi Paten dan Paten Sederhana. [4] Syarat utamanya adalah teknologi tersebut haruslah mengandung unsur kebaruan . Hal ini disebutkan dalam Pasal 3 UU Paten sebagai berikut. (1) Paten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a diberikan untuk Invensi yang baru , mengandung langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri. (2) Paten sederhana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b diberikan untuk setiap Invensi baru , pengembangan dari produk atau proses yang telah ada, dan dapat diterapkan dalam industri. Jadi, untuk memastikan apakah modifikasi sepeda motor termasuk dalam proses invensi, Anda harus dapat membuktikan bahwa ada teknologi baru yang ditemukan pada modifikasi sepeda motor tersebut. Hal-hal yang Tidak Mencakup Sebagai Invensi UU Paten juga menyebutkan hal-hal yang tidak tercakup sebagai invensi yaitu: [5] a. kreasi estetika; b. skema; c. aturan dan metode untuk melakukan kegiatan: 1. yang melibatkan kegiatan mental; 2. permainan; dan 3. bisnis. d. aturan dan metode yang hanya berisi program komputer; e. presentasi mengenai suatu informasi; dan f. temuan (discovery) berupa: 1. penggunaan baru untuk produk yang sudah ada dan/atau dikenal; dan/atau 2. bentuk baru dari senyawa yang sudah ada yang tidak menghasilkan peningkatan khasiat bermakna dan terdapat perbedaan struktur kimia terkait yang sudah diketahui dari senyawa. Umumnya, modifikasi sepeda motor hanya menyangkut perubahan tampilan kreasi estetika bukan pada penemuan teknologi. Kalaupun ada teknologi yang ditemukan pada modifikasi sepeda motor, maka seperti telah disebut di awal tadi, unsur kebaruan harus dapat dibuktikan. Dengan demikian, modifikasi sepeda motor tidak tercakup dalam invensi dan oleh karenanya tidak termasuk dalam perlindungan hak paten. Sebagai referensi, Anda dapat membaca artikel Aturan Modifikasi Kendaraan Bermotor yang ditinjau dari peraturan perundang-undangan di bidang lalu lintas dan kendaraan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ; 2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten . [1] Pasal 1 angka 20 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”) [2] Pasal 1 angka 1 UU Paten [3] Pasal 1 angka 2 UU Paten [4] Pasal 2 UU Paten [5] Pasal 4 UU Paten invensi kekayaan intelektual hukumonline teknologi paten uu paten merek hukum klinik hak paten klinik hukumonline hak kekayaan intelektual"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah seorang janda tanpa anak berhak mendapat harta waris dari mertuanya yang meninggal? Kalau dapat berapa bagiannya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebagaimana telah diuraikan dalam artikel Prinsip Pewarisan Menurut KUH Perdata dan Hukum Islam , prinsip pewarisan menurut KUHPerdata adalah hubungan darah. Yang berhak mewaris adalah yang punya hubungan darah, kecuali suami/isteri pewaris. ( Pasal 832 KUHPerdata ). KLINIK TERKAIT Hukumnya Dipaksa Mertua Membuat Perjanjian Kawin Pisah Harta 11 Jun 2024 Menikahi Sepupu Sendiri dalam Hukum Islam 13 Apr 2023 Menantu Tergugat Ingin Menjadi Saksi, Bolehkah? 06 Nov 2012 Ketentuan Waris Anak Hasil Incest Menurut Hukum Islam 09 Mei 2012 Sedangkan, yang berhak mewaris menurut hukum Islam berdasarkan Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam , yaitu mereka yang: 1. Mempunyai hubungan darah dengan pewaris, Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 2. Mempunyai hubungan perkawinan (dengan pewaris), 3. Beragama Islam, 4. Tidak dilarang Undang-Undang selaku ahli waris Dengan demikian, dalam hal mertua janda tersebut (ayah/ibu kandung suami) meninggal dunia, maka yang berhak menggantikan kedudukan almarhum suami janda tersebut hanyalah keturunan langsung dari almarhum suami janda tersebut, yaitu anaknya. Dalam hukum waris Perdata Barat (nasional) hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 842 KUHPerdata yang berbunyi: “Penggantian dalam garis lurus ke bawah yang sah, berlangsung terus dengan tiada akhirnya….” Jadi, cucu dari pewaris menggantikan kedudukan anak pewaris (suami si janda). Dengan demikian, hak/bagian dari cucu adalah sebesar bagian dari anak pewaris yang digantikan (karena telah meninggal terlebih dahulu dari pewaris). Hal ini sesuai dengan Pasal 841 KUHPerdata yang berbunyi: “ Pergantian memberi hak kepada seorang yang mengganti,untuk bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam segala hak orang yang diganti ” Untuk bagian dari anak kandung suami janda dimaksud (cucu pewaris) adalah bergantung pada jumlah ahli waris lain dari Pewaris. Karena posisi cucu menggantikan anak pewaris, maka bagian dari cucu adalah sama dengan bagian dari anak pewaris. Misalnya: Bagian anak adalah 1/3 bagian dari seluruh harta peninggalan, maka bagian cucu (anak kandung dari suami janda tersebut) sebagai ahli waris pengganti ( bijplaatsvervulling ) adalah 1/3 bagian juga. Jika cucu yang menggantikan ada lebih dari 1 orang (misalnya 3 orang), maka bagiannya adalah 1/3 x 1/3 bagian = 1/6 bagian. Satu hal yang perlu diperhatikan, jika suami janda tersebut meninggal sebelum mertuanya meninggal dunia (pewaris), maka sang suami sempat menjadi ahli waris dari ayahnya. Dalam hal kemudian suami juga meninggal dunia (setelah pewaris), maka janda bisa mendapat bagian warisan, tetapi sebagai ahli waris dari almarhum suaminya. Sebagai penutup, jika suami janda tersebut tidak memiliki keturunan (anak kandung atau anak luar kawin yang telah diakui sah sebelum dia meninggal dunia), maka bagian dari suami (dari mertua janda tersebut) digantikan oleh anak yang lain, atau ke keluarga mertua atau orang tua dari mertua sebagai ahli waris golongan II. Untuk penjelasan lengkapnya bisa dibaca di dalam artikel Siapakah Yang Berhak Mewaris? Catatan: Jawaban pertanyaan tersebut ada pula penjelasannya di buku Kiat Cerdas Mudah dan Bijak Dalam Memahami HUKUM WARIS – karya: Irma Devita Purnamasari, SH, MKn (Kaifa, Desember 2012). Dasar hukum : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23) 2. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah seseorang (orang sipil) yang diam-diam masuk instansi pemerintahan lantas mengambil barang berharga milik instansi tersebut (baik berupa barang maupun uang tunai) dapat dikatakan sebagai korupsi?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Tindak Pidana Korupsi Menurut Adami Chazawi dalam bukunya Hukum Pidana Korupsi di Indonesia (hal. 15), tindak pidana korupsi (“Tipikor”) adalah rumusan-rumusan tentang segala perbuatan yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1991 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”) sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 20/2001”) . Chazawi kemudian membagi tipikor berdasarkan beberapa kategori, di antaranya sebagai berikut (hal. 16-18): Substansi Objek Tipikor Tipikor Murni Tipikor murni adalah tipikor yang substansi objeknya mengenai hal yang berhubungan dengan perlindungan hukum terhadap kepentingan hukum yang menyangkut keuangan negara, perekonomian negara, dan kelancaran pelaksanaan tugas/pekerjaan pegawai negeri atau pelaksana pekerjaan yang bersifat publik. Tipikor Tidak Murni Tipikor tidak murni adalah tipikor yang substansi objeknya mengenai perlindungan hukum terhadap kepentingan hukum bagi kelancaran pelaksanaan tugas-tugas penegak hukum dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Subjek Hukum Tipikor Tipikor Umum Tipikor umum adalah bentuk-bentuk tipikor yang ditujukan tidak terbatas pada orang-orang yang berkualitas sebagai pegawai negeri, akan tetapi ditujukan pada setiap orang, termasuk korporasi. Tipikor Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara Tipikor pegawai negeri atau tipikor pejabat adalah tipikor yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara. Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan mengambil contoh ketentuan pidana yang paling umum dalam UU Tipikor dan perubahannya. Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor mengatur bahwa: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Chazawi dalam buku yang sama (hal. 31) menguraikan bahwa ada lima ciri perbuatan memperkaya , yaitu: dari wujud perbuatan memperkaya, si pembuat atau orang lain yang diperkaya memperoleh sejumlah kekayaan; apabila dihubungkan dengan akibat perbuatan, negara mengalami kerugian berupa kehilangan sejumlah kekayaan; apabila dihubungkan dengan sifat wujud perbuatan memperkaya, maka dalam wujud perbuatan tersebut mengandung sifat melawan hukum; dihubungkan dengan sumber pendapatannya yang halal, kekayaan yang bersangkutan/orang yang diperkaya tersebut tidak seimbang/lebih banyak dari kekayaan yang diperoleh dari sumber halal yang menghasilkan kekayaan tersebut; si pembuat melakukan perbuatan memperkaya dengan menyalahgunakan kewenangan jabatan yang dimilikinya. Menurut hemat kami, syarat kelima inilah yang tidak dipenuhi oleh seorang pencuri biasa untuk dapat dikatakan melakukan tindak pidana korupsi. Sekalipun Chazawi telah menyatakan bahwa syarat kelima tersebut tidak bersifat mutlak untuk memenuhi unsur perbuatan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor (hal. 31), untuk selesainya perbuatan memperkaya haruslah terpenuhi lima syarat tersebut (hal. 33). Tindak Pidana Pencurian Menurut hemat kami, pelaku lebih tepat untuk dijerat dengan pidana pencurian yang diatur dalam Bab XXII Buku Kedua Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) . Dalam bab tersebut, Pasal 362 KUHP mengatur bahwa: Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima Tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah. R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 249) menguraikan bahwa ketentuan ini menguraikan pencurian biasa. Elemen-elemennya adalah perbuatan mengambil, yang diambil harus suatu barang yang sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain, dan pengambilan dilakukan dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum. Pengambilan itu sudah dapat dikatakan selesai apabila barang tersebut sudah pindah tempat. Bila orang baru memegang saja barang itu, dan belum berpindah tempat, maka orang itu belum dapat dikatakan mencuri, akan tetapi ia baru mencoba mencuri (hal. 250). Contoh Kasus Contoh kasus pencurian terhadap kantor pemerintahan yang dijerat dengan pasal pencurian dapat dilihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Parepare Nomor 2 03/Pid.B/2015/PN.Parepare . Dalam ringkasannya, Terdakwa dinyatakan oleh Majelis Hakim terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana \"pencurian dalam keadaan memberatkan”. Majelis Hakim kemudian menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama satu tahun. Barang bukti berupa satu buah kipas angin, satu unit printer warna hitam, satu unit laptop warna silver hitam 14 inci dikembalikan kepada pihak kantor Dinas Kesehatan Parepare melalui salah satu saksi selaku pegawai kantor tersebut . Menurut hemat kami, hal ini menunjukan bahwa Terdakwa telah melakukan pencurian terhadap kantor Dinas Kesehatan Parepare dan tetap dijerat dengan ketentuan pidana pencurian dalam KUHP, bukan tindak pidana korupsi dalam UU Tipikor dan perubahannya. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1991 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Putusan : Putusan Pengadilan Negeri Parepare Nomor 203/Pid.B/2015/PN.Parepare . Referensi : Adami Chazawi. Hukum Pidana Korupsi di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2017; R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991. tindak pidana korupsi hukumonline korupsi lembaga pemerintah tipikor kuhp pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah perbuatan menggelapkan tanah dan mengalihkan hak miliknya menjadi milik pribadi selain didakwa pasal penggelapan juga dikatakan sebagai tindak pidana pencucian uang? Tindak pidana pencucian uang itu disebut dengan white collar crime. Apa itu white collar crime? Apakah sama dengan kejahatan terorganisasi?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari : Jika seseorang menggelapkan tanah dengan mengalihkan hak miliknya menjadi milik pribadi, tindakan pengalihan hak milik tanah menjadi milik pribadi tersebut baru dikatakan penggelapan saja. Akan tetapi, jika tanah yang telah menjadi miliknya akibat tindak pidana penggelapan tersebut ia pindahtangankan, misalnya dengan dijual, maka tindak pidananya kemudian menjadi pencucian uang (“TPPU”) sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang . Tindak Pidana Pencucian Uang itu merupakan merupakan salah satu bentuk financial crime , yang mana financial crime itu umumnya merupakan white collar crime . Apa itu white collar crime ? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Tindak Pidana Penggelapan Tindak pidana penggelapan termuat dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) : Barang siapa dengan sengaja menguasai secara melawan hukum sesuatu benda yang seharusnya atau sebagian merupakan kepunyaan orang lain yang berada padanya bukan karena kejahatan, karena bersalah melakukan penggelapan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun atau dengan pidana denda setinggi-tingginya 900 (sembilan ratus) rupiah. R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menyatakan bahwa penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian tetapi pada penggelapan pada waktu dimilikinya barang tersebut, sudah ada di tangannya tidak dengan jalan kejahatan/melawan hukum (hal. 258). Unsur-unsur penggelapan yang harus terpenuhi adalah: Barang siapa (ada pelaku); Dengan sengaja dan melawan hukum; Memiliki barang sesuatu yang seluruh atau sebagian adalah kepunyaan orang lain; Barang tersebut ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan. Seseorang yang melakukan penggelapan terhadap tanah sebagaimana yang Anda sebukan dapat dipidana pidana penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun atau dengan pidana denda setinggi-tingginya 900 (sembilan ratus) rupiah. Ancaman pidana berupa denda sebesar Rp 900,- yang terdapat dalam Pasal 373 KUHP telah disesuaikan berdasarkan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP : Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kali. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka pidana denda yang diatur dalam Pasal 372 KUHP menjadi paling banyak Rp 900 ribu. Jadi perbuatan menggelapkan tanah sebagaimana yang Anda sebutkan dapat dikatakan sebagai penggelapan tanah jika ia menguasai secara melawan hukum tanah tersebut yang seharusnya atau sebagiannya merupakan kepunyaan orang lain yang berada padanya bukan karena kejahatan, dengan cara mengalihkan hak miliknya menjadi milik pribadi. Apakah Mengalihkan Tanah yang Digelapkan Termasuk Tindak Pidana Pencucian Uang? Lalu jika orang menggelapkan tanah dengan melakukan pengalihan kepemilikan tanah, bisakah dikatakan sebagai tindak pidana pencucian uang (“TPPU”)? Yang dimaksud TPPU sebagaimana yang Anda sebutkan diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (“UU 8/2010”) . Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. [1] Berikut adalah beberapa bentuk TPPU sebagaimana diatur dalam UU 8/2010: Pasal 3 Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan , membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 4 Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Pasal 5 Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Penggelapan merupakan salah satu tindak pidana yang disebut dalam Pasal 2 ayat (1) UU 8/2010. [2] Jadi, jika ada tanah hasil tindak pidana penggelapan yang dialihkan kepemilikannya, maka pelakunya dapat dikenakan Pasal 3 UU 8/2010. Berdasarkan penjelasan tersebut jika seseorang menggelapkan tanah dan mengalihkan hak miliknya menjadi milik pribadi, tindakan pengalihan hak milik tanah menjadi milik pribadi tersebut baru dikatakan penggelapan saja. Akan tetapi, jika tanah yang telah menjadi miliknya akibat tindak pidana penggelapan tersebut ia pindahtangankan, misalnya dengan dijual, maka tindak pidananya kemudian menjadi pencucian uang. Contoh Kasus Sebagai contoh dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 1431/ Pid.B/2015/PN.Jkt.Sel , dimana terdakwa telah terbukti secara sah melakukan tindak pidana penggelapan dengan pemberatan kemudian diteruskan dengan TPPU . Dimana perbuatan tersebut dilakukan dengan cara menggelapkan uang perusahaan tempat terdakwa bekerja. Kemudian uang hasil penggelapan tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi terdakwa seperti membeli rumah apartemen, mobil dan membiayai teman dekat terdakwa. Atas perbuatan terdakwa tersebut majelis hakim mejatuhkan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan denda sebesar Rp 1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayarkan, maka digantikan dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan. Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagai White Collar Crime Menurut Yunus Husein, Ketua Umum STHI Jentera dalam presentasinya mengenai Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana (Asset Recovery) dan Corporate Criminal Liability , di STHI Jentera Jakarta pada 22 Februari 2017, TPPU merupakan salah satu bentuk financial crime . Financial Crime itu umumnya merupakan white collar crime . Black’s Law Dictionary 9 th Edition mendefinisikan white collar crime sebagai berikut: A nonviolent crime, usually involving cheating or dishonesty in commercial matters. Examples include fraud, embezzlement,bribery, and insider trading. Jay S. Albanese dalam bukunya Kejahatan Terorganisasi (Organized Crime) : Akar dan Perkembangannya, (hal.6) mendefinisikan white collar crime sebagai kejahatan kerah putih atau kejahatan organisasi . Sedangkan yang dimaksud dengan kejahatan terorganisasi adalah sebuah upaya yang terus ada dan beroperasi secara rasional untuk mengeruk keuntungan dari aktivitas illegal yang sering kali sangat dibutuhkan masyarakat. Eksistensinya terus dijaga dengan menggunakan kekerasan, ancaman, kontrol monopoli, dan/atau menyuap para pejabat pemerintah. [3] Lebih lanjut dijelaskan oleh Jay S. Albanese bahwa banyak persamaan antara kejahatan terorganisasi dengan kejahatan kerah putih atau kejahatan organisasi. Meskipun demikian, terdapat beberapa perbedaan penting antara kejahatan terorganisasi dan kejahatan organisasi (kerah putih). Perbedaan paling mencolok mungkin adalah kenyataan bahwa kejahatan organisasi (kerah putih) umumnya terjadi dalam proses yang seharusnya merupakan bisnis yang sah atau urusan pemerintah. Kejahatan kerah putih atau organisasi , dengan demikian paling sering terjadi sebagai tindak kriminal dalam bentuk penyimpangan dari kegiatan bisnis yang sah. Sementara kejahatan terorganisasi merupakan suatu kegiatan yang merupakan usaha kejahatan yang terus-menerus yang beroperasi untuk mencari keuntungan terutama dari kegiatan tersebut. [4] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP Putusan: Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 1431/ Pid.B/2015/PN.Jkt.Sel . Referensi : Black’s Law Dictionary 9 th Edition; Jay S. Albanese. 2016. Kejahatan Terorganisasi ( Organized Crime ). Jakarta: Prenadamedia Group; Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana ( Asset Recovery ) dan Corporate Criminal Liability , diakses pada Selasa, 13 Maret 2018, pukul 17.35 WIB; R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia. [1] Pasal 1 angka 1 UU 8/2010 [2] Pasal 2 ayat (1) huruf q UU 8/2010 [3] Jay S. Albanese, hal. 5 [4] Jay S. Albanese, hal. 6 hukumonline korupsi pencucian uang tindak pidana pencucian uang klinik hukum tindak pidana penggelapan klinik hukumonline tppu pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Bagaimana hukumnya jika saya menerima uang suap tetapi setelah ada isu tentang suap tersebut uang itu saya kembalikan kepada jaksa dengan cara saya datang sendiri tanpa adanya panggilan?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Apa yang dimaksud dengan suap? Secara konseptual, arti suap adalah pemberian atau janji kepada seorang penyelenggara negara atau pegawai negeri yang berhubungan dengan jabatannya.[1]\nDalam tindak pidana suap, terdapat kehendak pemberi dan penerima suap untuk melakukan suap menyuap. Sehingga, baik pemberi dan penerima suap dapat dijerat hukum, karena adanya niat jahat (mens rea) untuk melakukan perbuatan terlarang sebelum suap dilakukan.\n\nAdapun, subjek pemberi suap adalah setiap orang atau siapa saja. Sedangkan subjek penerima suap adalah seseorang yang memiliki kedudukan/kekuasaan tertentu seperti penyelenggara negara, pegawai negeri, hakim dan advokat.\n\nSecara hukum, definisi suap menurut undang-undang dapat ditemukan di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU 11/1980 yang berbunyi sebagai berikut:\n\nPasal 2\n\nBarangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena memberi suap dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah).\n\nPasal 3\n\nBarangsiapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah).\n\nAdapun, yang dimaksud dengan “kewenangan atau kewajibannya”, dalam pasal tersebut termasuk kewenangan dan kewajiban yang telah ditentukan oleh kode etik profesi atau yang ditentukan oleh organisasi masing-masing.[2]\n\nSelanjutnya, apabila subjek penerima suap merupakan penyelenggara negara atau pegawai negeri, maka termasuk ke dalam tindak pidana korupsi. Hal ini diatur di dalam pasal suap menyuap yaitu Pasal 5 ayat (1) huruf a, b danayat (2), Pasal 6 ayat (1) huruf a, b dan ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 huruf a sampai dengan huruf d, dan Pasal 13 UU 20/2001.[3]\n\nAdapun, unsur-unsur tindak pidana korupsi yang terkait dengan suap menyuap, kami rangkum sebagai berikut:[4]\n\nSetiap orang;Memberi sesuatu atau menjanjikan sesuatu;Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara;Menerima pemberian, hadiah atau janji;Karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan, atau tidak dilakukan dalam jabatannya;Dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap, melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut;Patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkannya agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.\nApakah Mengembalikan Uang Suap Menghapus Tuntutan Pidana?\n\nMenjawab pertanyaan Anda mengenai hukumnya mengembalikan uang suap oleh penerima suap, baik yang sudah diproses oleh hukum maupun yang belum, pada dasarnya tidak dapat menjadi alasan penghapus pidana. Dengan kata lain, mengembalikan uang suap tidak dapat dijadikan dasar bagi pelaku untuk terlepas dari jerat hukum. Apa alasannya?\n\nDalam doktrin hukum pidana, alasan penghapus pidana terbagi atas dasar pembenar (rechtsvaardigingsgronden) dan pemaaf (schulduitsluitingsgronden). Apabila terdapat dasar pembenar, maka suatu perbuatan kehilangan sifat melawan hukumnya, sehingga pembuatnya tidak dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana. Sementara, alasan pemaaf adalah alasan yang menghapus kesalahan pelaku, namun perbuatannya tetap melawan hukum.\n\nLebih lanjut, Adami Chazawi merumuskan dasar penghapus pidana dalam KUHP lama yang masih berlaku saat artikel ini diterbitkan sebagai berikut:[5]\nAlasan PembenarAlasan PemaafAdanya daya paksa (Pasal 48 KUHP)Ketidakmampuan bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP)Adanya pembelaan terpaksa (Pasal 49 ayat (1) KUHP)Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (Pasal 49 ayat (2) KUHP)Sebab menjalankan perintah undang–undang (Pasal 50 KUHP)Hal menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan iktikad baik (Pasal 51 ayat (2) KUHP)Sebab menjalankan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 ayat (1))\nAdapun, alasan penghapus pidana juga diatur dalam KUHP baru yaitu UU 1/2023 yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan[6] yaitu tahun 2026 sebagai berikut:\nAlasan PembenarAlasan PemaafMelaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 31 UU 1/2023)Anak belum berumur 12 tahun (Pasal 40 UU 1/2023)Melaksanakan perintah jabatan dari pejabat berwenang (Pasal 32 UU 1/2023)Dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan (Pasal 42 huruf aUU 1/2023)Keadaan darurat (Pasal 33 UU 1/2023)Dipaksa oleh ancaman, tekanan, atau kekuatan yang tidak dapat dihindari (Pasal 42 huruf bUU 1/2023)Pembelaan terhadap serangan atau ancaman serangan seketika yang melawan hukum terhadap diri sendiri atau orang lain, kehormatan dalam arti kesusilaan, atau harta benda sendiri atau orang lain (Pasal 34 UU 1/2023)Pembelaan terpaksa yang melampaui batas karena keguncangan jiwa yang hebat (Pasal 43UU 1/2023)Ketiadaan sifat melawan hukum (Pasal 35 UU 1/2023)Perintah jabatan tanpa wewenang tidak menghapus pidana, kecuali diperintahkan dengan iktikad baik mengira bahwa perintah tersebut diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya, termasuk dalam lingkup pekerjaannya (Pasal 44UU 1/2023)\n\nBaca juga: Daya Paksa dan Pembelaan Terpaksa sebagai Alasan Penghapus Pidana\n\nBerdasarkan penjelasan mengenai alasan penghapus pidana di atas, menurut pendapat kami, tidak terdapat satupun alasan penghapus pidana pada tindakan pengembalian uang suap dalam tindak pidana suap menyuap. Hal ini karena tujuan pemberi suap memberikan hadiah kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara adalah agar penerima suap melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.\n\nDengan kata lain, pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut tetap dianggap korupsi karena hadiah atau janji yang diterimanya ditujukan agar yang bersangkutan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya.\n\nSelain itu, sudah sepatutnya penerima suap mengetahui sumber uang atau hadiah tersebut. Menurut hemat kami, dengan Anda mengembalikan uang suap tersebut justru membuktikan bahwa Anda telah menerima suap. Hal ini justru akan mempermudah penyidik untuk memproses kasus tersebut.\n\nDengan demikian, dapat kami simpulkan bahwa pengembalian uang suap oleh penerima suap tidak dapat menghapus tindak pidana atau jerat hukum bagi pelaku suap. Namun, iktikad baik Anda untuk mengembalikan uang suap tersebut patut diapresiasi, karena akan mempermudah penyidik dalam memproses perkara suap tersebut.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/wetboek-van-strafrecht-%28wvs%29-kitab-undang-undang-hukum-pidana-%28kuhp%29?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap](Data Kepolisian /pusatdata/detail/22473/undangundang-nomor-11-tahun-1980/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_11_1980)\n3. [Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/1371/node/38/uu-no-31-tahun-1999-pemberantasan-tindak-pidana-korupsi?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_31_1999)\n4. [Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/339/undangundang-nomor-20-tahun-2001/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_20_2001)\n5. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023)\nREFERENSI:\n1. Adami Chazawi. Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan dan Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan dan Ajaran Kausalitas. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2009\n2. Ali Mahrus dan Yuherawan Bagus Setya Deni. Delik-Delik Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika, 2020\n3. KPK. Memahami untuk Membasmi: Buku Panduan untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006.\n\n[1] Mahrus Ali dan Deni Setya Bagus Yuherawan. Delik-Delik Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika, 2020, hal. 102\n\n[2] Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap\n\n[3] KPK. Memahami untuk Membasmi: Buku Panduan untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006, hal. 16\n\n[4] Lihat KPK. Memahami untuk Membasmi: Buku Panduan untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006, hal. 26 – 51\n\n[5] Adami Chazawi. Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan dan Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan dan Ajaran Kausalitas. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2009, hal. 19 – 20.\n\n[6] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Mengrimkan link seks dari situs resmi berita terhadap lawan jenis yang sudah dewasa dan menikah berupa kalimat yang isinya tentang pelajaran, namun si penerima merasa keberatan apakah termasuk kategori asusila pelecehan seksual dan tindak pidana?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran oleh Sovia Hasanah, S.H. dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 02 September 2014. Intisari : Jika mengirim link tentang informasi seks yang mengandung muatan informasi atau pelajaran, maka menurut hemat kami itu tidak termasuk pelanggaran kesusilaan. Hal ini karena link tersebut tidak bertujuan untuk melanggar kesusilaan, melainkan untuk menginformasikan suatu berita atau pendidikan seks. Berbeda halnya jika link tersebut dikirim dengan maksud atau niat memang untuk melecehkan si penerima. Hal lain yang tidak kalah penting adalah pengiriman suatu link yang berisi informasi tentang seks dari media elektronik satu ke media elektronik lainnya hendaknya memperhatikan sisi kepantasan juga karena tidak semua orang akan merasa nyaman apabila menerima link tersebut. Perlu ada pembuktian lebih lanjut bahwa unsur-unsur dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan perubahannya tentang pendistribusian dan/atau pentransmisian informasi dan/atau dokumen elektronik bermuatan asusila itu terpenuhi atau tidak. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Mengirim Informasi Elektronik Bermuatan Asusila Link atau tautan yang dikirim dengan menggunakan media elektronik merupakan informasi elektronik yang dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”) diartikan sebagai satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk, tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik ( electronic mail ), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Untuk mengetahui apakah pengiriman tautan yang berisi informasi mengenai seks tersebut mengandung muatan asusila atau bukan, kita perlu mengetahui arti asusila yang dimaksud dalam UU ITE. Artinya, yang menjadi fokus di sini adalah perlu dilihat lagi apakah dalam link tersebut ada unsur atau muatan melanggar kesusilaan atau tidak. Hal ini berkaitan dengan pengaturan dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang berbunyi: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan . Ancaman pidana terhadap pelanggar diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU 19/2016 , yaitu: Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar. Dari pasal tersebut, dapat diuraikan unsur-unsur sebagai berikut yang harus dipenuhi agar suatu tindakan dianggap melanggar Pasal 27 ayat (1) UU ITE: Dengan sengaja UU ITE tidak menjelaskan secara khusus mengenai unsur ‘dengan sengaja’ ini. Namun pada praktiknya, unsur dengan sengaja ini dikaitkan dengan niat pelaku . Artinya, pelaku dalam melakukan tindakan tersebut memang disertai niat untuk mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik, seperti yang terdapat dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwakarta No. 16/Pid.B/2014/PN.Pwk mengenai perkara penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE . Dalam putusan tersebut antara lain juga disebutkan bahwa yang dimaksud dengan sengaja/kesengajaan adalah “ menghendaki dan mengetahui ” ( willens en wetens ). Yang dimaksud dengan menghendaki dan mengetahui itu sendiri yaitu seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan dengan sengaja itu, haruslah menghendaki ( willens ) apa yang ia buat, dan harus mengetahui ( wetens ) pula apa yang ia buat itu beserta akibatnya. Oleh karena itu, harus dibuktikan apakah si pengirim link seks dari situs berita yang berisi tentang pelajaran sedari awal berniat untuk melecehkan atau sekedar memberikan edukasi. Tanpa hak Sedangkan unsur ‘tanpa hak’ pada praktiknya berhubungan dengan apakah seorang tersangka/terdakwa memiliki surat yang sah sebagai bentuk izin maupun surat-surat lain terhadap suatu barang. Demikian setidaknya yang diuraikan majelis hakim Pengadilan Negeri Dompu seperti dikutip dari Putusan Pengadilan Negeri Dompu Nomor 33/PID.B/2014/PN.DPU . Mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik Link tersebut merupakan memang sekumpulan data elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) UU ITE yang kami sebutkan di atas yang dikirimkan sehingga dapat diakses oleh si penerima pesan. Memiliki muatan yang melanggar kesusilaan Sayangnya, UU ITE tidak mendefinisikan melanggar kesusilaan yang dimaksud. Namun demikian, untuk memahaminya, kami mengacu pada pendapat R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 205), antara lain mengatakan bahwa sifat merusak kesopanan (kesusilaan) tersebut kadang amat bergantung pada pendapat umum pada waktu dan di tempat itu. Lebih lanjut, Soesilo ( Ibid , hal. 204-205), sebagaimana kami sarikan, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kesopanan yaitu dalam arti kata kesusilaan, perasaan malu yang berhubungan nafsu kelamin misalnya bersetubuh, meraba buah dada perempuan, meraba tempat kemaluan wanita, memperlihatkan anggota kemaluan wanita atau pria, mencium, dan sebagainya. Pengrusakan kesopanan ini semuanya dilakukan dengan perbuatan. Berhubung dengan adanya bermacam-macam ukuran kesusilaan menurut adat istiadat suku bangsa yang ada di Indonesia ini, aparat hukum hendaknya menyelidiki terlebih dahulu apakah perbuatan yang telah dilakukan oleh tersangka itu menurut tempat, keadaan, dan sebagainya di tempat tersebut dipandang sebagai melanggar kesusilaan atau tidak. Apakah Mengirim Link Berita tentang Seks Termasuk Tindakan Asusila? Mengacu pada hal-hal di atas, menurut hemat kami mengirim link tentang informasi seks yang mengandung muatan informasi atau pelajaran tidak termasuk pelanggaran kesusilaan. Hal ini karena link tersebut tidak bertujuan untuk melanggar kesusilaan, melainkan untuk menginformasikan suatu berita atau pendidikan seks. Berbeda halnya jika link tersebut dikirim dengan maksud atau niat memang untuk melecehkan si penerima. Hal lain yang tidak kalah penting adalah pengiriman suatu link yang berisi informasi tentang seks dari media elektronik satu ke media elektronik lainnya hendaknya memperhatikan sisi kepantasan juga. Hal ini karena tidak semua orang akan merasa nyaman apabila menerima link tersebut. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik . Putusan : Putusan Pengadilan Negeri Purwakarta No. 16/Pid.B/2014/PN.Pwk ; Putusan Pengadilan Negeri Dompu Nomor 33/PID.B/2014/PN.DPU . asusila hukumonline pelecehan teknologi informasi elektronik kesusilaan seksual hukum klinik klinik hukumonline berita melawan hukum pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah men-download e-book karangan penulis Indonesia merupakan perbuatan illegal?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "E-book sebagai suatu karya tulis adalah merupakan suatu ciptaan yang dilindungi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (“UUHC”). Lalu, terkait dengan hak dari penulis (dalam hal ini penulis e-book ) sebagai pencipta disebutkan dalam Pasal 1 angka 4 UUHC bahwa “ Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta , atau pihak yang menerima hak tersebut dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut.” Maka berdasarkan UUHC, seorang penulis e-book adalah pencipta yang memiliki hak cipta dari e-book ciptaannya. Sedangkan, Pasal 2 ayat (1) UUHC menyatakan bahwa: KLINIK TERKAIT Aspek Hukum Unduh Lagu dari Internet 29 Nov 2018 Apakah Melanggar Hukum Jika Mengubah Bentuk Kaset Menjadi MP3? 19 Nov 2018 Perlukah Izin untuk Gunakan Pidato Presiden dalam Film? 24 Mei 2016 Apakah Logo Terdaftar Perusahaan Otomatis Menjadi Merek? 14 Jun 2011 “ Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya , yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. ” Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UUHC di atas, hanya pencipta atau pemegang hak cipta yang berhak mengumumkan atau memperbanyak e-book tersebut, atau dengan kata lain, untuk mengumumkan atau memperbanyak e-book tersebut haruslah dilakukan atas seizin dari pencipta atau pemegang hak cipta e-book tersebut. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Meski demikian, beberapa penulis e-book secara sukarela mengizinkan e-book hasil karyanya untuk diunduh secara gratis. Salah satunya adalah Pandji Pragiwaksono yang memberikan tautan untuk mengunduh e-book ciptaannya berjudul Nasional.Is.Me . pada laman pribadinya www.pandji.com .Selain itu, Pandji dalam laman tersebut menuliskan “ unduh sesuai selera ”. Dengan pernyataan tersebut, menurut hemat kami, Pandji telah mengizinkan setiap orang yang berkunjung ke laman miliknya untuk mengunduh e-book tersebut. Namun, memang tidak semua penulis e-book mengizinkan e-book -nya diunduh secara gratis. Menurut artikel Aspek Hukum Unduh Lagu di Internet , perbuatan mengunduh atau download hak cipta (misalnya e-book atau lagu berformat mp3) melalui internet jika tujuannya untuk disebarluaskan atau untuk kepentingan komersial , maka hal tersebut termasuk pelanggaran hak cipta sebagaimana diatur Pasal 72 ayat (1) UUHC . Demikian pula, jika perbuatan mengunduh hak cipta tersebut tujuannya adalah untuk dinikmati/kepentingan sendiri ( e-book tersebut untuk dibaca sendiri), maka perbuatan tersebut juga dapat dikategorikan pelanggaran hak cipta apabila “merugikan kepentingan ekonomi yang wajar” dari pencipta atau pemegang hak cipta. Hal ini sesuai dengan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUHC yang menyatakan: “Yang dimaksud dengan hak eksklusif adalah hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya. Dalam pengertian “mengumumkan atau memperbanyak”, termasuk kegiatan menerjemahkan mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan , menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan Ciptaan kepada publik melalui sarana apa pun.” Unsur-unsur pelanggaran hak cipta dalam Pasal 72 ayat (1) UUHC adalah sebagai berikut; a.\nBarang siapa. Barang siapa adalah siapapun, sehingga dapat ditujukan kepada siapa saja, dalam hal ini adalah pengunduh/ downloader . Pengunduh yang telah dapat dimintai pertanggungjawaban dan tidak dapat dikenakan alasan pemaaf atau penghapus pidana memenuhi unsur “barang siapa.” b.\nDengan sengaja Unsur “dengan sengaja” terpenuhi dengan dilakukannya pengunduhan e-book dengan tujuan mendapatkan e-book yang diunduh tersebut. c.\nTanpa hak Tanpa hak di sini berarti tidak mempunyai hak untuk melakukan suatu perbuatan. Dalam hal ini, tanpa pengalihan hak atau kuasa dari pencipta atau pemegang hak cipta maka perbuatan yang dilakukan oleh pengunduh adalah tanpa hak. Mengunduh dapat dikatakan melanggar hak cipta karena mengunduh sama dengan memperbanyak ciptaan ( Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 72 ayat (1) UUHC ). Perbanyakan adalah penambahan jumlah sesuatu ciptaan, baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial dengan menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan secara permanen atau temporer. Dengan demikian, pengunduh e-book , baik itu milik penulis Indonesia ataupun luar negeri, dapat dikatakan melanggar hak cipta jika memenuhi unsur-unsur pelanggaran Hak Cipta sebagaimana tersebut di atas. Namun, apabila tidak memenuhi salah satu unsur saja, maka tidak dapat dikatakan bahwa pelaku telah melakukan pelanggaran Hak Cipta. Karena itu, kami sarankan agar Anda lebih berhati-hati saat mengunduh e-book agar tidak melanggar Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 72 ayat (1) UUHC seperti dijelaskan di atas. Kecuali, si pemegang hak cipta atas e-book tersebut dengan tegas menyatakan e-book tersebut boleh diunduh secara gratis atau tanpa perlu memperoleh izin atau syarat dan ketentuan tertentu. Demikian jawaban dari kami, semoga membantu. DASAR HUKUM: Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta ."
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya adalah seorang mahasiswa. Saya sangat sering melihat gambar-gambar desain dalam sebuah konten YouTube dan saya gambar ulang di laptop saya dengan ukuran yang hampir sama dan bentuk yang sama. Apakah tindakan saya itu melanggar hak cipta? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Hak Cipta Sebelum menjawab pertanyaan Anda, mari kita lihat dulu apa yang dimaksud dengan ciptaan dan bagaimana hak cipta itu lahir. Yang dimaksud dengan ciptaan menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta”) adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata. [1] Ciptaan yang dilindungi meliputi ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, terdiri atas: [2] buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya; ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan sejenis lainnya; alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks; drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim; karya seni rupa dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar , ukiran, kaligrafi, seni pahat, patung, atau kolase; karya seni terapan; karya arsitektur; peta; karya seni batik atau seni motif lain; karya fotografi; potret; karya sinematografi; terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data, adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi; terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau modifikasi ekspresi budaya tradisional; kompilasi ciptaan atau data, baik dalam format yang dapat dibaca dengan program komputer maupun media lainnya; kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi tersebut merupakan karya yang asli; permainan video; dan program komputer. Sedangkan hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [3] Hak eksklusif ini terbagi menjadi dua, yaitu hak moral dan hak ekonomi. [4] Hak moral adalah hak pencipta yang melekat secara abadi pada diri pencipta untuk: [5] tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian ciptaannya untuk umum; menggunakan nama aliasnya atau samarannya; mengubah ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat; mengubah judul dan anak judul ciptaan; dan mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi ciptaan, mutilasi ciptaan, modifikasi ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya. Adapun hak ekonomi adalah hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan. [6] Pada hak ekonomi yang saya sebut di atas, terdapat penekanan dalam “hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta”. Mengapa demikian? Karena pada umumnya, pada saat seorang pencipta menghasilkan suatu ciptaan, seringkali pencipta tersebut mengalihkan hak ciptanya kepada pihak lain sehingga dalam hal ini ada pihak yang juga memiliki hak ekonomi atas suatu ciptaan. Hak ekonomi mencakup hak untuk melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut: [7] penerbitan ciptaan; penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya; penerjemahan ciptaan; pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan; pendistribusian ciptaan atau salinannya; pertunjukan ciptaan; pengumuman ciptaan; komunikasi ciptaan; dan penyewaan ciptaan. Peniruan Ciptaan Sesuai dengan uraian Anda di dalam pertanyaan, Anda telah melihat gambar-gambar desain yang termuat dalam video di YouTube , yang kemudian Anda rekam dalam ingatan Anda dan dialihwujudkan kembali dalam bentuk gambar. Peniruan suatu ciptaan seperti ini dapat dikategorikan sebagai penggandaan ciptaan , dan tentu bersinggungan dengan hak ekonomi pencipta atau pemegang hak cipta. Untuk menjawab pertanyaan mengenai apakah yang Anda lakukan tersebut melanggar hak cipta, kita perlu melihat kembali kedua hak eksklusif turunan hak cipta yang melekat pada pencipta. Yang pertama, dari sisi hak moral. Apabila ciptaan yang Anda buat sama persis dan tidak ada perbedaan sama sekali dengan karya aslinya , maka Anda wajib meminta izin dari pencipta atau mencantumkan nama pencipta pada saat Anda mempergunakan ciptaannya. Hal ini mengingat hak cipta adalah hak yang melekat secara pribadi pada penciptanya. Yang kedua, dari sisi hak ekonomi. Apabila ciptaan tidak digunakan untuk kepentingan komersial melainkan untuk kepentingan pendidikan, maka Pasal 44 ayat (1) huruf a UU Hak Cipta mengatur sebagai berikut: Penggunaan, pengambilan, Penggandaan , dan/atau pengubahan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan: a.\npendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta; Baca juga: Pengalihan Hak Cipta dengan Perjanjian Tertulis Ancaman Pidana Untuk menegaskan larangan penggandaan ciptaan tanpa izin untuk tujuan komersial, UUHC mengatur bahwa setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi wajib mendapatkan izin pencipta atau pemegang hak cipta. Setiap orang juga dilarang melakukan penggandaan dan/atau penggunaan secara komersial ciptaan tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta. [8] Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta berupa penggandaan ciptaan untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1 miliar. [9] Ancaman pidana inilah yang dapat menjerat Anda jika peniruan konten YouTube yang Anda lakukan bertujuan untuk mendapatkan keuntungan, tanpa seizin pencipta konten. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta . [1] Pasal 1 angka 3 UU Hak Cipta [2] Pasal 40 ayat (1) UU Hak Cipta [3] Pasal 1 angka 1 UU Hak Cipta [4] Pasal 4 UU Hak Cipta [5] Pasal 5 ayat (1) UU Hak Cipta [6] Pasal 8 UU Hak Cipta [7] Pasal 9 ayat (1) UU Hak Cipta [8] Pasal 9 ayat (2) dan (3) UU Hak Cipta [9] Pasal 113 ayat (3) UU Hak Cipta kekayaan intelektual hak ekonomi hukumonline hak cipta desain"
} |
{
"from": "human",
"value": "Di situs youtube terdapat banyak cover lagu, apakah cover lagu tersebut dapat dikategorikan melanggar hukum? Meskipun dalam cover lagu tersebut dicantumkan penyanyi aslinya, apakah tetap dikategorikan melanggar hukum? Apakah orang yang meng-cover sebuah lagu kemudian mengaransemen lagu tersebut, dapat dikategorikan juga melanggar hukum? Terima kasih. Mohon jawabannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Hak Cipta Dalam Industri Musik Dalam industri musik, dari sudut perlindungan hak cipta dibedakan antara komposisi musik/lagu ( music composition ) dan rekaman suara ( sound recordings ). KLINIK TERKAIT Memahami Perbedaan Pencipta dan Pemegang Hak Cipta 18 Des 2023 Hukum Menyebarluaskan Lagu yang Bermuatan Penghinaan 26 Feb 2019 Ancaman Hukuman Bagi Pengunduh Film Bajakan 27 Nov 2018 Apakah Lembaga Manajemen Kolektif Dibenarkan Secara Hukum? 21 Nov 2018 Komposisi musik terdiri dari musik, termasuk di dalamnya syair/lirik. Komposisi musik dapat berupa sebuah salinan notasi atau sebuah rekaman awal ( phonorecord ) pada kaset rekaman atau CD. Komposer/pencipta lagu dianggap sebagai pencipta dari sebuah komposisi musik. Sementara itu, rekaman suara ( sound recording ) merupakan hasil penyempurnaan dari serangkaian suara-suara baik yang berasal dari musik, suara manusia dan atau suara-suara lainnya. Dianggap sebagai pencipta dari sound recording adalah pelaku/ performer (dalam hal pertunjukan) dan atau produser rekaman ( record producer ) yang telah memproses suara-suara dan menyempurnakannya menjadi sebuah rekaman final. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Hak cipta pada sebuah rekaman suara tidak dapat disamakan dengan, atau tidak dapat menggantikan hak cipta pada komposisi musiknya yang menjadi dasar rekaman suara tersebut. Dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta”), perlindungan hak cipta atas komposisi musik disebut pada Pasal 12 ayat (1) huruf d UU Hak Cipta , sementara perlindungan hak cipta atas rekaman suara disebut pada Pasal 49 ayat (1) dan (2) UU Hak Cipta . Cover Version dan Pelanggaran Hak Cipta Cover version atau cover merupakan hasil reproduksi atau membawakan ulang sebuah lagu yang sebelumnya pernah direkam dan dibawakan penyanyi/artis lain. Tidak sedikit, sebuah lagu cover version bahkan menjadi lebih terkenal daripada lagu yang dibawakan oleh penyanyi aslinya. Karenanya, banyak artis baru mencoba peruntungannya dengan membawakan lagu cover version dengan tujuan agar lebih cepat sukses dan terkenal. Untuk lagu-lagu cover yang diciptakan untuk tujuan komersial tadi, pencantuman nama penyanyi asli saja pada karya cover tentu tidak cukup untuk menghindari tuntutan hukum pemegang hak cipta. Agar tidak melanggar hak cipta orang lain, untuk mereproduksi, merekam, mendistribusikan dan atau mengumumkan sebuah lagu milik orang lain, terutama untuk tujuan komersial, seseorang perlu memperoleh izin (lisensi) dari pencipta/pemegang hak cipta sebagai berikut: 1. Lisensi atas Hak Mekanikal ( mechanical rights ), yakni hak untuk menggandakan, mereproduksi (termasuk mengaransemen ulang) dan merekam sebuah komposisi musik/lagu pada CD, kaset rekaman dan media rekam lainnya; dan atau 2. Hak Mengumumkan (performing rights) , yakni hak untuk mengumumkan sebuah lagu/komposisi musik, termasuk menyanyikan, memainkan, baik berupa rekaman atau dipertunjukkan secara live (langsung), melalui radio dan televisi, termasuk melalui media lain seperti internet, konser live dan layanan-layanan musik terprogram. Royalti atas mechanical right yang diterima dibayarkan oleh pihak yang mereproduksi atau merekam langsung kepada pemegang hak (biasanya perusahaan penerbit musik ( publisher ) yang mewakili komposer/pencipta lagu). Sementara pemungutan royalti atas pemberian performing rights pada umumnya dilakukan oleh sebuah lembaga (di Indonesia disebut Lembaga Manajemen Kolektif – “LMK”) berdasarkan kesepakatan antara pencipta dan lembaga tersebut. WAMI (Wahana Musik Indonesia) dan YKCI (Yayasan Karya Cipta Indonesia) adalah dua dari beberapa LMK di Indonesia yang saat ini aktif menghimpun dan mendistribusikan royalti dari hasil pemanfaatan performing rights untuk diteruskan kepada komposer/pencipta lagu dan publisher . The National Music Publishers’ Association vs. Fullscreen Terkait dengan masalah lagu cover , sekitar pertengahan tahun lalu, sekelompok perusahaan penerbit musik di Amerika Serikat (salah satunya adalah Warner/Chappell Music milik Warner Music Group) yang diwakili oleh the National Music Publishers’ Association, menggugat Fullscreen , salah satu perusahaan pemasok video terbesar ke YouTube yang berkantor di Los Angeles, di pengadilan distrik di Manhattan, Amerika Serikat, dengan alasan bahwa banyak dari video-video pasokan Fullscreen, terutama versi cover dari lagu-lagu hits dari artis-artis mereka, melanggar hak cipta mereka. Hal ini sebagaimana disarikan dari The New York Times, www.nytimes.com , edisi 7 Agustus 2013. Fullscreen mengklaim dirinya sebagai perusahaan media generasi baru yang membangun sebuah jaringan global melalui channel-channel di YouTube bekerja sama dengan ribuan kreator konten. Menurut Fullscreen, 15.000 channel yang mereka wakili total memiliki 200 juta pelanggan dan ditonton lebih dari 2,5 miliar orang per bulannya. Di antara video-video Fullscreen yang diputar YouTube adalah versi cover dari lagu-lagu hits beberapa artis Penggugat, biasanya dibawakan oleh para amatir atau semi profesional, yang ditampilkan tanpa izin publisher dan pencipta lagu serta tanpa membayar royalti. Dasar Hukum: Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta . lagu"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah penyebar majalah agama tertentu ke rumah warga itu melanggar hukum? Jika iya, bagaimana langkah hukumnya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Apabila majalah tersebut hanya berisi suatu ajaran atau edukasi agama tertentu tanpa maksud di dalamnya menyampaikan pernyataan atau ungkapan permusuhan atau kebencian, maka penyebar majalah itu tidak dapat dipidana. Namun, apabila konten majalah itu merupakan ungkapan kebencian terhadap agama tertentu, maka pelakunya dapat dipidana. Penjelasan lengkapnya silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Kami berkesimpulan maksud dari “majalah agama tertentu” adalah majalah yang berisi tentang ajaran suatu agama tertentu. Sebelumnya, kita perlu ketahui terlebih dahulu apa isi majalah yang dimaksud. Apabila hanya berisi suatu ajaran atau edukasi agama tertentu tanpa maksud di dalamnya menyampaikan pernyataan atau ungkapan permusuhan atau kebencian suatu agama, maka penyebar majalah itu tidak dapat dipidana. KLINIK TERKAIT Perbuatan yang Termasuk Delik Penistaan Agama 24 Apr 2024 Kebebasan Memeluk Agama dan Kepercayaan sebagai Hak Asasi Manusia 13 Jul 2023 Hak Asuh Anak dalam Perceraian Pasangan Beda Agama 19 Jul 2019 Pengaturan Mengenai Pindah Agama Bagi Anak-Anak 25 Sep 2014 Akan tetapi, apabila di dalamnya berisi tulisan atau gambar yang mengandung unsur permusuhan atau kebencian terhadap agama tertentu, maka pelakunya bisa dipidana. Pasal apa yang dapat menjeratnya? Kami akan jelaskan di bawah ini. Pada dasarnya, setiap manusia memiliki hak beragama. Hak beragama adalah salah satu hak dasar manusia yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun, demikian antara lain yang dikatakan dalam konsiderans Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) . Hak beragama itu sendiri telah termaktub dalam Pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD 1945 : Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Dengan kata lain, setiap orang tidak boleh memaksa orang lain untuk memeluk agama tertentu, biarkan orang memilih agamanya atas dasar keyakinannya sendiri. Perlu diketahui juga bahwa setiap orang tidak berhak untuk melarang atau menghalang-halangi orang lain untuk beribadah sesuai agama dan kepercayaannya itu. Penjelasan mengenai perbuatan melarang orang lain untuk beribadah dapat Anda simak dalam artikel Sanksi Hukum Jika Menghalangi Orang Melaksanakan Ibadah . Terkait dengan pertanyaan Anda, seperti yang telah kami sebutkan di atas, apabila majalah tersebut hanya berisi suatu ajaran atau edukasi agama tertentu tanpa maksud di dalamnya menyampaikan pernyataan atau ungkapan permusuhan atau kebencian, maka penyebar majalah itu tidak dapat dipidana. Namun, apabila konten majalah itu merupakan ungkapan kebencian terhadap agama tertentu, maka pelakunya dapat dipidana sesuai Pasal 157 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi: (1) Barang siapa menyiarkan , mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum, yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan penduduk Indonesia , dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan pencariannya dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak pemidanaannya menjad itetap karena kejahatan semacam itu juga, yang bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut. R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 133-134) mengatakan antara lain bahwa “menyiarkan” misalnya memakai surat kabar, majalah , buku, surat selebaran, dan lain-lain. Tulisan atau gambar itu harus dibuat banyak dengan maksud supaya isi tulisan atau gambar itu diketahui oleh orang banyak. Lebih lanjut R. Soesilo juga menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan “golongan-golongan rakyat Indonesia”. Menurut R. Soesilo, golongan-golongan penduduk misalnya: orang Eropa, Tionghoa, Jepang, Indonesia (berdasar kebangsaan), orang Kristen, Islam, Budha (berdasar agama ), orang Jawa, Minangkabau, Dayak, Bali, Madura (berdasar suku), dan sebagainya. Jadi, apabila majalah tentang agama itu dibuat banyak dan dibagi-bagikan ke rumah warga serta memuat suatu pernyataan atau perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap agama tertentu, maka pelakunya dapat dipidana berdasarkan Pasal 157 KUHP. Adapun jika itu terjadi, langkah hukum yang dapat dilakukan adalah dengan melaporkan penyebar majalah itu kepada pihak berwajib, dalam hal ini kepolisian. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel Prosedur Melaporkan Peristiwa Pidana ke Kantor Polisi. Sebagai contoh dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Pati Nomor 10/Pid.Sus/2013/PN.Pt. Terdakwa antara lain melakukan perbuatan menista agama Islam dengan jalan membuat karikatur Nabi Muhammad, meng-upload (unggah) karikatur Nabi Muhammad dan membuat status atau kata-kata yang menyerang kehormatan seseorang serta menista agama orang lain. Salah satu pasal yang didakwakan kepada terdakwa adalah Pasal 157 KUHP, akan tetapi Hakim memutuskan perkara serta memberikan hukuman pidana berdasarkan Pasal 45 jo. Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik . Hakim menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan “dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, danantar golongan (SARA)” dan menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan denda sebesar Rp.10.000.000,-(sepuluh juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Dasar 1945 ; 2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; 3. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik . REFERENSI:\n1. R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal.Politeia. Putusan: Putusan Pengadilan Negeri Pati Nomor 10/Pid.Sus/2013/PN.Pt. agama"
} |
{
"from": "human",
"value": "Dear Hukum Online, apakah handphone Blueberry dapat dikatakan/termasuk menjiplak merek hp dari Blackberry? Dan bagaimana peraturan mengenai hukum merek mengenai kedua nama hp yang hampir sama tersebut? Karena sebelumnya saya pernah baca merek \"CLUB AQUA\" yang dikalahkan oleh\"AQUA\"? Thanks."
} | {
"from": "gpt",
"value": "I. Sebelumnya, perlu diketahui bahwa hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya (lihat Pasal 3 UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek – “UU Merek” ). KLINIK TERKAIT Jangka Waktu Hak Merek dan Syarat Perpanjangannya 20 Des 2023 Perlindungan Hak Merek, Ini Syarat Mendapatkannya 11 Sep 2023 Aturan Pendaftaran Merek Internasional di Indonesia 04 Agt 2023 Keberatan Pemilik Merek Terdaftar atas Pendaftaran Merek oleh Pihak Lain 07 Agt 2020 Sehingga, dalam hal tertentu, permohonan merek harus ditolak oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (“DJHKI”). Sebagaimana diatur antara lain dalam Pasal 6 ayat (1) UU Merek permohonan merek harus ditolak apabila merek tersebut: a. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas b. mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau sejenisnya . c. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi-geografis yang sudah dikenal. Dalam praktiknya , masih dapat kita temui berbagai merek yang mirip dengan merek lain. Hal ini yang kemudian seringkali menimbulkan perkara di bidang merek. Bila ada merek terdaftar yang mempunyai persamaan dengan merek lain yang juga terdaftar, pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan pembatalan merek ke Pengadilan Niaga berdasarkan Pasal 68 ayat [1] dan [3] UU Merek . Dalam hal penggugat atau tergugat bertempat tinggal di luar wilayah Negara Republik Indonesia, gugatan diajukan kepada Pengadilan Niaga di Jakarta ( Pasal 68 ayat [4] UU Merek ). Dan terhadap putusan Pengadilan Niaga yang memutuskan gugatan pembatalan merek ini hanya dapat dilakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung (lihat Pasal 70 ayat [1] UU Merek ). Namun, gugatan pembatalan pendaftaran merek ini hanya dapat diajukan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal pendaftaran merek. Kecuali merek yang bersangkutan ternyata bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan atau ketertiban umum, maka gugatan pembatalan dapat diajukan tanpa batas waktu (lihat Pasal 69 UU Merek ). Sedangkan, apabila ada pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang atau jasa yang sejenis dengan merek terdaftar, pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Niaga terhadap pihak lain tersebut berupa (lihat Pasal 76 UU Merek ): a. gugatan ganti rugi, dan/atau b. penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan Merek tersebut . Selain itu, pemilik merek terdaftar dapat mengadukan kepada pihak kepolisian pihak yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik nya untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan . Tindak pidana tersebut diancam pidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800 juta (lihat Pasal 91 jo Pasal 95 UU Merek ) . II. Mengenai sengketa merek “AQUA”, berdasarkan penelusuran kami memang benar terdapat putusan Mahkamah Agung (“MA”) yang memenangkan PT. Aqua Golden Missippi pemegang merek “AQUA” terhadap pemegang merek-merek lain yang memiliki persamaan pada pokoknya dengan “AQUA”. Salah satunya adalah putusan MA No. 014K/N/HAKI/2003 Tahun 2003 yang membatalkan merek “AQUALIVA”. Dalam perkara tersebut pihak penggugat mengajukan bukti-bukti antara lain tiga putusan MA sebelumnya yaitu No. 757 K/Pdt/1989 ttgl. 30 Maret 1992, No. 980 K/Pdt 1990 ttgl. 30 Maret 1992, dan No. 1371 K/Pdt/1993 ttgl. 18 Nopember 1997 tentang pembatalan merek-merek AQUARIA, CLUB AQUA dan QUA-QUA karena diqualifisir beritikad tidak baik dan mengandung persamaan pada pokoknya dengan merek AQUA. III. Sekarang mengenai apa yang Anda tanyakan yaitu apakah merek ponsel “Blueberry” dapat dikatakan menjiplak merek ponsel “Blackberry”. Secara kasat mata memang ada kemiripan dan persamaan pada pokoknya dalam kedua merek tersebut. Namun, mengenai hal ini, hanya DJHKI yang dapat menentukan apakah merek Blueberry akan diterima atau ditolak pendaftarannya karena memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek Blackberry. Berdasarkan informasi yang kami terima dari Kepala Seksi Klasifikasi Merek pada Direktorat Merek, Ditjen HKI, Irbar Susanto, S.H., M.H. pendaftaran merek Blueberry (hingga artikel ini dibuat) masih dalam proses pendaftaran di Ditjen HKI. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Catatan editor: Klinik Hukum meminta informasi dari Irbar Susanto melalui sambungan telepon pada 3 November 2011. DASAR HUKUM: Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ."
} |
{
"from": "human",
"value": "1. Apakah merek terdaftar berarti terkenal? 2. Dengan demikian, apabila ada 2 merek terdaftar dan sama-sama bersertifikat, hanya mutlak akan melihat mana yang terdaftar terlebih dahulu? 3. Apabila ada hakim dalam memutus perkaranya menggunakan dasar merek terkenal apakah dapat dibenarkan? Padahal tidak ada aturan yang jelas mengatur definisi merek terkenal itu seperti apa dan syarat-syarat untuk dapat dikategorikan sebagai merek terkenal."
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Peran TRIPS Agreement dalam Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual 31 Agt 2017 Hukum Menjual Barang KW 08 Mar 2017 Perbedaan Merek, Paten, dan Desain Industri 17 Feb 2017 Jika Ada Kemiripan Merek dan Kesamaan Komposisi Pada Produk Makanan 03 Nov 2016 Intisari: Secara prinsip, pendaftaran merek adalah untuk melindungi produk dan usaha seseorang, sedangkan merek digunakan untuk promosi produk. Tidak semua merek terdaftar itu berarti terkenal. Akan tetapi tindakan mendaftarkan merek sebelum menjadi terkenal adalah suatu tindakan yang menguntungkan dari sisi perlindungan hak merek. Pemilik merek terkenal dapat mengajukan gugatan. Pemberian hak untuk mengajukan gugatan perdata berdasarkan perbuatan curang yang dilakukan oleh pihak lain dimaksudkan untuk memberikan pelindungan hukum kepada pemilik merek terkenal meskipun belum terdaftar. Hakim dapat memutus suatu perkara dengan menggunakan dasar merek terkenal. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Merek sebagai Sebuah Tanda Secara prinsip pendaftaran merek adalah untuk melindungi produk dan usaha seseorang, sedangkan merek digunakan untuk promosi produk. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (“UU MIG”) , definisi merek disebutkan sebagai berikut. Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa. Dari definisi yang dinyatakan dalam UU MIG di atas dapat diketahui bahwa pada hakikatnya merek adalah sebuah tanda . Akan tetapi, sebuah tanda tidak akan demikian saja diterima sebagai merek jika tidak memiliki daya pembeda. Tanda dianggap tidak memiliki daya pembeda apabila tanda tersebut terlalu sederhana seperti satu tanda garis atau satu tanda titik, ataupun terlalu rumit sehingga tidak jelas. [1] Yang dimaksud dengan daya pembeda adalah memiliki kemampuan untuk digunakan sebagai tanda yang dapat membedakan hasil perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain. Fungsi Pemakaian Merek Menurut Suyud Margono , suatu tanda yang sudah memiliki daya pembedapun tidak serta merta dapat diterima sebagai merek apabila tidak digunakan pada kegiatan perdagangan barang atau jasa. Itu sebabnya Kantor Merek mensyaratkan penyebutan jenis barang yang pada saat seseorang ingin mendaftarkan hak mereknya. Secara garis besar, pemakaian merek berfungsi sebagai berikut: 1. Tanda pengenal untuk membedakan hasil produksi yang dihasilkan seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum dengan produksi orang lain atau badan hukum lainnya; 2. Sebagian alat promosi, sehingga mempromosikan hasil produksinya cukup dengan menyebut mereknya; 3. Sebagai jaminan atas mutu barangnya; 4. Menunjukkan asal barang/jasa dihasilkan. Pentingnya Pendaftaran Merek Dalam kenyataan sehari-hari, terutama di negara kita, masih banyak orang yang belum menyadari pentingnya mendaftarkan merek yang dimiliki. Bahkan banyak di antaranya yang berpikir usahanya masih terlalu kecil untuk mendaftarkan mereknya. Padahal pikiran seperti itu keliru. Setiap orang yang berusaha selalu ingin usaha dan bisnisnya sukses. Dalam proses menuju kesuksesan, banyak tenaga dan modal yang dikeluarkan untuk membuat usahanya dikenal orang. Seharusnya, pada saat sukses menghampiri, seorang pengusaha tak perlu khawatir lagi akan adanya pemalsuan merek yang dilakukan oleh pihak lain jika ia sudah mendaftarkan mereknya sejak di awal berdirinya usaha. Apabila ada pihak lain yang ingin memakai merek tersebut, pemilik merek dapat melisensikan mereknya dan menghasilkan royalti. Jika ada yang melanggar hak mereknya, pemilik merek dapat menggugat pihak yang melanggar tersebut. Begitulah idealnya. Ini sebagai gambaran untuk menjawab pertanyaan Anda yang menanyakan apakah merek terdaftar berarti terkenal. Dari gambaran ini kami berharap Anda bisa melihat bahwa tidak semua merek terdaftar itu berarti terkenal . Akan tetapi tindakan mendaftarkan merek sebelum menjadi terkenal adalah suatu tindakan yang menguntungkan dari sisi perlindungan hak merek. Pendaftaran Dua Merek yang Sama Pertanyaan kedua Anda tidak begitu jelas, tapi kami asumsikan bahwa Anda bertanya mengenai pendaftaran dua merek yang sama. Indonesia menganut asas ‘first to file’ pada pendaftaran merek di mana siapapun yang mendaftar terlebih dahulu, jika permohonan pendaftarannya dikabulkan, maka ia mendapatkan hak atas merek yang didaftarkan sesuai dengan tanggal penerimaan pendaftaran. Perkara Merek Terkenal Terkait dengan pertanyaan mengenai merek terkenal, tentu saja hakim dapat memutus suatu perkara terkait merek terkenal. Pasal 83 UU MIG mengatur mengenai gugatan atas Pelanggaran Merek sebagai berikut. (1) Pemilik Merek terdaftar dan/atau penerima Lisensi Merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang dan/atau jasa yang sejenis berupa: a. gugatan ganti dan/atau b. penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan Merek tersebut. (2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula diajukan oleh pemilik Merek terkenal berdasarkan putusan pengadilan. (3) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Pengadilan Niaga. Pemberian hak untuk mengajukan gugatan perdata berdasarkan perbuatan curang yang dilakukan oleh pihak lain dimaksudkan untuk memberikan pelindungan hukum kepada pemilik Merek terkenal meskipun belum terdaftar. [2] Merek terkenal dilindungi oleh berbagai perjanjian internasional, misalnya Paris Convention for the Protection of Industrial Property (“Paris Convention”) dan The Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (“TRIPS Agreement”) . Paris Convention dan TRIPS Agreement mensyaratkan negara-negara anggota untuk melindungi merek terkenal bahkan jika merek tersebut tidak terdaftar atau digunakan di negara itu . Perlindungan untuk merek terkenal yang belum terdaftar di bawah Paris Convention biasanya terbatas pada barang dan jasa yang identik atau mirip dengan barang atau jasa merek terkait dan dalam situasi di mana penggunaan cenderung menyebabkan kebingungan. Berdasarkan TRIPS Agreement , perlindungan bahkan dapat diberikan untuk barang atau jasa yang berbeda jika terhubung dengan pemilik merek terdaftar yang terkenal atau jika kemungkinan pemilik merek terkenal akan mendapat kerugian yang disebabkan oleh kebingungan pasar. Akan tetapi, penegakan hukum di bawah perjanjian ini tidak sama di setiap negara. Jadi, jika merek tidak dipergunakan dalam wilayah hukum tertentu tetapi pemiliknya dapat membuktikan bahwa merek itu terkenal atau dikenal di tempat lain di dunia, maka pemilik merek terkenal seringkali dapat mencegah pihak ketiga untuk menggunakan atau mendaftarkan merek tersebut dalam wilayah hukum tertentu. World Intellectual Property Organizations (WIPO) memberikan batasan mengenai merek terkenal sebagaimana disepakati dalam Joint Recommendation Concerning Provisions on the Protection of Well-Known Marks bahwa faktor-faktor ini dapat digunakan untuk menentukan apakah merek tersebut masuk kategori terkenal, yaitu: 1. tingkat pengetahuan atau pengakuan merek di sektor yang relevan dengan masyarakat; 2. durasi, tingkat dan wilayah geografis dari pemakaian merek; 3. durasi, tingkat dan wilayah geografis dari promosi merek; 4. durasi dan wilayah geografis dari segala pendaftaran atau permohonan pendaftaran merek; 5. nilai merek; 6. catatan keberhasilan pemenuhan hak atas merek tersebut. Untuk penjelasan lebih detail mengenai merek terkenal dapat dibaca pada jawaban klinik kami sebelumnya di Ini Perbedaan Merek Biasa, Merek Terkenal, dan Merek Termasyhur . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis ; 2. Paris Convention for the Protection of Industrial Property ; 3. The Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights . [1] Penjelasan Pasal 20 huruf e UU MIG [2] Pasal 83 ayat (2) UU MIG royalti hak merek trips indikasi geografis klinik hukumonline kekayaan intelektual paten hak cipta merek lisensi hakim hki desain industri merek terkenal hukumonline brand rahasia dagang sengketa merek google hukum klinik perusahaan hak kekayaan intelektual"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah saya yang bukan seorang wartawan dilarang mendokumentasikan baik berupa foto atau video terhadap terjadinya suatu peristiwa? Peristiwa itu misalnya berkaitan dengan kesusilaan untuk pemberitaan publik. Adakah konsekuensi hukumnya atas perbuatan mendokumentasikan yang saya lakukan tersebut?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebelum menjawab inti pertanyaan Anda, pada dasarnya tindakan untuk mendokumentasikan terjadinya suatu peristiwa baik berupa foto maupun video bukanlah termasuk perbuatan yang dilarang menurut UU ITE maupun perubahannya. Namun terkait perbuatan kesusilaan sebagaimana Anda tanyakan, perlu diketahui terlebih dahulu bunyi Pasal 27 ayat (1) UU 1/2024:\n\nSetiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum.\n\nLebih lanjut, perihal pasal tersebut perlu diperhatikan definisi yang dicantumkan pada Penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU 1/2024 sebagai berikut:\n\nMakna frasa “menyiarkan” yaitu termasuk perbuatan mentransmisikan, mendistribusikan, dan membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dalam sistem elektronik.Makna frasa “mendistribusikan” yaitu mengirimkan dan/atau menyebarkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada banyak orang atau berbagai pihak melalui sistem elektronik. Makna frasa “mentransmisikan” yaitu mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang ditujukan kepada pihak lain melalui sistem elektronik. Makna frasa “membuat dapat diakses” yaitu semua perbuatan lain selain mendistribusikan dan mentransmisikan melalui sistem elektronik yang menyebabkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dapat diketahui pihak lain atau publik. Makna frasa “melanggar kesusilaan” yaitu melakukan perbuatan mempertunjukkan ketelanjangan, alat kelamin, dan aktivitas seksual yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat di tempat dan waktu perbuatan tersebut dilakukan. Adapun pengertian kesusilaan disesuaikan dengan standar yang berlaku pada masyarakat dalam waktu dan tempat tertentu (contemporary community standard)Makna frasa “diketahui umum” yaitu untuk dapat atau sehingga dapat diakses oleh kumpulan orang banyak yang sebagian besar tidak saling mengenal.\nNamun, menurut Pasal 45 ayat (2) UU 1/2024, perbuatan dalam Pasal 27 ayat (1) UU 1/2024 tidak dipidana dalam hal:\n\ndilakukan demi kepentingan umum;dilakukan untuk pembelaan atas dirinya sendiri; atauinformasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut merupakan karya seni, budaya, olahraga, kesehatan, dan/atau ilmu pengetahuan.\n\nSementara itu, perbuatan Anda yang mendokumentasikan suatu perbuatan kesusilaan menurut hemat kami dapat memenuhi unsur Pasal 27 ayat (1) UU 1/2024 dan berpotensi dijerat pidana. Menurut Pasal 45 ayat (1) UU 1/2024, pelaku yang melanggar dipidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.\nJerat Pidana Berdasarkan UU Pornografi\n\nSelain itu, perbuatan Anda yang mendokumentasikan suatu perbuatan kesusilaan juga berpotensi dijerat Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi yang berbunyi sebagai berikut:\n\nSetiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:\n\npersenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;kekerasan seksual;masturbasi atau onani;ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;alat kelamin; ataupornografi anak.\n\nAda pengecualian dari pasal ini, yang dimaksud dengan “membuat” adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.[1]\n\nPelanggaran atas pasal tersebut di atas termuat dalam Pasal 29 UU Pornografi yang berbunyi:\n\nSetiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250 juta dan paling banyak Rp6 miliar.\n\nJadi, kami berpendapat Anda berpotensi dijerat pasal dalam UU ITE dan UU Pornografi sebagaimana telah kami jelaskan di atas. Oleh karena itu, Anda perlu berhati-hati saat mendokumentasikan sesuatu, terlebih rekaman tersebut memuat tindak asusila dan bukan untuk pemberitaan publik. Namun jika rekaman itu merupakan suatu peristiwa pidana, kami menyarankan agar Anda melapor ke pihak berwajib dan menjadikan rekaman tersebut sebagai bukti.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/27912/nprt/1011/uu-no-11-tahun-2008-informasi-dan-transaksi-elektronik?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_ite)\n2. [Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt584a7363785c8?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_19_2016)\n3. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt65961ed500cf3/undang-undang-nomor-1-tahun-2024/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_1_2024)\n4. [Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/28607/undangundang-nomor-44-tahun-2008?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_44_2008)\n[1] Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya punya 2 kasus pertanyaan\n\nJika seseorang yang pekerjaannya sebagai pereview film, dan dia dapat uang dari itu. Apa dia melanggar hak cipta dengan mereview film dan mendapatkan laba? Bukankah dia sudah membayar film itu lewat menonton bioskop?\nJika seseorang yang bekerja sebagai guru komputer di mana dia harus pake software untuk mengajar supaya dapat uang. Apa dia melanggar hak cipta dgn menggunakan software itu?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Kami akan menjawab pertanyaan di atas satu persatu. Untuk pertanyaan pertama terkait dengan pekerjaan me- review film dan mendapat imbalan, sama sekali tidak ada kaitannya dengan hak cipta film. Pekerjaan me- review film yang kami asumsikan mungkin dilakukan secara tertulis, tidak ada kaitannya dengan hak cipta dari film yang di review baik review tadi dilakukan secara komersial maupun tidak. Potensi pelanggaran hak cipta yang mungkin ada ialah apabila dalam review tadi, pembuat review menggunakan foto poster film tanpa izin atau jika review dilakukan secara online, menggunakan potongan clip dari film tersebut tanpa izin Pencipta/Pemegang Hak Cipta. Kami senang Anda bertanya, “bukankah dia sudah membayar film itu lewat menonton di bioskop?” Ini adalah pemahaman awam yang salah mengenai hak cipta yang seolah-olah sudah membayar untuk suatu hak yang besar hanya karena telah membayar ticket bioskop. Seorang penonton bioskop tidak berhak atas hak eksklusif yang dimiliki oleh pencipta/pemegang hak cipta hanya karena dia telah membayar tiket menonton di bioskop. Hak cipta sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UUHC’) , adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hak eksklusif tersbut terbagi dua yaitu hak moral dan hak ekonomi . Karena ini terkait dengan komersialisasi ciptaan, maka kami hanya akan membahas soal hak ekonomi. Pasal 8 UUHC mengatakan bahwa hak ekonomi merupakan hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan. Kemudian hak eksklusif tadi dijabarkan lagi dalam Pasal 9 ayat (1) UUHC sebagai berikut: Pasal 9 (1) Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan: Penerbitan Ciptaan; Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya; Penerjemahan Ciptaan; Pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan; Pendistribusian Ciptaan atau salinannya; Pertunjukan Ciptaan; Pengumuman Ciptaan; Komunikasi Ciptaan; dan Penyewaan Ciptaan. Hak eksklusif di atas menurut Pasal 16 ayat (2) UUHC dapat beralih atau dialihkan, baik seluruh maupun sebagian karena: pewarisan; hibah; wakaf; wasiat; perjanjian tertulis; atau sebab lain yang dibenarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jadi, apabila seseorang hanya membayar tiket untuk menonton di bioskop, dia tidak serta merta memiliki semua hak eksklusif yang dimiliki oleh pencipta/pemegang hak cipta sebagaimana disebutkan di atas. Untuk pertanyaan kedua, apakah ada hak cipta yang dilanggar apabila seseorang yang bekerja sebagai guru komputer harus memakai software untuk mengajar dan menerima imbalan, kami mengasumsikan bahwa yang Anda ajarkan adalah cara mengoperasikan komputernya. Seorang pengajar yang mengajari muridnya bagaimana mengoperasikan komputer, biasanya mengajarkan hal-hal dasar di mana untuk hal mendasar tadi sudah ada program-program yang menjadi satu paket dalam komputer dimaksud. Sebagaimana telah disebut di atas, selama tidak ada hak eksklusif pencipta/pemegang hak cipta yang dilanggar oleh Anda dalam mengajarkan cara mengoperasikan komputer pada murid-murid Anda, maka tidak ada pelanggaran hak cipta yang terjadi. Contoh pelanggaran adalah misalnya dengan menggandakan program komputer dari satu komputer ke komputer lain tanpa izin atau menggunakan program/software bajakan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta . hukumonline hak cipta haki klinik hukumonline kekayaan intelektual"
} |
{
"from": "human",
"value": "Kegiatan usaha merger dan akuisisi apakah wajib dilaporkan ke KPPU, dan adakah aturan terbaru terkait kewajiban pelaporan merger dan akuisisi ke KPPU?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Merger dan Akuisisi Sebelumnya, kami terangkan terlebih dahulu yang dimaksud dengan merger dan akusisi perseroan terbatas (“PT”). Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”) menjelaskan sebagai berikut: Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu PT atau lebih untuk menggabungkan diri dengan PT lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari PT yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada PT yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum PT yang menggabungkan diri berakhir karena hukum. [1] Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham PT yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas PT tersebut. [2] Penggabungan dikenal juga dengan istilah merger , sedangkan pengambilalihan dikenal juga dengan akuisisi . Notifikasi Merger dan Akuisisi ke KPPU Menyambung pertanyaan Anda, kami akan merujuk kepada Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 3 Tahun 2019 tentang Penilaian Terhadap Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha, atau Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat (“Perkppu 3/2019”) . Penggabungan atau pengambilalihan yang berakibat nilai aset dan/atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu wajib diberitahukan secara tertulis dengan mengisi formulir kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (“KPPU”) . [3] Jumlah tertentu yang dimaksud adalah apabila: [4] nilai aset badan usaha hasil penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan saham perusahaan melebihi Rp2.5 triliun ; atau nilai penjualan badan usaha hasil penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan saham perusahaan melebihi Rp5 triliun . Khusus untuk penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan saham dan/atau aset perusahaan antar pelaku usaha di bidang perbankan , kewajiban pemberitahuan berlaku untuk transaksi dengan nilai aset melebihi Rp20 triliun . [5] Dalam hal hanya salah satu pihak yang bergerak di bidang perbankan dan pihak lain bergerak di bidang lainnya, maka pelaku usaha wajib melakukan notifikasi ke KPPU jika: [6] nilai aset badan usaha hasil penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan saham dan/atau aset perusahaan melebihi Rp2.5 miliar; atau nilai penjualan badan usaha hasil penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan saham dan/atau aset perusahaan melebihi Rp5 triliun. Secara garis besar, notifikasi wajib disampaikan kepada KPPU oleh: [7] pelaku usaha yang menerima penggabungan; pelaku usaha hasil peleburan; pelaku usaha yang melakukan pengambilalihan; atau pelaku usaha yang menerima atau mengambil alih aset. Notifikasi ke KPPU wajib dilakukan paling lama 30 hari sejak tanggal penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan saham dan/atau aset perusahaan berlaku efektif secara yuridis. [8] Hal lain yang perlu diperhatikan adalah, penyampaian notifikasi disertai dokumen pendukung, yang minimal terdiri dari: [9] laporan keuangan 3 tahun terakhir dengan ketentuan: pada transaksi pengambilalihan saham dan/atau aset perusahaan, perusahaan pengambil alih sampai dengan badan usaha induk tertinggi beserta anak-anak usahanya, dan perusahaan yang diambil alih beserta anak-anak usahanya. Khusus bagi perpindahan aset, laporan keuangan perusahaan yang menerima atau mengambil alih aset; pada transaksi penggabungan , perusahaan yang menerima penggabungan sampai dengan badan usaha induk tertinggi beserta anak–anak usahanya, perusahaan yang menggabungkan diri beserta anak–anak usahanya; pada transaksi peleburan, perusahaan yang saling meleburkan diri sampai dengan badan usaha induk tertinggi perusahaan yang mengendalikan perusahaan hasil peleburan beserta anak–anak usahanya; skema struktur kelompok pelaku usaha sebelum dan setelah transaksi penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan saham dan/atau aset perusahaan; anggaran dasar perubahan sebelum dan setelah transaksi dilakukan; profil perusahaan minimal memuat identitas perusahaan termasuk informasi struktur pemegang saham, komisaris, dan direksi, daftar dan penjelasan produk yang dihasilkan perusahaan, dan jangkauan pemasaran; ringkasan transaksi minimal memuat tanggal efektif secara yuridis, nilai transaksi, dan perjanjian-perjanjian terkait transaksi; rencana bisnis setelah transaksi dilakukan; dan analisis dampak transaksi yang memuat minimal estimasi pangsa pasar para pihak, pasar yang terdampak terkait dengan transaksi, dan manfaat transaksi bagi para pihak. KPPU kemudian melakukan penilaian atas penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan saham dan/atau aset perusahaan setelah formulir notifikasi dan dokumen pendukungnya dinyatakan lengkap. [10] Penilaian dilakukan jika telah berlaku efektif secara yuridis dan diduga mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat . [11] Perlu diketahui, pelaksanaan penilaian tersebut dilaksanakan dengan menggunakan analisis: [12] konsentrasi pasar; hambatan masuk pasar; potensi perilaku anti persaingan; efisiensi; dan/atau kepailitan. Terdapat 2 tahap penilaian yang dilakukan dalam jangka waktu 90 hari , yaitu: [13] penilaian awal; penilaian menyeluruh. Hasil penilaian KPPU dinyatakan dalam bentuk penetapan notifikasi, yang memuat pendapat berupa : [14] tidak adanya dugaan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yang diakibatkan oleh penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan saham dan/atau aset perusahaan; atau adanya dugaan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yang diakibatkan oleh penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan saham dan/atau aset perusahaan. Dalam hal KPPU berpendapat ada indikasi berdampak negatif terhadap persaingan, KPPU dapat memberikan persetujuan bersyarat yang dimuat pada penetapan notifikasi, berupa tindakan penyesuaian secara struktural dan/atau penyesuaian atas perilaku pelaku usaha. [15] Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 3 Tahun 2019 tentang Penilaian Terhadap Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha, atau Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat [1] Pasal 109 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 1 angka 9 UU PT [2] Pasal 109 angka 1 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 1 angka 11 UU PT [3] Pasal 2 ayat (1) Perkppu 3/2019 [4] Pasal 2 ayat (2) Perkppu 3/2019 [5] Pasal 2 ayat (3) Perkppu 3/2019 [6] Pasal 2 ayat (4) Perkppu 3/2019 [7] Pasal 3 ayat (1) Perkppu 3/2019 [8] Pasal 7 Perkppu 3/2019 [9] Pasal 9 Perkppu 3/2019 [10] Pasal 13 ayat (1) Perkppu 3/2019 [11] Pasal 13 ayat (2) Perkppu 3/2019 [12] Pasal 13 ayat (3) Perkppu 3/2019 [13] Pasal 14 ayat (3) dan Pasal 15 Perkppu 3/2019 [14] Pasal 18 Perkppu 3/2019 [15] Pasal 19 ayat (1), (2), (3) Perkppu 3/2019 pt persaingan usaha uu cipta kerja monopoli merger persaingan usaha tidak sehat kppu uu pt akuisisi"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah perjanjian internasional yang sudah diratifikasi dapat diuji di Mahkamah Konstitusi jika dalam pelaksanaannya ditemukan bahwa perjanjian tersebut bertentangan dengan UUD 1945?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Ratifikasi Perjanjian Internasional Ratifikasi adalah salah satu cara pengesahan, yaitu perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian Internasional. [1] Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah hanya dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut dan dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden . [2] Pasal 10 UU 24/2000 menerangkan bahwa pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan : masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; kedaulatan atau hak berdaulat negara; hak asasi manusia dan lingkungan hidup; pembentukan kaidah hukum baru; pinjaman dan/atau hibah luar negeri. Ketentuan pasal di atas telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XVI/2018 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ditafsirkan bahwa hanya jenis-jenis perjanjian internasional sebagaimana disebutkan pada Pasal 10 huruf a sampai dengan huruf f UU 24/2000 itulah yang mempersyaratkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, sehingga hanya jenis-jenis perjanjian tersebut yang pengesahannya dilakukan dengan undang-undang (hal. 266). Maka, perjanjian internasional selain dari jenis perjanjian internasional yang diterangkan dalam Pasal 10 UU 24/2000 pun dapat disahkan melalui undang-undang. Wewenang Mahkamah Konstitusi (MK) Menguji Undang-Undang Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menguraikan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: menguji undang-undang terhadap UUD 1945 ; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai politik ; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Pada dasarnya, MK berwenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945, namun apakah termasuk pula undang-undang ratifikasi perjanjian internasional? Dalam artikel MK Tak Berwenang Uji UU Hasil Ratifikasi Perjanjian Internasional yang kami akses dari laman Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM, MK tidak berwenang menguji hukum internasional yang disahkan menjadi undang-undang , meski salah satu wewenang MK menguji hukum di bawah UUD 1945. Hal tersebut disampaikan pakar hukum tata negara Universitas Gajah Mada, Fajrul Falaakh . Contoh Pengujian Undang-Undang Pengesahan Jika kita menyimak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011 , MK menilai bahwa MK berwenang untuk mengadili permohonan uji Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of the Association of Southeast Asian Nations (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) (“UU 38/2008”) , yang merupakan undang-undang pengesahan Charter of ASEAN , sebuah perjanjian internasional (hal. 181 & 194). Dalam amar putusannya, MK menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya (hal. 197). Yang patut diperhatikan adalah dissenting opinion dari Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva dan Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati . Menurut Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, memang benar secara formil, pengesahan tersebut berbentuk undang-undang, namun secara materiil, bukan . Undang-undang demikian hanya salah satu bentuk atau model pengikatan diri Indonesia dalam suatu perjanjian internasional (hal. 200). Terdapat perbedaan mendasar antara undang-undang secara umum dengan undang-undang pengesahan (hal. 201): Tidak seperti undang-undang pada umumnya yang terbuka untuk dibahas dan direvisi, rancangan undang-undang ratifikasi hanya mengadopsi norma yang telah disepakati dalam sebuah perjanjian internasional yang tidak ada peluang untuk direvisi , kecuali perjanjian internasional itu sendiri memberi kemungkinan untuk itu; Materi muatan undang-undang pada umumnya langsung berlaku bagi setiap orang yang ada di Indonesia, sedangkan perjanjian internasional hanya mengikat negara yang membuat atau negara pihak perjanjian internasional; Pelaksanaan dari hak dan kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian internasional tidak serta merta berlaku bagi setiap warga negara sebagaimana halnya ketentuan undang-undang pada umumnya , tetapi harus diimplementasikan lebih lanjut dalam undang-undang atau bentuk kebijakan lainya. Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva pada akhirnya menegaskan bahwa UU 38/2008 tidak dapat dijadikan objek pengujian undang-undang yang menjadi wewenang MK (hal. 202). Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati kemudian mengutarakan dalam dissenting opinion bahwa secara perundang-undangan, undang-undang pengesahan letaknya berbeda dengan undang-undang pada umumnya (hal. 202). Hal ini dikarenakan, secara format atau bentuk luar keduanya mempunyai perbedaan yang sangat mendasar terutama dalam pembahasan dan penulisan batang tubuh. Undang-undang pada umumnya memiliki banyak norma yang dapat dikelompokkan. Sementara, dalam undang-undang pengesahan, hanya terdapat dua pasal, pasal pertama mengenai pengesahan dan pasal kedua mengenai saat mulai berlakunya undang-undang (hal. 203). Dalam pembentukan undang-undang pun terdapat pembahasan menyeluruh terhadap rancangan undang-undang, sementara dalam undang-undang pengesahan, Dewan Perwakilan Rakyat dan presiden fokus pada pengesahannya, karena tidak dapat mengubah substansi (hal. 203). Selain itu, norma undang-undang pun substansinya secara langsung ditujukan kepada setiap orang, sementara undang-undang pengesahan, substansinya ditujukan kepada pihak yang membuatnya saja (hal. 204). Secara normatif, berdasarkan UUD 1945, MK memang berwenang menguji undang-undang pengesahan perjanjian internasional, akan tetapi jika permohonan pengujian tersebut terhadap substansi dalam undang-undang pengesahan perjanjian internasional, hal tersebut tak mungkin dapat terjadi , karena tidak terdapat materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut yang dapat dipertentangan dengan UUD 1945 (hal. 204) Kesimpulan Secara normatif, UUD 1945 memang memberikan kewenangan terhadap MK untuk menguji undang-undang, sehingga pengesahan perjanjian internasional dalam bentuk undang-undang pun menjadi cakupan kewenangan itu. Namun, sebagaimana diterangkan oleh para hakim konstitusi dalam dissenting opinion mereka, status ‘undang-undang’ dari undang-undang pengesahan hanyalah secara formil, sementara secara materiil, undang-undang pengesahan tidak bisa disamakan dengan undang-undang pada umumnya, sehingga MK tidak dapat menguji undang-undang pengesahan perjanjian internasional. Nurhidayatuloh dalam Jurnal Konstitusi berjudul Dilema Pengujian Undang-Undang Ratifikasi oleh Mahkamah Konstitusi dalam Konteks Ketatanegaraan RI , menyimpulkan bahwa secara hukum, undang-undang pengesahan, karena berbentuk undang-undang, juga tunduk pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan perubahannya (hal. 132). Konsekuensinya, undang-undang pengesahan juga tunduk pada hierarki peraturan perundang-undangan bahwa bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (hal. 132). Namun, meski MK dapat melakukan judicial review terhadap suatu undang-undang ratifikasi bukan berarti secara otomatis hal ini juga mengubah perjanjian internasionalnya. MK hanya mengubah pemberlakuan perjanjian internasional tersebut khusus di Indonesia, sedangkan statuta asli perjanjian internasional tersebut masih tetap sama (hal 132). Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of the Association of Southeast Asian Nations (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Putusan : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011 ; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XVI/2018 . Referensi : MK Tak Berwenang Uji UU Hasil Ratifikasi Perjanjian Internasional , diakses pada 30 Juli 2020, pukul 16.48 WIB; Nurhidayatuloh. Dilema Pengujian Undang-Undang Ratifikasi oleh Mahkamah Konstitusi dalam Konteks Ketatanegaraan RI . Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 1, Maret 2012. [1] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (“UU 24/2000”) [2] Pasal 9 UU 24/2000 ketua mk hukumonline uji materiil mahkamah konstitusi perjanjian internasional ratifikasi hukum klinik klinik hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah mobil berplat merah milik pemerintah dikecualikan dari aturan genjil genap? Kenapa tetap bebas melintas dan dibiarkan oleh polisi? Apakah karena punya pemerintah? Bukannya itu tetap memadati jalanan?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Aturan Pelarangan Sepeda Motor di Jalan Tertentu 12 Jul 2018 Keabsahan Pengalihan Status Rumah Negara Golongan II Menjadi Golongan III 11 Jul 2017 Aturan yang Melarang Anggota Polri Berbisnis 20 Apr 2017 Upaya Hukum Atas Penjatuhan Hukuman Disiplin PNS 10 Mar 2017 Intisari: Aturan mengenai sistem ganjil genap yang berlaku di DKI Jakarta merujuk pada Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 164 Tahun 2016 tentang Pembatasan Lalu Lintas dengan Sistem Ganjil-Genap . Gubernur DKI Jakarta menetapkan ruas jalan sebagai kawasan pembatasan lalu lintas dengan sistem ganjil-genap yang terdiri atas: a. Jalan Medan Merdeka Barat; b. Jalan M.H. Thamrin; c. Jalan Jenderal Sudirman; d. Jalan Sisingamangaraja; dan e. Sebagian Jalan Jenderal Gatot Subroto antara persimpangan Jalan Gatot Subroto mulai dari Gerbang Pemuda sampai dengan persimpangan Jalan H.R. Rasuna Said pada jalur jalan umum Kendaraan bermotor roda empat dengan nomor plat ganjil dilarang melintasi ruas jalan tersebut pada tanggal genap dan sebaliknya. Kendaraan dinas berplat dinas pemerintah atau yang sering dikenal dengan kendaraan dinas plat merah termasuk kendaraan yang dikecualikan dari pembatasan lalu lintas dengan sistem ganjil-genap pada kawasan jalan tertentu yang sudah ditetapkan. Mengapa kendaraan dinas berplat dinas dikecualikan dari sistem ganjil-genap ini? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Kami asumsikan bahwa kendaraan berplat merah yang Anda maksud merupakan kendaraan dinas berplat dinas yang digunakan pejabat pemerintah dalam melaksanakan tugasnya. Aturan mengenai lalu lintas dengan sistem ganjil-genap terdapat dalam Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 164 Tahun 2016 tentang Pembatasan Lalu Lintas dengan Sistem Ganjil-Genap (“Pergub DKI Jakarta 164/2016”) . Gubernur DKI Jakarta menetapkan ruas jalan sebagai kawasan pembatasan lalu lintas dengan sistem ganjil-genap. [1] Ruas jalan yang ditetapkan sebagai kawasan pembatasan lalu lintas dengan sistem ganjil-genap terdiri atas: [2] a. Jalan Medan Merdeka Barat; b. Jalan M.H. Thamrin; c. Jalan Jenderal Sudirman; d. Jalan Sisingamangaraja; dan e. Sebagian Jalan Jenderal Gatot Subroto antara persimpangan Jalan Gatot Subroto mulai dari Gerbang Pemuda sampai dengan persimpangan Jalan H.R. Rasuna Said pada jalur jalan umum. Setiap pengendara kendaraan bermotor beroda 4 (empat) dengan nomor plat ganjil dilarang melintasi ruas jalan tersebut pada tanggal genap . Setiap pengendara kendaraan bermotor beroda 4 (empat) dengan nomor plat genap dilarang melintasi ruas jalan tersebut di atas pada tanggal ganjil . Nomor plat ganjil dan genap dilihat dari angka terakhir dari nomor plat kendaraan bermotor roda empat. [3] Pembatasan lalu lintas dengan sistem ganjil-genap diberlakukan pada hari Senin sampai dengan hari Jumat mulai pukul 07.00-10.00 dan pukul 16.00-20.00. Pembatasan lalu lintas dengan sistem ganjil-genap tidak diberlakukan pada hari Sabtu, Minggu dan hari libur nasional yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. [4] Kendaraan yang Dikecualikan dari Pembatasan Lalu Lintas dengan Sistem Ganjil-Genap Pembatasan lalu lintas dengan sistem ganjil-genap, tidak diberlakukan antara lain pada: [5] a. kendaraan Pimpinan Lembaga Negara Republik Indonesia yakni: 1. Presiden/Wakil Presiden; 2. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat/Dewan Permusyawaratan Rakyat/Dewan Perwakilan Daerah; dan 3. Ketua Mahkamah Agung/Mahkamah Konstitusi/Komisi Yudisial. b. kendaraan Pimpinan dan Pejabat Negara Asing serta Lembaga Internasional; c. kendaraan dinas berplat dinas; d. kendaraan pemadam kebakaran; e. kendaraan ambulans; f. kendaraan angkutan umum dengan plat berwarna kuning; g. angkutan barang; h. sepeda motor; dan i. kendaraan untuk kepentingan tertentu. Dalam hal pada kawasan pembatasan lalu lintas dengan sistem ganjil-genap diberlakukan ketentuan mengenai waktu larangan bagi mobil/angkutan barang pada ruas jalan tertentu, maka mobil/angkutan barang dilarang melintas pada kawasan berdasarkan ketentuan mengenai waktu larangan bagi mobil/angkutan barang pada ruas jalan tertentu. [6] Kemudian apabila pada kawasan pembatasan lalu lintas dengan sistem ganjil-genap diberlakukan ketentuan mengenai pembatasan lalu lintas sepeda motor, maka sepeda motor dilarang melintas pada kawasan berdasarkan ketentuan pembatasan lalu lintas sepeda motor. [7] Kendaraan untuk kepentingan tertentu merupakan kendaraan yang menurut pertimbangan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat melintasi kawasan pembatasan lalu lintas sistem ganjil-genap antara lain kendaraan pengangkut uang antar bank seperti: [8] a. kendaraan Bank Indonesia; b. kendaraan bank lainnya; dan c. kendaraan untuk pengisian Anjungan Tunai Mandiri (ATM), dengan pengawasan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Jadi berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kendaraan dinas berplat dinas pemerintah atau yang sering dikenal dengan kendaraan dinas plat merah termasuk pengecualian bagi pembatasan lalu lintas dengan sistem ganjil-genap pada kawasan jalan tertentu yang sudah ditetapkan. Hal senada juga sampaikan dalam artikel Kendaraan-Kendaraan Ini Tidak Terkena Peraturan Ganjil Genap sebagaimana yang kami akses dari laman media Kompas.com , ada sejumlah kendaraan yang tidak terkena peraturan pengendalian jumlah kendaraan dengan penerapan pelat ganjil genap. Dinas Perhubungan dan Transportasi DKI Jakarta menyatakan kendaraan itu adalah mobil dinas Presiden RI, Wakil Presiden RI, pejabat lembaga tinggi negara dengan pelat RI beserta kendaraan pengawalnya. Selain itu, kendaraan dinas instansi pemerintah, mobil pemadam kebakaran, mobil ambulans, mobil angkutan umum (pelat kuning), angkutan barang dan sepeda motor. Mengapa kendaraan dinas berplat dinas dikecualikan dari system ganjil-genap ini? Kendaraan dinas menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.06/2015 Tahun 2015 tentang Standar Barang dan Standar Kebutuhan Barang Milik Negara Berupa Alat Angkutan Darat Bermotor Dinas Operasional Jabatan di Dalam Negeri (“PMK 76/2015”) disebut dengan istilah Alat Angkutan Darat Bermotor Dinas Operasional Jabatan di Dalam Negeri, yaitu kendaraan bermotor yang digunakan oleh pejabat pemerintah dalam rangka menunjang pelaksanaan tugas dan fungsinya . [9] Sepanjang penelusuran kami tidak terdapat alasan yang jelas mengapa kendaraan dinas ini dikecualikan dari aturan pembatasan lalu-lintas sistem ganjil-genap. Tetapi, menurut hemat kami, karena kendaraan dinas ini digunakan oleh pejabat pemerintah dalam rangka menunjang pelaksanaan tugas dan fungsinya, maka kendaraan dinas ini dikecualikan guna kelancaran tugas dan fungsi pemerintahan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 164 Tahun 2016 tentang Pembatasan Lalu Lintas dengan Sistem Ganjil-Genap ; 2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.06/2015 Tahun 2015 tentang Standar Barang dan Standar Kebutuhan Barang Milik Negara Berupa Alat Angkutan Darat Bermotor Dinas Operasional Jabatan di Dalam Negeri . REFERENSI:\n1. Kendaraan-Kendaraan Ini Tidak Terkena Peraturan Ganjil Genap diakses pada Selasa, 10 Oktober 2017, pukul 13.49 WIB. [1] Pasal 1 ayat (1) Pergub DKI Jakarta 164/2016 [2] Pasal 1 ayat (2) Pergub DKI Jakarta 164/2016 [3] Pasal 2 Pergub DKI Jakarta 164/2016 [4] Pasal 3 Pergub DKI Jakarta 164/2016 [5] Pasal 4 ayat (1) Pergub DKI Jakarta 164/2016 [6] Pasal 4 ayat (2) Pergub DKI Jakarta 164/2016 [7] Pasal 4 ayat (3) Pergub DKI Jakarta 164/2016 [8] Pasal 4 ayat (4) Pergub DKI Jakarta 164/2016 [9] Pasal 1 angka 6 PMK 76/2015 mobil dinas hukumonline lembaga pemerintah google kendaraan dinas pegawai negeri sipil hukum klinik pemerintah pns lalu lintas klinik hukumonline pejabat negara"
} |
{
"from": "human",
"value": "Sebagaimana kita ketahui, satu-satunya penyedia jasa kereta api adalah PT. KAI. Hampir tidak mungkin ada perusahaan lain yang bisa masuk ke bisnis ini karena adanya monopoli ini. Apakah hal ini menyalahi ketentuan persaingan usaha di Indonesia?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Satu-satunya perusahaan yang menyediakan jasa kereta api di Indonesia adalah PT. Kereta Api Indonesia (Persero) (“PT. KAI”). Sebelum menyebut bahwa PT. KAI adalah perusahaan monopolis di pasar yang bersangkutan, mari kita perhatikan terlebih dahulu karakteristik pasar monopoli.\n\n.css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITIsu Persaingan Usaha Tidak Sehat Notaris di Bank21 Feb 2022Yang Harus Diperhatikan dalam Menentukan Harga untuk Reseller04 Feb 2022Hukumnya Jika Terjadi Pembatalan Keberangkatan Kereta Api08 Sep 2021Dasar Hukum, Tugas, Fungsi, dan Peran Polisi Khusus Kereta Api (Polsuska)30 Okt 2015\n\nPasar monopoli mempunyai mempunyai beberapa karakteristik khusus, yaitu hanya terdapat satu penjual saja dalam pasar yang bersangkutan, tidak memiliki barang substitusi (barang pengganti yang mirip), dan tidak terdapat kemungkinan untuk masuk kedalam pasar. Sampai di sini, PT. KAI memang berada pada struktur pasar monopoli berdasarkan karakteristik tersebut.\n\nUU 5/1999 mengatur secara khusus tentang monopoli dalam Pasal 17. Adapun bunyi Pasal 17 UU 5/1999 adalah sebagai berikut:\n\nPelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; ataumengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atausatu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.\nHarus dipahami bahwa Pasal 17 UU 5/1999 tersebut tidak melarang adanya struktur pasar monopoli, yang dilarang adalah praktek-praktek monopoli. Artinya adalah, jika di sebuah struktur pasar memang hanya ada satu penjual saja di situ, tidak serta merta satu-satunya penjual dalam struktur pasar monopoli tersebut bersalah.\n\nStruktur pasar monopoli memang bisa saja terbentuk dari alasan-alasan yang alamiah, misalnya saja satu pelaku usaha tersebut adalah merupakan satu-satunya pemilik sumber utama (resources), adanya efisiensi perusahaan, tidak ada pelaku usaha lain yang memproduksi barang/jasa yang sama dengan si monopolis.\nSelain itu, struktur pasar monopoli dapat terbentuk karena amanah undang-undang, misalnya saja adanya pemberian hak dari pemerintah kepada satu pelaku usaha untuk menyediakan suatu produk barang/jasa, atau bisa juga apabila berhubungan dengan hak monopoli yang terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual.\n\nMerujuk pada Pasal 51 UU 5/1999 yang menyebutkan bahwa:\n\nMonopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan Undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.\nPT. KAI adalah salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sehingga monopoli yang dilakukan PT. KAI telah dikecualikan sesuai ketentuan dalam Pasal 51 UU 5/1999 di atas.\nApakah Monopoli PT KAI Melanggar Hukum?\n\nKetiadaan pelaku usaha lain yang masuk ke pasar yang sama dengan PT. KAI bisa jadi karena secara alamiah belum ada pelaku usaha lain yang mampu menyediakan produk barang/jasa seperti PT. KAI. Dengan kata lain, PT. KAI tidak melanggar UU 5/1999 hanya karena menjadi satu-satunya pelaku usaha sebagai penyedia layanan kereta api di Indonesia.\n\nBaru dapat dikatakan seorang pelaku usaha monopolis melanggar pasal 17 UU 5/1999 apabila pelaku usaha tersebut terbukti melakukan praktek monopoli, misalnya saja menghambat pelaku usaha lain untuk dapat masuk ke pasar yang bersangkutan (vide Pasal 17 ayat (2) huruf b UU 5/ 1999).\n\nSebagai contoh bentuk hambatan yang dapat dilakukan oleh pelaku usaha pemegang posisi monopoli di sebuah pasar yang bersangkutan adalah dengan cara menguasai fasilitas penting yang diperlukan oleh pelaku usaha lain untuk melakukan kegiatan usahanya. Beberapa BUMN pernah mendapatkan sanksi dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terkait dengan perilaku anti persaingan yang demikian ini. Misalnya saja, PT. Telekomunikasi Indonesia yang menguasai jaringan wartel dan tidak bersedia memberikan akses kepada penyedia layanan sambungan telepon ke luar negeri[1] dan PT. Pelindo yang melakukan penguasaan atas kegiatan bongkar muat di dermaga.[2]\n\nJika PT. KAI terbukti melakukan praktek monopoli dengan membuat adanya hambatan masuk bagi pelaku usaha lain, misalnya saja dengan melakukan diskriminasi pemberian akses bagi pelaku usaha tertentu untuk menggunakan fasilitas penting yang hanya dimiliki oleh PT. KAI, tentunya PT. KAI tetap dapat diberikan sanksi atas pelanggaran Pasal 17 UU 5/ 1999 (dapat juga di juncto-kan dengan Pasal 19 UU 5/1999).\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat](Data Kepolisian /pusatdata/detail/104/undangundang-nomor-5-tahun-1999/)\n2. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5fa0c347b9d4e/undang-undang-nomor-11-tahun-2020/)\nREFERENSI:\n1. Buku Penjelasan Katalog Putusan KPPU Periode 2000 -2009, diakses pada 07 Maret 2022, pukul 17.00 WIB\n2. Terkait Jasa Bongkar Muat, KPPU hukum Pelindo II, diakses pada 07 Maret 2022, pukul 16.56 WIB.\n\n[1]Buku Penjelasan Katalog Putusan KPPU Periode 2000 -2009, hal. 19, diakses pada 07 Maret 2022, pukul 17.00 WIB\n\n[2]Terkait Jasa Bongkar Muat, KPPU hukum Pelindo II, diakses pada 07 Maret 2022, pukul 16.56 WIB"
} |
{
"from": "human",
"value": "Bung Pokrol Yth: saya ingin menanyakan apakah MoU (nota kesepahaman) yang akan ditandatangani perlu diberikan meterai? Mengingat MoU pada dasarnya tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat seperti pada halnya perjanjianTerima kasih atas jawabannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Pertama kami akan menjelaskan apa itu Memorandum of Understanding (“ MoU ”) atau nota kesepahaman. Sebagaimana pernah dijelaskan oleh Bimo Prasetio, S.H. & Asharyanto, S.H.I. dalam artikel Perbedaan antara Perjanjian dan MoU , nota kesepahaman atau juga biasa disebut dengan MoU atau pra-kontrak, pada dasarnya tidak dikenal dalam hukum konvensional di Indonesia. Akan tetapi dalam praktiknya, khususnya bidang komersial, MoU sering digunakan oleh pihak yang berkaitan. MoU merupakan suatu perbuatan hukum dari salah satu pihak (subjek hukum) untuk menyatakan maksudnya kepada pihak lainnya akan sesuatu yang ditawarkannya ataupun yang dimilikinya. Dengan kata lain, MoU pada dasarnya merupakan perjanjian pendahuluan, yang mengatur dan memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mengadakan studi kelayakan terlebih dahulu sebelum membuat perjanjian yang lebih terperinci dan mengikat para pihak pada nantinya. KLINIK TERKAIT Bagaimana Pembuatan Kontrak yang Benar Secara Hukum? 09 Nov 2023 Perbedaan MoU dan Perjanjian atau Kontrak 13 Okt 2023 Perpanjangan Perjanjian, Perlukah Meterai Lagi? 15 Mar 2023 Ini 4 Syarat Sah Perjanjian dan Akibatnya Jika Tak Dipenuhi 11 Jul 2022 Mengutip dari Jawaban Biro Riset Legislative (Legislative Research Bureau's) bahwa MoU didefinisikan dalam Black’s Law Dictionary sebagai bentuk Letter of Intent . Adapun Letter of Intent didefinisikan: “A written statement detailing the preliminary understanding of parties who plan to enter into a contract or some other agreement; a noncommittal writing preliminary to acontract. A letter of intent is not meant to be binding and does not hinder the parties from bargaining with a third party. Business people typically mean not to be bound by a letter of intent, and courts ordinarily do not enforce one, but courts occasionally find that a commitment has been made...” Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Dengan terjemahan bebasnya: “Suatu pernyataan tertulis yang menjabarkan pemahaman awal pihak yang berencana untuk masuk ke dalam kontrak atau perjanjian lainnya, suatu tulisan tanpa komitmen/tidak menjanjikan suatu apapun sebagai awal untuk kesepakatan. Suatu Letter of Intent tidak dimaksudkan untuk mengikat dan tidak menghalangi pihak dari tawar-menawar dengan pihak ketiga. Pebisnis biasanya berarti tidak terikat dengan Letter of Intent, dan pengadilan biasanya tidak menerapkan salah satu, tapi pengadilan kadang-kadang menemukan bahwa komitmen telah dibuat/disepakati...” Memang MoU tidak mengikat para pihak layaknya perjanjian. MoU justru dibuat untuk menghindari kesulitan dalam pembatalan. Akan tetapi, perlu atau tidaknya suatu dokumen menggunakan meterai bukan terletak pada kekuatan dokumen tersebut mengikat atau tidak. Tetapi bergantung pada apakah dokumen tersebut akan digunakan sebagai alat bukti di persidangan atau tidak. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf a Undang-Undang No.13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai , surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata merupakan salah satu dokumen yang dikenakan bea meterai. Jadi pada dasarnya ketentuan mengenai meterai tidak mensyaratkan bahwa suatu dokumen harus mempunyai kekuatan hukum mengikat baru memerlukan meterai, tetapi suatu dokumen perlu dibubuhi meterai jika akan digunakan sebagai alat bukti. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai . meterai materai hukum mou perjanjian kontrak klinik hukumonline hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Kami minggu lalu mengalami kecelakaan, mobil kami ditabrak oleh truk yang alasannya rem blong dan kami mendapatkan ganti rugi berupa dana dari pihak si penabrak untuk perbaikan. Namun karena tidak sebanding dengan kerusakan yang kami derita dan mobil kami pun ada asuransinya maka kami klaim biaya perbaikan tersebut ke asuransi yang bersangkutan. Kemudian kami mendapatkan arahan dari pihak asuransi bahwa dana yang kami terima dari si penabrak akan diikutkan sebagai faktor pengurang untuk perbaikan bengkel karena pihak asuransi tidak mau membayar 2 kali atas kejadian tersebut. Mohon masukannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Mengenai faktor pengurang dari perusahaan asuransi, pada dasarnya UU Asuransi dan peraturan terkait tidak mengatur secara khusus mengenai adanya faktor pengurang. Namun, menegaskan tentang kewajiban perusahaan asuransi untuk membayar klaim dan menangani klaim dan keluhan melalui proses yang cepat, sederhana, mudah diakses dan adil. Serta melarang perusahaan asuransi untuk melakukan tindakan yang dapat memperlambat penyelesaian atau pembayaran klaim, atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan sehingga mengakibatkan kelambatan penyelesaian atau pembayaran klaim. Adapun mengenai faktor pengurang sebagaimana Saudara tanyakan, pada kebiasaannya diatur di dalam Perjanjian Asuransi, untuk itu kami menyarankan kepada Saudara agar membaca kembali perjanjian asuransi antara Saudara dan perusahaan asuransi tersebut. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan yang Saudara ajukan kepada kami . KLINIK TERKAIT Jerat Pasal Pelaku Tabrak Lari dan Seret Motor 23 Okt 2023 Bolehkah Meminta Ganti Rugi di Luar Biaya Kerusakan Mobil Karena Kecelakaan? 03 Jun 2015 Tanggung Jawab Tetangga yang Meminjam Sepeda Motor Hingga Rusak 21 Jan 2015 Korban Tak Melapor, Bagaimana Kelanjutan Kasus Laka Lantas? 22 Mei 2014 Pertama-tama kami akan menjelaskan terlebih dahulu defenisi asuransi, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (“UU Asuransi”) yang berbunyi: 1. Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas a. memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak past i; atau b. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana. Berdasarkan penjelasan di atas, kami asumsikan bahwa antara Saudara sebagai Pemegang Polis dan Perusahaan Asuransi telah terikat dalam suatu perjanjian sehingga berdasarkan perjanjian tersebut telah menimbulkan hak dan kewajiban antara Pemegang Polis dan Perusahaan Asuransi. Lebih lanjut, terkait dengan pertanyaan Saudara mengenai faktor pengurang dari perusahaan asuransi, pada dasarnya UU Asuransi dan peraturan terkait tidak mengatur secara khusus mengenai adanya faktor pengurang. Namun, menegaskan tentang kewajiban perusahaan asuransi untuk membayar klaim dan menangani klaim dan keluhan melalui proses yang cepat, sederhana, mudah diakses dan adil. [1] Serta melarang perusahaan asuransi untuk melakukan tindakan yang dapat memperlambat penyelesaian atau pembayaran klaim, atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan sehingga mengakibatkan kelambatan penyelesaian atau pembayaran klaim. [2] Adapun mengenai faktor pengurang sebagaimana Saudara tanyakan, pada kebiasaannya diatur di dalam Perjanjian Asuransi, untuk itu kami menyarankan kepada Saudara agar membaca kembali perjanjian asuransi antara Saudara dan perusahaan asuransi tersebut. Demikian kami sampaikan, semoga membantu. Terima kasih . Dasar Hukum: Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian . [1] Pasal 31 ayat (3) UU Asuransi [2] Pasal 31 ayat (4) UU Asuransi ganti rugi"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah seorang terpidana yang seharusnya berada dalam LAPAS boleh ditempatkan di rumah tahanan?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebelum menjawab pertanyaan yang Anda sampaikan , terlebih dahulu kami akan menjelaskan secara singkat mengenai Lembaga Pemasyarakaratan ( “ LAPAS ” ) dan Rumah Tahanan Negara ( “ RUTAN ” ). Pengertian RUTAN dapat kita temui di dalam Pasal 1 angka 2 PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana , disebutkan bahwa : KLINIK TERKAIT Perbedaan Rutan dan Lapas dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia 26 Mei 2023 Tentang Hak Pistole 23 Okt 2012 Bolehkah Narapidana Melakukan Hubungan Suami-Istri di Dalam Lapas? 05 Okt 2012 Apakah Biaya Selama Penahanan Ditanggung Pihak Keluarga? 18 Jun 2012 “ Rumah Tahanan Negara selanjutnya disebut RUTAN adalah tempat tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang Pengadilan ”. Sementara , mengenai pengertian LAPAS diatur pada Pasal 1 angka 3 UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang berbunyi: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas “ Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan ”. RUTAN merupakan tempat menahan tersangka atau terdakwa untuk sementara waktu sebelum keluarnya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Sementara , LAPAS merupakan tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan . Berdasarkan penjelasan singkat di atas, seorang narapidana harus ditempatkan di dalam LAPAS untuk mendapatkan pembinaan, tetapi pada kenyataannya karena keterbatasan kapasitas RUTAN di Indonesia membuat fungsi LAPAS berubah menjadi RUTAN . Beberapa LAPAS yang seharusnya menjadi tempat membina narapidana tersebut digunakan untuk menahan tersangka atau terdakwa. Perubahan fungsi ini didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.04.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Penetapan Lembaga Pemasyarakatan Tertentu sebagai Rumah Tahanan Negara . Pada Lampiran Surat Keputusan Menteri Kehakiman tersebut terdapat daftar LAPAS yang juga dapat menjadi RUTAN. Berkaitan dengan pertanyaan “ seorang terpidana yang seharusnya berada dalam LAPAS boleh ditempatkan di rumah tahanan ”, p ada Pasal 2 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No . : M.01-PK.02.01 Tahun 1991 t entang P emindahan Narapidana Anak Didik dan Tahanan disebutkan : Pemindahan narapidana, anak didik dan tahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dapat dilakukan: a. Di dalam suatu wilayah hukum Kantor Wilayah Departemen Kehakiman, atau b. antar wilayah hukum Kantor Wilayah Departemen Kehakiman. Berdasarkan penjelasan p asal- p asal tersebut di atas , maka seorang Narapidana yang sudah berada di LAPAS tidak dapat dipindahkan ke RUTAN , karena sesuai dengan fungsinya LAPAS yaitu tempat untuk melakukan pembinaan narapidana . Kalaupun narapidana harus dipindahkan, maka narapidana tersebut hanya dapat dipindahkan ke LAPAS wilayah lain dan bukan ke RUTAN, sesuai dengan Pasal 2 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No . : M.01-PK.02.01 Tahun 1991 t entang P emindahan Narapidana Anak Didik dan Tahanan . F ungsi RUTAN bukanlah untuk membina narapidana , tetapi untuk menahan sementara seorang tersangka atau terdakwa. Demikian penjelasan dari kami semoga menjawab pertanyaan Anda. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan 2. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 3. Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.04.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Penetapan Lembaga Pemasyarakatan Tertentu sebagai Rumah Tahanan Negara"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah natura pekerja terpisah dari UMP? Karena yang saya alami bahwa natura pekerja merupakan bagian dari UMP. Saat ini UMP di tempat saya bekerja 1,5 juta per bulan tetapi dalam slip gaji tertulis gaji pokok Rp1.380.000, natura pekerja Rp 120.000. Apakah aturan dan undang-undangnya seperti ini? Mohon penjelasannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Pekerja di Lokasi Wisata yang Sepi Pengunjung Juga Berhak Upah Minimum? 25 Jul 2024 Apakah Law Firm Tunduk pada Hukum Ketenagakerjaan? 06 Mar 2024 Bolehkah Upah Pokok di Bawah Upah Minimum? 27 Jan 2023 Apakah Besarnya Take Home Pay Setara Upah Minimum? 15 Mar 2021 Artikel ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Rabu, 11 Februari 2015. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Berdasarkan penelusuran kami, istilah upah atau pendapatan pekerja dalam bentuk natura tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) maupun peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur soal ketenagakerjaan. Akan tetapi, penjelasan mengenai natura dapat kita temui pada Penjelasan Pasal 111 angka 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (“UU PPh”) yang berbunyi: Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima bukan dalam bentuk uang . Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura seperti beras, gula, dan sebagainya , dan imbalan dalam bentuk kenikmatan, seperti penggunaan mobil, rumah, dan fasilitas pengobatan bukan merupakan objek pajak . Di sisi lain, disebutkan pula pada Penjelasan Pasal 11 angka 2 UU Cipta Kerja yang mengubah Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf a UU PPh : Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti upah, gaji, premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya adalah Objek Pajak. Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura yang pada hakikatnya merupakan penghasilan . Adapun arti natura dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah barang yang sebenarnya, bukan dalam bentuk uang (tentang pembayaran) . Oleh karena itu, kami menyimpulkan bahwa natura senilai Rp120 ribu yang diberikan kepada Anda selaku pekerja adalah dalam wujud berupa barang. Untuk menjawab pertanyaan Anda, perlu dipahami definisi upah dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (“PP Pengupahan”) yang berbunyi: Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan . Dari definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa natura bukan merupakan upah , karena tidak berbentuk uang, melainkan barang. Kemudian juga ditegaskan kembali, pembayaran upah harus dilakukan dengan mata uang rupiah Negara Republik Indonesia dan dilakukan pada tempat yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. [1] Selanjutnya, perlu Anda ketahui upah minimum provinsi (“UMP”) merupakan salah satu jenis upah minimum yang ditetapkan Gubernur berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan. [2] Upah minimum sendiri adalah upah bulanan terendah berupa upah tanpa tunjangan atau upah pokok termasuk tunjangan tetap yang ditetapkan oleh gubernur sebagai jaring pengaman. [3] Komponen upah minimum terdiri dari: [4] Upah tanpa tunjangan; atau Upah pokok termasuk tunjangan tetap. Sedangkan mengenai pembayaran tunjangan juga merujuk pada pembayaran dalam bentuk uang, dengan pengertian dari tunjangan tetap sebagai berikut: [5] Pembayaran kepada Pekerja/Buruh yang dilakukan secara teratur dan tidak dikaitkan dengan kehadiran Pekerja/Buruh atau pencapaian prestasi kerja tertentu . Jadi, natura tidak termasuk komponen upah minimum. Dengan demikian, jika UMP di tempat domisili Anda adalah Rp1,5 juta, maka keseluruhannya harus dibayarkan dalam bentuk uang , dan bukan barang. Baca juga: Jika Upah Pokok di Bawah Upah Minimum Meski demikian, pekerja juga bisa menerima imbalan dalam bentuk lain di luar definisi upah atau dalam hal ini natura sebagaimana disebutkan Pasal 1 angka 3 jo . Pasal 6 UU Ketenagakerjaan : Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan : Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain . Pasal 6 UU Ketenagakerjaan : Perusahaan adalah: setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain ; usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain . Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 15 Tahun 2018 tentang Upah Minimum REFERENSI:\n1. Kamus Besar Bahasa Indonesia , diakses pada 14 Januari 2021, pukul 09.32 WIB. [1] Pasal 21 ayat (1) dan (2) PP Pengupahan [2] Pasal 81 angka 25 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 88C ayat (1) dan (3) UU Ketenagakerjaan [3] Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 15 Tahun 2018 tentang Upah Minimum [4] Pasal 41 ayat (2) PP Pengupahan [5] Penjelasan Pasal 5 ayat (2) PP Pengupahan hukumonline barang ketenagakerjaan tunjangan pekerja umk ump klinik hukumonline buruh benda pengusaha tenaga kerja gaji hukum perusahaan upah klinik upah minimum"
} |
{
"from": "human",
"value": "Bisakah dalam sebuah perkawinan siri, sang istri mengajukan gugatan cerai terhadap suami? Mohon informasikan cara gugat cerai suami nikah siri ini. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul Perceraian Kawin Siri yang dibuat oleh Aisyah Rj Siregar dan pertama kali dipublikasikan pada Rabu, 28 Oktober 2009 kemudian dimutakhirkan pertama kali pada Jumat, 9 Desember 2022. KLINIK TERKAIT Hukumnya Jika Mertua atau Orang Tua Menyuruh Cerai 23 Feb 2023 Hak Asuh Anak Jika Cerai karena Pindah Agama 20 Feb 2023 Bisakah Istri Gugat Cerai Jika Suami Tinggal di Luar Negeri? 21 Okt 2022 Hukumnya Jika Istri Berbohong dan Mengaku Cerai Mati 13 Sep 2022 Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Sebelum menjawab pertanyaan Anda tentang cara gugat cerai nikah siri, kami informasikan bahwa perkawinan siri memang dapat dianggap sah secara agama, namun perkawinan siri tidak memiliki kekuatan hukum oleh karena perkawinan siri tersebut tidak dicatat secara negara. [1] Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Meskipun demikian, perkawinan siri yang telah dilangsungkan oleh pasangan suami istri khususnya yang beragama Islam, dapat dilakukan pengesahan atas perkawinan siri (isbat nikah) ke pengadilan agama. [2] Mengenai syarat diajukannya isbat nikah, dalam KHI diatur terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan: [3] Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian. Hilangnya akta nikah. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU Perkawinan . Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU Perkawinan. Sebagaimana yang diatur di atas, untuk dapat mengajukan gugat cerai nikah siri, pernikahan atau perkawinan siri yang telah dilangsungkan harus dilakukan pengesahan perkawinan (isbat nikah) ke pengadilan agama. [4] Kemudian timbul pertanyaan lebih lanjut, bisakah pengajuan isbat nikah digabungkan dengan perkara perceraian? Bisa. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Lampiran SEMA 7/2012 mengenai rumusan hasil rapat pleno kamar agama, yang pada prinsipnya menerangkan bahwa isbat nikah dalam rangka perceraian dapat dibenarkan, kecuali pernikahan yang akan diisbatkan tersebut melanggar undang-undang (hal. 5). Dalam praktiknya, jika dilihat dari perkara yang diperiksa oleh majelis hakim di beberapa pengadilan, terdapat perkara-perkara gugatan kumulasi ( samenvoeging van vordering ) yang menggabungkan gugatan perceraian dengan isbat nikah . Dengan demikian, gugatan perceraian diperbolehkan untuk diajukan bersamaan dengan mengajukan isbat nikah. Adapun pihak yang dapat mengajukan perceraian di pengadilan adalah kedua belah pihak, yaitu suami terhadap istrinya maupun istri terhadap suaminya, di mana gugatan diajukan di pengadilan tempat kediaman pihak yang digugat, [5] kecuali apabila gugatan itu diajukan oleh istri dan beragama Islam, maka gugatan perceraian diajukan di Pengadilan Agama wilayah tempat kediaman istri. [6] Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini . Demikian jawaban dari kami terkait cara gugat cerai nikah siri sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Herzien Inlandsch Reglement Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan [1] Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 6 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) [2] Pasal 7 ayat (2) KHI [3] Pasal 7 ayat (3) KHI [4] Pasal 7 ayat (2) KHI [5] Pasal 20 PP 9/1975 dan Pasal 118 ayat (1) Herzien Inlandsch Reglement [6] Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Pasal 132 ayat (1) KHI cerai cerai gugat kawin siri"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah nikah siri itu zina? Apakah seorang laki laki yang telah menikah sah baik secara hukum agama maupun hukum negara dengan seorang perempuan lalu kemudian menikah lagi secara siri dengan perempuan lain dapat dikenakan Pasal 284 KUHP? Apabila iya, adakah pendapat ahli yang menguatkan statement tersebut atau literatur yang berkata demikian?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebelum membahas apakah nikah siri itu zina, ada baiknya kita pahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan zina menurut hukum pidana di Indonesia, sebagaimana diatur dalam KUHP yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku terhitung 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[1] yaitu tahun 2026.\nKUHPUU 1/2023Pasal 284 ayat (1) KUHPDiancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya;b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya;a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan Pasal 27 BW berlaku baginya.Pasal 411 ayat (1) UU 1/2023Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta.[2] Penjelasan Pasal 411 ayat (1) UU 1/2023Yang dimaksud dengan bukan suami atau istrinya adalah:laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya;perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya;laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahuinya bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan;perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki, padahal diketahuinya bahwa laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan;laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan melakukan persetubuhan.\nLebih lanjut, Pasal 27 BW atau KUH Perdata sebagaimana disebutkan dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP menerangkan ketentuan berikut.\nPada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan 1 orang perempuan saja; dan seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja.\nDefinisi Zina dalam Pandangan Hukum\n\nPara ahli hukum memiliki penafsiran tentang zina. Menurut R. Sughandi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penjelasannya (hal. 302), zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan atas dasar suka sama suka yang belum terikat oleh perkawinan.\n\nKemudian, R. Soesilo dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 209) mendefinisikan zinah atau zina sebagai persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya.\n\nSelanjut, R. Soesilo juga berpendapat bahwa supaya seseorang dapat dijerat dengan pasal perzinahan, maka persetubuhan itu harus dilakukan dengan suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak.\nNikah Siri\n\nSebagaimana yang telah dijelaskan dalam artikel Potensi Jerat Pidana Walaupun Syarat Nikah Siri Sudah Terpenuhi, dalam hukum positif di Indonesia istilah nikah siri (perkawinan siri) tidaklah dikenal. Selain itu, tidak ada aturan yang mengatur perkawinan siri secara khusus. Istilah sirri sendiri berasal dari bahasa Arab, yakni “sirra, israr” yang berarti rahasia.\n\nNikah siri di dalam masyarakat sering diartikan dengan:\n\nPernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap sah pernikahan tanpa wali, atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat.Pernikahan yang sah secara agama. Dalam hal ini memenuhi ketentuan syarat dan rukun nikah, namun tidak dicatatkan pada kantor pegawai pencatat nikah, dalam hal ini yaitu Kantor Urusan Agama (“KUA”) bagi yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama selain Islam.\n\nPernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri, atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.\n\nSementara itu, menurut KBBI, nikah siri diartikan sebagai pernikahan yang hanya disaksikan oleh seorang modin dan saksi, tidak melalui Kantor Urusan Agama, menurut agama Islam sudah sah.\n\nDi sisi lain, secara hukum, tiap perkawinan di Indonesia seharusnya dicatatkan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan yang mengatur bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.\nPencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.[3]\n\nPerlu diketahui bahwa pencatatan nikah merupakan bukti perkawinan yang sah di mata hukum, sebagaimana tertuang dalam akta nikah. Karena nikah siri tidak dicatat oleh pegawai pencatat nikah dan tidak ada akta nikahnya, maka tidak terdapat dokumen yang diakui oleh hukum bahwa seseorang telah menikah dan sah secara agama.\nApakah Nikah Siri Sama dengan Zina?\nSelanjutnya, menjawab pertanyaan apakah nikah siri itu zina, perlu kami tekankan bahwa dalam pernikahan siri tidak terdapat dokumen yang diakui oleh hukum sebagai bukti nikah. Sehubungan dengan itu, sebagai konsekuensinya, pasangan yang menikah siri ini berisiko disamakan dengan zina dengan ancaman pidana Pasal 284 ayat (1) KUHP. Hal ini mungkin terjadi apabila suami/istri yang menikah siri ini ternyata masih terikat perkawinan yang sah dengan orang lain.\nContoh Kasus\n\nKemudian, menyambung apakah seseorang dapat dipidana karena nikah siri? Untuk menjawab ini, kita dapat merujuk pada Putusan PN Solok No. 56/Pid.B/2014/PN.Slk. Dalam kasus ini, sepasang suami-istri yang telah menikah siri (hal. 14) dinyatakan bersalah karena memenuhi unsur dari Pasal 284 ayat (1) ke-1 huruf a dan ke-2 huruf b KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP atas zina/gendak (overspel) (hal 16-17).\n\nMajelis hakim menyatakan bahwa kedua terpidana tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “perzinahan dan turut serta melakukan perzinahan beberapa kali” (hal. 17), di mana terdakwa I masih terikat perkawinan yang sah dengan istrinya (hal. 14). Dalam amarnya, majelis hakim menjatuhkan pidana penjara masing-masing selama 4 bulan (hal. 17).\n\nJika menganalisis putusan tersebut, ratio legis dari Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan adalah pencatatan perkawinan dibutuhkan di kemudian hari sebagai validitas perkawinan.\n\nOleh karena itu, untuk mencegah persoalan hukum di kemudian hari, lebih baik pernikahan tersebut dicatatkan untuk memperoleh akta kawin sebagai bukti telah dilakukannya pernikahan. Dalam hal nikah siri sudah terlanjur terjadi, ada baiknya segera melakukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama.\n\nDemikian jawaban dari kami terkait jawaban atas apakah nikah siri itu zina, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/nprt/38/wetboek-van-strafrecht-(wvs)-kitab-undang-undang-hukum-pidana-(kuhp)?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17229/node/686?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n3. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/26834/undangundang-nomor-1-tahun-1974/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_1_1974)\n4. [Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5dafedf4cd014?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_16_2019)\n5. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023_KUHP_baru)\nPUTUSAN\n\nPutusan Pengadilan Negeri Solok Nomor 56/Pid.B/2014/PN.Slk.\n\nREFERENSI:\n1. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1986\n2. Sughandi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional, 1981\n3. KBBI, nikah siri, yang diakses pada Rabu, 17 Mei 2023, pukul 16.10 WIB.\n\n[1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)[2] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023[3] Angka 4 huruf b Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa benar akan ada peraturan bahwa semua karyawan harus mempunyai NPWP sendiri? Apa sanksi jika tidak memiliki NPWP? Mohon jelaskan, terima kasih"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Nomor Pokok Wajib Pajak\n\nNomor Pokok Wajib Pajak atau yang biasa dikenal dengan sebutan NPWP adalah nomor yang diberikan kepada wajib pajak sebagai sarana administrasi perpajakan.\n\nFungsi NPWP adalah sebagai tanda pengenal diri wajib pajak serta untuk memudahkan segala urusan wajib pajak terkait dengan administrasi perpajakan.\n\nTerdapat 2 jenis NPWP, yakni NPWP Pribadi untuk wajib pajak perorangan dan NPWP Badan untuk wajib pajak badan usaha.[1]\n\nDasar hukum NPWP sendiri tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) UU 28/2007 yang berbunyi:"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah suatu oil rig yang masih beroperasi dapat dijadikan jaminan atas suatu utang?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Pada prinsipnya, jaminan kebendaan dibedakan atas jaminan benda bergerak dan tidak bergerak. Terkait pertanyaan di atas, maka oil rig (anjungan minyak) termasuk dalam kategori sebagai benda bergerak yang dapat menjadi jaminan melalui lembaga Fidusia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia . KLINIK TERKAIT Menjaminkan Aset Pribadi untuk Kepentingan PT, Bagaimana Hukumnya? 22 Mei 2024 Upaya Hukum Bagi Pengelola Rental Mobil Jika Penyewa Wanprestasi 03 Agt 2012 Jangka Waktu Bagi Kreditor Pemegang Jaminan untuk Eksekusi 04 Apr 2012 Apakah Hewan Ternak Dapat Dijadikan Jaminan Fidusia? 14 Feb 2012 Melihat dari sifat kebendaannya, maka penguasaan jaminan Fidusia tetap berada pada pemberi jaminan bukan pada penerima/pemegang jaminan. Sehingga, benda yang dibebani dengan fidusia tetap dapat digunakan oleh pemilik asal/pemberi jaminan atau kepada pihak yang sedang menyewa oil rig tersebut. Eksekusi jaminan tidak menghapus sewa menyewa Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Mungkin yang menjadi perhatian adalah bagaimana jika perjanjian utang -piutang sudah jatuh tempo dan tidak dapat dibayar sehingga jaminan akan dieksekusi, apakah oil rig dapat diambil alih atau harus segera diserahkan? Mencermati hal tersebut, yang harus diperhatikan pertama, apakah status dari oil rig tersebut sedang disewakan kepada pihak lain atau sedang digunakan sendiri? Jika sedang digunakan sendiri, maka setelah jaminan fidusia dieksekusi (dijual) oleh Pemegang Jaminan, maka pemberi jaminan harus legowo menyerahkan barang jaminan yang sedang dalam penguasaannya tersebut. Mengenai proses dan jangka waktu, tentunya dengan kewajaran yang berlaku dan hal ini dapat dibicarakan lebih lanjut dengan pembeli oil rig tersebut. Akan berbeda halnya, apabila oil rig tersebut sedang dalam status disewakan kepada pihak lain. Sekalipun oil rig tersebut sudah dieksekusi atau dijual, pengalihan atau penyerahan oil rig kepada pembeli/pemilik baru harus menunggu hingga oil rig tersebut selesai disewa (habis masa sewanya) dengan merujuk pada perjanjian sewa yang sudah dibuat sebelumnya. Hal ini sesuai dengan asas jual beli tidak memutus sewa sebagaimana ketentuan Pasal 1576 ayat (1) KUHPerdata . Dalam pasal tersebut dengan tegas disebutkan, bahwa dengan dijualnya barang yang disewa, suatu persewaan yang dibuat sebelumnya tidaklah diputuskan, kecuali apabila ia telah diperjanjikan pada waktu penyewaan. Dari ketentuan pasal tersebut, jelas bahwa walaupun pemilik atau pihak yang menyewakan menjual benda atau barang yang disewakan, bukanlah akan memutuskan atau mengakhiri perjanjian sewa menyewa yang diadakan sebelumnya. Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek , Staatsblad No. 23 Tahun 1847) . 2. Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin menanyakan mengenai kewenangan OJK dalam mengajukan permohonan pailit dalam hal debitur adalah bank. Karena sesuai dengan Pasal 2 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU, dijelaskan bahwa kewenangan mengajukan pailit adalah Bank Indonesia. Tetapi, sekarang sudah ada pengalihan kewenangan pengaturan dan pengawasan perbankan dari BI ke OJK. Maka apakah dengan begitu OJK yang berwenang mengajukan pailit?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari : Mengacu kepada ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (“UU OJK”), hanya Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam-LK) yang mengalihkan seluruh fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan keuangan di sektor Pasal Modal kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sedangkan terhadap Bank Indonesia (BI) dan Menteri Keuangan masih menjalankan tugas dan wewenang lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, maka prosedur permohonan pailit terhadap bank tetap diajukan oleh BI. Tetapi ada ahli yang berpendapat berbeda, menurutnya sejak berlakunya UU OJK, maka fungsi pengajuan kepailitan bank tidak lagi dilakukan oleh BI melainkan oleh OJK. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pihak yang Mengajukan Pailit Pertama - tama mari kita lihat siapa yang berhak mengajukan permohonan kepailitan menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU 37/2004”) : Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Pengecualian syarat untuk mengajukan permohonan kepailitan bank menurut Pasal 2 ayat (3 ) UU 37/2004 diberikan kepada: Dalam hal Debitor adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia. Jadi, pada prinsipnya permohonan pailit dapat diajukan oleh kreditor apabila memiliki dua kreditor dengan syarat satu utang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Namun, selain dapat diajukan oleh kreditor, UU 37/2004 mengatur syarat khusus pengajuan permohonan pailit terhadap debitor-debitor tertentu salah satunya adalah bank, dan permohonan pailitnya dapat diajukan oleh BI. Apakah Pengalihan Kewenangan Berarti Memiliki Hak Mengajukan Kepailitan? Berdasarkan pertanyaan Anda yang mengatakan bahwa dengan adanya pengalihan kewenangan BI pada OJK, apakah serta merta mengalihkan kewenangan BI untuk mengajukan pailit bank pada OJK? Berikut penjelasannya: Memang benar ada pengalihan kewenangan BI pada OJK di beberapa sektor sebagaimana diatur di Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (“UU OJK”) yang berbunyi: Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK . Sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia ke OJK . Pasal 6 UU OJK mengatur tugas OJK, yaitu: “OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap: kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.” Tetapi, sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Hubungan OJK terhadap Prosedur Kepailitan Perbankan dan Industri Keuangan , mengacu kepada ketentuan Pasal 55 UU OJK hanya Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam-LK) yang mengalihkan seluruh fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan keuangan di sektor Pasal Modal kepada OJK, sedangkan terhadap Bank Indonesia dan Menteri Keuangan masih menjalankan tugas dan wewenang lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku . Masih dari sumber yang sama, maka prosedur permohonan pailit terhadap Bank tetap diajukan oleh BI dan untuk Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, tetap diajukan oleh Menteri Keuangan. [1] Namun, Sutan Remy Sjahdeini , dalam bukunya Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan (hal.227), memiliki pendapat yang berbeda, menurutnya memang pada Pasal 2 ayat (3) UU 37/2004 dalam hal debitor adalah bank, maka permohonan pailit diajukan oleh BI. Tetapi setelah berlakunya UU OJK, maka fungsi mengajukan kepailitan sebagaimana disebutkan di Pasal 2 ayat (3) UU 37/2004 tidak lagi dilakukan oleh BI tetapi oleh OJK. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Referensi: Sutan Remy Sjahdeini, 2016, Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan. Jakarta: Prenadamedia Group. [1] Pasal 90 huruf b Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian hukumonline perdata online kepailitan hukum bi klinik bank indonesia pailit klinik hukumonline pkpu"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah OJK punya kewenangan untuk melakukan gugatan terhadap emiten dalam kapasitas sebagai perwakilan para pemegang saham?"
} | {
"from": "gpt",
"value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITPerbedaan BI dan OJK dalam Pengaturan dan Pengawasan Bank16 Okt 2023Peran OJK sebagai Pemohon Pailit Perusahaan Asuransi15 Agt 2023Tak Diawasi OJK, Benarkah Aset Kripto Ilegal?07 Jan 2022Bolehkah Bank Meminta Informasi Kredit Karyawannya kepada OJK?31 Mei 2021\n\nKewenangan atau authority menurut The Law Dictionary adalah legal power; a right to command or to act; the right and power of public officers to require obedience to their orders lawfully issued in the scope of their public duties. Sedangkan pengertian kewenangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah hal berwenang, atau hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu.\n\nBerdasarkan uraian di atas, maka kewenangan dapat diartikan sebagai sebuah kekuatan hukum atau hak untuk memerintah, bertindak, dan merupakan kekuasaan yang dimiliki pejabat publik untuk menuntut kepatuhan terhadap aturan hukum yang dikeluarkan secara sah dalam lingkup tugasnya.\nKemudian, menjawab pertanyaan Anda, secara umum, wewenang Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”) dalam melaksanakan tugas pengaturan diatur dalam Pasal 8 UU OJK. Sedangkan Pasal 9 UU OJK mengatur wewenang OJK dalam melaksanakan tugas pengawasan, salah satunya adalah melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.\n\nSelain itu, sebagai bentuk perlindungan hukum konsumen dan masyarakat, OJK memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan pencegahan kerugian sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UU OJK. OJK juga memiliki wewenang melakukan pelayanan pengaduan konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UU OJK.\nOJK berwenang melakukan pembelaan hukum kepada lembaga jasa keuangan, memerintahkan atau melakukan tindakan tertentu untuk menyelesaikan pengaduan konsumen yang dirugikan oleh lembaga jasa keuangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a UU OJK.\n\nLebih lanjut dalam Pasal 30 ayat (1) huruf b UU OJK, dinyatakan bahwa OJK juga berwenang mengajukan gugatan kepada lembaga jasa keuangan yang bertujuan untuk:\n\nmemperoleh kembali harta kekayaan milik pihak yang dirugikan dari pihak yang menyebabkan kerugian, baik yang berada di bawah penguasaan pihak yang menyebabkan kerugian dimaksud maupun di bawah penguasaan pihak lain dengan iktikad tidak baik; dan/ataumemperoleh ganti kerugian dari pihak yang menyebabkan kerugian pada konsumen dan/atau lembaga jasa keuangan sebagai akibat dari pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.\nApakah OJK Berwenang Menggugat Emiten Mewakili Pemegang Saham?\n\nUU OJK memang mengatur bahwa OJK memiliki kewenangan untuk mengajukan gugatan. Akan tetapi, gugatan tersebut ditujukan kepada lembaga jasa keuangan sebagai bentuk perlindungan hukum konsumen dan masyarakat.\n\nBerkaitan dengan pertanyaan Anda, apakah OJK berwenang mengajukan gugatan kepada emiten dalam kapasitas sebagai perwakilan para pemegang saham, sampai dengan saat ini belum terdapat aturan teknis yang mengatur mengenai legal standing OJK untuk mengajukan gugatan kepada lembaga jasa keuangan, berikut mekanisme dan tata cara pengajuan gugatannya.\n\nDemikian pula, sampai dengan saat ini belum terdapat peraturan perundang-undangan yang mengatur dan memberikan wewenang kepada OJK untuk mengajukan gugatan terhadap emiten dalam kapasitas sebagai perwakilan para pemegang saham.\n\nAdapun, dalam perspektif UU PT, setiap pemegang saham memiliki hak untuk mengajukan gugatan terhadap perseroan ke pengadilan negeri, apabila pemegang saham dirugikan karena tindakan perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar, sebagai akibat keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), direksi, dan/atau dewan komisaris. Hak pemegang saham untuk mengajukan gugatan terhadap perseroan tersebut diatur dalam Pasal 61 ayat (1) UU PT.\n\nApabila OJK mengajukan gugatan kepada emiten (yang dalam hal ini adalah perseroan) dalam kapasitas sebagai perwakilan para pemegang saham, maka perlu diperhatikan legal standing-nya, apakah dalam hal ini OJK dirugikan secara langsung, ataukah tidak. Mengacu pada ketentuan dalam UU PT tersebut, apabila OJK tidak dirugikan secara langsung, maka OJK tidak bisa mengajukan gugatan kepada emiten.\n\nAdapun apabila OJK menerima kuasa dari pemegang saham untuk mengajukan gugatan kepada emiten, maka hal tersebut dianggap melampaui tugas wewenang OJK sebagaimana diatur dalam UU OJK.\n\nDari kedua perspektif analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa OJK tidak memiliki kewenangan untuk mengajukan gugatan terhadap emiten dalam kapasitas sebagai perwakilan para pemegang saham.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas](Data Kepolisian /pusatdata/detail/26940/undangundang-nomor-40-tahun-2007?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_40_2007)\n2. [Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4eddf04dc6fba/undangundang-nomor-21-tahun-2011?r=1&p=1&q=UU%20Otoritas%20jasa%20keuangan&rs=1847&re=2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_21_2011_ojk)\n3. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n4. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n5. [Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Jasa Keuangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63c23d76b51e4?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_4_2023)\nREFERENSI:\n1. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kewenangan, yang diakses pada Senin, 6 November 2023, pukul 10.47 WIB\n2. The Law Dictionary, (Powered by Black’s Law Dictionary, free 2nd ed., and The Law Dictionary), authority, yang diakses pada Senin, 6 November 2023, pukul 11.00 WIB."
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin menanyakan, apakah orang asing atau Badan Hukum Asing boleh mendirikan Yayasan di Indonesia?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Eryanto Nugroho dan pertama kali dipublikasikan pada Jumat, 15 Agustus 2003. Intisari: Orang asing, orang asing bersama orang Indonesia, ataupun badan hukum asing dapat mendirikan Yayasan sesuai ketentuan dalam UU Yayasan dan PP Yayasan. Ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh orang asing yang ingin mendirikan yayasan di Indonesia. Penjelasan lebih lanjut mengenai syarat-syaratnya dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pendirian Yayasan Orang asing ataupun badan hukum asing boleh mendirikan Yayasan di Indonesia. Pendirian Yayasan oleh orang asing ataupun badan hukum asing ini didelegasikan pengaturannya oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (“ UU Yayasan” ) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (“UU 28/2004”) kepada Peraturan Pemerintah. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 9 UU Yayasan yang berbunyi: (1) Yayasan didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya, sebagai kekayaan awal. (2) Pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan akta notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia. (3) Yayasan dapat didirikan berdasarkan surat wasiat. (4) Biaya pembuatan akta notaris sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. (5) Dalam hal Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didirikan oleh orang asing atau bersama-sama orang asing, mengenai syarat dan tata cara pendirian Yayasan tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam Pasal 9 UU Yayasan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan sebagaimana yang telah diubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Yayasan (“PP Yayasan”) . Filisofi dari diperbolehkannya orang asing sebagai pendiri yayasan di Indonesia adalah karena sifat dari yayasan yang berfungsi sebagai organisasi sosial. Dimana para pendiri dari yayasan dilarang untuk menerima pembagian keuntungan atas yayasan yang didirikannya. Sehingga, walaupun orang asing tersebut bertindak selaku pendiri yayasan, orang tersebut tidak dapat mengambil keuntungan dari penghasilan yayasan. Demikian pendapat praktisi hukum Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn. dalam artikel Bolehkah Orang Asing Mendirikan Yayasan? . Syarat Pendirian Yayasan oleh Orang Asing Menjawab pertanyaan Anda, orang asing atau orang asing bersama orang Indonesia dapat mendirikan yayasan. [1] Yayasan yang didirikan oleh orang asing atau orang asing bersama orang Indonesia selain berlaku PP Yayasan, berlaku juga ketentuan peraturan perundang-undangan lain. [2] Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan lain”, misalnya, peraturan perundang-undangan di bidang keimigrasian atau ketenagakerjaan. [3] Yayasan yang didirikan oleh orang asing ini bisa didirikan oleh orang perseorangan asing maupun badan hukum asing. Orang perseorangan asing yang akan mendirikan yayasan harus memenuhi persyaratan dokumen sebagai berikut: [4] a. identitas pendiri yang dibuktikan dengan paspor yang sah; b. pemisahan sebagian harta kekayaan pribadi pendiri yang dijadikan kekayaan awal Yayasan paling sedikit senilai Rp100 juta yang dibuktikan dengan surat pernyataan pendiri mengenai keabsahan harta kekayaan tersebut; dan c. surat pernyataan pendiri bahwa kegiatan Yayasan yang didirikan tidak merugikan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Sedangkan bagi badan hukum asing yang akan mendirikan yayasan, persyaratan dokumennya adalah sebagai berikut: [5] a. identitas badan hukum asing pendiri Yayasan yang dibuktikan dengan keabsahan badan hukum pendiri Yayasan tersebut [6] ; b. pemisahan sebagian harta kekayaan pendiri yang dijadikan kekayaan awal Yayasan paling sedikit senilai Rp100 juta yang dibuktikan dengan surat pernyataan pengurus badan hukum pendiri mengenai keabsahan harta kekayaan tersebut; dan c. surat pernyataan dari pengurus badan hukum yang bersangkutan bahwa kegiatan Yayasan yang didirikan tidak merugikan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Keanggotaan Yayasan yang Didirikan oleh Orang Asing Khusus soal keanggotaan yayasan yang didirikan oleh orang asing, Pasal 12 PP Yayasan mengatur sebagai berikut: 1. Salah satu anggota Pengurus yang menjabat sebagai ketua, sekretaris, atau bendahara wajib dijabat oleh warga negara Indonesia. 2. Anggota Pengurus Yayasan tersebut wajib bertempat tinggal di Indonesia. 3. Anggota Pengurus Yayasan yang berkewarganegaraan asing harus pemegang izin melakukan kegiatan atau usaha di wilayah negara Republik Indonesia dan pemegang Kartu Izin Tinggal Sementara. 4. Anggota Pembina dan anggota Pengawas Yayasan yang berkewarganegaraan asing, jika bertempat tinggal di Indonesia harus pemegang izin melakukan kegiatan atau usaha di wilayah negara Republik Indonesia dan pemegang Kartu Izin Tinggal Sementara. [7] DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan ; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Yayasan sebagaimana yang telah diubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Yayasan . REFERENSI:\n1. 1. http://irmadevita.com/2012/bolehkah-orang-asing-mendirikan-yayasan/ , diakses pada 27 Juli 2016 pukul 13.35 WIB. 2. http://irmadevita.com/2012/pendirian-yayasan-oleh-orang-atau-badan-hukum-asing-di-indonesia/ , diakses pada 27 Juli 2016 pukul 13.46 WIB. [1] Pasal 10 ayat (1) PP Yayasan [2] Pasal 10 ayat (2) PP Yayasan [3] Penjelasan Pasal 10 ayat (2) PP Yayasan [4] Pasal 11 ayat (1) PP Yayasan [5] Pasal 11 ayat (2) PP Yayasan [6] Menurut Irma Devita dalam artikel Pendirian Yayasan Oleh Orang atau Badan Hukum Asing di Indonesia , keabsahan badan hukum dimaksud meliputi: anggaran dasar berikut perubahan-perubahannya serta pengesahannya serta pernyataan mengenai susunan pengurus yang terakhir dari Badan Hukum Asing. [7] Pasal 13 ayat (1) PP Yayasan hukumonline warga negara asing hukum klinik perusahaan klinik hukumonline orang asing"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya seorang HR di suatu yayasan. Beberapa tahun yang lalu yayasan sempat tidak memiliki pimpinan sehingga Regional Director sering datang berkunjung ke yayasan di Indonesia untuk memantau perkembangan program yayasan. Dalam hal ini, apakah Regional Director yang berkunjung untuk melihat perkembangan kinerja yayasan disebut sebagai TKA? Dan apakah harus dilaporkan dan atau didaftarkan ke Dinas Tenaga Kerja? Terima kasih atas pencerahannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Jika Regional Director tidak bekerja di Indonesia dan tidak tercantum sebagai Direktur dalam Akta Pendirian Yayasan , serta tidak ada hubungan kerja dengan yayasan, maka tidak termasuk tenaga kerja asing. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan saudara. Sebelum menjawab pertanyaan saudara, kami akan menjelaskan terlebih dahulu yang dimaksud dengan Tenaga Kerja, Tenaga Kerja Asing ( “ TKA ” ), Hubungan Kerja, Pemberi Kerja TKA, Rencana Penggunaan TKA ( “ RPTKA ” ) dan Izin Mempekerjakan TKA ( “ IMTA ” ), berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“ UUTK ”) dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. 12 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing (“ Permenaker 12/2013 ”), sebagai berikut: UUTK 1. Pasal 1 angka 2 : Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. KLINIK TERKAIT Jabatan-Jabatan TKA yang Dapat Memperoleh KITAP 20 Okt 2023 Sejauh Mana Wewenang Direksi Asing dalam PT PMA? 03 Okt 2023 Bolehkah TKA Menjabat Sebagai Presiden Direktur? 16 Jun 2020 Wajibkah Pengusaha Mengurus RPTKA Jika TKA Tidak Bekerja di Indonesia? 30 Jul 2018 2. Pasal 1 angka 13 : TKA adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia. 3. Pasal 50 : Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Lebih lanjut berdasarkan Pasal 56 UUTK , perjanjian kerja diklasifikasikan menjadi perjanjian kerja untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. Permenaker 12/2013 Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 1. Pasal 1 angka 3 : Pemberi Kerja TKA adalah badan hukum atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan TKA dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; 2. Pasal 1 angka 4 : RPTKA adalah rencana penggunaan TKA pada jabatan tertentu yang dibuat oleh pemberi kerja TKA untuk jangka waktu tertentu yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. 3. Pasal 1 angka 5 : IMTA adalah izin tertulis yang diberikan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk kepada pemberi kerja TKA. Selanjutnya berikut jawaban kami atas pertanyaan yang saudara ajukan : Dari pertanyaan saudara tentang a pakah Regional Director yang berkunjung untuk melihat perkembangan kinerja yayasan disebut sebagai TKA , kami berasumsi bahwa Regional Director tersebut adalah orang asing yang tidak bekerja di Indonesia dan tidak tercantum sebagai Direktur dalam Akta Pendirian Yayasan. Selain itu, saudara juga tidak menjelaskan adanya Perjanjian Kerja antara Pengusaha/Perusahaan dalam hal ini Yayasan di Indonesia dengan Regional Director tersebut, sehingga kami asumsikan tidak ada Hubungan Kerja antara Yayasan di Indonesia dengan Regional Director tersebut. Sehingga kami asumsikan yayasan anda tidak memiliki RPTKA sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 4 Permenaker 12/2013 serta IMTA sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 Permenaker 12/2013 untuk Regional Director tersebut. Dengan demikian Regional Director tersebut tidak termasuk sebagai Tenaga Kerja dan TKA menurut UUTK dan Permenaker 12/2013. Untuk itu, berdasarkan hal tersebut kami berpandangan bahwa Regional Director tersebut tidak perlu dilaporkan atau didaftarkan ke Dinas Ketenagakerjaan. Demikian jawaban dari kami semoga dapat membantu. Terima kasih. Dasar Hukum: 1. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ; 2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. 12 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing . tenaga kerja"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah orang yang buta huruf bisa menjadi direksi PT? Mohon penjelasannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Bisakah Komisaris Menunjuk Direksi Sementara Tanpa RUPS? 11 Jul 2023 Masa Jabatan Direksi dan Dewan Komisaris PT 27 Apr 2023 Aturan Besaran Gaji dan THR Direksi 06 Feb 2018 Apakah Direksi Asing Wajib Diikutsertakan Program Jamsostek? 11 Jan 2018 Dalam Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”) , telah diatur syarat-syarat pengangkatan anggota Direksi, yaitu: “Yang dapat diangkat menjadi anggota Direksi adalah orang perseorangan yang cakap melakukan perbuatan hukum , kecuali dalam waktu lima tahun sebelum pengangkatannya pernah: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas a. Dinyatakan pailit; b. Menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu Perseroan dinyatakan pailit; atau c. Dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan Negara dan/atau berkaitan dengan sektor keuangan.” Untuk menilai kecakapan seseorang menurut Hukum Perdata sebagai induk dari hukum perusahaan, kita dapat memperhatikan ketentuan Pasal 1330 Kitab Undang–Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), yang berbunyi: “Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah: 1. orang-orang yang belum dewasa; 2. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan (karena alasan keborosan, lemah akal budinya atau kekurangan daya berpikir seperti dalam Pasal 433 KUH Perdata) 3. orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang (sudah dihapus dengan adanya Undang-Undang Perkawinan) Berdasarkan ketentuan Pasal 93 ayat (1) UU PT dan Pasal 1330 KUH Perdata tersebut, dapat disimpulkan bahwa tidak ada larangan bagi orang yang buta huruf untuk dapat diangkat menjadi Direksi suatu perseroan terbatas . Karena itu sebagai referensi untuk Anda, saya akan mengutip pendapat M. Yahya Harahap , dalam bukunya Hukum Perseroan Terbatas , terbitan Sinar Grafika, cetakan 2011, halaman 354, yang berpendapat: “Pasal 93 ayat 1 tidak mengatur secara spesifik kualifikasi pendidikan (no particular education). Seolah-olah Undang-Undang membenarkan mengangkat anggota direksi yang buta aksara. Hal yang demikian mungkin terjadi dalam perseroan tertutup, di mana pemegang sahamnya kecil dan terbatas, sedang yang bersangkutan berkedudukan sebagai pemegang saham mayoritas. Namun demikian, sebelum Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”) mengangkat Direksi untuk menjalankan pengurusan perseroan, tentunya RUPS harus mempertimbangkan adanya tanggung jawab dan kewajiban anggota direksi yang cukup berat, misalnya tugas-tugas direksi yang berkaitan dengan penyusunan dokumen perusahaan (Vide: Pasal 100 UU PT ). Meskipun secara umum tugas direksi tersebut dapat didelegasikan kepada bawahannya untuk diselesaikan, namun apabila nantinya ternyata ada kesalahan dan kelalaian yang terkait dengan tugas pengurusan tersebut, sehingga menyebabkan perseroan merugi, maka Direksi dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara pribadi (Vide: Pasal 97 ayat [3] UU PT ). Lebih lanjut menurut M. Yahya Harahap, penerapan yang seperti itu (pengangkatan seorang buta huruf menjadi direksi perseroan) adalah tidak wajar jika diperlakukan terhadap perseroan publik atau perseroan terbuka. Demikian jawaban saya. Semoga bermanfaat dan memberikan pencerahan untuk Anda. Dasar hukum : 1. Kitab Undang–Undang Hukum Perdata 2. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Referensi : M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas , terbitan Sinar Grafika, cetakan 2011."
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya pernah mendengar suatu berita bahwa ada orang gila yang berusaha memperkosa wanita di pinggir jalan. Tetapi wanita itu telah berhasil menyelamatkan diri dan yang ingin memperkosa ternyata orang gila. Apakah orang gila tersebut bisa dipidanakan?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu diketahui bahwa dalam ilmu hukum pidana mengenal adanya alasan penghapus pidana yaitu alasan pembenar dan pemaaf, dengan penjelasan sebagai berikut.\n\nAlasan pembenar berarti alasan yang menghapus sifat melawan hukum suatu tindak pidana. Jadi, dalam alasan pembenar dilihat dari sisi perbuatannya (objektif). Misalnya, tindakan 'pencabutan nyawa' yang dilakukan eksekutor penembak mati terhadap terpidana mati (Pasal 50 KUHP yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan Pasal 31 UU 1/2023 yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[1] yaitu tahun 2026).Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum. Jadi, dalam alasan pemaaf dilihat dari sisi orang/pelakunya (subjektif). Misalnya, lantaran pelakunya tak waras atau gila sehingga tak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu.\nMengenai contoh alasan pemaaf dapat dilihat pada Pasal 44 KUHP dan Pasal 38 dan 39 UU 1/2023, sebagai berikut.\nKUHPUU 1/2023Pasal 44 ayat (1) KUHPBarang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.Pasal 38 UU 1/2023Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dapat dikurangi pidananya dan/atau dikenai tindakan.Pasal 44 ayat (2) KUHPJika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.Pasal 39 UU 1/2023Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menyandang disabilitas mental yang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan.\nBerdasarkan pernyataan Anda, orang gila tersebut hampir melakukan tindak pidana perkosaan. Dalam KUHP, hal tersebut dikenal sebagai tindak pidana percobaan yang diatur dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP dan Pasal 17 ayat (1) UU 1/2023 sebagai berikut.\nPasal 53 ayat (1) KUHPPasal 17 ayat (1) UU 1/2023Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dan adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri. Percobaan melakukan tindak pidana terjadi jika niat pelaku telah nyata dari adanya permulaan pelaksanaan dari Tindak Pidana yang dituju, tetapi pelaksanaannya tidak selesai, tidak mencapai hasil, atau tidak menimbulkan akibat yang dilarang, bukan karena semata-mata atas kehendaknya sendiri.\nMenurut R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 60-61) sebab tidak dapat dihukumnya terdakwa berhubung perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya adalah karena:\n\nKurang sempurna akalnya. Yang dimaksud dengan perkataan “akal” di sini ialah kekuatan pikiran, daya pikiran, dan kecerdasan pikiran. Orang dapat dianggap kurang sempurna akalnya, misalnya: idiot, imbicil, buta-tuli, dan bisu mulai lahir, orang-orang semacam ini sebenarnya tidak sakit, tetapi karena cacat-cacatnya sejak lahir, maka pikirannya tetap sebagai kanak-kanak.Sakit berubah akalnya. Yang dapat dimasukkan dalam pengertian ini misalnya: sakit gila, histeri (sejenis penyakit saraf terutama pada wanita), epilepsi, dan bermacam-macam penyakit jiwa lainnya.\n\nSementara yang dimaksud dengan disabilitas mental dan disabilitas intelektual dalam Pasal 38 UU 1/2023, yaitu:\n\nDisabilitas mental adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain:[2]\n\npsikososial, antara lain, skizofrenia, bipolar, depresi, anxiety, dan gangguan kepribadian; dandisabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial, antara lain, autis dan hiperaktif.\n\nDisabilitas intelektual adalah terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain, lambat belajar, disabilitas grahita, dan down syndrome.[3]\n\nPelaku tindak pidana yang menyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dinilai kurang mampu untuk menginsafi tentang sifat melawan hukum dari perbuatan yang dilakukan atau untuk berbuat berdasarkan keinsafan yang dapat dipidana.[4]\n\nSedangkan menurut Penjelasan Pasal 39 UU 1/2023 mengenai penyandang disabilitas mental dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau penyandang disabilitas intelektual derajat sedang atau berat, tidak mampu bertanggung jawab. Untuk dapat menjelaskan tidak mampu bertanggung jawab dari segi medis, perlu dihadirkan ahli sehingga pelaku tindak pidana dipandang atau dinilai tidak mampu bertanggung jawab.\nTindak Pidana Percobaa\n\nR. Soesilo berpendapat bahwa menurut arti kata sehari-hari yang diartikan percobaan yaitu menuju ke suatu hal akan tetapi tidak sampai pada hal yang dituju itu, atau hendak berbuat sesuatu. Percobaan dapat dihukum apabila memenuhi syarat-syarat (hal. 68-69):\n\nniat sudah ada untuk berbuat kejahatan itu;orang sudah memulai berbuat kejahatan itu;perbuatan kejahatan itu tidak jadi sampai selesai oleh karena terhalang oleh sebab-sebab yang timbul kemudian.\n\nBerdasarkan pernyataan Anda, bahwa orang gila tersebut berusaha memperkosa wanita dan wanita tersebut berhasil melarikan diri. Ini berarti percobaan melakukan tindak pidana telah terjadi (memenuhi ketiga syarat di atas) dan KUHP menyatakan bahwa hal itu sudah masuk lingkup tindak pidana.\n\nDalam hal percobaan, KUHP mengatur maksimum hukuman yaitu maksimum hukuman ancaman pidana pokok dikurangi sepertiganya.[5] Sementara UU 1/2023 mengatur pidana untuk percobaan melakukan tindak pidana paling banyak dua per tiga dari maksimum hukuman ancaman pidana pokok.[6]\n\nDengan demikian, orang yang melakukan percobaan tindak pidana tersebut dapat dipidana maksimum sebesar pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP dan Pasal 473 ayat (1) UU 1/2023 yakni penjara 12 tahun, dikurangi dengan sepertiga atau dua per tiga dari 12 tahun tersebut.\nBisakah Orang Gila Dipidana?\n\nMenjawab pertanyaan Anda, berdasarkan penjelasan di atas, jika ternyata pelaku betul dinilai tidak dapat bertanggung jawab atas perbuatannya, maka berlaku alasan pemaaf bagi pelaku, dimana menurut KUHP ia tidak dapat dipidana dan hakim dapat memerintahkan agar pelaku dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa selama masa percobaan maksimum 1 tahun[7] untuk mencegah terjadinya hal serupa yang membahayakan baik keselamatan orang gila tersebut maupun masyarakat sekitar.\n\nHal tersebut sebagaimana pendapat R Soesilo (hal. 61) yaitu hakimlah yang berkuasa memutuskan tentang dapat tidaknya terdakwa dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu dengan meminta nasehat dari dokter penyakit jiwa. Jika hakim berpendapat bahwa bahwa orang itu betul tidak dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, maka orang itu dibebaskan dari segala tuntutan pidana (ontslag van alle rechtsvervolgin).\nBerbeda dengan ketentuan KUHP, berdasarkan ketentuan UU 1/2023, jika pelaku terbukti dalam pemeriksaan medis sebagai penyandang disabilitas mental, maka dapat dikurangi pidananya dan/atau dikenai tindakan. Sedangkan jika pelaku dalam kondisi kambuh yang akut dan disertai gambaran psikotik, maka dikenai tindakan berdasarkan Pasal 103 ayat (2) UU 1/2023 berupa:\n\nrehabilitasi;penyerahan kepada seseorang;perawatan di lembaga;penyerahan kepada pemerintah; dan/atauperawatan di rumah sakit jiwa.\n\nBaca juga: Jika Penderita Gangguan Jiwa Menghina Orang Lain\n\nDemikian jawaban dari kami tentang apakah orang gila bisa dipidana, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/nprt/38/wetboek-van-strafrecht-(wvs)-kitab-undang-undang-hukum-pidana-(kuhp)?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023_KUHP_baru)\nREFERENSI:\n1. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991.\n\n[1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)[2] Penjelasan Pasal 38 UU 1/2023[3] Penjelasan Pasal 38 UU 1/2023[4] Penjelasan Pasal 38 UU 1/2023[5] Pasal 53 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (”KUHP”)[6] Pasal 17 ayat (3) UU 1/2023[7] Pasal 44 ayat (2) KUHP"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah orang sakit jiwa atau orang yang memiliki mental illness dapat ikut memilih dalam Pemilu mendatang?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari : Orang yang mempunyai keterbatasan atau gangguan mental (sakit jiwa) termasuk kategori penyandang disabilitas mental. Orang tersebut menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berada di bawah pengampuan. Namun terlepas dari itu, setiap warga negara dijamin haknya untuk dipilih dan memilih dalam pemilu, termasuk penyandang disabilitas mental, seperti yang disebut dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bahwa Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara. Selain itu, tidak ada peraturan yang di bidang penyelenggaraan pemilu yang melarang penyandang disabilitas mental untuk memilih. Bahkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas juga telah mengatur tentang hak-hak politik penyandang disabilitas, antara lain yaitu memilih dan dipilih dalam jabatan publik . Selama syarat untuk memilih dipenuhi, maka orang tersebut dapat ikut serta memilih dalam pemilu. Ada pendapat bahwa tidak semua orang sakit jiwa tidak memiliki kesadaran untuk memilih. Tentu dengan catatan ada kondisi tertentu yang diperbolehkan untuk memilih. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Hak Memilih dalam Pemilu Pemilihan Umum (“Pemilu”) yang Anda maksud di sini adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (“UU Pemilu”) . Rakyat yang ikut serta dalam Pemilu disebut dengan pemilih. Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin. [1] Syarat untuk bisa menjadi pemilih dalam Pemilu (yang mempunyai hak memilih) adalah: [2] Warga Negara Indonesia; Genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih pada hari pemungutan suara; atau sudah kawin atau sudah pernah kawin. Warga Negara Indonesia didaftar 1 (satu) kali oleh Penyelenggara Pemilu dalam daftar Pemilih. Warga Negara Indonesia yang telah dicabut hak politiknya oleh pengadilan tidak mempunyai hak memilih. [3] Pemilih yang berhak mengikuti pemungutan suara di Tempat Pemungutan Suara (“TPS”) meliputi: [4] pemilik kartu tanda penduduk elektronik yang terdaftar pada daftar pemilih tetap di TPS yang bersangkutan; pemilik kartu tanda penduduk elektronik yang terdaftar pada daftar pemilih tambahan; pemilik kartu tanda penduduk elektronik yang tidak terdaftar pada daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan; dan penduduk yang telah memiliki hak pilih. Gambaran Singkat Mengenai Orang Sakit Jiwa Menurut artikel Sakit Jiwa Ternyata Ada Banyak sebagaimana yang kami akses melalui laman Alodokter, platform informasi medis yang disediakan oleh tim dokter, mendefinisikan sakit jiwa adalah gangguan mental yang berdampak kepada mood, pola pikir, hingga tingkah laku secara umum. Seseorang disebut mengalami sakit jiwa, jika gejala yang dialami membuatnya tertekan dan tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari secara normal. Lebih lanjut dijelaskan, ciri-ciri orang yang mengalami sakit jiwa dapat berbeda-beda tergantung dari jenisnya. Namun pada umumnya, orang yang mengalami gangguan jiwa dapat dikenali dari beberapa gejala tertentu, seperti perubahan mood yang sangat drastis dari sangat sedih menjadi sangat gembira atau sebaliknya, merasa ketakutan yang secara berlebihan, menarik diri dari kehidupan sosial, kerap merasa sangat marah hingga suka melakukan kekerasan, serta mengalami delusional. Masih bersumber dari artikel yang sama, ada banyak kondisi kesehatan yang dapat dikategorikan sebagai sakit jiwa. Tiap kelompok dapat terbagi lagi menjadi jenis-jenis yang lebih spesifik sebagai contoh antara lain: gangguan kecemasan, gangguan kepribadian, gangguan psikologis, gangguan pasca-trauma, dan gangguan disosiatif. Sedangkan dari segi hukum, menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (“ UU 8/2016 ”) orang yang mempunyai keterbatasan atau gangguan mental (sakit jiwa) merupakan termasuk kategori penyandang disabilitas mental . [5] Yang dimaksud dengan penyandang disabilitas menurut Pasal 1 angka 1 UU 8/2016 adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Kemudian yang dimaksud dengan “Penyandang Disabilitas Mental” adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain: [6] psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian; dan disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial di antaranya autis dan hiperaktif. Berdasarkan Pasal 433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) , orang sakit jiwa atau sakit otaknya dikatakan berada di bawah pengampuan, berikut bunyi pasalnya: Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seseorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya. Apakah Orang Sakit Jiwa Berhak Memilih di Pemilu? Lalu berkaitan dengan pertanyan Anda mengenai apakah penyandang disabilitas mental (sakit jiwa) berhak memilih di pemilu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur proses penyelenggaraan pemilu? Berikut penjelasannya: Perlu dipahami bahwa UUD 1945 menjamin hak setiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum . [7] Selain itu Pasal 43 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”) mengatur hak warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan, yakni: Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundangundangan. Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan . Dari segi undang-undang lain, Pasal 148 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”) mengatur: P enderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara. Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi persamaan perlakuan dalam setiap aspek kehidupan, kecuali peraturan perundang-undangan menyatakan lain. Selain itu sebagai seorang penyandang disabilitas mental, Pasal 13 UU 8/2016 juga mengatur hak-hak politik penyandang disabilitas antara lain: memilih dan dipilih dalam jabatan publik ; menyalurkan aspirasi politik baik tertulis maupun lisan; memilih partai politik dan/atau individu yang menjadi peserta dalam pemilihan umum; membentuk, menjadi anggota, dan/atau pengurus organisasi masyarakat dan/atau partai politik; membentuk dan bergabung dalam organisasi Penyandang Disabilitas dan untuk mewakili Penyandang Disabilitas pada tingkat lokal, nasional, dan internasional; berperan serta secara aktif dalam sistem pemilihan umum pada semua tahap dan/atau bagian penyelenggaraannya; memperoleh Aksesibilitas pada sarana dan prasarana penyelenggaraan pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain; dan memperoleh pendidikan politik. Bahkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin hak dan kesempatan bagi Penyandang Disabilitas untuk memilih dan dipilih. [8] Berkaitan dengan bolehkah penyandang disabilitas mental (orang sakit jiwa) memilih dalam pemilu, sepanjang penelusuran kami dalam peraturan perundang undangan di bidang pemilu, tidak ada larangan yang secara eksplisit yang mengatur larangan bagi penyandang disabilitas mental untuk ikut serta memilih dalam pemilu. Jadi dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya setiap warga negara dijamin haknya untuk dipilih dan memilih dalam pemilu termasuk penyandang disabilitas mental. Penjelasan selengkapnya mengenai hak-hak politik penyandang disabilitas dapat Anda simak dalam artikel Hak-Hak Politik Penyandang Disabilitas . Hal senada juga disampaikan oleh Feri Amsari , Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKo) Fakultas Hukum Universitas Andalas, yang berpendapat bahwa sakit jiwa atau mental illness dan mental retardation adalah kondisi dimana seseorang memiliki keterhambatan kecerdasaran atau kesadaran. Jika dilihat dalam penyelenggaran pemilu, fenomena pemilih dengan kondisi mental illness dan retardation itu menjadi diskursus menarik dalam perkembangan pemilu. Feri menambahkan bahwa perkembangan yang sama soal hak pilih juga terus terjadi. Zaman dulu di negara Eropa dan Amerika perempuan dibatasi hak pilihnya dan kemudian dengan adanya dinamika dalam proses pemilu, perempuan memiliki hak pilih. Kemudian pada tahun 1970 hingga 1990-an di Amerika dulu penyandang disabilitas juga dibatasi hak pilihnya dan sekarang penyandang disabilitas sudah memiliki hak untuk memilih. Lanjut menurut Feri, perkembangan hak pilih terus terjadi dan bukan tidak mungkin warga negara yang mengalami mental illness dan retardation dapat memperoleh hak pilihnya . Pada kondisi tertentu perlu dipahami bahwa tidak semua orang sakit jiwa tidak boleh memilih bahkan di Eropa ada orang sakit jiwa boleh memilih. Di luar konteks bahwa orang sakit jiwa ini merupakan orang yang di bawah pengampuan menurut hukum perdata, konstitusi sendiri pada dasarnya memberikan hak yang sama kepada orang yang memiliki penyakit jiwa untuk memilih. Bahkan dalam UU Pemilu sendiri tidak ada larangan yang secara eksplisit yang mengatur hal ini. Artinya orang sakit jiwa juga berhak menggunakan hak pilihnya. Tidak semua orang sakit jiwa tidak memiliki kesadaran untuk memilih . Tentu dengan catatan ada kondisi tertentu yang diperbolehkan untuk memilih. Dalam prosesnya, Feri mengharapkan ada kriteria khusus bagi pemilih yang memiliki ganguan mental (sakit jiwa) seperti harus memilih dalam kondisi saat sadar dan dengan kondisi yang jelas. Jangan sampai dengan adanya pemberian hak pilih pada warga negara kondisi tertentu akan ada peluang untuk melakukan kecurangan dalam pemilu. Kecurangan itu merugikan hak pilih orang yang memiliki gangguan jiwa tersebut karena dianggap mudah dicurangi. Tidak hanya itu, dalam artikel Hak Orang yang Mengalami Gangguan Jiwa dalam Pemilu , dijelaskan bahwa penyandang disabilitas mental adalah termasuk warga negara Indonesia (WNI) yang memiliki hak konstitusional yang sama . Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia, Yeni Rosa Damayanti mengatakan bahwa pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas mental yang sudah diperjuangkan sejak lama dan bertahun-tahun. Masih dari sumber yang sama, advokasi dan pendekatan ke Komisi Pemilihan Umum (“KPU”) telah dilakukan untuk memastikan pemenuhan hak tersebut. Sebagai bagian dari keberhasilan perjuangan gerakan disabilitas ini, pada tahun 2014 KPU mulai mendaftarkan penyandang disabilitas mental sebagai pemilih dalam Pemilu tahun 2014. Selanjutnya, berdasarkan Surat No. 1401/PL.02.1-SD/01/KPU/XI/2018, KPU melakukan pendaftaran terhadap pemilih dengan disabilitas mental. Langkah KPU ini merupakan bentuk nyata dari realisasi jaminan hak politik yang setara bagi setiap warga negara sesuai dengan ketentuan dalam berbagai Undang-Undang termasuk UU 8/2016, UU Pemilu, serta Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) . Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas untuk implementasi UU 8/2016 mendorong KPU menyiapkan kebijakan tambahan yang mendukung penyandang disabilitas mental untuk ikut menggunakan hak pilihnya lewat koordinasi dengan Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan dan Pemerintah Daerah untuk memberikan dukungan dan fasilitas yang dibutuhkan, agar para penyandang disabilitas mental yang didaftar dapat menggunakan hak memilihnya pada saat hari pencoblosan. Selain itu, KPU diminta tidak menggunakan surat keterangan dokter sebagai syarat bagi siapapun pemilih untuk menggunakan hak pilihnya, termasuk penyandang disabilitas mental, berdasarkan alasan-alasan yang telah disebut diatas. Terakhir, KPU agar selalu melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, tim sukses para calon Presiden dan Wakil Presiden, Partai Politik peserta Pemilu 2019, internal KPU, KPU Daerah (KPUD) dan penyelenggara Pemilu lainnya terkait dengan hak politik penyandang disabilitas, khususnya penyandang disabilitas mental. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Dasar 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Referensi : Sakit Jiwa Ternyata Ada Banyak , diakses pada Jumat, 23 November 2018, pukul 16.30 WIB. Catatan : Kami telah melakukan wawancara dengan Feri Amsari, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKo) Fakultas Hukum Universitas Andalas via telepon pada 22 November 2018 pukul 15.15 WIB. [1] Pasal 1 angka 34 UU Pemilu [2] Pasal 198 ayat (1) UU Pemilu [3] Pasal 198 ayat (2) dan (3) UU Pemilu [4] Pasal 348 ayat (1) UU Pemilu [5] Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 4 ayat (1) huruf c UU 8/2016 [6] Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU 8/2016 [7] Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 [8] Pasal 75 ayat (2) UU 8/2016 kesehatan hukumonline gangguan jiwa klinik hukumonline tata negara pemilihan umum hukum klinik hak asasi manusia pilpres capres pemilu cawapres"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah yang harus saya lakukan sekarang kalau orang tua tidak merestui hubungan saya dengan pilihan saya karena alasan status, jabatan dan kekayaan sedangkan kami sudah pacaran selama lebih dari 8 tahun dan saling mencintai dan menerima kekurangan. Saya ingin hidup dengan pilihan saya ini karena tidak kuat lagi setiap hari diancam oleh orang tua. Mohon penjelasannya. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Berdasarkan penelusuran kami, pada prinsipnya, setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Demikian yang termaktub dalam Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (“UUD 1945”) . Ini artinya, sudah menjadi hak setiap orang untuk menikah dengan siapapun sesuai kehendaknya dengan tujuan membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan. Di samping telah termaktub dalam konstitusi, kebebasan manusia untuk memilih pasangan hidupnya dengan membentuk suatu keluarga juga telah disebut dalam instrumen hukum lain, seperti Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”) . Indonesia menjamin kebebasan warganya untuk memilih pasangannya untuk membentuk sebuah keluarga. Hak ini disebut dalam Pasal 10 UU HAM yang berbunyi: KLINIK TERKAIT Masalah Pencatatan Perkawinan Beda Agama 20 Sep 2017 Masalah Pencatatan Perkawinan dan Dampaknya pada Perjanjian Pisah Harta 15 Sep 2017 Kedudukan Hukum Perkawinan ‘Nyentana’ di Bali 12 Jun 2014 Perbedaan Perkawinan Beda Agama Secara ‘Siri’ dan di Luar Negeri 18 Nov 2013 (1) Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. (2) Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Akan tetapi, terdapat sejumlah larangan untuk menikah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) , yaitu perkawinan dilarang antara dua orang yang ( Pasal 8 UU Perkawinan ) : a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas; b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; c. berhubungan semenda, yaitu mertua,anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri; d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan,anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan; e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang; f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Ini artinya, sepanjang Anda tidak menyimpangi larangan-larangan di atas, maka perkawinan Anda dan pilihan Anda tidaklah dilarang. Anda tetap boleh menikah. Terlebih lagi, perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Demikian yang disebut dalam Pasal 1 UU Perkawinan . Jika memang menikah dengan pilihan Anda dapat membuat Anda membentuk rumah tangga yang bahagia, maka sah-sah saja jika Anda menikah dengan pasangan yang menurut Anda sesuai dengan Anda. Mengacu pada instrumen-instrumen hukum yang kami sebutkan di atas, menurut hemat kami, setiap warga negara Indonesia berhak membentuk keluarga tanpa memandang status, jabatan dan kekayaan. Kebebasan ini hendaknya diartikan bahwa setiap orang berhak memilih pasangan hidupnya sesuai dengan keinginannya. Lagipula, perkawinan itu jelas-jelas merupakan hak asasi manusia dan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, bukan didasarkan atas persetujuan orang tua. Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun (lihat Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan dan penjelasannya). Kemudian kami akan fokus kepada pertanyaan Anda lainnya soal hubungan Anda yang tidak direstui orang tua. Kami asumsikan bahwa Anda dan kekasih Anda telah mencapai usia sebagaimana dibolehkan oleh UU Perkawinan untuk menikah, yakni pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun sebagaimana disebut dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan . Di samping itu, kami juga asumsikan bahwa usia Anda telah mencapai 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih. Pada dasarnya, jika memang usia Anda telah mencapai usia yang diizinkan oleh UU Perkawinan untuk menikah, maka pernikahan Anda tidak lagi memerlukan izin orang tua. Hal ini karena Pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan berbunyi: \" Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. \" Menjawab pertanyaan Anda, ketentuan tersebut dapat dimaknai bahwa jika memang Anda telah mencapai usia 21 tahun atau lebih, maka Anda tidak lagi perlu izin orang tua. Anda dapat tetap melangsungkan pernikahan dengan pilihan Anda. Namun demikian, kami menyarankan bahwa hendaknya Anda tetap mengutamakan jalan musyawarah dengan membicarakan masalah ini secara baik-baik dengan orang tua. Kami menekankan bahwa langkah selanjutnya yang Anda akan pilih jika tetap menikah walau tanpa izin orang tua dapat dijadikan sebagai jalan terakhir setelah upaya perdamaian secara kekeluargaan telah dilakukan. Selain itu, Anda dan pasangan pilihan Anda juga bisa berkonsultasi dengan pihak Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil (KCS) setempat mengenai masalah yang Anda hadapi. Mudah-mudahan mereka dapat memberikan jalan keluar terbaik untuk Anda dan pasangan pilihan Anda. Anda dapat pula membaca artikel kalmi lainnya soal Bagaimana Menikah Jika Tanpa Restu Orang Tua? Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 ; 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ; 3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia . orang tua"
} |
{
"from": "human",
"value": "Ada anak umur 20 tahun, sudah keluar dari rumah 5 tahun lalu, dan KK atas nama anak tersebut sudah dicabut. Setiap tahun selalu ada kasus yang sama datang ke rumah minta pertanggungjawaban atas kelakuan yang dilakukan si anak (menggelapkan kereta orang lain (mencuri serta melarikan diri atas perbuatan tersebut). Dan selalu datang ke rumah meminta duit untuk pertanggungjawaban yang dilakukan. Dia juga membuat keributan dalam rumah hingga ibunya stres dan sakit-sakitan. Sebagai orang tua apa yang harus dilakukan terhadap anak tersebut? Apa bisa putus hubungan menurut hukum? Dan bagaimana membuat agar anak tidak mencari orang tua untuk mempertanggungjawabkan dilakukannya di luar sana? Karena si anak mengatakan orang tua bertanggung jawab sampai dia menikah baru lepas tanggung jawab. Mohon bantuan atas masalah ini, thanks."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Pada dasarnya, menurut Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) , kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. KLINIK TERKAIT Ragam Ketentuan Usia Dewasa di Indonesia 11 Mar 2024 Sistem Peradilan Pidana Anak serta Pendekatan Restoratif dan Diversi 31 Mar 2023 Tips Agar Anak Aman dari Kejahatan di Internet 27 Apr 2021 Jika Dipaksa Pacar Kedua untuk Tidak Menikahi Pacar Pertama 23 Mar 2018 Mengenai kewajiban orang tua ini atau yang sering disebut dengan “kekuasaan orang tua”, Prof. Subekti, S.H. , dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Perdata (hal. 50-51) mengatakan bahwa kekuasaan orang tua mulai berlaku sejak lahirnya anak atau sejak hari pengesahannya dan berakhir pada waktu anak itu menjadi dewasa atau kawin, atau pada waktu perkawinan orang tuanya dihapuskan. Hal ini juga dikatakan oleh Pasal 47 UU Perkawinan , bahwa anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Berdasarkan uraian di atas, dari umur anak tersebut, yang telah berusia 20 (dua puluh) tahun, dapat kita simpulkan bahwa orang tersebut bukan lagi dianggap sebagai anak, tetapi dianggap dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tuanya lagi. Karena orang tersebut telah dewasa, maka segala yang dia lakukan yang berhubungan dengan hukum, menjadi tanggung jawabnya sendiri. Dari segi hukum perdata, hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1367 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) : “Orangtua dan wali bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh anak-anak yang belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap siapa mereka melakukan kekuasaan orangtua atau wali. Majikan dan orang yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh pelayan atau bawahan mereka dalam melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepada orang-orang itu.” Ini berarti bahwa orang tua hanya bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh anak yang belum dewasa. Yang berarti bahwa saat seseorang dewasa, apa yang ia perbuat merupakan tanggung jawabnya sendiri. Dari segi hukum pidana, orang yang sudah dewasa tentu saja bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukannya. Bahkan untuk anak yang sudah mencapai usia 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun, mereka juga dapat dimintai pertanggungjawabannya atas tindak pidana yang dilakukannya. Lebih lanjut Anda dapat membaca dalam artikel yang berjudul Jerat Hukum Bagi Pelajar yang Menggunakan Ganja dan Penerapan Pidana Penjara Bagi Anak . Jadi, pada dasarnya seseorang yang berusia 20 (dua puluh) tahun bertanggung jawab sendiri atas perbuatan yang ia lakukan. Sedangkan, mengenai pemutusan hubungan hukum dengan anak, setahu kami, pada dasarnya tidak ada ketentuan hukum mengenai pemutusan hubungan hukum dengan anak. Ini karena pada dasarnya hubungan hukum antara orang tua dengan anak adalah hubungan yang terjadi secara alamiah (karena hubungan darah), sehingga tidak dapat diputus seperti memutuskan hubungan hukum yang terjadi karena, misalnya perjanjian. Akan tetapi, pada praktiknya pernah ada kasus mengenai orang tua yang memutuskan hubungan dengan anaknya. Seperti berita tentang Astrid Ellena yang kami sarikan dari artikel detik.com yang berjudul Tinggalkan Rumah, Miss Indonesia 2011 Tak Lagi Diakui sebagai Anak? Astrid Ellena memiliki masalah dengan ayahnya hingga pada akhirnya, tanggal 19 Januari 2012, sang ayah mengambil tindakan tegas dengan cara memutuskan hubungan keluarga dengan Astrid Ellena. Pernyataan ini disampaikan dalam surat kabar Jawa Pos . Kolom surat kabar tersebut berbunyi: “Pada hari Sabtu, tanggal 13 Agustus 2011, ASTRID ELLENA INDRIANA YUNADI (Ellen), lahir di Jakarta, 8 Juni 1990, telah keluar dan meninggalkan rumah tanpa seizin saya selaku Ayahnya, maka terhitung mulai tanggal 13 Agustus 2011 Astrid Ellena Indriana Yunadi TIDAK LAGI DIAKUI SEBAGAI ANAK, dan segala perilaku, perbuatan serta akibatnya sepenuhnya merupakan tanggung jawab pribadi Astrid Ellena Indriana Yunadi, bukan tanggung jawab saya selaku ayahnya dan tidak bisa dikaitkan dengan keluarga besar Yunadi.\" Mengenai permasalahan yang Anda sampaikan, kami menyarankan agar sang orang tua membicarakan masalah ini secara baik-baik kepada anak tersebut. Dan jika anak tersebut melakukan tindakan yang berlawanan dengan hukum yang berlaku, orang tua tersebut dapat melaporkan hal tersebut kepada polisi agar anak tersebut jera. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ; 2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan . Referensi: Subekti. 2003. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Intermasa. uu perkawinan kuh perdata"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah organisasi internasional yang mendirikan kantor cabangnya di Indonesia benar dibebaskan dari pajak penghasilan? Jika benar, apa dasar hukumnya dan syarat-syaratnya? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Cara Menghitung Biaya Pajak Restoran 08 Agt 2023 Mutasi Mobil, Perlukah Membayar PKB Lagi? 13 Okt 2022 Beli Action Figure , Perlukah Bayar Pajak? 29 Mar 2021 Dasar Pajak Royalti Atas Buku Terjemahan 22 Feb 2021 Organisasi Internasional yang Dibebaskan PPh Sebelumnya perlu dipahami terlebih dahulu arti dari organisasi internasional menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 235/PMK.010/2020 Tahun 2020 tentang Organisasi Internasional dan Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan (“Permenkeu 235/2020”) : Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Organisasi Internasional adalah organisasi, badan, Lembaga, asosiasi, perhimpunan, forum antarpemerintah atau nonpemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kerjasama internasional dan dibentuk dengan aturan tertentu atau kesepakatan bersama . Apabila organisasi internasional sudah terdaftar di Indonesia dan Indonesia termasuk di dalamnya sebagai anggota, pada prinsipnya organisasi internasional itu dibebaskan dari pajak penghasilan (“PPh”) . Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 2 ayat (1) Permenkeu 235/2020 : Organisasi Internasional tidak termasuk subjek Pajak Penghasilan apabila memenuhi syarat sebagai berikut: Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada Pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota . Lebih lanjut , syarat-syarat agar organisasi internasional dibebaskan dari PPh (tidak termasuk subjek pajak) yaitu: [1] kantor perwakilan negara asing; pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik; organisasi-organisasi internasional dengan syarat : Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota; pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia. Organisasi internasional yang memenuhi ketentuan di atas ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dan jika tidak lagi memenuhi syarat maka penetapan tersebut dapat dicabut oleh Menteri Keuangan. [2] Organisasi Internasional sebagai Subjek Pajak Pada kasus di atas disebutkan organisasi internasional mendirikan kantor cabangnya di Indonesia, dalam artian masuk dalam bentuk usaha tetap sebagaimana tercantum dalam Pasal 111 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tetang Pajak Penghasilan (“UU PPh”) : Yang menjadi subjek pajak adalah: 1. orang pribadi; 2. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak; badan; dan bentuk usaha tetap. Akan tetapi, dalam kasus ini tidak disebutkan apakah Indonesia ikut bergabung ke dalam organisasi internasional yang bersangkutan atau tidak, sehingga kami asumsikan organisasi internasional yang Anda tanyakan tidak dibebaskan PPh karena dikategorikan sebagai subjek pajak yang dikenakan PPh atas penghasilannya di Indonesia. Adapun bentuk usaha tetap ini merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan. [3] Apalagi jika organisasi internasional ini mendirikan kantor cabang di Indonesia dengan maksud untuk memperoleh penghasilan dan keuntungan di Indonesia, maka sudah jelas termasuk subjek PPh atas pendirian cabang perusahaan organisasi internasional ini. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tetang Pajak Penghasilan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Peraturan Menteri Keuangan Nomor 235/PMK.010/2020 Tahun 2020 tentang Organisasi Internasional dan Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan [1] Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan [2] Pasal 2 ayat (3) dan Pasal 3 ayat (1) Permenkeu 235/2020 [3] Pasal 111 angka 1 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 2 ayat (1a) UU PPh pajak pajak penghasilan pph"
} |
{
"from": "human",
"value": "Teman saya sedang mengajukan gugatan di pengadilan negeri tentang sengketa tanah dengan orang lain yang bukan keluarga sama sekali. Untuk pengajuan saksi, teman saya bermaksud mengajukan pamannya (adik dari ibu) untuk bersaksi. Bolehkah paman tersebut bersaksi?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Saudara. KLINIK TERKAIT Sahkah Keterangan Anak sebagai Saksi Tindak Pidana? 19 Sep 2023 Curiga Anak Mirip Mantan Pacar Istri, Bisakah Menuntut? 28 Jul 2023 Sumpah Saksi di Pengadilan, Begini Aturannya 14 Jul 2022 Kedudukan Anak dalam Hukum 21 Jul 2017 Dalam persidangan perkara perdata seorang paman dari pihak Penggugat dapat menjadi saksi. Hal ini karena paman tidak masuk dalam pihak-pihak yang tidak dapat menjadi saksi yang diatur dalam Pasal 145 Het Herziene Indonesisch Reglemen atau HIR. Adapun bunyi Pasal 145 HIR tersebut adalah sebagai berikut: “Yang tidak dapat didengar sebagai saksi adalah: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 1. keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang lurus; 2. istri atau suami dari salah satu pihak, meskipun sudah ada perceraian; 3. anak-anak yang umumnya tidak dapat diketahui pasti, bahwa mereka sudah berusia 15 (lima belas) tahun; 4. orang gila, meskipun ia terkadang-kadang mempunyai ingatan terang.” Dari penjelasan Pasal 145 HIR tersebut, pada ayat 1 terdapat kata- kata “ Keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang lurus”, kalimat ini memiliki makna hubungan keluarga dengan orang tua, mertua, anak kandung, atau anak angkat. Selain itu, pada Pasal 146 HIR juga mengatur mengenai orang-orang yang memiliki hak untuk mengundurkan diri sebagai saksi, yaitu: 1. saudara laki dan saudara perempuan, dan ipar laki-laki dan perempuan dari salah satu pihak; 2. keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara laki-laki dan perempuan dari laki atau isteri salah satu pihak; 3. semua orang yang karena kedudukan pekerjaan atau jabatannya yang syah, diwajibkan menyimpan rahasia; tetapi semata-mata hanya mengenai hal demikian yang dipercayakan padanya. Dengan demikian, paman dari teman Anda dapat menjadi saksi dan dapat didengar keterangannya di pengadilan tentang perkara perdata yang teman Anda hadapi. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Het Herziene Indonesisch Reglemen atau HIR, Staatblad Tahun 1941 No. 44 hir"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa sebenarnya yang menjadi perbedaan utama antara seorang paralegal dan magang? Karena pada tiap law firm, seorang paralegal sudah pasti mendapat gaji tetap sedang magang dalam UU Advokat tidak ada kewajiban untuk dibayar. Apakah seorang paralegal dapat menjadi seorang advokat? Sekian dan terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Istilah paralegal lazim dikenal di komunitas hukum. Namun, hingga saat ini istilah paralegal tidak kita temui dalam peraturan perundang-undangan. Karena itu, definisi paralegal sampai saat ini belum seragam (baca artikel Posisi Paralegal di Tengah Konflik Advokat ). KLINIK TERKAIT Ketentuan Pemagangan Agar Tak Menyalahi UU Ketenagakerjaan 31 Mei 2017 Lapangan Pekerjaan Bidang Hukum 08 Mar 2011 Praktek Kerja Lapangan 20 Des 2010 Magang Advokat 22 Okt 2010 Dalam hukumpedia misalnya, paralegal didefinisikan sebagai orang yang melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan hukum, namun ia tidak mempunyai kualifikasi sebagai praktisi hukum. Bahkan, dalam beberapa literatur disebutkan bahwa paralegal bukanlah sarjana hukum. Tugas paralegal umumnya adalah membantu advokat, di antaranya untuk pekerjaan administratif dan pengarsipan dokumen. Menurut Ahmad Fikri Assegaf partner di Assegaf Hamzah & Partner, tidak semua kantor advokat memiliki paralegal. Di sebagian kantor advokat, pekerjaan yang biasanya dilakukan paralegal dilakukan juga oleh advokat. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Mengenai magang atau pemagangan di kantor advokat, dikenal beberapa jenis pemagangan (magang). Yaitu pemagangan dalam rangka pelatihan kerja dan pemagangan dalam rangka pemenuhan persyaratan menjadi advokat. Magang dalam konteks pelatihan kerja diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) . Pemagangan menurut Pasal 1 angka 11 UU Ketenagakerjaan adalah: “ bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu. ” Menurut Fikri, jalur pemagangan sebagai pelatihan kerja di kantor advokat pada umumnya dibuka untuk para mahasiswa yang baru lulus dari fakultas hukum. Lamanya masa magang biasanya adalah tiga bulan, tapi bisa berbeda untuk setiap kantor advokat. Kantor advokat membayar upah pekerja magang. Kantor advokat dapat meningkatkan status pekerja magang menjadi asisten advokat berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Status asisten advokat akan meningkat lagi setelah yang bersangkutan diangkat sebagai advokat oleh organisasi advokat. Demikian menurut Fikri. Sedangkan, magang dalam konteks pemenuhan persyaratan menjadi advokat diatur dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”) . Untuk dapat diangkat menjadi advokat, seorang calon advokat harus mengikuti magang di kantor advokat sekurang-kurangnya dua tahun secara terus-menerus di kantor advokat (lihat Pasal 3 ayat [1] huruf g UU Advokat ). Pemagangan dalam rangka memenuhi syarat sebagai advokat harus memenuhi sejumlah persyaratan yang diatur baik oleh UU Advokat maupun peraturan organisasi advokat. Pemagangan dalam konteks pemenuhan syarat sebagai advokat diatur pula dalam Peraturan Peradi No. 2 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Magang untuk Calon Advokat (“Peraturan Peradi 2/2006”) . Pasal 7 Peraturan Peradi 2/2006 antara lain menyatakan bahwa calon advokat magang dilarang memberikan jasa hukum secara langsung kepada klien, tetapi semata-mata membantu Advokat Pendamping dalam memberikan jasa hukum. Bedanya dengan magang dalam konteks pelatihan kerja, magang untuk menjadi advokat tidak berarti calon advokat harus menjadi karyawan pada kantor advokat tempat ia melakukan magang. Selengkapnya, simak artikel Prosedur Menjadi Advokat Sejak PKPA Hingga Pengangkatan . Jadi, dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa perbedaan utama atau mendasar antara paralegal dengan calon advokat magang antara lain; Perbedaan Paralegal Magang Dasar hukum Eksistensinya belum diatur undang-undang 1. Magang dalam konteks pelatihan kerja diatur dalam UU Ketenagakerjaan 2. Magang di kantor advokat dalam konteks pemenuhan syarat sebagai advokat diatur dalam UU Advokat dan peraturan organisasi advokat Kualifikasi - Tidak ada kualifikasi standar - Bukan sarjana berlatar belakang pendidikan tinggi hukum Sarjana berlatar belakang pendidikan tinggi hukum Syarat sebagai advokat Bukan syarat atau jenjang untuk menjadi advokat Magang adalah syarat atau jenjang untuk menjadi advokat Meski pada umumnya paralegal bukan merupakan sarjana berlatar pendidikan tinggi hukum, namun bisa saja seorang sarjana hukum menjadi paralegal. Paralegal yang telah memenuhi seluruh persyaratan untuk menjadi advokat sesuai UU Advokat, maka yang bersangkutan dapat diangkat menjadi advokat. Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 2. Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat 3. Peraturan Peradi No. 2 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Magang untuk Calon Advokat"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah perkumpulan seperti Partai Politik yang sudah berbadan hukum dapat memiliki aset berupa tanah dan bangunan yang berstatus hak milik? Kalau dimungkinkan apa saja syarat untuk memperoleh hal tersebut? Atas pencerahannya kami sampaikan terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Bolehkah CPNS Menjadi Anggota Partai Politik? 25 Jul 2019 Apakah Keturunan PKI Boleh Menjadi PNS? 17 Sep 2015 Bolehkah Kepala Desa Berpolitik? 05 Jun 2015 Fungsi Partai Politik 27 Mar 2015 Intisari: Mengenai apakah partai politik dapat memiliki tanah dengan hak milik atau tidak, Anda dapat melihat pada ketentuan Pasal 21 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) . Dalam pasal tersebut, diatur bahwa yang dapat mempunyai hak milik adalah: 1. Warga Negara Indonesia. 2. Badan-badan Hukum yang ditunjuk oleh Peraturan Pemerintah. Partai politik tidak termasuk sebagai salah satu badan hukum yang dapat mempunyai tanah hak milik berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah . Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Partai Politik sebagai Badan Hukum Partai Politik (“Parpol”) menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (“ UU Parpol”) adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Partai politik harus didaftarkan ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk menjadi badan hukum. [1] Untuk menjadi Badan Hukum, Partai Politik harus mempunyai: [2] 1. Akta Notaris pendirian Partai Politik; 2. Nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar yang telah dipakai secara sah oleh Partai Politik lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan; 3. Kepengurusan pada setiap provinsi dan paling sedikit 75% dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan dan paling sedikit 50% dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan; 4. Kantor tetap pada tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir pemilihan umum; dan 5. Rekening atas nama Partai Politik. Pemegang Hak Milik Mengenai apakah Parpol dapat memiliki tanah hak milik atau tidak, Anda dapat melihat pengaturannya pada Pasal 21 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) . Dalam pasal tersebut, diatur bahwa yang dapat mempunyai hak milik adalah: 1. Warga Negara Indonesia. 2. Badan-badan Hukum yang ditunjuk oleh Peraturan Pemerintah. Apa sajakah badan hukum yang dapat mempunyai hak milik? Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah , badan-badan hukum yang dapat mempunyai tanah hak milik, yaitu: a. Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut Bank Negara); b. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasar atas Undang-Undang No. 79 Tahun 1958 (Lembaran-Negara Tahun 1958 No. 139); c. Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Agama; d. Badan-badan sosial, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial. Baca juga artikel Apakah Yayasan Keagamaan Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah? Sebagaimana diuraikan di atas, memang Partai Politik merupakan badan hukum, akan tetapi tidak termasuk Badan Hukum yang ditetapkan pemerintah sebagai subjek hak milik. Jadi, dengan demikian Partai Politik tidak dapat menjadi subjek hak milik atas tanah. Walaupun tidak dapat mempunyai tanah hak milik, Parpol, sebagai badan hukum, masih dapat mempunyai hak atas tanah yang lain, diantaranya: a. Hak Guna Usaha ( Pasal 30 UUPA ); b. Hak Guna Bangunan ( Pasal 36 UUPA ); c. Hak Pakai ( Pasal 42 UUPA ); dan d. Hak Pengelolaan ( Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah Untuk Keperluan Perusahaan ). Lebih lanjut mengenai badan hukum yang bisa memperoleh hak milik dapat Anda simak pada artikel berjudul Badan-Badan Hukum yang Dapat Punya Hak Milik Atas Tanah. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ; 2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 ; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah . [1] Pasal 3 ayat (1) UU Parpol [2] Pasal 3 ayat (2 ) UU Parpol partai politik pertanahan hukumonline klinik hukumonline hukum politik klinik badan hukum hak milik hak atas tanah"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya telah menikah sah secara agama (nikah siri), tapi memang karena satu dan lain hal, pernikahan tersebut terpaksa belum bisa dicatat secara negara. Apakah pasangan nikah siri bisa buat KK?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Pasangan Nikah Siri Punya KK, Bisakah? dan pertama kali dipublikasikan pada Rabu, 13 Oktober 2021. KLINIK TERKAIT Langkah dan Prosedur Permohonan Itsbat Nikah 14 Jul 2023 Apakah Nikah Siri Itu Zina? 17 Mei 2023 Apakah Istri Siri Bisa Menggugat Cerai Suaminya? 11 Mei 2023 Adakah Surat Bukti Nikah Siri? 28 Apr 2023 Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami asumsikan bahwa Anda dan suami Anda beragama Islam dan telah menikah secara agama menurut hukum Islam. Sebelum menjawab pokok pertanyaan Anda, kami ingin menegaskan bahwa merujuk pada Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan , tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) KHI , yang mengharuskan setiap perkawinan dicatat agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam. Pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh pegawai pencatat nikah. [1] Pencatatan perkawinan ini penting sekali, sebab jika tidak dicatat, meskipun sah di mata agama, namun perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara. Akibatnya, anak maupun istri dari perkawinan siri tidak memiliki status hukum di hadapan negara. Tak hanya itu, nikah siri juga menimbulkan konsekuensi hukum lainnya, di antaranya: Anak yang lahir berstatus sebagai anak luar kawin Dikutip dari Akta Kelahiran untuk Anak Hasil Kawin Siri , anak yang dilahirkan oleh pasangan nikah siri merupakan anak luar kawin. Akibatnya, anak itu hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Berpotensi dijerat pasal perzinahan dalam KUHP Apabila salah satu atau keduanya telah memiliki pasangan suami/istri yang sah, nikah siri dapat memberi ruang delik perzinahan, sebagaimana diatur dalam Pasal 284 KUHP yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan Pasal 411 ayat (1) UU 1/2023 atau yang dikenal juga dengan KUHP Baru yang baru berlaku 3 tahun sejak diundangkan, [2] yaitu tahun 2026. Pasal 284 ayat (1) KUHP Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan: a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya; b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya; a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin; b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya. Pasal 411 ayat (1) UU 1/2023 Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta. [3] Sehingga, untuk mengantisipasi terjadinya konsekuensi hukum sebagaimana dimaksud di atas, kami menyarankan sebaiknya Anda untuk segera mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama. Kemudian menjawab pertanyaan Anda, mengenai bisa atau tidaknya pasangan yang menikah siri membuat KK, sepanjang penelusuran kami, belum ada aturan yang secara eksplisit mengatur syarat membuat KK bagi pasangan suami-istri yang menikah siri. Namun demikian, Zudan Arif Fakrulloh Sekretaris Badan Nasional Pengelola Perbatasan dan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (“Dukcapil”) Kementerian Dalam Negeri , dalam akun Instagram miliknya menegaskan semua penduduk Indonesia wajib terdata di dalam kartu keluarga. Pasangan yang menikah siri dapat dimasukkan ke dalam 1 KK. Namun Zudan turut menegaskan bahwa Dukcapil tidak menikahkan, tetapi hanya mencatat telah terjadinya perkawinan. Nantinya, di dalam KK akan ditulis keterangan “kawin belum tercatat”. Zudan menerangkan untuk membuat KK tersebut, pasangan nikah siri harus melampirkan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (“SPTJM”), kebenaran pasangan suami-istri Selain itu, koordinasi dengan Kementerian PPPA juga penting dilakukan. Sebab, praktik nikah siri ini kerap merugikan pihak perempuan dan anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Di sisi lain, kebijakan yang dikeluarkan tersebut berpotensi meningkatkan angka perkawinan tak tercatat, yang tentunya berpotensi merugikan lebih banyak perempuan dan anak. Demikian jawaban dari kami terkait KK nikah siri sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1994 tentang Perkawinan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1994 tentang Perkawinan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam REFERENSI:\n1. Instagram , diakses pada 25 Mei 2023 pukul 17.00 WIB. [1] Pasal 5 ayat (2) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam [2] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”) [3] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023 kartu keluarga kawin siri kk nikah siri"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah pasien dapat disebut konsumen rumah sakit?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelum menjawab pertanyaan Anda, terlebih dahulu kami memberikan definisi pasien . KLINIK TERKAIT Penahanan Pasien oleh Rumah Sakit termasuk Penyanderaan? 06 Nov 2023 Bolehkah Keluarga Pasien Melihat Rekam Medis? 04 Sep 2023 Upaya Hukum Jika Pasien Tidak Membayar Biaya Perawatan 05 Des 2012 Langkah-langkah yang Dapat Dilakukan Pasien Korban Malpraktik 26 Jan 2012 1. Berdasarkan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (“UU 29/2004”), pasien adalah : “… setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi.” Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 2. B erdasarkan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (“UU 44/2009”), pasien adalah: “… setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung di Rumah Sakit.” Adapun definisi konsumen terdapat dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU Perlindungan Konsumen”) yaitu, setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Dari bunyi pasal-pasal di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa pasien adalah konsumen pemakai jasa layanan kesehatan . Sebagai pemakai jasa layanan kesehatan, pasien juga disebut sebagai konsumen sehingga dalam hal ini berlaku juga ketentuan UUPK . Lebih jauh mengenai perlindungan hak pasien dapat Anda simak dalam artikel Hak Pasien atas Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit . Selain itu, kita juga dapat merujuk pada pendapat peneliti Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Indonesia (YLKI), Ida Marlinda . Dalam artikel Pemenuhan Hak Pasien Masih Diskriminatif , Menurut Ida, pada dasarnya pasien memiliki kedudukan sebagai konsumen yang mendapatkan pelayanan jasa dari dokter . Masalahnya, kata Ida, kalangan dokter cenderung tidak sepakat jika profesi kedokteran dimasukkan ke dalam rezim UU Perlindungan Konsumen. Lihat juga pembahasan masalah ini dalam Laporan Penelitian Hukum tentang Hubungan Tenaga Medik, Rumah Sakit, dan Pasien yang dipublikasikan di laman resmi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) . DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 2. Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran 3. Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit uu praktik kedokteran uu perlindungan konsumen"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah pegawai BUMN dapat terikat perjanjian kerja lain di luar pekerjaan pokok dia sebagai pegawai tetap BUMN? Atau BUMN mempunyai aturan sendiri mengenai kepegawaian?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Berdasarkan Pasal 87 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (“UU BUMN”), karyawan BUMN merupakan pekerja BUMN yang pengangkatan, pemberhentian, kedudukan, hak dan kewajibannya ditetapkan berdasarkan perjanjian kerja bersama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan . Dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwa dengan status kepegawaian BUMN seperti itu, bagi BUMN tidak berlaku segala ketentuan eselonisasi jabatan yang berlaku bagi pegawai negeri . KLINIK TERKAIT Hal yang Harus Diperhatikan Saat Penyusunan Struktur dan Skala Upah 08 Des 2022 Aturan Besaran THR Direksi BUMN 29 Mei 2017 Haruskah Membayar Denda karena Resign Sebelum Perjanjian Kerja Berakhir? 13 Jul 2011 Izin Penggunaan Nama (Perusahaan) 28 Des 2010 Dari ketentuan tersebut juga dapat simpulkan bahwa terhadap karyawan BUMN berlaku ketentuan ketenagakerjaan yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”). UUK memang tidak mengatur secara tegas mengenai larangan pekerja bekerja di dua tempat atau dua perusahaan yang berbeda. Namun, dalam Pasal 161 ayat (1) UU 13/2003 dinyatakan bahwa dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja (“PK”), peraturan perusahaan (“PP”) atau perjanjian kerja bersama (“PKB”), pengusaha dapat melakukan PHK, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Dengan demikian, mengenai apakah boleh karyawan BUMN terikat perjanjian kerja lain di luar perjanjian kerjanya dengan BUMN, harus dilihat apakah ada larangan bagi karyawan BUMN tersebut untuk bekerja ganda di dalam PK, PP atau PKB. Jika di dalam PK, PP atau PKB tidak diatur mengenai larangan bekerja ganda, maka Manajemen BUMN tidak dapat mem-PHK karyawannya atas alasan tersebut. Namun, jika di dalam PK, PP atau PKB diatur mengenai larangan bekerja ganda, maka Manajemen BUMN tidak dapat langsung mem-PHK karyawan tersebut. Lebih jauh, simak Bisakah Di-PHK Karena Bekerja di Dua Perusahaan? Jadi, bagi karyawan BUMN yang berlaku adalah ketentuan ketenagakerjaan sebagaimana diatur dalam UUK dan peraturan pelaksananya dan bukan ketentuan kepegawaian yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil, kecuali ditentukan lain dalam peraturan terkait BUMN. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ; 2. Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara . Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ."
} |
{
"from": "human",
"value": "Bagaimana status PDAM? Apakah PDAM merupakan instansi pemerintahan? Kalau begitu pegawai PDAM adalah PNS?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Bisakah Dilakukan Penyitaan Terhadap Barang Milik BUMD? 09 Feb 2017 Apakah Kepala Sekolah Negeri Termasuk Pejabat Pemerintahan? 07 Feb 2017 Sanksi Bagi CPNS yang Tak Pernah Bertugas Setelah SK Pengangkatan 24 Okt 2016 Persyaratan Izin Usaha Depot Air Minum Isi Ulang 11 Okt 2016 Intisari: Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) adalah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang bergerak di bidang pelayanan air minum . BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah . Sedangkan instansi pemerintah yang Anda sebut adalah unsur penyelenggara pemerintahan pusat atau unsur penyelenggara pemerintahan daerah. PDAM adalah badan usaha, itu artinya PDAM tidak menyelenggarakan pemerintahan. Yang berarti, PDAM bukan termasuk instansi pemerintah. Oleh karena itu, pegawai PDAM tidak berstatus PNS. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda, Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2007 tentang Organ dan Kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum (“Pemendagri 2/2007”) . Perusahaan Daerah Air Minum Perusahaan Daerah Air Minum (“PDAM”) adalah Badan Usaha Milik Daerah yang bergerak di bidang pelayanan air minum. [1] Badan Usaha Milik Daerah (“BUMD”) adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah . [2] PDAM yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah didukung dengan organ dan kepegawaian. [3] Organ PDAM terdiri dari: [4] a. Kepala Daerah selaku pemilik modal; b. Dewan Pengawas: dan c. Direksi. Instansi Pemerintah Undang-undang yang memberikan definisi instansi pemerintah adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”) pada Pasal 1 angka 15: Instansi Pemerintah adalah instansi pusat dan instansi daerah. Yang dimaksud dengan instansi pusat dan instansi daerah menurut UU ASN adalah sebagai berikut: a. Instansi Pusat adalah kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, kesekretariatan lembaga negara, dan kesekretariatan lembaga nonstruktural. [5] b. Instansi Daerah adalah perangkat daerah provinsi dan perangkat daerah kabupaten/kota yang meliputi sekretariat daerah, sekretariat dewan perwakilan rakyat daerah, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah. [6] Di peraturan perundang-undangan lain, definisi instansi pemerintah juga dapat di temukan pada Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (“Perpres 29/2014”) pada Pasal 1 angka 20 : Instansi pemerintah adalah unsur penyelenggara pemerintahan pusat atau unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Jadi, dari definisi PDAM di atas jelas bahwa PDAM merupakan BUMD di bidang pelayanan air minum, yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh daerah. Itu artinya, PDAM tidak menyelenggarakan pemerintahan. Oleh karena itu, menjawab pertanyaan Anda, PDAM bukan termasuk instansi pemerintah. Status dan Pengangkatan Pegawai PDAM Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan . [7] Sedangkan yang berwenang mengangkat serta memberhentikan pegawai PDAM adalah direksi . [8] Pengangkatan pegawai PDAM harus memenuhi persyaratan: [9] a. Warga Negara Republik Indonesia; b. berkelakuan baik dan belum pernah dihukum; c. mempunyai pendidikan, kecakapan dan keahlian yang diperlukan; d. dinyatakan sehat oleh rumah sakit umum yang ditunjuk oleh Direksi; e. usia paling tinggi 35 (tiga puluh lima) tahun; dan f. lulus seleksi. Jadi, pegawai PDAM diangkat oleh direksi dengan memenuhi beberapa persyaratan. Sedangkan PNS diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. Itu berarti, pegawai PDAM tidak berstatus PNS. Namun sebagai informasi tambahan untuk Anda, penyusunan skala gaji pegawai PDAM dapat mengacu pada prinsip-prinsip skala gaji PNS yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan PDAM yang ditetapkan dengan Keputusan Direksi. [10] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ; 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana yang telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ; 3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2007 tentang Organ dan Kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum ; 4. Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah . [1] Pasal 1 angka 1 Pemendagri 2/2007 [2] Pasal 1 angka 40 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana yang telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 [3] Pasal 2 ayat (1) Pemendagri 2/2007 [4] Pasal 2 ayat (2) Pemendagri 2/2007 [5] Pasal 1 angka 16 UU ASN [6] Pasal 1 angka 17 UU ASN [7] Pasal 1 angka 3 UU ASN [8] Pasal 9 huruf a Pemendagri 2/2007 [9] Pasal 33 ayat (1) Pemendagri 2/2007 [10] Pasal 37 Pemendagri 2/2007 lembaga pemerintah pegawai negeri sipil pemerintah daerah pns gaji klinik hukumonline pemda pdam bupati pemerintahan daerah direksi pemerintah pusat perburuhan hukumonline ketenagakerjaan badan usaha milik negara walikota google karyawan saham gubernur hukum klinik perusahaan bumd"
} |
{
"from": "human",
"value": "Jika karyawan yang mogok kerja akan dikenakan PHK oleh pengusaha, apakah ada pasal mengenai PHK jika mengikuti mogok kerja?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Perlu Anda ketahui bahwa mogok kerja sebenarnya adalah hak dasar dari pekerja yang dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan, sebagaimana diuraikan dalam Pasal 137 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) . Sebagai suatu hak dasar, ada ketentuan-ketentuan yang harus ditaati dalam melakukan mogok kerja. Hal-hal yang harus dipenuhi dalam melakukan mogok kerja dapat dilihat dalam Pasal 139 dan Pasal 140 UU Ketenagakerjaan : KLINIK TERKAIT Aturan PHK karena Sakit Tanpa Surat Dokter 17 Mei 2024 Tidur di Tempat Kerja Saat Puasa, Bisakah Dipecat? 18 Mar 2024 Hukumnya Jika di-PHK Karena Datang Terlambat 26 Apr 2021 Hak-hak Pekerja Outsourcing (Alih Daya) 05 Mar 2013 Pasal 139 UU Ketenagakerjaan: Pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Pasal 140 UU Ketenagakerjaan: (1) Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat. (2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat: a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja; b. tempat mogok kerja; c. alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan d. tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja. (3) Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditandatangani oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja. (4) Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka demi menyelamatkan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil tindakan sementara dengan cara: a. melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses produksi; atau b. bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan. Lebih lanjut, Anda dapat membaca artikel yang berjudul Hal-hal Apa yang Harus Dilakukan Sebelum Melaksanakan Mogok Kerja? dan Mogok Kerja Harus Dapat Izin Kepolisian? . Kami kurang mendapat keterangan yang detail mengenai apakah mogok kerja yang dilakukan oleh pekerja ini telah memenuhi ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan atau tidak. Jika mogok kerja tersebut telah memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku, maka mogok kerja tersebut adalah mogok kerja yang sah. Sebaliknya jika mogok kerja tersebut tidak memenuhi ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan, maka mogok kerja tersebut tidak sah. Berdasarkan Pasal 142 UU Ketenagakerjaan , jika mogok kerja yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 139 dan Pasal 140 UU Ketenagakerjaan, maka mogok kerja tersebut tidak sah. Selain itu, Pasal 3 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. KEP-232/MEN/2003 Tahun 2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja yang Tidak Sah (“Kepmenaker 232/2003”) juga menjelaskan mengenai mogok kerja seperti apa yang dikatakan tidak sah. Berdasarkan Pasal 3 Kepmenaker 232/2003, m ogok kerja tidak sah apabila dilakukan: a. bukan akibat gagalnya perundingan; dan/atau b. tanpa pemberitahuan kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan; dan/atau c. dengan pemberitahuan kurang dari 7 (tujuh) hari sebelum pelaksanaan mogok kerja; dan/atau d. isi pemberitahuan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf a, b, c, dan d UU Ketenagakerjaan . Akibat dari mogok kerja yang tidak sah diatur dalam Pasal 6 Kepmenaker 232/2003 , yaitu bahwa pekerja dikualifikasikan sebagai mangkir. Atas hal ini, pengusaha melakukan pemanggilan kepada pekerja yang melakukan mogok kerja untuk kembali bekerja. Pemanggilan tersebut dilakukan oleh pengusaha 2 (dua) kali berturut-turut dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari dalam bentuk pemanggilan secara patut dan tertulis. Jika pekerja/buruh tidak memenuhi panggilan tersebut, maka dianggap mengundurkan diri. Sedangkan, jika mogok kerja yang dilakukan telah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 139 dan Pasal 140 UU Ketenagakerjaan, maka mogok kerja tersebut sah. Atas mogok kerja yang telah sah tersebut, berdasarkan Pasal 144 UU Ketenagakerjaan , pengusaha dilarang: a. mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar perusahaan; atau b. memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada pasal yang menyatakan bahwa pengusaha memiliki hak untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (“PHK”) kepada pekerja yang melakukan mogok kerja. Tetapi, perlu diketahui juga bahwa tidak ada pasal yang secara jelas mengatakan bahwa pengusaha tidak boleh melakukan PHK terhadap pekerja yang melakukan mogok kerja (lihat Pasal 153 UU Ketenagakerjaan mengenai hal-hal yang tidak boleh dijadikan alasan oleh pengusaha untuk melakukan PHK). Akan tetapi, merujuk pada ketentuan dalam Pasal 6 Kepmenaker 232/2003 , dapat kita lihat bahwa jika mogok kerja tersebut tidak sah, tanpa pengusaha perlu melakukan PHK, pekerja yang telah dipanggil sebanyak 2 (dua) kali untuk kembali bekerja tetapi tidak memenuhi panggilan tersebut, dianggap mengundurkan diri. Ini berarti bahwa pengusaha tidak secara langsung mempunyai hak untuk langsung melakukan PHK kepada pekerja tersebut, tetapi peraturan perundang-undangan memberikan perlindungan kepada pengusaha dengan memberikan ketentuan mengenai pengunduran diri tersebut. Sedangkan, jika mogok kerja tersebut sah, kita dapat merujuk pada ketentuan Pasal 144 huruf b UU Ketenagakerjaan yang mengatakan bahwa pengusaha dilarang memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa jika PHK yang dilakukan oleh pengusaha merupakan wujud dari sanksi atau tindakan balasan bagi pekerja yang melakukan mogok kerja secara sah, maka hal tersebut tidak boleh dilakukan. Jika pengusaha melanggar Pasal 144 UU Ketenagakerjaan, pengusaha dapat dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp10 juta dan paling banyak Rp100 juta ( Pasal 187 UU Ketenagakerjaan ). Jadi, pada dasarnya pengusaha tidak dapat melakukan PHK kepada pekerja yang melakukan mogok kerja. Demikian jawaban dari kami semoga bermanfaat. Dasar Hukum : 1. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ; 2. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No. KEP-232/MEN/2003 Tahun 2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja yang Tidak Sah. mogok kerja"
} |
{
"from": "human",
"value": "Perusahaan A sedang dalam proses penjualan 80% sahamnya ke perusahaan B. Penjualan saham disebabkan Perusahaan A sedang dalam kesulitan finansial. Yang menjadi pertanyaan: 1. Dengan adanya penjualan saham sebagian ke perusahaan B, apakah status karyawan menjadi berubah atau tetap seperti sebelumnya. 2. Bolehkah karyawan mengajukan PHK, dengan dasar hukum UU Ketenagakerjaan Tahun 2013 pasal 163 ayat 1? 3. Apa yang semestinya yang harus dilakukan karyawan dengan adanya kasus seperti ini, agar hak-hak karyawan tetap terlindungi? Terima kasih"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Pengambilalihan saham tidak mengakibatkan berakhirnya perjanjian kerja antara perseroan dengan pekerja. Mengenai apakah pekerja bisa melakukan pemutusan hubungan kerja jika terjadi pengambilalihan perusahaan, pada dasarnya pekerja tidak bisa begitu saja mengakhiri hubungan kerja. Hubungan kerja hanya bisa diakhiri jika dilakukan restrukturisasi organisasi atau perampingan atau rotasi/mutasi yang mengakibatkan perubahan syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: Pengambilalihan Saham Jual beli saham sebagian sebesar 80% ini berarti terjadi pengambilalihan oleh perusahaan B (sebagai pembeli saham). Mengenai pengertian pengambilalihan atau akuisisi ini dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) : KLINIK TERKAIT Stres karena Pekerjaan, Bisakah Jadi Alasan Resign ? 11 Sep 2023 Siapa yang Berwenang Menerbitkan SP untuk Pekerja? 20 Nov 2020 Langkah yang Bisa Dilakukan Karyawan Jika Tidak Mau Dimutasi 30 Okt 2015 Uang Pisah Bagi Karyawan yang Mengundurkan Diri 17 Okt 2014 “Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut.” Pengambilalihan tersebut mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap Perseroan. [1] Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Pengertian serupa juga dapat kita temukan dalam Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan, Dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas (“PP 27/1998”) : “Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih baik seluruh ataupun sebagian besar saham perseroan yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap perseroan tersebut.” Yang dimaksud dengan \"sebagian besar\" dalam hal ini meliputi baik lebih dari 50% (lima puluh perseratus) maupun suatu jumlah tertentu yang menunjukkan bahwa jumlah tersebut lebih besar daripada kepemilikan saham dari pemegang saham lainnya. [2] Jadi, pada dasarnya dalam pengambilalihan perseroan, perseroan tersebut tetap ada, akan tetapi terjadi perubahan pihak yang mempunyai kendali dalam pengambilan keputusan di perseroan. Status Pekerja Mengenai bagaimana status pekerja setelah ada pengambilalihan perseroan, telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) bahwa perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah. [3] Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh. [4] Ini berarti tidak ada perubahan status pekerja dan pekerja tetap bekerja untuk perseroan yang sama karena perubahan yang terjadi dalam perseroan tidak mengakibatkan berakhirnya perjanjian. Pengajuan Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pekerja Walaupun tidak ada perubahan status pekerja, baik pengusaha dan pekerja dapat melakukan pemutusan hubungan kerja (“PHK”) dalam hal terjadi perubahan status perseroan sebagaimana diatur dalam Pasal 163 UU Ketenagakerjaan , sebagai berikut: (1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja , maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang perhargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4). (2) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perubahan status, penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaannya , maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4). Mengenai pelaksanaan Pasal 163 UU Ketenagakerjaan, Umar Kasim dalam artikel berjudul Mekanisme Pelaksanaan Pasal 163 UU No. 13/2003 menjelaskan antara lain sebagai berikut: “… dalam hal terjadi corporate action : perubahan status , penggabungan (merger), konsolidasi, atau perubahan kepemilikan (take over/ akuisisi ), pekerja /buruh hanya dapat mengakhiri hubungan kerja (tidak bersedia lagi melanjutkan hubungan kerja) – setelah - dilakukan restrukturisasi organisasi dan/atau perampingan dan terjadi rotasi/mutasi (sesuai kebutuhan management) yang mengakibatkan adanya perubahan syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban yang berbeda dengan apa yang telah dituangkan dalam perjanjian kerja dan/atau peraturan perusahaan/perjanjian kerja bersama sebelumnya. Kecuali telah diatur/diperjanjikan sebelumnya. Dengan kata lain, apabila – setelah - dilakukan restrukturisasi organisasi dan/atau perampingan, namun tidak terjadi perubahan syarat-syarat kerja dan/atau tidak dilakukan rotasi/mutasi (termasuk reposisi atau demosi) , maka karyawan yang bersangkutan tidak berhak untuk menyatakan tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja dengan alasan corporate action sebagaimana tersebut di atas. Apabila karyawan bersangkutan tetap menghendaki pengakhiran hubungan kerja tanpa adanya restrukturisasi, tidak ada rotasi/mutasi, reposisi atau demosi dan tidak ada perubahan syarat-syarat kerja, maka dianggap sebagai mengundurkan diri secara sukarela sebagaimana dimaksud pasal 162 ayat (1) UU No.13/2003 .” Ini berarti, pekerja tidak bisa begitu saja mengakhiri hubungan kerja. Hubungan kerja hanya bisa diakhiri jika dilakukan restrukturisasi organisasi atau perampingan atau rotasi/mutasi yang mengakibatkan perubahan syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban. Perlindungan Bagi Pekerja Pada dasarnya apa yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan cukup memberikan perlindungan dalam hal terjadi pengambilalihan/akuisisi. Yaitu bahwa pekerja tetap bekerja seperti biasa dan mempunyai status yang sama seperti sebelum terjadi pengambilalihan. Sedangkan jika terjadi perubahan terkait pekerjaan akibat pengambilalihan, baik pengusaha dan pekerja dapat memilih untuk mengakhiri hubungan kerja atau tidak. Perlindungan bagi pekerja juga dapat dilihat dari uang pesangon yang lebih besar yang didapat pekerja jika terjadi pemutusan hubungan kerja dimana pengusaha tidak bersedia menerima pekerja di perusahaannya. Lebih lanjut mengenai perhitungan uang pesangon, dapat dilihat dalam artikel Cara Menghitung Pesangon Berdasarkan Alasan PHK . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan, Dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas [1] Pasal 125 ayat (3) UUPT [2] Penjelasan Pasal 1 angka 3 PP 27/1998 [3] Pasal 61 ayat (2) UU Ketenagakerjaan [4] Pasal 61 ayat (3) UU Ketenagakerjaan hukumonline phk uu ketenagakerjaan hukum klinik hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah pekerja outsourcing berhak terima uang kompensasi jika hubungan kerja berakhir? Jika berhak, bagaimana perhitungannya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Hak Pekerja yang di-PHK di Tengah Masa Kontrak 18 Okt 2023 Mandor Pimpin Buruh Lepas, Termasuk Outsourcing ? 13 Mei 2022 Pekerja Kontrak Berubah Menjadi Tetap karena Ini! 18 Jun 2021 Perbedaan Ketentuan untuk Pekerja Tetap, Kontrak dan Outsourcing 14 Apr 2021 Salah satu hak yang diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) yang beberapa ketentuannya diubah, dihapus, atau ditetapkan pengaturan baru dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ( “ UU Cipta Kerja” ) adalah uang kompensasi bagi pekerja tidak tetap atau pekerja dengan perjanjian kerja untuk waktu tertentu (“PKWT”) atau dikenal dengan pekerja kontrak. Selain itu, diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (“PP 35/2021”) . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Untuk menjawab pertanyaan Anda, sebelumnya Anda perlu memahami hal-hal berikut: Ketentuan P ekerja Outsourcing di P erusahaan Alih Daya Secara khusus ketentuan mengenai pekerja di perusahaan alih daya ( outsourcing ) dapat Anda lihat dalam Pasal 18 s.d Pasal 20 PP 35/2021 . Hubungan kerja antara perusahaan outsourcing dengan pekerjanya didasarkan pada PKWT atau perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu (“PKWTT”) yang harus dibuat secara tertulis. [1] Kemudian, Pasal 18 ayat (3) PP 35/2021 mengatur: Pelindungan Pekerja/Buruh, Upah dan kesejahteraan, syarat kerja, serta perselisihan yang timbul dilaksanakan sekurang-kurangnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjadi tanggung jawab Perusahaan Alih Daya . Berakhirnya H ubungan K erja bagi P ekerja Outsourcing Hubungan kerja berakhir apabila perjanjian kerja baik pekerja outsourcing dengan PKWT atau PKWTT berakhir dengan alasan-alasan sebagaimana diatur dalam Pasal 81 angka 16 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 61 UU Ketenagakerjaan : Perjanjian kerja berakhir apabila: pekerja/buruh meninggal dunia; berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja ; selesainya suatu pekerjaan tertentu; adanya putusan pengadilan dan/atau putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja . Khusus untuk huruf b dan c di atas berlaku untuk pekerja PKWT atau pekerja kontrak. Adapun PKWT sendiri dibentuk berdasarkan jangka waktu atau selesainya pekerjaan . [2] Hak P ekerja Outsourcing yang B erakhir H ubungan K erjanya Perlu dipahami, pengusaha wajib memberikan uang kompensasi ke pekerja PKWT yang berakhir hubungan kerjanya karena: [3] telah berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja; telah selesainya pekerjaan tertentu; atau Diputus hubungan kerjanya sebelum masa kontrak berakhir. [4] Uang kompensasi tersebut diberikan kepada pekerja sesuai dengan masa kerja nya di perusahaan yan g bersangkutan. [5] Bag aimana cara hitung uang kompensasi? Anda dapat membacanya lebih lanjut dalam Tentang Uang Kompensasi, ‘Pesangon’-nya Karyawan Kontrak Selain kompensasi, pekerja PKWT juga berhak menerima ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam PKWT. [6] Sedangkan apabila hubungan kerja pekerja outsourcing yang didasarkan PKWTT diputus, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja (UPMK) dan uang penggantian hak (UPH) . [7] Namun, hak-hak yang diterima besarannya berbeda-beda tergantung alasan berakhirnya hubungan kerja. Baca juga: Hak Pekerja yang Terkena PHK dan yang Mengundurkan Diri Kesimpulan Dengan demikian berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan, kami mengasumsikan bahwa pekerja outsourcing yang Anda maksud merupakan pekerja PKWT yang jangka waktu perjanjiannya sudah berakhir . Maka, ia berhak menerima uang kompensasi berdasarkan hitungan masa kerja pekerja . Ketentuan ini memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi pekerja PKWT. Lain halnya jika pekerja outsourcing dengan PKWT itu berakhir hubungan kerjanya sebelum jangka waktu perjanjian kerja berakhir , maka ia selain berhak mendapat uang kompensasi , juga berhak mendapat ganti rugi sebesar upahnya sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. Siapa yang Memenuhi Hak Pekerja Outsourcing ? Sebagai catatan, hak-hak pekerja outsourcing yang hubungan kerjanya berakhir sebagaimana diterangkan di atas diberikan oleh perusahaan alih daya , yaitu badan usaha berbentuk badan hukum yang memenuhi syarat untuk melaksanakan pekerjaan tertentu berdasarkan perjanjian yang disepakati dengan perusahaan pemberi pekerjaan. Patut diperhatikan, perusahaan alih daya berbeda dengan perusahaan pemberi pekerjaan. Sebagaimana disarikan dari Ini Bedanya Outsourcing di UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja , perusahaan alih daya bertanggung jawab penuh terhadap semua yang timbul akibat hubungan kerja pekerja outsourcing (hal. 1). Oleh karena itu, harus dipahami bahwa pekerja outsourcing memiliki hubungan kerja dengan perusahaan alih daya, bukan pada perusahaan pemberi kerja. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja [1] Pasal 18 ayat (1) dan (2) PP 35/2021 [2] Pasal 81 angka 12 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 56 ayat (2) UU Ketenagakerjaan [3] Pasal 81 angka 17 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 61A ayat (1) UU Ketenagakerjaan [4] Pasal 17 PP 35/2021 [5] Pasal 81 angka 17 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 61A ayat (2) UU Ketenagakerjaan [6] Pasal 62 UU Ketenagakerjaan [7] Pasal 81 angka 44 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 156 UU Ketenagakerjaan ketenagakerjaan kompensasi pkwt perusahaan outsourcing pkwtt"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya seorang pegawai alih daya yang ditempatkan di salah satu Bank BUMN. Saya sudah 1,5 tahun bekerja di bank tersebut. Setiap tahunnya pegawai tetap atau pegawai kontrak langsung (bukan alih daya) bank tersebut mendapatkan bonus tahunan sesuai prestasi masing-masing, akan tetapi saya sebagai pegawai alih daya tidak mendapatkan bonus tahunan tersebut. Apakah saya bisa menuntut bank tersebut sesuai hukum yang berlaku? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Artikel ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul Apakah Pekerja Outsourcing Juga Berhak Dapat Bonus Tahunan? yang dibuat oleh Letezia Tobing, S.H., M.Kn. dan pertama kali dipublikasikan pada Senin, 29 Februari 2016, kemudian dimutakhirkan pertama kalinya pada Senin, 7 Desember 2020. Alih Daya ( Outsourcing ) Saat ini, alih daya ( outsourcing ) diatur dalam Pasal 81 angka 20 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) dan Pasal 18-20 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (“PP 35/2021”) Hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis, baik perjanjian kerja waktu tertentu (“PKWT”) maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu (“PKWTT”). [1] Perlindungan Hak Pekerja Alih Daya Pelindungan terhadap pekerja/buruh, upah dan kesejahteraan , syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul dalam perjanjian kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerjanya dilaksanakan sekurang-kurangnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya . [2] Selain itu, apabila hubungan kerja didasarkan pada PKWT, maka dalam perjanjian kerja tersebut harus mensyaratkan pengalihan pelindungan hak-hak bagi pekerja/buruh apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya dan sepanjang objek pekerjaannya tetap ada. [3] Dalam hal ini, yang dimaksud dengan \"pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh\" yaitu perusahaan alih daya yang baru memberikan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh minimal sama dengan hak-hak yang diberikan oleh perusahaan alih daya sebelumnya. [4] Sedangkan \"obyek pekerjaannya tetap ada\" adalah pekerjaan yang ada pada 1 perusahaan pemberi pekerjaan yang sama. [5] Undang-undang tidak mengatur secara spesifik bagaimana bentuk pemenuhan perlindungan upah dan kesejahteraan pekerja pada perusahaan alih daya. Namun, telah ditegaskan bahwa pemenuhan tersebut dilaksanakan sekurang-kurangnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan tentang pemenuhan kesejahteraan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut antara lain yaitu upah minimum, [6] cuti, dan waktu istirahat. [7] Apakah Pekerja Alih Daya Berhak atas Bonus? Pasal 8 ayat (2) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan (“PP Pengupahan”) mengatur bonus sebagai salah satu jenis pendapatan non-upah yang dapat diberikan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh. Bonus dapat diberikan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh atas keuntungan perusahaan, yang mana penetapannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan (“PP”), atau perjanjian kerja bersama (“PKB”) . [8] Dalam hal ini, dikarenakan Pasal 1 angka 2 PP Pengupahan mendefinisikan pekerja/buruh sebagai setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain, maka pekerja pada perusahaan alih daya ( outsourcing ) seperti Anda juga termasuk buruh/pekerja yang berhak atas bonus . Sebelumnya, dalam Penjelasan 66 ayat (2) huruf c UU Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh (yang termasuk salah satu jenis perusahaan alih daya) memperoleh hak (yang sama) sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama atas perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul dengan pekerja/buruh lainnya di perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh. Akan tetapi, ketentuan tersebut telah dihapuskan oleh UU Cipta Kerja. Sehingga, tidak terdapat lagi hak untuk disamakan dengan pekerja/buruh di perusahaan pengguna jasa, atau dalam kasus Anda, dengan pekerja di bank BUMN tersebut. Selain itu, sebagaimana yang telah kami jelaskan, pemenuhan dan perlindungan hak-hak pekerja pada perusahaan alih daya, menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya, sehingga bonus Anda juga merupakan tanggung jawab perusahaan alih daya yang ditetapkan berdasarkan perjanjian kerja antara Anda dan perusahaan alih daya yang mempekerjakan Anda, PP atau PKB perusahaan alih daya tersebut . Kesimpulannya, penuntutan hak atas bonus Anda tidak dapat dilakukan terhadap bank BUMN sebagai pengguna jasa perusahaan alih daya, melainkan kepada perusahaan alih daya yang mempekerjakan Anda. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ; Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja ; Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja ; Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan . [1] Pasal 81 angka 20 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 66 ayat (1) UU Ketenagakerjaan [2] Pasal 81 angka 20 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 66 ayat (2) UU Ketenagakerjaan [3] Pasal 81 angka 20 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 66 ayat (3) UU Ketenagakerjaan [4] Penjelasan Pasal 81 angka 20 UU Cipta Kerja yang mengubah Penjelasan Pasal 66 ayat (3) UU Ketenagakerjaan [5] Penjelasan Pasal 81 angka 20 UU Cipta Kerja yang mengubah Penjelasan Pasal 66 ayat (3) UU Ketenagakerjaan [6] Pasal 81 angka 24 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 88 ayat (3) huruf a UU Ketenagakerjaan [7] Pasal 81 angka 23 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 79 ayat (1) UU Ketenagakerjaan [8] Pasal 11 PP 36/2021 hukumonline ketenagakerjaan uu ketenagakerjaan hukum perusahaan klinik hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Di dalam UU No. 1/1974 (UU Perkawinan) pasal 34 (1) dan (2) disebutkan bahwa \"suami wajib memberi nafkah kepada istri dan istri wajib mengurus rumah tangga\". Akan tetapi hal ini mengakibatkan adanya bias gender terutama di dalam hal \"pengupahan\" oleh karena adanya komponen tunjangan keluarga, maka upah laki-laki selalu lebih tinggi dari perempuan, oleh karena sebagai kepala keluarga. Memang laki-laki sebagai kepala keluarga membutuhkan penghasilan lebih. Yang ingin saya tanyakan, mengapa seorang perempuan meskipun ia sudah menikah dan mempunyai tanggungan (anak dan keluarga) tetapi ia selalu dianggap lajang. Dan perempuan juga tidak mendapatkan tunjangan-tunjangan hidup dalam pekerjaannya layaknya laki-laki, padahal seorang perempuan juga berhak untuk mendapatkan penghasilan dan tunjangan-tunjangan sebagaimana yang didapatkan oleh para laki-laki. Bagaimana hal ini menurut anda?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Memang berdasarkan Pasal 34 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”) suami diwajibkan untuk melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya . Pasal 34 ayat (1) UUP juga pernah dikritik oleh aktivis perempuan dari LBH Apik Nursjahbani Katjasungkana pada 2000 silam. Sebagaimana kami kutip dari artikel hukumonline UU Perkawinan Dinilai Ambivalen dan Diskriminatif , Nursyahbani menilai pembentukan UU Perkawinan sangat ambivalen dan bias gender dalam menentukan kedudukan dan peran perempuan dan laki-laki dalam keluarga. Lebih lanjut ditulis bahwa: KLINIK TERKAIT Hukumnya Jika di-PHK Karena Datang Terlambat 26 Apr 2021 Penyesuaian Skala Upah pada Perusahaan Multinasional 05 Apr 2017 Perjanjian Secondment Tenaga Kerja 28 Nov 2011 Apakah Memandang Termasuk Pelecehan Seksual? 24 Nov 2011 Ambivalensi itu di satu pihak menyatakan bahwa kedudukan perempuan dan laki-laki adalah seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan dalam masyarakat. Namun di lain pihak, menentukan dengan sangat kaku peran masing-masing, suami sebagai kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Peran ini ditegaskan pula dalam Pasal 34 (1) di mana dikatakan bahwa suami wajib memberi nafkah kepada isteri dan isteri wajib mengurus rumah tangga. Nursjahbani melihat, akibat lebih jauh dari ketentuan ini adalah pada bidang pengupahan. Upah pekerja laki-laki lebih banyak dari upah perempuan karena adanya komponen tunjangan keluarga. Sementara perempuan selalu dianggap lajang meskipun secara de facto dia menikah dan mempunyai anak. Menurut hemat kami, ketentuan Pasal 34 ayat (1) UUP tersebut tidak ada hubungannya dan kurang tepat jika dihubung-hubungkan dengan pemberian upah terhadap laki-laki dan perempuan sebagai buruh/pekerja. Ketentuan tersebut berlaku terkait dengan hak dan kewajiban suami dan istri dalam rumah tangga dalam ranah hukum perkawinan. Sedangkan, masalah upah buruh/pekerja diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”). Pada dasarnya dalam hukum ketenagakerjaan berlaku prinsip/asas non-diskriminasi. Prinsip non-diskriminasi ini juga ditegaskan dalam Pasal 6 UUK bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha. Lebih jauh dalam Penjelasan Pasal 6 UUK dinyatakan, Pengusaha harus memberikan hak dan kewajiban pekerja/buruh tanpa membedakan jenis kelamin , suku, ras, agama, warna kulit, dan aliran politik. Bahkan sejak 1981, jika kita melihat pada pengaturan dalam Pasal 3 PP No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah (“PP 8/1981”), ditegaskan bahwa Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh mengadakan diskriminasi antara buruh laki-laki dan buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya . Dijelaskan lebih lanjut bahwa yang dimaksud dengan tidak boleh mengadakan diskriminasi ialah bahwa upah dan tunjangan lainnya yang diterima oleh buruh pria sama besarnya dengan upah dan tunjangan lainnya yang diterima oleh buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya (lihat Penjelasan Pasal 3 PP 8/1981 ). Mengutip tulisan Prof. Sulistyowati Irianto , salah seorang pengajar di Universitas Indonesia dalam bukunya Perempuan dan Hukum (hal. 457) memang menyebutkan adanya diskriminasi terhadap pekerja laki-laki dan perempuan dalam hal upah di masa lalu , yakni dalam: - PP No. 37 Tahun 1967 - sistem pengupahan bagi tenaga kerja di perusahaan menyatakan bahwa istri dan anak-anak diakui sebagai tanggungan tenaga kerja laki-laki. Oleh sebab itu, tenaga kerja perempuan yang menikah dianggap lajang sedangkan suami dianggap sebagai tanggungan. - Permen No. 2/P/M/Mining Tahun 1971 menyatakan bahwa seluruh perempuan menikah yang bekerja di perusahaan pertambangan negara dan perusahaan pertambangan asing diakui sebagai lajang dan seluruh penghasilan akan diberikan kepada mereka dan bukan kepada keluarganya. Perempuan menikah akan dianggap sebagai pencari nafkah utama hanya bila dinyatakan sebagai janda atau jika suaminya tidak mampu untuk bekerja. Namun, berdasarkan asas lex posterior derogate legi priori (hukum yang baru mengalahkan hukum yang lama), kedua ketentuan tersebut tidak lagi berlaku karena bertentangan dengan ketentuan mengenai pengupahan yang baru yakni PP 8/1981 dan UUK. Dengan demikian, berdasarkan penjelasan dan ketentuan-ketentuan tersebut di atas seorang perempuan meskipun ia sudah menikah dan ditanggung oleh suaminya, tetap berhak atas upah maupun tunjangan seperti halnya pekerja laki-laki. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 2. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ; 3. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah . Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ."
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya mengajukan resign pada sebuah perusahaan sebelum masa kontrak selesai karena jam kerja yang tidak seperti sebelumnya, lebih banyak libur dibanding masuknya. Saya mengajukan resign tapi justru disuruh balikin THR yang sudah saya terima. Posisi saya bekerja sudah 2 tahun, itupun THR saya tidak full 1 bulan gaji. Dia membahas tanda tangan kontrak, dan mengancam saya untuk diadukan ke lembaga yang berwenang sedangkan posisi saya tidak memegang surat kontrak yang dia bahas. Surat kontrak hanya dipegang oleh perusahaan tersebut. Bagaimana saya harus menyikapi atasan saya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. PKWT Seharusnya Dibuat 2 Rangkap Karena Anda menyebutkan “ mengajukan resign sebelum masa kontrak selesai , ” berarti kami asumsikan bahwa perjanjian kerja antara Anda dan perusahaan ialah perjanjian kerja waktu tertentu (“PKWT”). Untuk itu secara singkat akan kami jelaskan PKWT terlebih dahulu. Berdasarkan Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU 13/2003”) PKWT dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu: [1] pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; pekerjaan yang bersifat musiman; atau pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. PKWT diadakan untuk paling lama 2 tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun. Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 hari sebelum PKWT berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan. [2] Setelah itu dapat diperbaharui setelah melebihi masa tenggang waktu 30 hari berakhirnya PKWT yang lama, perlu dipahami bahwa pembaharuan PKWT hanya boleh dilakukan 1 kali dan paling lama 2 tahun. [3] (Selengkapnya mengenai PKWT lihat: Ketentuan Perpanjangan dan Pembaharuan PKWT Bagi Karyawan Kontrak ) Kemudian, karena harus dibuat tertulis, maka PKWT sekurang kurangnya memuat: [4] nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha; nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh; jabatan atau jenis pekerjaan; tempat pekerjaan; besarnya upah dan cara pembayarannya; syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh; mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja; tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja. Ketentuan huruf e dan f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. [5] Yang dimaksud dengan tidak boleh bertentangan adalah apabila di perusahaan telah ada peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka isi perjanjian kerja baik kualitas maupun kuantitas tidak boleh lebih rendah dari peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama di perusahaan yang bersangkutan. [6] Mengenai surat kontrak kerja yang hanya dipegang atasan Anda, seharusnya itu tidak boleh dilakukan. Karena seharusnya PKWT dibuat sekurang kurangnya rangkap 2 , yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh dan pengusaha masing-masing mendapat 1 perjanjian kerja. [7] Pekerja PKWT Masa Kerja 1 Tahun Mendapatkan THR Sebesar Upah Bulanan Melihat ketentuan di Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan (“Permenaker 6/2016”) bahwa pengusaha wajib memberikan tunjangan hari raya (“THR”) Keagamaan kepada pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 1 bulan secara terus menerus atau lebih. THR Keagamaan adalah pendapatan non upah yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh atau keluarganya menjelang hari raya keagamaan. [8] THR Keagamaan diberikan kepada pekerja/buruh yang mempunyai hubungan kerja dengan pengusaha berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (“PKWTT”) atau PKWT . [9] Karena Anda telah bekerja dengan status PKWT selama 2 tahun (masa kerja 12 bulan atau lebih) maka seharusnya Anda mendapatkan THR dengan besaran 1 bulan upah. [10] Upah 1 bulan terdiri atas komponen upah: [11] upah tanpa tunjangan yang merupakan upah bersih ( clean wages ); atau upah pokok termasuk tunjangan tetap. Perlu diketahui bahwa THR Keagamaan diberikan 1 kali dalam 1 tahun sesuai dengan hari raya keagamaan masing-masing pekerja/buruh dan wajib dibayarkan oleh pengusaha paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari raya keagamaan. [12] Pengusaha/perusahaan dapat dikenakan denda dan sanksi administratif karena tidak membayar THR Anda dengan besaran 1 bulan upah Anda. Lebih lengkapnya baca juga Ketentuan THR Untuk Karyawan Kontrak dan Dasar Perhitungan Besaran Tunjangan Hari Raya (THR) . Selanjutnya menurut Juanda Pangaribuan , Praktisi Hukum Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tahun 2006-2016, bahwa jika ada THR yang kurang bayar oleh pengusaha, maka pengusaha juga dapat dikenakan denda, dengan tidak menghapus kewajiban untuk membayar THR secara penuh. Jika tidak dibayar juga maka konsekuensinya si pengusaha bisa dikenakan sanksi administratif karena tidak membayar THR. Selain itu menurut beliau jika terjadi kurang bayar THR, pekerja/buruh tersebut bisa mengajukan gugatan perselisihan hak ke Pengadilan Hubungan Industrial (“PHI”) tentunya apabila dalam proses mediasi tidak mencapai kesepakatan. Yang dimaksud dengan perselisihan hak berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU 2/2004”) adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Sebaiknya permasalahan Anda sebaiknya diselesaikan dengan cara mediasi terlebih dahulu, apabila tetap pengusaha tidak mau membayar, maka Anda dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial. PKWT Resign Harus Mengembalikan THR? Pada PKWT memang harus diperhatikan apabila melakukan pemutusan hubungan kerja dengan cara mengundurkan diri. Yaitu dengan memperhatikan Pasal 62 UU 13/2003 yang bunyinya: Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. Karena Anda tidak menjelaskan secara rinci, namun Anda mengatakan telah bekerja 2 tahun, berarti terdapat kemungkinan bahwa PKWT Anda diperpanjang atau PKWT Anda telah berakhir masa kerjanya. Berikut adalah beberapa kemungkinan yang timbul: Jika PKWT Diperpanjang Anda yang telah 2 tahun bekerja dengan status PKWT namun resign saat berjalan tahun ke-3 (perpanjangan PKWT) maka harus membayar ganti rugi (denda) sebesar upah pada sisa waktu kerja pada PKWT Anda. Jika Anda diperpanjang 1 tahun dan resign pada bulan ke 6 maka Anda harus membayar denda sebesar sisa 6 bulan upah yang harusnya dibayarkan pengusaha/perusahaan kepada Anda. [13] Lalu apakah harus mengembalikan THR? Sepanjang penelusuran kami, tidak terdapat suatu peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa seorang pekerja PKWT yang resign wajib mengembalikan THR yang telah didapatkan. Tetapi yang jelas disebutkan secara eksplisit dalam Permenaker 6/2016 jika Anda mengajukan resign sebelum hari raya keagamaan, maka Anda tidak berhak atas THR keagamaan karena status Anda PKWT. Namun secara a contrario jika resign diajukan setelah hari raya keagamaan, Anda tetap berhak atas THR Keagamaan tersebut. [14] Ditambahkan juga oleh Juanda, bahwa jika ada kasus perusahaan membayar THR terhadap PKWT yang resign sebelum hari raya, menurutnya perusahaan tidak berhak meminta pengembalian THR dari pekerja PKWT yang sudah menjalani kontrak lebih dari satu tahun. Jika PKWT Berakhir Beda halnya jika PKWT telah berakhir dan Anda tidak memperpanjang kontrak. Apabila Anda telah 2 tahun bekerja dan di bulan terakhir Anda mengundurkan diri atau tidak memperpanjang kontrak, maka Anda tidak perlu membayar denda. [15] Namun mengenai THR kembali ke Permenaker 6/2016 jika PKWT Anda berakhir sebelum hari raya keagamaan, maka Anda tidak berhak atas THR keagamaan. Sedangkan jika PKWT berkahir setelah hari raya keagamaan, Anda tetap berhak atas THR Keagamaan tersebut. [16] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan Catatan : Kami telah melakukan wawancara dengan Juanda Pangaribuan via WhatsApp pada 13 Juni 2019 pukul 16.34 WIB. [1] Pasal 59 ayat (1) UU 13/2003 [2] Pasal 59 ayat (4) dan ayat (5) UU 13/2003 [3] Pasal 59 ayat (6) UU 13/2003 [4] Pasal 54 ayat (1) jo. Pasal 57 ayat (1) UU 13/2003 [5] Pasal 54 ayat (2) UU 13/2003 [6] Penjelasan Pasal 54 ayat (2) UU 13/2003 [7] Pasal 54 ayat (3) UU 13/2003 [8] Pasal 1 angka 1 Permenaker 6/2016 [9] Pasal 2 ayat (2) Permenaker 6/2016 [10] Pasal 3 ayat (1) huruf a Permenaker 6/2016 [11] Pasal 3 ayat (2) Permenaker 6/2016 [12] Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4) Permenaker 6/2016 [13] Pasal 62 UU 13/2003 [14] Pasal 7 ayat (3) Permenaker 6/2016 [15] Pasal 62 jo. Pasal 61 ayat (1) huruf b UU 13/2003 [16] Pasal 7 ayat (3) Permenaker 6/2016 hukumonline ketenagakerjaan tunjangan pkwt perjanjian kerja resign online hukum agama pegawai kontrak thr kontrak"
} |
{
"from": "human",
"value": "Bagaimana aturan bagi karyawan yang akan menunaikan ibadah haji, seperti apakah cuti tahunan akan dipotong, dll.? Di mana kami dapat menemukan peraturan tersebut? Atas bantuannya kami ucapkan terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Ilman Hadi, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 28 Agustus 2012. KLINIK TERKAIT Adakah Hak Cuti Tahunan untuk Pekerja Part Time? 25 Mar 2024 Kapan Hak Cuti Tahunan Bisa Digunakan? 11 Jan 2024 Hukumnya Dipaksa Resign dari Perusahaan 04 Jan 2024 Cara Meminta Gaji yang Dipotong Sepihak oleh Perusahaan 29 Jul 2021 Intisari: Ketika pekerja sedang menjalankan ibadah haji, ia tetap berhak atas pembayaran upah atau gaji secara penuh. Kemudian mengenai cuti, hak karyawan atas cuti tahunan tidak menjadi hilang karena melaksanakan ibadah haji, dengan asumsi pekerja tersebut telah berhak atas cuti tahunan. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelumnya, pertanyaan yang mirip dengan yang Anda tanyakan pernah kami jawab dalam artikel Naik Haji Gaji Dipotong, Pantaskah? Ibadah Haji adalah rukun Islam kelima yang merupakan kewajiban sekali seumur hidup bagi setiap orang Islam yang mampu menunaikannya. [1] Berarti ibadah haji adalah ibadah yang diwajibkan oleh agama Islam kepada pemeluknya tetapi hanya sekali saja seumur hidup dan hanya bagi mereka yang mampu melaksanakannya baik dari segi fisik, mental, dan keuangan. Ketika pekerja sedang menjalankan ibadah haji, ia tetap berhak atas pembayaran upah atau gaji secara penuh. [2] Ketentuan lebih lanjut mengenai upah pekerja selama melaksanakan ibadah haji ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (“PP Pengupahan”). Pengusaha wajib membayar upah kepada pekerja/buruh yang tidak masuk kerja atau tidak melakukan pekerjaannya karena menjalankan kewajiban ibadah yang diperintahkan oleh agamanya, sebesar upah yang diterima oleh pekerja/buruh dengan ketentuan hanya sekali selama pekerja/buruh bekerja di perusahaan yang bersangkutan. [3] Jadi, pengusaha tetap wajib membayar upah selama pekerja/buruhnya melaksanakan ibadah haji untuk pertama kali. Jika kewajiban tersebut tidak dilaksanakan maka hal tersebut merupakan pelanggaran yang diancam dengan sanksi pidana penjara paling singkat 1 bulan dan paling lama 4 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp10 juta dan paling banyak Rp400 juta. [4] Kemudian mengenai cuti tahunan, hak karyawan atas cuti tahunan tidak menjadi hilang karena melaksanakan ibadah haji, dengan asumsi pekerja tersebut telah berhak atas cuti tahunan (lebih jauh simak artikel Apakah Cuti Melahirkan Mengurangi Hak Cuti Tahunan? ). Hal ini karena pengusaha memang berkewajiban memberikan kesempatan pekerja melaksanakan ibadah yang diwajibkan agamanya, dalam hal ini adalah ibadah haji yang dilakukan pertama kali oleh pekerja. [5] Jadi, pengusaha wajib memberikan kesempatan kepada pekerjanya yang ingin melaksanakan ibadah haji. Pekerja yang melaksanakan haji tersebut tetap berhak atas hak cuti tahunan dan pembayaran upah atau gaji secara penuh. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ; 2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji ; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan . [1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (“UU Haji”) [2] Pasal 93 ayat (2) huruf e Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (\"UU Ketenagakerjaan\") [3] Pasal 28 PP Pengupahan [4] Pasal 186 ayat (1) UU Ketenagakerjaan [5] Pasal 93 ayat (2) UU Ketenagakerjaan hukumonline ketenagakerjaan klinik hukumonline hukum klinik gaji upah ibadah haji"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah ada tenggang waktu untuk pembayaran uang THR? Contoh kasus: pekerja meninggal, pekerja mengundurkan diri dan pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Intisari: Bagi pekerja yang mengalami PHK, baik itu karena meninggal dunia atau mengundurkan diri atau di PHK oleh pengusaha, ia berhak atas THR selama antara tanggal PHK dan tanggal hari raya keagamaan masih dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh Permenaker 4/1994, yakni 30 (tiga puluh) hari. Mengenai kapan THR harus dibayarkan, THR harus dibayarkan selambat-lambatnya 7 hari sebelum hari raya keagamaan. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Guna menjawab pertanyaan Anda, kami mengacu pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No PER-04/MEN/1994 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan (“Permenaker 4/1994”). KLINIK TERKAIT Apakah Karyawan yang Resign Berhak Mendapatkan THR? 28 Mar 2024 Apakah Karyawan Non-Muslim Berhak atas THR Lebaran? 25 Mar 2024 Apakah Karyawan Baru 1 Bulan Dapat THR? 14 Mar 2024 Begini Aturan Perhitungan THR bagi Karyawan 28 Mar 2023 Tunjangan Hari Raya Keagamaan (“THR”) adalah pendapatan pekerja yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja atau keluarganya menjelang Hari Raya Keagamaan yang berupa uang atau bentuk lain. [1] Kami asumsikan bahwa pekerja-pekerja dalam pertanyaan Anda seluruhnya telah mempunyai masa kerja 3 (tiga) bulan secara terus menerus atau lebih. Hal ini karena pengusaha wajib memberikan THR kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 (tiga) bulan secara terus menerus atau lebih. [2] Jadi, mereka berhak atas THR. Waktu Pembayaran THR Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Soal waktu pembayaran THR pada dasarnya secara aturan adalah wajib dibayarkan oleh pengusaha selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum Hari Raya Keagamaan. [3] Ketentuan ini dipertegas kembali dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 7/MEN/VI/2015 tentang Pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan Dan Himbauan Mudik Lebaran Bersama (“SE Menakertrans 7/2015”) yang menyatakan bahwa THR Keagamaan bagi pekerja diberikan 1 (satu) kali dalam setahun oleh perusahaan dan pembayarannya disesuaikan dengan hari raya keagamaan masing-masing pekerja selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum hari raya keagamaan. Jenis-Jenis Pemutusan Hubungan Kerja Perlu Anda ketahui, Pemutuan Hubungan Kerja (“PHK”) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. [4] PHK ini bermacam-macam jenisnya. Sebagaimana yang pernah dijelaskan oleh Umar Kasim dalam artikel Pesangon Bagi Korban PHK Karena Berakhirnya Proyek , dalam teori PHK, Prof. Iman Soepomo, S.H. dalam bukunya Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja (hal. 162 dan 171), mengelompokkan ada 4 (empat) macam alasan/sebab terjadinya PHK, yakni: a. hubungan kerja yang putus demi hukum; b. hubungan kerja yang diputuskan oleh pihak buruh; c. hubungan kerja yang diputuskan oleh (atas kehendak) pihak majikan; d. hubungan kerja yang diputuskan oleh pengadilan, terutama berdasarkan alasan penting ( gewichtige-reden). PHK yang terjadi demi hukum misalnya pekerja tersebut meninggal dunia. Jadi, meninggal dunianya pekerja juga disebut dengan PHK . T idak hanya PHK itu diartikan karena kehendak pengusaha saja. Begitu pula jika pekerja mengundurkan diri, PHK yang demikian termasuk PHK yang diputuskan oleh buruh. Selengkapnya dapat Anda simak dalam artikel Apakah Setiap PHK Perlu Melalui Putusan Pengadilan? Pembayaran THR Dalam Hal Terjadi PHK Kami kurang mendapatkan keterangan Anda soal kapan pekerja tersebut meninggal dunia, mengundurkan diri, atau di-PHK karena sebab lainnya. Hal ini menyangkut apakah mereka berhak atas THR atau tidak. Dalam Permenaker 4/1994 diatur bahwa pekerja yang putus hubungan kerjanya terhitung sejak waktu 30 (tiga puluh) hari sebelum jatuh tempo Hari Raya Keagamaan, berhak atas THR . [5] Menjawab pertanyaan Anda, bagi pekerja yang mengalami PHK, baik itu karena meninggal dunia atau mengundurkan diri atau di PHK oleh pengusaha, ia berhak atas THR selama antara tanggal PHK dan tanggal hari raya keagamaan masih dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh Permenaker 4/1994, yakni 30 (tiga puluh) hari. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel Acuan Perhitungan Waktu “PHK 30 Hari Sebelum Hari Raya” Terkait Pemberian THR . Contoh Perhitungan Tanggal PHK dan THR Sebagai contoh, tahun ini Hari Raya Idul Fitri jatuh pada 17-18 Juli 2015. Pekerja A meninggal dunia (yang berakibat putusnya hubungan kerja karena hukum) pada 25 Juni 2015. Secara hukum, ia berhak atas THR karena pemutusan hubungan kerja terjadi masih berada dalam tenggang waktu yang ditentukan dalam Permenaker 4/1994, yakni 30 hari. Sebagai contoh lain, pekerja B putus hubungan kerjanya karena mengundurkan diri sepuluh hari sebelum hari raya . J adi lama waktu tersebut masih berada dalam jangka waktu yang ditentukan Permenaker 4/1994 sehingga ia berhak atas THR. Dengan demikian, sebenarnya tenggang waktu 30 hari sebelum hari raya keagamaan pada Permenaker 4/1994 berlaku bagi semua jenis PHK. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ; 2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No PER-04/MEN/1994 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan ; 3. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 7 /MEN/VI/2015 tentang Pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan Dan Himbauan Mudik Lebaran Bersama . [1] Pasal 1 huruf d Permenaker 4/1994. [2] Pasal 2 ayat (1) Permenaker 4/1994 [3] Pasal 4 ayat (2) Permenaker 4/1994 [4] Pasal 1 angka 25 UU Ketenagakerjaan [5] Pasal 6 ayat (1) Permenaker 4/1994. pekerja"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya masuk sebagai karyawan baru dan tanda tangan kontrak di sebuah perusahaan 5 bulan lalu. Masuk sebagai percobaan selama 3 bulan dan telah diangkat menjadi karyawan tetap di bulan ke4 kerja seperti di kontrak. Pada masa percobaan anggap saja gaji saya 10 juta, dan saat diangkat gaji saya menjadi 15 juta sudah sama makan, transport, dsb. Tapi karna tidak sesuai, saya telah mengajukan resign bulan lalu dengan one month notice, nantinya secara resmi saya akan resign dari kantor 7 hari sebelum Idul Fitri. Apakah saya dapat THR? Berapa jumlahnya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Masa Percobaan dalam PKWTT Setelah kami cermati, Anda berarti mengalami 3 bulan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja waktu tidak tertentu (“PKWTT”) sebagaimana disebutkan Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU 13/2003”). yaitu: Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan. Dalam masa percobaan kerja pun pengusaha telah membayar upah di atas upah minimum yang berlaku. [1] Apabila Anda sudah diangkat pada bulan ke-4 bekerja setelah melewati masa probation (percobaan) selama 3 bulan itu berarti syarat masa percobaan kerja sudah dicantumkan dalam perjanjian kerja. [2] Apakah Pegawai Baru yang Resign Dapat THR? Anda mengatakan, bahwa Anda telah mengajukan resign bulan lalu, berarti saat Anda diangkat menjadi pekerja tetap (1 bulan setelah diangkat), Anda langsung mengajukan resign. Tetapi karena one month notice Anda baru resmi berhenti bekerja dari perusahaan di bulan ke 5 Anda bekerja. Pengunduran diri Anda, kami asumsikan atas kemauan Anda sendiri dan memenuhi syarat: [3] mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri; tidak terikat dalam ikatan dinas; dan tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri. Selengkapnya mengenai pengunduran diri dapat Anda simak artikel dalam Aturan Jangka Waktu Pemberitahuan Pengunduran Diri (One Month Notice) . Mengenai Tunjangan Hari Raya (“THR”) menurut Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan (“PP 78/2015”) dan Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan (“Permenaker 6/2016”) adalah pendapatan non upah yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh atau keluarganya menjelang hari raya keagamaan. Adapun penghitungannya berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Permenaker 6/2016 adalah sebagai berikut: Pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih, diberikan sebesar 1 bulan upah; Pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja 1 bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 bulan, diberikan secara proporsional sesuai masa kerja dengan perhitungan: Upah 1 (satu) bulan yang dimaksud itu terdiri atas komponen upah: [4] upah tanpa tunjangan yang merupakan upah bersih ( clean wages ); atau upah pokok termasuk tunjangan tetap. THR ini wajib diberikan/dibayarakan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh paling lambat 7 hari sebelum hari raya keagamaan. [5] Apakah masih dapat THR kalau resign? Menurut Pasal 7 ayat (1) Permenaker 6/2016 : Pekerja/buruh yang hubungan kerjanya berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu dan mengalami pemutusan hubungan kerja terhitung sejak 30 hari sebelum Hari Raya Keagamaan, berhak atas THR Keagamaan. Maka Anda berdasarkan Pasal 3 ayat (1) huruf b jo. Pasal 7 ayat (1) Permenaker 6/2016 jika resign 7 hari sebelum hari raya Idulfitri berhak atas THR. Karena upah pokok Anda termasuk tunjangan tetap per bulan adalah 15 juta [6] setelah menjadi pegawai tetap, maka perhitungannya diambil dari gaji terakhir Anda adalah sebagai berikut: Hal serupa juga disampaikan oleh Juanda Pagaribuan , Praktisi Hukum Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tahun 2006-2016, sesuai Pasal 2 Permenaker 2/2016, THR diberikan kepada pekerja yang sekurang-kurangnya telah bekerja salama 1 bulan. Maka probation (masa percobaan) itu tidak menjadi penghalang bagi pekerja untuk mendapat THR sepanjang sudah bekerja selama 1 bulan. Apabila sudah menjadi pegawai tetap, maka perhitungan THR merujuk pada 1 bulan upah terakhir. Lebih lanjut jika pekerja tersebut akan resign maka selama ia resign masih dalam jangka waktu 30 hari sebelum hari raya, maka tetep mendapatkan THR. Hak Pekerja yang Resign Sebagai informasi tambahan, pegawai yang resign berhak atas uang penggantian hak (“UPH”) yang terdiri dari: [7] cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur; biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja; penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat; hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Selain UPH, khusus bagi pekerja yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima UPH ia juga berhak diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. [8] Ulasan selengkapnya mengenai UPH dan uang pisah silakan simak ulasan artikel Cara Menghitung Uang Penggantian Hak Bagi Pekerja yang Mengundurkan Diri . Sehingga selain mendapatkan THR, Anda juga berhak atas uang penggantian hak namun tidak termasuk cuti tahunan, karena Anda baru bekerja selama 5 bulan. [9] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan Catatan : Kami telah melakukan wawancara dengan Juanda Pangaribuan via WhatsApp pada 24 Meii 2019 pukul 11.34 WIB. [1] Pasal 60 ayat (2) UU 13/2003 [2] Penjelasan Pasal 60 ayat (1) UU 13/2003 [3] Pasal 162 ayat (3) UU 13/2003 [4] Pasal 3 ayat (1) huruf b Permenaker 20/2016 [5] Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) PP 78/2015, Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 8 Permenaker 20/2016 [6] Pasal 3 ayat (2) Permenaker 6/2016 [7] Pasal 162 ayat (1) dan Pasal 156 ayat (4) UU 13/2003 [8] Pasal 162 ayat (2) UU Ketenagakerjaan [9] Pasal 79 ayat (2) huruf c UU 13/2003 hukumonline ketenagakerjaan online resign hukum klinik pekerjaan umum klinik hukumonline thr percobaan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Selamat malam, saya ingin bertanya, apakah pelaku yang memiliki gangguan jiwa pedofilia dapat dihapuskan pidananya karena gangguan jiwa? Pedofilia tersebut dapatkah dijadikan sebagai dasar pemaaf sebagaimana diatur dalam Pasal 44 KUHP? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Menurut Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, pedofilia adalah nafsu birahi orang dewasa terhadap anak-anak. Selain itu, menurut kamus kesehatan.com, pedofilia adalah aktivitas seksual yang melibatkan anak kecil, umumnya di bawah usia 13 tahun. Penderita pedofilia berusia lebih dari 16 tahun dan minimal lima tahun lebih tua dari si anak. Individu dengan gangguan ini dapat tertarik pada anak laki-laki, perempuan atau keduanya, meskipun insiden aktivitas pedofilia hampir dua kali lebih mungkin diulang oleh orang-orang yang tertarik pada laki-laki. Individu dengan gangguan ini mengembangkan prosedur dan strategi untuk mendapatkan akses dan kepercayaan dari anak-anak. KLINIK TERKAIT Melakukan Pencabulan terhadap Orang Tidur, Ini Sanksi Hukumnya 17 Apr 2024 Jerat Pidana Pasal Pelecehan Seksual dan Pembuktiannya 22 Feb 2024 Jerat Hukum dan Ancaman Pidana Pelaku Sodomi 05 Des 2023 Bisakah Dipidana karena Berduaan dengan Pacar di Kamar Hotel? 10 Jul 2023 Jika kita mengacu pada definisi-definisi di atas, maka pedofilia tidak dikategorikan sebagai penyakit kejiwaan. Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Pedofilia Menurut Hukum Indonesia , di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) , istilah yang dikenal sebagai pedofilia adalah perbuatan aktivitas seksual yang dilakukan seorang dewasa dengan seorang di bawah umur. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Sebelum diberlakukannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) , aktivitas seksual yang dilakukan oleh orang dewasa dengan anak diatur dalam KUHP, yaitu dalam Pasal 287 , Pasal 288 , dan Pasal 290 KUHP : Namun, sejak diberlakukannya UU Perlindungan Anak, tindakan-tindakan tersebut diatur lebih spesifik dalam Pasal 81 dan Pasal 82 UU Perlindungan Anak : Penjelasan lebih lanjut mengenai pedofilia dapat Anda simak dalam artikel Pedofilia Menurut Hukum Indonesia . Lalu apakah pedofilia merupakan penyakit kejiwaan yang dapat membuat si pelaku dihapuskan kesalahan pidananya karena alasan pemaaf? Sebelumnya kita perlu tahu apa itu alasan pemaaf. Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum. Jadi, dalam alasan pemaaf dilihat dari sisi orang/pelakunya (subjektif). Misalnya, lantaran pelakunya tak waras atau gila sehingga tak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu ( Pasal 44 KUHP ). Menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 60-61) sebab tidak dapat dihukumnya terdakwa berhubung perbuatannya tidak dapat dipertanggung-jawabkan kepadanya adalah karena: a. Kurang sempurna akalnya. Yang dimaksud dengan perkataan “akal” di sini ialah kekuatan pikiran, daya pikiran, dan kecerdasan pikiran. Orang dapat dianggap kurang sempurna akalnya, misalnya: idiot, imbicil, buta-tuli, dan bisu mulai lahir. tetapi orang-orang semacam ini sebenarnya tidak sakit, tetapi karena cacat-cacatnya sejak lahir, maka pikirannya tetap sebagai kanak-kanak. b. Sakit berubah akalnya. yang dapat dimasukkan dalam pengertian ini misalnya: sakit gila, histeri (sejenis penyakit saraf terutama pada wanita), epilepsi, dan bermacam-macam penyakit jiwa lainnya. Berkenaan dengan kondisi kejiwaan terdakwa, menurut R Soesilo (hal. 61), hakimlah yang berkuasa memutuskan tentang dapat tidaknya terdakwa dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu meskipun ia dapat pula meminta nasehat dari dokter penyakit jiwa. Jika hakim berpendapat bahwa bahwa orang itu betul tidak dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, maka orang itu di lepas kan dari segala tuntutan pidana ( ontslag van alle rechtsvervolgin) . Tetapi, untuk mencegah terjadinya hal serupa yang membahayakan baik keselamatan orang gila tersebut maupun masyarakat, hakim dapat memerintahkan agar orang tersebut dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa selama masa percobaan maksimum satu tahun untuk dilindungi dan diperiksa. Melihat pada penjelasan tersebut, KUHP sendiri tidak menyebutkan pedofilia sebagai salah satu contoh dasar pemaaf. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui secara jelas apakah pedofilia termasuk penyakit kejiwaan atau tidak dengan merujuk pada c ontoh kasus, yakni dalam Pengadilan Negeri Singaraja No. 292/Pid.Sus/2012/PN.SGR . Dalam putusan tersebut diketahui bahwa ada seorang ahli spesialis kejiwaan yang memberikan keterangannya di persidangan mengenai pedofilia. Spesialis kejiwaan tersebut selain merupakan dosen di Universitas Udayana, ia juga merupakan ahli psikologi pada RSU Sanglah di Denpasar dan Presiden Casa (Commite Against Sexual Abuse). Menurutnya, yang dimaksud pedofilia adalah sejenis penyakit/ gangguan kejiwaan berupa keinginan untuk melakukan perbuatan cabul terhadap anak-anak di bawah umur baik laki-laki maupun perempuan. Ia mengatakan bahwa akibat yang ditimbulkan dari kejahatan pedofilia adalah pada umumnya akan mengalami trauma seumur hidup, stress dan luapan emosi yang di luar kendali pada korban, yakni anak-anak. Meskipun hakim telah mendengar keterangan ahli tersebut yang mengatakan bahwa pedofilia adalah penyakit kejiwaan, akan tetapi, menurut majelis hakim dan berdasarkan pengamatannya selama proses persidangan berlangsung, terdakwa dalam keadaan sehat baik jasmani maupun rohani dan tidak tergolong pada mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 KUHP. Di samping itu, dalam pertimbangannya dikatakan bahwa majelis hakim tidak menemukan adanya alasan pemaaf yang dapat melepaskan terdakwa dari tuntutan pidana. Dengan demikian terdakwa dalam keadaan mampu bertanggung jawab atas perbuatannya sehingga terdakwa harus dijatuhi pidana. Dalam putusan tersebut diketahui bahwa terdakwa yang berkebangsaan Belanda itu terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “membujuk anak untuk melakukan perbuatan cabul” sebagaimana telah memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 82 UU Perlindungan Anak. Hakim menjatuhkan putusan terhadap terdakwa pidana penjara selama tiga tahun dan denda sebesar Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah). Berdasarkan contoh di atas dapat kita simpulkan bahwa pedofilia memang dinilai sebagai penyakit kejiwaan oleh ahli. Akan tetapi, pada praktiknya, selama dalam pengamatan dan pemeriksaan oleh hakim di persidangan terdakwa dalam keadaaan sehat jasmani maupun rohani serta tidak ditemukan adanya alasan pemaaf berdasarkan Pasal 44 KUHP, maka pelaku pedofilia tetap dihukum. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( Wetboek van Starfrecht ) Staatsblad Nomor 732 Tahun 1915 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Putusan: Pengadilan Negeri Singaraja No. 292/Pid.Sus/2012/PN.SGR Referensi: http://kamuskesehatan.com/arti/pedofilia/ , diakses pada 14 Mei 2014 pukul 12.07 WIB gangguan jiwa cabul hukum hukumonline seksual anak gila"
} |
{
"from": "human",
"value": "Pada pasal-pasal KUHP, contohnya Pasal 351 ayat 1 penganiayaan diancam penjara paling lama 2 tahun 8 bulan, dan denda 4500 rupiah. Nah yang saya tanyakan apakah maksud dari denda 4500 rupiah itu? Apakah tersangka dapat dibebaskan dengan membayar denda tersebut? Terima kasih, mohon dijawab ya. Saya tidak tahu hukum sih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Motor Hilang di Parkiran, Siapa yang Bertanggung Jawab? 02 Agt 2023 Definisi Contempt of Court 28 Des 2022 Langkah Hukum Jika Diganggu Pria Beristri Lewat SMS dan Telepon 27 Jul 2021 Penyelesaian Perkara Pencurian Ringan dan Keadilan Restoratif 13 Jun 2013 Sebelum menjawab pertanyaan pokok Anda, maka ada baiknya kita melihat jenis-jenis (sanksi) pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), yaitu: Pidana terdiri atas: a. Pidana Pokok Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 1. Pidana Mati 2. Pidana Penjara 3. Pidana Kurungan 4. Pidana Denda 5. Pidana Tutupan b. Pidana tambahan 1. Pencabutan hak-hak tertentu 2. Perampasan barang-barang tertentu 3. Pengumuman putusan hakim Sesuai dengan ketentuan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa denda adalah satu satu jenis sanksi Pidana Pokok berupa hukuman yang dijatuhkan oleh hakim kepada seorang terpidana untuk membayar denda, yang nantinya denda tersebut akan masuk ke kas negara. Menjawab pertanyaan Anda, karena secara khusus Anda telah menanyakan mengenai ketentuan Pasal 351 ayat 1 KUHP tentang Penganiayaan , yang ancaman pidana paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4500,- (empat ribu lima ratus rupiah), maka saya perlu menginformasikan kepada Anda mengenai adanya Peraturan Mahkamah Agung (“Perma”) No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP (“Perma No. 2 Tahun 2012”). Dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Perma No. 2 Tahun 2012 , Mahkamah Agung telah memberikan penyesuaian atas jumlah besarnya pidana denda dalam KUHP, sebagaimana berikut: Pasal 3 Perma No. 2 Tahun 2012 Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali Pasal 303 ayat 1 dan Ayat 2 , 303 bis ayat 1 dan ayat 2 , dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu kali) Pasal 4 Perma No. 2 Tahun 2012 Dalam menangani perkara tindak pidana yang didakwa dengan pasal-pasal KUHP yang dapat dijatuhkan pidana denda, Hakim wajib memperhatikan Pasal 3 di atas . Berdasarkan ketentuan di atas, maka denda dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP tersebut dilipatgandakan menjadi 1000 kali lipat , sehingga menjadi Rp4.500.000,- (empat juta lima ratus ribu rupiah). Oleh karena hukuman pidana dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP tersebut sifatnya alternatif (“atau”) dan bukan kumulatif (“dan”), hal mana terdapat “pilihan” penjatuhan hukuman pidana penjara atau hukuman pidana denda, maka hal ini sepenuhnya bergantung pada bagaimana tuntutan (requisitor) dari jaksa penuntut umum dan putusan yang dijatuhkan oleh hakim (Vide: Pasal 30 KUHP ) Demikian yang dapat saya sampaikan. Semoga memberikan pencerahan untuk anda. Catatan dari penjawab: 1. Pengaturan hukuman pidana “atau” oleh pembuat Undang-Undang dimaksudkan agar dalam memutus suatu perkara, hakim tidak serta merta menjatuhkan pidana penjara kepada seorang terdakwa, melainkan ada alternatif pidana pokok yang disediakan Undang-Undang , yaitu pidana denda. 2. Mengingat Penganiayaan dalam KUH Pidana bukanlah tindak pidana yang sifatnya definitif (mencubit, menjewer, memukul, menempeleng, dan seterusnya), serta besar-kecilnya kerugian di sisi korban yang dapat berujung pada hilangnya nyawa seseroang , maka dalam hal Penganiayaan menimbulkan luka atau menyebabkan kematian, pembuat Undang-Undang tidak mengatur adanya pidana denda (Vide: Pasal 351 ayat 2 dan 3 KUH Pidana). Dasar hukum : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) Staatsblad Nomor 732 Tahun 1915 2. Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP pidana denda"
} |
{
"from": "human",
"value": "Ada seorang istri memergoki dan mengetahui suaminya sedang selingkuh dan bersetubuh dengan wanita lain dalam suatu ruangan yang tertutup. Istri bisa mengetahui dan melihat langsung perbuatan hubungan badan layaknya suami istri tersebut dari lubang pintu dan merekam dengan HP semua persetubuhan suaminya dengan wanita lain. Selain kasus perzinahan, apakah perbuatan suaminya tersebut bisa dituntut dengan pasal asusila? Mohon penjelasan."
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Apakah Chat Tinder Bisa Jadi Bukti Perselingkuhan? 29 Apr 2024 Bolehkah Suami Mengajukan Cerai Saat Istri Hamil? 23 Nov 2023 Hak Waris Anak Zina, Begini Ketentuan Hukumnya 22 Agt 2023 Bisakah Bercerai karena Suami Homoseksual? 18 Agt 2023 Terima kasih atas pertanyaan Anda. Intisari: Perbuatan perzinahan tidak sama dengan perbuatan asusila sehingga pelaku perzinahan tidak dapat dituntut atas perbuatan asusila juga. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Perbuatan seorang suami yang sedang selingkuh dan bersetubuh dengan wanita lain dalam suatu ruangan yang tertutup dan dipergoki oleh istrinya dapat disebut sebagai perzinahan. Perbuatan tersebut dapat dipidana karena zina sepanjang adanya pengaduan dari pasangan resmi salah satu atau kedua belah pihak [ lihat Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) ]. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Mengenai pasal ini, R. Soesilo (hal. 209) dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal , menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan zinah adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya. Supaya masuk pasal ini, maka persetubuhan itu harus dilakukan dengan suka sama suka , tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak. Penjelasan lebih lanjut mengenai perzinahan dapat Anda simak dalam artikel Persoalan Kawin Siri dan Perzinahan . Selanjutnya kami akan jelaskan soal perbuatan asusila. Pada dasarnya, KUHP tidak memberikan arti pelanggaran kesusilaan (perbuatan asusila) itu secara eksplisit. Namun, Soesilo menjelaskan antara lain bahwa arti “kesusilaan” memiliki keterkaitan dengan kesopanan, perasaaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin misalnya bersetubuh, meraba buah dada perempuan, meraba tempat kemaluan perempuan, memperlihatkan anggota kemaluan, mencium (hal. 204). R. Soesilo (hal. 205) juga menegaskan bahwa sifat merusak kesusilaan amat tergantung pada pendapat umum pada waktu dan tempatnya. Bahwa orang bersetubuh di tengah jalan itu merusak kesopanan (kesusilaan) umum itu jelas merupakan perbuatan merusak kesusilaan, akan tetapi cium-ciuman di tempat umum di kota besar saat ini dilakukan oleh bangsa Indonesia masih harus dipersoalkan apakah ia merusak kesopanan atau tidak. Apabila polisi menjumpai peristiwa semacam ini, maka berhubung dengan adanya bermacam-macam ukuran kesusilaan menurut adat istiadat yang ada, hendaknya menyelidiki terlebih dahulu apakah perbuatan yang telah dilakukan oleh tersangka itu menurut tempat dan keadaan dapat dipandang sebagai perbuatan asusila. Ini artinya, perbuatan asusila adalah perbuatan yang berhubungan dengan merusak kesopanan dalam lingkungan nafsu berahi kelamin seperti pada contoh-contoh di atas. Akan tetapi, hal penting yang perlu dilihat adalah sejauh mana pelanggaran kesusilaan (perbuatan asusila) itu dilakukan. Perlu pengamatan hukum dengan mengacu pada adat istiadat yang ada untuk melihat konteks asusila di sini, misalnya dilakukan di tempat umum. Soesilo juga menambahkan jika ada suami istri bersetubuh, dilakukan sedemikian rupa sehingga terlihat dari tempat umum, maka orang tersebut melanggar pasal soal merusak kesopanan (perbuatan asusila) di tempat umum sebagaimana dalam Pasal 281 KUHP , asal saja mereka mengetahui bahwa perbuatan itu terjadi di muka umum, misalnya dengan kesadaran membiarkan pintu atau jendela terbuka . Meskipun tidak di muka umum , perbuatan di atas dapat dihukum pula asal terjadi di hadapan orang lain yang kebetulan berada di tempat itu yang telah datang dengan tidak bermaksud khusus untuk melihat perbuatan itu. Berdasarkan keterangan Anda, perbuatan ini dilakukan di ruangan tertutup. Dengan kata lain, tidak ada maksud dari pelaku perbuatan untuk mempertontonkannya di depan umum. Untuk itu, menurut hemat kami, perzinahan yang dilakukan di ruang tertutup tidak dapat dituntut juga atas perbuatan pelanggaran kesusilaan. Di samping itu, mengacu pada penjelasan Soesilo di atas, perbuatan istri yang melihat perbuatan hubungan badan layaknya suami istri tersebut dari lubang pintu dan merekam dengan handphone persetubuhan suaminya dengan wanita lain tidak sesuai dengan yang dijelaskan Soesilo di atas soal “orang yang datang dengan tidak bermaksud khusus melihat perbuatan itu”. Hal ini karena istri sengaja datang dengan maksud khusus untuk melihat perbuatan itu dan merekamnya dengan handphone. Dengan kata lain, perzinahan itu tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan asusila juga. Penjelasan lebih lanjut soal perbuatan asusila dapat Anda simak dalam artikel Tentang Tindak Pidana Merusak Kesopanan di Muka Umum . Sebagai contoh dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Militer III-14 Denpasar Nomor: 04-K/PM. III-14/AD/II/2011 . Meski dalam pertimbangannya hakim menyebut istilah “asusila/perzinahan” secara berbarengan. Namun, dalam dakwaaan penuntut umum maupun pertimbangan hakim tidak menjerat terdakwa dengan pasal tentang perbuatan asusila sebagaimana disebut dalam Pasal 281 KUHP. Hakim menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan perzinahan “seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu (zina), padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin” sesuai Pasal 284 KUHP. Terdakwa dihukum pidana penjara selama 6 (enam) bulan dan dipecat dari dinas militer. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Referensi: R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia. Putusan: Putusan Pengadilan Militer III-14 Denpasar Nomor: 04-K/PM. III-14/AD/II/2011 . asusila"
} |
{
"from": "human",
"value": "Sekarang banyak sekali barang bajakan, bagaimana menyikapi hal tersebut? Misalkan merek, info dari penyidik hal tersebut delik aduan. Apakah ada cara lain jika tidak ada korban yang melapor?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Untuk menyikapi barang bajakan atau barang palsu, dalam Pasal 100 sampai Pasal 102 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (\"UU 20/2016\") diatur mengenai ketentuan pidana terkait Merek dan Indikasi Geografis Benar bahwa tindak pidana yang disebutkan dalam Pasal 100 sampai Pasal 102 UU 20/2016 merupakan delik aduan, sebagaimana diatur dalam Pasal 103 UU 20/2016. Delik aduan hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Menurut Mr. Drs. E Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana II , dalam delik aduan penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian. Jadi apabila tidak ada pengaduan atau persetujuan dari pihak yang berhak untuk mengajukan tuntutan, maka tindak pidana yang diatur dalam Pasal 100 sampai Pasal 102 UU 20/2016 tentu tidak dapat diproses. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pada tanggal 25 November 2016 telah disahkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (\"UU 20/2016\") yang mengakibatkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (\"UU 25/2001\") dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Untuk menyikapi barang bajakan atau barang palsu, dalam Pasal 100 sampai Pasal 102 UU 20/2016 diatur mengenai ketentuan pidana terkait Merek dan Indikasi Geografis: [1] Pasal 100 UU 20/2016: Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan , dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan , dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), yang jenis barangnya mengakibatkan gangguan kesehatan, gangguan lingkungan hidup, dan/atau kematian manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Pasal 101 UU 20/2016: Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan tanda yang mempunyai persamaan pada keseluruhan dengan Indikasi Geografis milik pihak lain untuk barang dan/atau produk yang sama atau sejenis dengan barang dan/atau produk yang terdaftar , dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan tanda yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Indikasi Geografis milik pihak lain untuk barang dan/atau produk yang sama atau sejenis dengan barang dan/atau produk yang terdaftar , dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Pasal 102 UU 20/2016: Setiap Orang yang memperdagangkan barang dan/atau jasa dan/atau produk yang diketahui atau patut diduga mengetahui bahwa barang dan/atau jasa dan/atau produk tersebut merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 dan Pasal 101 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Mengenai apa yang dikatakan oleh penyidik bahwa tindak pidana dalam UU 20/2016 adalah delik aduan, hal tersebut diatur dalam Pasal 103 UU 20/2016 : \"Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 sampai dengan Pasal 102 merupakan delik aduan.\" Kemudian, apakah ada cara lain dalam menyikapi barang bajakan jika tindak pidana dalam UU 20/2016 adalah delik aduan? Untuk itu perlu dipahami terlebih dahulu perbedaan pengaduan (dalam delik aduan) dan pelaporan (dalam delik biasa). Sebagaimana pernah dikutip dalam artikel Perbedaan Pengaduan dengan Pelaporan , menurut R. Tresna dalam buku Azas-azas Hukum Pidana Disertai Pembahasan Beberapa Perbuatan Pidana yang Penting , istilah pengaduan ( klacht ) tidak sama artinya dengan pelaporan ( aangfte ), bedanya adalah: Pelaporan dapat diajukan terhadap segala perbuatan pidana, sedangkan pengaduan hanya mengenai kejahatan-kejahatan, di mana adanya pengaduan itu menjadi syarat. Setiap orang dapat melaporkan sesuatu kejadian, sedangkan pengaduan hanya dapat diajukan oleh orang-orang yang berhak mengajukannya . Pelaporan tidak menjadi syarat untuk mengadakan tuntutan pidana, pengaduan di dalam hal-hal kejahatan tertentu sebaiknya merupakan syarat untuk mengadakan penuntutan . Delik aduan hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana. Menurut Mr. Drs. E Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana II , yang kami kutip dari artikel Adakah Delik Aduan yang Tetap Diproses Meski Pengaduannya Sudah Dicabut? , dalam delik aduan penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan (korban) . Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian. Jadi menjawab pertanyaan Anda, apabila tidak ada pengaduan atau persetujuan dari pihak yang berhak untuk mengajukan tuntutan, maka tindak pidana yang diatur dalam Pasal 100 sampai Pasal 102 UU 20/2016 tentu tidak dapat diproses. Sebagai pembanding, tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek (yang telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh UU 25/2001, yang mana UU 25/2001 telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh UU 20/2016) ternyata merupakan delik biasa. Jadi tindak pidana yang dilakukan dapat dilaporkan dan diproses tanpa adanya aduan dari korban atau pihak-pihak yang berhak mengadukannya. Tapi sekali lagi, undang-undang tersebut sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis [1] Pasal 100-102 UU 20/2016 hukumonline delik aduan hukum klinik klinik hukumonline kekayaan intelektual"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah pelapor boleh meminta salinan BAP saksi yang sudah diambil keterangannya oleh penyidik? Kalau ya, bagaimana prosedurnya? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelumnya, perlu kami sampaikan bahwa keterangan yang diberikan oleh seorang saksi atau tersangka untuk dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (“BAP”) dilakukan dalam ranah p enyidikan. Penyidikan menurut ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) diartikan sebagai serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya . Dalam hal tindak pidana telah selesai disidik oleh penyidik pejabat pegawai negeri sipil, ia segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik kepolisian. Laporan ini disertai dengan BAP yang dikirim kepada penuntut umum. [1] Merujuk pada ketentuan KUHAP, pelapor tidak berhak mendapatkan salinan BAP saksi baik saksi pelapor sendiri maupun saksi-saksi yang lain. Hal ini dapat dipahami dari ketentuan KUHAP maupun peraturan perundang-undangan lainnya yang tidak mengatur hak pelapor mendapatkan salinan BAP saksi. Sesuai KUHAP, hanya tersangka yang boleh meminta turunan/salinan BAP yang telah ditandatanganinya untuk disimpan tersangka atau penasihat hukumnya sendiri untuk kepentingan pembelaannya . Adapun dasar hukumnya telah diatur dan ditegaskan dalam Pasal 72 KUHAP , yang berbunyi: Atas permintaan Tersangka atau Penasihat Hukumnya pejabat yang bersangkutan memberikan turunan berita acara pemeriksaan untuk kepentingan pembelaannya. Selanjutnya, dalam Penjelasan Pasal 72 KUHAP , disebutkan dengan tegas bahwa yang dimaksud dengan \"pemeriksaan\" dalam pasal ini adalah pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, hanya untuk pemeriksaan tersangka. Sedangkan untuk saksi, se panjang penelusuran kami, belum dite mukan adanya ketentuan dalam KUHAP maupun peraturan perundang-undangan lainnya yang menyatakan bahwa saksi boleh meminta salinan BAP-nya dalam tingkat p enyidikan. Secara teori, pelapor tidak diperkenankan untuk meminta salinan BAP saksi dalam tingkat p enyidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, karena memang bersifat tertutup dan bukan untuk diketahui umum. Hal ini sebagaimana pendapat Andi Hamzah dalam buku Hukum Acara Pidana Indonesia , yang menjelaskan istilah p enyidikan yang merupakan padanan dari istilah opsporing atau investigation, yang memiliki sifat yang “tertutup” (hal. 118). D engan kata lain, isi dari keterangan saksi atau tersangka dalam tingkat penyidikan, yang dituangkan dalam BAP tersebut, bukanlah untuk diketahui umum/publik. Terbukanya informasi penyidikan tentu dapat berisiko pada gagalnya proses penyidikan untuk mengungkap tindak pidana maupun pelakunya . Selain itu, sifat tertutup investigasi bagi pelapor ataupun masyarakat umum adalah bentuk penghormatan terhadap asas praduga tak bersalah ( presumption of innocence) sebagai salah satu prinsip hukum acara pidana yang bersifat universal . Prinsip ini tercermin dalam Penjelasan Umum angka 3 huruf c KUHAP : Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap Artinya, jangan sampai BAP saksi tersebut jatuh ke tangan orang yang tidak berkepentingan dan akibatnya materi BAP diketahui publlik , sementara dugaan tindak pidana yang sedang diselidik atau disidik tersebut belum terbukti dan diputus dengan adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap ( inkracht van gewijsde) . Selain itu, secara hukum, keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah adalah apa yang saksi nyatakan di persidangan sebagaimana diterangkan Pasal 185 ayat ( 1 ) KUHAP . Jadi, tidak ada urgensinya bagi seorang saksi atau pelapor untuk meminta dan menyimpan BAP-nya sendiri. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana . Referensi : Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia , Cetakan Kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2002. [1] Pasal 107 ayat (3) KUHAP dan penjelasannya acara peradilan hukumonline pidana"
} |
Subsets and Splits